Selasa, 27 Mei 2008
DERITA CALON TUMBAL
Susi dan Yani tewas dengan sebuah tanda merah di telapak tangannya. Kini tinggal Fandi dan ibunya yang tersisa. Siapa yang akan dijadikan tumbal....
Fandi tampak pucat menghadapi hari yang menegangkan. Ia selalu tertekan jika saat itu tiba. Resah karena ia mengetahui keberadaan keluarganya yang makan minum dari hasil pemujaan. Ayahnya memuja setan dengan mempersembahkan nyawa demi setumpuk harta. Ayahnya telah mengambil jalan sesat, membuat batinnya selalu tersiksa. Kini hari permintaan tumbal itu telah dekat, itulah yang membuat Fandi resah.
Keresahan Fandi memang sangat beralasan. Sudah banyak korban manusia yang telah dijadikan tumbal oleh ayahnya. Termasuk kedua adik perempuannya yang masih berusia belasan tahun. Fandi pun amat takut dirinya akan dijadikan tumbal oleh ayahnya. Sementara di rumah itu, kini hanya tinggal ibunya dan dia yang tersisa. Mereka hanya menunggu waktu untuk jadi tumbal ayahnya. Celakanya, Fandi tak mungkin lari dari kenyataan itu.
Ditengah lamunan Fandi, wajah Susi dan Yani adiknya melintas dalam ingatan. Wajah yang selalu menggoda dirinya bila sedang bercanda. Benar-benar menyiksa, bayangan itu tak mau pergi dari pelupuk matanya. Mereka terus membayangi sepanjang hari, seperti mengajak Fandi untuk ikut bersama mereka. Atau menyuruh Fandi untuk menghentikan semua penyengsaraan ini.
Masih terbayang dalam ingatan Fandi bagaimana kedua adiknya itu meninggal. Tapi hanya tanda merah yang berbentuk seperti bola di kedua telapak tangan serta bercak-bercak merah di kulit tubuh mereka sebagai bukti kematian Susi dan Yani. Namun kenapa kedua orang tuanya tidak merasa heran atas kepergian kedua adiknya yang hanya berselang beberapa hari itu. Tuhan, apa sebenarnya yang sedang menimpa keluarga kami.
Lamunan Fandi pagi itu terhenti oleh derap kaki yang mendekatinya. Fandi langsung menoleh dan ternyata langkah kaki itu milik ibunya. Dengan membawa secangkir teh, Fitri mendekati Fandi yang menyambutnya dengan senyuman. Perlahan, Fitri, ibunya, mengambil kursi dan duduk berhadapan dengan Fandi.
"Kenapa pagi-pagi begini kamu melamun? Tidak kuliah?" Tegur Fitri. "Atau kau sengaja berangkat sama sopir? Ayahmu baru saja pergi?" Sambungnya lagi.
Tegur sapa Fitri yang halus dan lembut, membuat Fandi tergagap. Tapi ia berusaha menyembunyikannya. Fandi tak menjawab semua pertanyaan ibunya, ia malah balik bertanya.
"Bu, apakah perkebunan kita tidak mengalami perubahan? Kita sudah lama tidak menjenguknya. Bila ibu mau, Fandi ingin mengajak ibu kesana. Sekaligus ada sesuatu hal yang ingin Fandi tanyakan," kata Fandi mengajak ibunya.
Fandi memberanikan diri mengajak ibunya ke perkebunan dengan harapan dapat mengetahui apakah ibunya benar-benar belum mengetahui kalau ayahnya seorang pemuja setan. Tanpa diduga, ibunya gembira sekali dengan ajakan Fandi.
Fitri sebenarnya sedikit was-was karena Fandi tidak biasanya mengajak ke perkebunan. Fandi lebih sering mengajak ibunya belanja ke toko untuk mencari sesuatu. Tapi akhirnya Fitri mengiyakan ajakan anak sulungnya itu. Ia masuk ke dalam dan mengeluarkan mobil dari garasi.
Tak lama kemudian berangkatlah mereka ke perkebunan. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam membuat jantung Fandi berdebar-debar. Ia membayangkan wajah ibunya nanti bila ia menanyakan tentang keberadaan ayahnya. Reaksi seperti apa yang akan ditampakkan oleh ibunya.
Tiba di perkebunan, Fandi menggandeng tangan ibunya sambil mencari tempat untuk bernaung. Akhirnya mereka singgah di sebuah gubuk reyot untuk mengobrol. Perlahan-lahan Fandi memegang jemari ibunya dan mencoba memberanikan diri untuk bertanya.
"Sudah berapa lama perkebunan ini dimiliki oleh ayah Bu?" Tanya Fandi. "Pada saat ayah membeli tanah ini, Fandi tak mengetahuinya. Padahal gaji ayah 'kan cuma pas-pasan. Tidak mungkin ayah memiliki uang sebanyak itu. Apakah mungkin gaji seorang pegawai Asuransi bisa membeli perkebunan ini. Belum lagi ayah telah membeli kendaraan dan semua barang istimewa yang saat ini kita miliki?" Tanya Fandi.
Fitri terkejut mendengar pertanyaan yang diucapkan Fandi. Ia hanya menatap kedua mata Fandi dengan tajam. Tak lama kemudian ia berdesah, kekhawatirannya selama ini terbukti. Pertanyaan inilah yang selalu membuat dirinya resah sepanjang malam.
"Sebenarnya ibu telah lama menyimpan rahasia ini, dan baru kali ini ibu membukanya. Bagus sekali kamu mengajak ibu kesini. Kesempatan seperti inilah yang ibu tunggu-tunggu. Sekarang kamu sudah dewasa dan mampu berpikir, mana yang baik mana yang buruk. Kamu dapat membedakannya," jawab Fitri yang merasa senang anaknya telah mengetahuinya.
Fitri bicara sambil menahan perasaannya yang tertekan. Betapa dirinya selama ini menyimpan rahasia suaminya di dalam batin. Tiga tahun bukanlah waktu yang pendek untuk menyimpan sebuah rahasia besar yang telah dilalui oleh keluarganya.
Fandi semakin tegang melihat wajah ibunya yang menatap dengan tatapan kosong. Akhirnya ia menepuk bahu ibunya sambil berdehem.
"Bu....! Ibu kenapa? Apakah pertanyaan Fandi menyinggung perasaan ibu? Maafkan Fandi bu. Fandi telah lancang, seharusnya Fandi tak boleh begitu."
"Tidak Fandi......!" Celetuk ibunya. "Ibu hanya ragu untuk mengatakan sesuatu padamu," lanjutnya.
Dengan cepat Fandi menyela ucapan ibunya sambil mencium tangannya. "Cepat bu, katakanlah! Fandi sudah lama sekali menunggu jawaban ini. Rasanya Fandi sudah tak sabar mendengarnya. Masalah ayahkan bu? Sekarang begini saja, dari pada ibu sulit untuk membukanya, biarlah Fandi yang mewakili perasaan ibu.
Mudah-mudahan ibu dapat menerima apa yang akan Fandi katakan. Sebab Fandi sudah mengetahui apa yang telah menimpa keluarga kita. Bukankah ayah itu seorang pemuja bu? Susi dan Yani telah dijadikan tumbal oleh ayah. Kini giliran Fandi dan ibu yang saat ini tengah diincar ayah.
Ketakutan inilah yang membuat ibu sering sakit. Sebenarnya Fandipun seperti ibu. Tetapi apakah kita akan tinggal diam bu? Apakah kita tidak secepatnya minta pertolongan. Biarlah kita pergi diam.-diam selagi masih ada kesempatan dan belum terlambat," jelas Fandi panjang lebar.
Betapa terkejutnya Fitri mendengar ungkapan Fandi. Ia tidak menyangka anak sulungnya telah mengetahui ayahnya seorang pemuja. Fitri segera memeluk Fandi sampai bercucuran air mata. Fitri menumpahkan semua jeritan batin yang selama ini menghimpit dadanya.
Sementara itu Fandi terlihat sangat lega karena ibunya sudah menerima semua kalimat yang diucapkannya. Keberadaan ayahnya sebagai seorang pemuja setan, telah terungkap. Dengan bersimbah air mata, Fitri melepaskan pelukannya. Perlahan ia mengusap kedua matanya lalu kembali menatap wajah Fandi dengan sayu.
"Semua yang kau katakan adalah benar Fandi. Masalah inilah yang selalu mengganggu pikiran ibu. Saranmu akan ibu turuti, dari pada kau dan ibu dijadikan korban oleh ayahmu!" Jawab Fitri.
"Mari kita pulang Fandi. Takut ayahmu pulang lebih awal dari biasanya," ajak Fitri pada anaknya.
Fandi mengangguk sambil bergegas melangkahkan kakinya menuju mobil. Sementara Fitri mengikutinya dari belakang. Tanpa banyak bicara, Fandi langsung menstater mobil dan segera meluncur pulang.
Sampai di rumah, Fitri menerobos masuk ke dalam rumah dan langsung berganti pakaian. Setelah itu ia segera beristirahat untuk meninggalkan jejak bahwa dirinya pulang dari bepergian. Sedangkan Fandi duduk di kursi tamu sambil membaca koran. Dalam hatinya berkecamuk rencana yang telah disepakati dengan ibunya.
Tak lama kemudian Sasmito ayah Fandi tiba. Mendengar suara suaminya, Fitri pura-pura tidur. Sementara itu Fandi merasa bersyukur karena ayahnya tidak mengetahui bahwa ibu dan dia pulang dari perkebunan.
Malam nampak cerah, purnama bersinar terang. Tapi Fandi dicekam ketakutan menyaksikan purnama itu. Hatinya begitu gelisah. Siapakah yang akan dijadikan tumbal oleh ayahnya pada Purnama ini? Keringat Fandi mengucur deras membasahi kemeja yang ia kenakan. Ia beranjak dari ranjangnya, Fandi mengkhawatirkan keadaan ibunya. Perasaannya gelisah seperti akan terjadi sesuatu pada ibunya. Fandi bergegas mendatangi kamar tidur ibunya dan langsung mengetuk pintu kamar.
"Bu, bu......! Ini Fandi bu! Tolong bukakan pintunya bu. Fandi mau bicara. Apakah ibu tidak sholat Isya' dulu?"
Lama Fandi menunggu, tapi tak satupun pertanyaan dijawab. Akhirnya ia mengintip melalui lubang kunci. Tiba-tiba Fandi berteriak nyaring memanggil ayahnya.
"Ayah.....! Ayah.....! Tolong ibu ayah!" Teriak Fandi.
Sasmito menghampiri Fandi sambil bertanya, "Ada apa Fandi? Kenapa dengan ibumu?"
"Lihat ayah! Pintu kamar ini terkunci dari dalam. Saat Fandi memanggil-manggil ibu, ia tak menyahut. Sepertinya ibu sedang sakit ayah."
Sasmito nampak panik. Ia segera mendobrak pintu tersebut bersama Fandi lalu berlari masuk ke dalam kamar. Fandi bersama ayahnya langsung menghampiri ranjang melihat Fitri tergolek lemah di atasnya. Dan, semua teriakan tak satupun didengar Fitri.
"Fitri, bangun Fitri! Ada apa denganmu Fitri!" Sasmito dan Fandi menangis sambil menjerit-jerit.
"Fitri jangan tinggalkan aku Fitri. Aku tidak sanggup hidup tanpa kau disisiku!" Sasmito terus berteriak sambil memeluk tubuh istrinya.
"Fandi.....! Ibumu sudah tiada. Ibu sudah menghadap Tuhan. Ini memang salah ayah Fandi. Maafkan ayah."
Sasmito berbicara sambil meratap, ratapan yang sangat memilukan. Ia menangis bagai bayi yang baru lahir. Hatinya hancur atas kepergiaan Fitri yang telah dijadikan tumbal olehnya. Isak tangis Sasmito terdengar sangat mengharukan. Tapi Fandi merasa muak dengan sikap ayahnya.
Mendadak Fandi marah, ia sudah sekian lama memendam kebencian terhadap ayahnya. Kebencian itu muncul akibat perlakukan ayahnya yang tega menjadikan kedua adiknya sebagai tumbal. Apalagi kini ibunya tewas menyusul kedua adiknya. Ibunya telah menjadi korban atas pemujaan ayahnya.
"Ayah benar-benar tega berbuat seperti ini. Kenapa ayah lakukan pada kami? Kami butuh kebahagiaan. Kami tidak butuh harta! Beginilah jika ayah tidak percaya dengan adanya Tuhan!"
Makian Fandi yang terdengar mengutuk, terlalu pedas bagi Sasmito. Namun Sasmito tidak sedikitpun membalas makian anak sulungnya itu. Sasmito menyadari semua kesalahannya. Akhirnya Fandi keluar dari kamar dan segara memanggil para tetangga untuk memberitahukan kematian ibunya. Usai itu Fandi kembali ke kamar menemui jenazah ibunya.
Tubuh Fitri terbujur kaku, tergolek di atas ranjang didampingi Sasmito. Wajahnya tampak pucat dan keriput di wajahnya semakin nampak jelas. Beberapa orang tetangganya berdatangan untuk melayat. Sasmito terlihat shock, ia hanya termenung saat melihat tubuh istrinya dibopong keluar untuk dimandikan. Sementara itu Fandi mengiringnya dari belakang sambil melihat sebuah tanda yang sudah ia kenal. Tanda yang menyebabkan kematian ibunya.
Esok harinya, setelah Fitri dimandikan jasadnya segera dimakamkan. Fandi, Sasmito dan seluruh warga menghantarkan jasad Fitri hingga ke pemakaman. Derai air mata Fandi dan Sasmito mengiringi kepergian Fitri hingga masuk ke liang kubur.
Selesai pemakaman, Fandi nampak shock dan frustasi. Semangat hidupnya kini sudah tiada lagi. Satu demi satu orang-orang yang dicintainya telah pergi meninggalkannya. Untuk apalagi dirinya bertahan hidup. Mungkin hanya untuk menunggu gilirannya dijadikan tumbal.
Kegundahan hati Fandi yang terlihat nyata dapat dipahami Sasmito. Perlahan-lahan Sasmito mendekati Fandi dan memeluknya sambil berkata, "Kau akan kemana Fandi? Apa kamu akan pergi meninggalkan ayah? Ayah mengakui kesalahan ayah membuat ibu dan kedua adikmu pergi. Tapi tolong dengar kata-kata ayah. Pada waktu itu ayah tergoda oleh harta. Tapi semua itu ayah lakukan demi kehormatan keluarga kita yang selalu dihina karena hidup dalam kemiskinan. Ayah sungguh khilaf waktu itu dan tidak berpikir panjang. Sekarang tolong bantu ayah untuk menyelamatkan ayah. Ayah tak ingin kaupun dijadikan tumbal bagi Raja Siluman itu. Kau harus selamat, biarlah ayah sendiri yang menanggung akibatnya."
Hati Fandi terketuk juga oleh kata-kata ayahnya. Walau ayahnya telah salah mengambil jalan, ia tetap ayah kandungnya. Fandipun segera keluar dari rumah tanpa mau disertai ayahnya. Fandi akan berusaha mencari solusi yang bisa melindungi dirinya dan menyelamatkan nyawanya. Dengan berat hati dan perasaan tak kauran Fandi melangkahkan kakinya menembus udara bebas sambil terus berharap semoga nyawanya dapat terbebas dari cengkeraman Ratu Pemilik Harta.
BERISTERI JIN DEMI MERAIH KESUKSESAN
Setelah usahanya bangkrut akibat amukan massa pada peristiwa hura-hura massal tahun 1998, dia akhirnya memutuskan untuk menikahi jin. Ini dia lakukan demi kembali meraih kesuksesan....
Dalam perjalanan menjelajahi berbagai pelosok, Penulis sempat menemukan kesaksian dari seorang anak manusia yang telah menjalin hubungan sangat erat dengan eksistensi bangsa jin. Ya, dalam sebuah tugas liputan, Penulis secara tak sengaja mampir ke rumah seorang sahabat yang sudan lama tidak dikunjungi. Rasidan, namanya, atau biasa dipanggil Jhony. Dari sinilah kesaksian yang sulit diterima akal sehat itu bermula.
Tak seorang pun manusia yang tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya di masa mendatang. Semuanya masih merupakan misteri yang sulit ditebak. Begitu juga halnya dengan Jhony. Dia tidak pernah menduga kalau usahanya sebagai seorang petambak udang dan pemilik toko furniture terbesar di kotanya akan jatuh bangkrut. Menurut perhitungannya, harta yang dimilikinya telah lebih dari cukup untuk menopang hidupnya. Tapi dia lupa bahwa perhitungan manusia kadang-kadang bisa berubah atas ketentuan Illahi.
Keadaan telah memporak-porandakan cita-cita dan tatanan kehidupan Jhony yang telah ditatanya sejak lama. Tragedi 12 Mei 1998 merupakan hari-hari kelabu bagi Jhony dan keluarganya. Kerusuhan telah membuat dirinya miskin. Toko furniture dan mobil mewahnya yang diparkir di depan tokonya hangus terbakar, sementara tambak udangnya habis dijarah orang. Sedangkan rumah yang ditempatinya sudah bukan miliknya lagi, karena surat-suratnya telah dijaminkan ke Bank untuk modal pengembangan usaha furniturenya.
Melihat kenyataan pahit ini Jhony sempat shock. Dia tidak menyangka akan musibah yang melanda dirinya dan memusnahkan semua harta yang selama ini telah dikumpulkannya, hanya dalam sekejap. Isterinya, Vera tidak kalah shocknya menerima kenyataan pahit ini.
Dalam kondisi kalut seperti itu, Jhony dan Vera datang kepada seorang Kyai yang terkenal sebagai ahli spiritual. Kepada sang Kyai mereka berkonsultasi tentang musibah yang dihadapi. Orang tua yang bijaksana itu hanya menggangguk dan tersenyum. Dengan arifnya dia bertutur bahwa di balik semua musibah itu ada maknanya, makna itu bisa bermacam-macam. Di satu sisi bisa bermakna cobaan, di sisi lain bisa juga peringatan bagi keluarga Jhony.
Menurut mata batin sang Kyai, selama ini Jhony dan Vera tidak pernah mengeluarkan zakat mal dan bersedekah, padahal selama ini mereka menerima terus menerus rezeki dari Yang Maha Kuasa, Mereka telah ditutupi oleh penyakit hati yakni pelit untuk mengeluarkan sedekah dan zakat maal yang merupakan hak orang lain terutama anak-anak yatim, para janda tua dan kaum dhuhafa. Akibat dari semua itu maka datanglah peringatan bagi mereka.
Jhony membenarkan ucapan orang tua yang bijak itu. Namun yang terpenting, bagaimana caranya agar dia tidak diusir dari rumahnya karena tidak mampu lagi membayar cicilan ke bank akibat usahanya telah bangkrut. Orang tua itu berbisik pada Jhony, memberi solusi mencari uang secara pintas, "Bersediakan Nak Jhony menikah dengan jin?"
"Menikah dengan jin? Bagaimana mungkin?" tanya Jhony.
"Apa yang tidak mungkin itu akan menjadi mungkin kalau Allah menghendakinya," ujar sang Kyai. Menurutnya, persyaratannya tidak begitu susah. Pertama harus seizin isteri karena dia akan dimadu. Kedua, menyediakan kamar khusus untuk menyongsong kedatangan isteri jinnya yang akan datang pada waktu tertentu.
Sekaitan dengan syarat pertama, pada masa pengantin Jhony harus menemani isteri jinnya selama satu bulan penuh, mengingat masih dalam suasana pengantin baru. Setelah itu waktu menggilirnya diatur seminggu tiga kali.
Syarat ketiga dia tidak boleh main perempuan lain. Dalam artian, Jhony tidak boleh tidur, apalagi menikah dengan wanita lain.
Atau kesepakatan dengan Verra, Jhony akhirnya bersedia mengawini makhluk yang berlainan alam itu.
***
Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, ritual pun dimulai. Jhony sudah siap di kamar orang tua itu. Suasana di kamar agak lain, seperti ada hawa sejuk yang menyenangkan.
Setelah melakukan upacara ritual suasana begitu sangat syahdu, namun terasa berbalut mistik. Sepi namun sesekali terasa mencekam. Tak lama kemudian Jhony mendengar ada suara dari luar.
"Assalamu’alaikum!" suara itu begitu lembut.
Jhony tersentak. Orang tua itu berbisik, "Pengantin wanitanya sudah datang!"
Segera dia bangkit membukakan pintu. Tampak seorang gadis cantik berjilbab putih dengan gaun terusan warna hitam bergaris lembut. Melihat keanggunan dan kecantikan gadis itu, kerongkongan Jhony seperti tercekat. Tak sepatah katapun terucap dari bibirnya. Hingga kemudian gadis itu berkata, "Inikah calon suamiku, perkenalkan namaku Siti Zubaedah. Kau Jhony, kan?"
Setelah berkata demikian gadis itu duduk di sebelah Jhony. Singkat cerita, dengan disaksikan oleh orang tua itu terjadilah proses pernikahan dua makhluk ciptaan Tuhan yang berlainan alam.
Sungguh menakjubkan, setelah Jhony beristerikan Siti Zubaedah, kehidupannya teras mengalami peningkatan. "Aku diberikan uang sebagai modal untuk memulai usaha baru," cerita Jhony.
Menurutnya, isterinya yang bangsa jin itu memberi suntikan modal untuk membayar hutangnya di Bank, merehab tokonya yang telah terbakar, dan melanjutkan usaha tambaknya yang habis dijarah, bahkan membeli mobil baru. Semua itu atas bantuan Zubaedah, disamping fitrah Jhony sebagai manusia yang terus bekerja keras.
Di samping usaha tambak ikan, kini Jhony juga menekuni profesi barunya sebagai suplayer obat-obatan. Mungkin, hal ini dimungkinkan karena ada kekuatan gaib yang mendorongnya, hingga usaha apapun yang dijalankan olehnya selalu berhasil.
***
Ketika Penulis bertamu ke rumahnya, Jhony bercerita penuh antusias tentang Zubaedah yang penduduk alam gaib itu. Atas keinginannya, dia akan mengundang Zubaedah dan memperkenalkannya denganku. Aku sempat mencegah dengan alasan takut melihat wajah dari makhluk yang berlainan alam itu. Namun Jhony tetap bersikeras untuk mengundangnya. Menurutnya, Zubaedah mempunyai kemampuan untuk mawujud layaknya seorang manusia.
"Karena kau memaksa, aku bersedia saja!" begitu akhirnya kata Penulis.
Tak lama, kami mendengar deru mobil memasuki halaman rumah. Seketika suasana di penghujung malam itu sudah merubah aura menjadi penuh dengan kegaiban.
Kijang kapsul warna putih metalik melewati kami yang sedang duduk di beranda muka, sementara mobil itu berhenti di palvilyun samping rumah. Segera Jhony menyongsong wanita yang turun dari dalam mobil itu. Sekilas pandangan Penulis menoleh dengan diiringi oleh bulu kuduk yang meremang. Jantungku berdetak kencang. Penulis segera paham dengan situasi itu. Memang wanita itu terlihat cantik dengan gaya modis berbusana muslim.
Jhony dan wanita yang mungkin adalah Siti Zubaedah itu terlihat masuk lewat pintu samping. Namun tak lama kemudian wanita itu keluar lagi meninggalkan tempat itu tanpa sempat bertemu muka denganku. Aku berdecak kagum atas penampilannya dalam permainan imajinasi sudut pandang. Mobil kijang yang tadi terlihat itu ternyata hanyalah seekor kuda putih, sementara sosok wanita itu tidak terlihat secara jelas karena kesannya terburu-buru.
Setelah kejadian yang hanya kurang dari satu menit itu, kembali Jhony menghampiriku dan mengatakan bahwa tadi itu adalah isteri mudanya. Aku hanya terpaku menyaksikan kejadian musykil itu.
"Sekarang kau mungkin percaya bahwa aku telah beristerikan wanita dari alam gaib," kata Jhony setelah sensasi aneh itu berlalu.
Penulis hanya angkat bahu. Apakah benar yang dikatakan Jhony? Penulis masih sulit untuk mempercayainya.
***
Sekitar setengah bulan setelah pertemuan itu, tiba-tiba ada kabar melalui hendphone kalau Jhony sekarang dirawat di rumah sakit. Merasa khawatir atas kesehatannya, Penulis pun segera berangkat untuk menjenguk Jhony. Sesampainya di sana kulihat sahabatku itu terbaring lemah. Segera kuhampiri dan kudengar dia berbisik mengatakan bahwa isterinya marah karena Jhony telah mengundangnya secara mendadak dan terasa ada benturan pada dirinya begitu melihatku. Aku katakan bahwa hal itu tidak apa-apa.
"Makanya, aku bilang jangan kau lakukan itu. Kau sendiri yang memaksa kan?" ujar Penulis.
Jhony hanya tersenyum kecut.
Menurut analisis team medis Jhony terkena gejala thypus. Namun berdasarkan terawangan alam kesunyatan yang dilakukan Penulis, sahabatku itu terkena imbas negatif akibat benturan hawa energi antara Penulis dengan isterinya itu. Untuk membantuh penyembuhannya, Penulis segera mengirimkan energi ke tubuhnya untuk memulihkan kondisinya, setelah itu aku pamit pada Verra dengan berpesan segera memberi kabar bila terjadi apa-apa terhadap Jhony.
Selang tiga hari kemudian Vera, isteri sahabatku itu mengabarkan bahwa suaminya sudah kembali dari rumah sakit dengan kondisi agak baikan. Aku bersyukur mendengar kabar baik itu. Aku sempat menelepon Jhony dan mengatakan padanya agar dia mulai memikirkan masa depan hidupnya jangan terus beristerikan jin itu.
"Aku takut nantinya kau yang berada di bawah pengaruhnya, Jhon!" kataku.
Jhony memahami kekhawatiranku. "Aku berjanji akan mencari jalan keluar untuk berpisah dengannya," katanya dengan suara jernih. Ini artinya, Jhony sungguh-sungguh sudah baikan.
BERBURU MAWAR HITAM
Demi niat baik menolong seorang teman, aku nekad melakukan perburuan "mawar hitam" yang hanya ada di alam gaib. Nyawaku nyaris terenggut setelah mengalami rentetan kejadian aneh....
Paranormal muda, itulah sebutan yang sering kuterima dari beberapa orang yang pernah kutolong "tanpa sengaja". Kusebut demikian, karena sesungguhnya aku bukanlah paranormal sungguhan yang memiliki ilmu-ilmu gaib. Aku hanyalah memahami ramuan-ramuan dari tumbuhan (Botani).
Hanya sedikit saja pengetahuan kebatinan yang kuketahui. Itupun kumiliki karena aku belajar sendiri lewat buku. Aku memang kutu buku, terutama tentang tumbuh-tumbuhan yang sering digunakan sebagai ramuan obat, dan aku sering berburu tumbuhan langka.
Dari ramuan-ramuan yang sering ku buat, telah banyak orang tertolong. Bukan sombong, aku memiliki nama di daerahku sebagai Tuan Tabib. Banyak orang yang menyarankan aku agar belajar dan berguru ilmu kebatinan untuk menunjang keahlianku sebagai peramu obat.
Tantangan itu hadir ketika aku berkenalan dengan Trisno Bayat, seorang pedagang valuta asing yang sering nongkrong di Pasar Baru, Jakarta. Kepadaku, lelaki separuh baya itu mengeluhkan sakit yang diderita istrinya yang di kampung halamannya. Isteri Trisno mengalami gangguan jiwa.
Konon, menurut beberapa paranormal, sakit istrinya akibat di guna-guna ketika istrinya masih di Jakarta beberapa waktu yang lalu. Setelah penyakitnya kian parah, istrinya dibawa ke kampung halaman. Sedangkan Trisno sendiri tetap di Jakarta mencari nafkah dengan menjadi pedagang mata uang asing.
Menurut Trisno, dari sekian banyak paranormal, rata-rata mereka mengatakan bahwa sakit istrinya itu akibat guna-guna yang dilakukan seorang dukun dari Ujung Kulon. Konon, dukun ini amat sakti dan menyembah berhala. Didapat dari keterangan pula bahwa guna-guna itu akan luntur bila istrinya memakan bunga Mawar Hitam. Katanya, hanya itulah satu-satunya penawar.
Kepadaku, Pak Trisno meminta bantuan agar dicarikan bunga itu. Aku bingung, sebab aku sendiripun belum pernah melihatnya selain hanya mendengar namanya saja. Sebuah permintaan yang tak mungkin aku dapatkan. Sebab bunga itu konon hanya tumbuh di alam siluman. Tak sembarang orang dapat mengambilnya.
Tapi, aku jadi bersemangat ketika Pak Trisno menawarkan imbalan uang sepuluh juta rupiah bila mendapatkan bunga itu. Walau terus terang aku tak tahu bagaiman caranya, tapi sebagai petualang, sekaligus ingin mengetahui lebih jauh tentang mitos bunga itu, akhirnya dengan sedikit memberi harapan aku bilang akan berusaha mencarinya.
"Tolong, jangan berharap banyak dariku, sebab aku bukan dukun!" kataku sambil senyum.
"Aku percaya padamu, sebab aku yakin Tuhan memang telah mengutusmu untuk menyembuhkan isteriku," ujar Pak Trisno sambil menepuk bahuku yang bidang.
***
Aku akhirnya pulang kampung menemui Mbah Gribig, seorang dukun kejawen yang sudah cukup tua. Setelah mengutarakan maksud, dengan sedikit berkelekar Mbah Gribig mengatakan bahwa bunga itu hanya ada dalam dongeng saja. Tapi aku terus mendesaknya hingga aku disarankan untuk lelaku mencari petunjuk.
Tanpa buang waktu aku sanggupi saran itu. Dengan bimbingannya aku mulai melakukan ritual yang cukup berat dan menakutkan. Dalam ritual itu, ketika aku bersemedi, di Alam Bawah Sadar aku melihat alam aneh yang di sekelilingnya berseliweran makhluk-makhluk seram dan menakutkan. Mereka seolah ingin melumatku.
Godaan itu datang semakin berat. Hingga malam ketiga, aku melihat sebuah kolam air yang ditengahnya banyak perempuan-perempuan sedang mandi. Mereka sangat cantik, mirip bidadari. Di tepi kolam itu, di atas bebatuan sempat kulihat pula beberapa orang menatapku dengan wajah dan gerakan tubuh menggoda birahiku.
Suasana tempat itu sangat sejuk dan indah, seperti di sebuah keputren kerajaan jaman dulu. Tapi pemandangan itu tak berlangsung lama. Ketika terdengar kokok ayam, para bidadari itu seperti terkejut lalu saling berebutan untuk keluar dari kolam.
Konsentrasiku buyar pula akhirnya. Tiba-tiba aku dapati diriku tersadar dengan (maaf) terbangunnya alat vitalku. Aku tak tahu mengapa begitu, mungkin karena melihat gadis-gadis sedang bugil di kolam itu.
Hal itu kuutarakan kepada Mbah Gribig. Aku juga bilang tak menemukan petunjuk tentang mawar hitam. Tapi jawaban yang kuperoleh sangat mengejutkan. Mbah Gribig bilang, gadis-gadis itulah mawar hitam. Aku terkejut bukan main, bahkan aku tak percaya.
"Dalam dunia gaib, mata batinmu belum mampu melihat hal sesungguhnya, tapi bisa pula itulah sesungguhnya. Sebab dengan nalar saja itu tak akan berarti disana. Itulah dunia gaib," katanya menakinkan diriku.
Tapi aku tetap kekeh untuk mendapatkan bunga itu, entah berujud singa sekalipun, kataku. Dengan geleng-geleng kepala Mbah Gribig akhirnya berjanji akan membantuku mendapatkan bunga itu. Tapi dia juga bilang belum tentu sanggup, sebab taruhannya adalah nyawa.
***
Malam Selasa Wage, kami berdua kembali melakukan semedi. Cukup lama kami mengosongkan hati dan pikiran. Kata Mbah Gribig, aku akan diajak meraga sukma, dan salah sedikit saja akan sanga fatal akibatnya.
Singkat kata, ketika aku bisa mengosongkan pikiran, aku melihat setitik cahaya redup yang lambat laun membesar berwarna-warni. Aku berputar-putar hampir tak kuat karena pusing.
Waktu awal semedi kedua tanganku saling berpegangan dengan Mbah Gribig, tapi kini aku seolah seorang diri berputar-putar seperti kitiran. Aku melayang-layang seperti kapas, sedang di belakangku nampak makhluk-makhluk ganjil mengejar-ngerjarku dengan penuh amarah, seolah ingin menangkapku.
Aku merasa sedikit tenang ketika Mbah Gribig berada di belakangku dan mencekal kakiku serta menariknya ke sebuah cekungan tanah. Kami bersembunyi. Ketika susana aman kami kembali melayang seperti terbang melawati gurun pasir sangat panas.
Kami terus terbang, hingga tiba di sebuah gapura besar seperti pintu gerbang sebuah kerajaan. Kami menyelinap masuk dengan penuh waspada menghindari para penjaga yang berada di setiap penjuru dengan senjata terhunus.
Melihat para penjaga itu aku jadi teringat sinetron Mak Lampir. Mungkin ini kerajaan jaman dulu, pikirku. Kami berhasil masuk ke keputren dan melihat kembali gadis-gadis bugil itu.
"Kau harus bisa menculik salah satu gadis itu dan mengikatnya dengan tambang pendek yang aku bawa!" bisik Mbah Gribig.
Akhirnya, kami mengincar salah seorang gadis yang sedang sendiri. Dia agak jauh dari temannya dan sedang menyisir rambutnya yang panjang. Di suatu kesempatan, dengan nekad aku tangkap gadis itu dari belakang dan mengikatnya. Namun sebelum terlaksana, gadis itu sempat menoleh dan mengetahui keberadaanku. Gadis itu menjerit ketakutan hingga membuat gaduh keputren. Kami berdua jadi panik dan gadis itupun berlari menuju sebuah pintu kecil untuk menyelamatkan diri.
Banyak prajurit berdatangan dan terdengar terompet. Mbah Gribig pun panik. Apalagi aku. Di saat suasana mencekam, Mbah Gribig mengeluarkan cermin kecil dan keris. Saat itu kami sudah terkepung dan pasrah. Tapi tiba-tiba Mbah Gribig menancapkan keris itu ke tanah dan melemparkan cermin ke arah para prajurit bersenjata. Terdengar ledakan keras. Tanah tempat keris itu menancap seperti berputar menyedot kami bedua ke dalamnya.
Saat aku tersedot ke tanah berputar, tanganku sempat terlepas dari pegangan Mbah Gribig. Aku melihat sekelebatan cahaya menuju arahku yang ternyata ayunan pedang hingga menyerempet tanganku. Untung hanya tergores, tapi lukanya cukup perih.
Entah apa yang diperbuat Mbah Gribig, ketika tanganku terpegang kembali olehnya, tiba-tiba suasana menjadi gelap gulita. Aku tersadar penuh peluh dan nafas tersengal serta sakit di seluruh badan dan perih. Mbah Gribig lebih parah lagi. Ia kelojotan dan muntah darah. Akhirnya ia mampu duduk dan menenangkan diri.
Aku baru sadar, tak mudah mendapatkan bunga itu yang sesungguhnya bukan sekuntum bunga tapi sesosok siluman. Masih untung kami tak tertangkap para prajurit. Menurut Mbah Gribig, bila aku dapat menangkap gadis itu, dan membawanya ke alam dunia, akan terlihat seperti bunga mawar tapi berwarna hitam. Aku tambah terkejut, ternyata bukan sekali ini Mbah Gribig melakukannya, tapi sudah sering kali.
"Sayangnya tak pernah berhasil!" kilahnya dengan wajah tegang.
Mbah Gribig mengaku telah lama pula mencari bunga mawar hitam. "Sudah beberapa kali aku mencobanya, tapi tak pernah berhasil. Aku berharap kau bisa membantuku, tapi ternyata malah nyawaku terancam!" katanya.
Aku kini jadi berpikir negatif pada Mbah Gribig, jangan-jangan ia memanfaatkanku.
"Jangan berpikir macam-macam, bunga itu banyak manfaatnya, juga untuk mengobati istri Pak Trisno itu," katanya lagi seolah tahu kecurigaanku.
Luka pedang di tanganku pun tak nampak seperti tak pernah apa-apa. Tapi entah, aku masih merasakan perih apalagi bila terkena sinar matahari. Dan atas saran Mbah Gribig, lukaku akan sembuh sendiri bila lewat seratus hari dengan catatan harus rajin mengolesi minyak yang diberikan Mbah Gribig tiap tengah hari.
Pengalaman yang tak terlupakan. Walau nyawaku hampir terancam tapi aku tak puas berhenti sampai disini. Kini aku tambah mengerti, ternyata alam gaib tak seremeh yang aku bayangkan.
Langganan:
Postingan (Atom)