Rabu, 26 November 2008
PENGUSAHA KAYA PEMUJA SETAN
Kesaksian ini dituturkan oleh seseorang yang enggan disebut identitasnya. Dia berkisah tentang sepenggal pengalaman yang sangat menyeramkan, yakni bekerja di sebuah perusahaan garmen dengan seorang bos yang ternyata memuja setan. Seperti apa kisah lengkapnya…?
Setelah sekian lama menumpang di rumah kerabat tanpa ada penghasilan, akhirnya sebuah perusahaan besar skala internasional (kata iklan yang mereka cantumkan di koran), berkenan menerimaku sebagai karyawan di bagian produksi. Wah senang sekali, sebab aku punya sedikit uang untuk memanjakan diri.
Pintu besi gerbang besar perusahaan itu telah menyambutku kedatanganku di hari pertama masuk. Sambil menunggu waktu, kukelilingi area bangunan besar itu, sekalian melihat-lihat suasana gedung, pelataran parkir, gudang, serta satu bangunan tua yang menjadi bangunan induk tempat perusahaan besar ini menjalankan aktivitas bisnisnya.
Di mataku, bangunan tua yang kumaksudkan tadi merupakan satu bangunan bergaya lama yang terletak di daerah kota tua, namun masih memperlihatkan sisi megah yang menyiratkan kejayaan masa lalu pemiliknya.
“Pemiliknya pasti sangat kaya hingga dapat memiliki gedung besar yang hampir semegah museum ini. Aku yakin bangunan ini bisa menjadi satu warisan bersejarah yang telah dipakai secara temurun-temurun dari pemilik lama perusahaan ini kepada orang yang sekarang yang mewarisinya,” pikirku.
Menurutku, bangunan bergaya klasik ini pastilah banyak menyimpan cerita. Atau bahkan peristiwa atas jatuh bangunnya bisnis keluarga kaya raya tersebut. Dan dalam suasana pagi yang cerah, aku sangat menikmati panorama bangunan tua ini. Namun aneh, tiba tiba sepertinya ada satu kekuatan lain yang menyergapku. Kirasakan seperti ada suara angin yang berhembus lembut, seolah-olah meniup daun telingaku. Sayup-sayup terdengar seperti suara desahan binatang buas di kejauhan yang terbawa angin.
“Ada apa sesungguhnya?” batinku. Kedua mataku, masih terus asik menikmati bangunan tua yang pasti adalah karya Bangsa Belanda itu, sebab arsitekturnya memang bergaya Eropa.
Sekilas, tampak gedung megah ini kurang terawatt. Jendela besar berkaca buram, kotor, begitu juga dengan koridor panjang yang melingkarinya. Semuanya terkesan kumuh serta sedikit agak angker. Bahkan, tangga ke lantai atas pun hanya disinari sebuah lampu neon yang cahanya mulai temaram.
Tak sengaja, pandanganku tertuju pada salah satu jendela yang paling kusam di lantai empat. Entah ruangan apa di atas sana. Sepertinya, ruangan itu hanya disinari oleh cahaya redup lampu 10 watt. Seketika itu juga semua pandanganku seakan diselimuti oleh hal yang berbau mistis, seolah-olah ada sepasang mata yang sedang bergerak mengawasiku dari atas sana.
“Mungkinkah penunggu gedung tua ini sedang mengawasi gerak-geriku,” bisiku dalam hati.
Lalu, segera kuabaikan pikiran itu. Kumantapkan tekadku yang ingin bekerja untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidupku.
“Tunggu sebentar lagi ya, Mas. Bos masih ada urusan. Mohon maaf agak lama menunggu.”
Suara merdu wanita muda mengagetkanku. Rupanya, tidak terasa aku sudah satu jam lebih menunggu untuk mendapat giliran masuk wawancara.
Ketika giliranku masuk, ternyata bos besar itu sedang menyantap makan siang dengan sangat rakusnya. Mulutnya dipenuhi makanan, kedua pipinya belepotan bumbu lauk-pauk, sementara kedua tangannya sibuk menyendok makanan dan memilah buah-buahan pencuci mulut yang ada di atas meja, seolah tak mempedulikan kehadiranku.
Aku kembali terpana melihat caranya makan. Hampir menyerupai seekor binatang buas yang baru saja mendapat mangsa. Aneh, bukankah dia seorang bos besar yang memiliki perusahaan bertaraf internasional? Tapi mengapa cara makannya seperti orang kelaparan?
“Ayo, silahkan duduk!” katanya menawariku. Lamunanku pun terputus. Dengan sungkan, aku segera duduk di depan meja kerjanya.
Sambil mencuri-curi pandang, kucoba amati keadaan ruang kerja sang bos. Sungguh aneh, ruangan besar itu hampir dipenuhi oleh umbo rampe (sesaji) yang sudah kering. Bahkan, nampak buah-buahan sesaji yang mulai membusuk hingga airnya menetes mengotori dinding serta karpet lantai. Aneka kue jajanan menjamur diatas meja. Tampak juga beberapa dupa yang masih menyala hingga asapnya memenuhi tiap sudut ruangan. Tak hanya itu, pada dinding serta langit-langit ruangan bergelantungan aneka jimat hingga menambah keunikan ruang kerja ini.
Kembali aku dibuat semakin takjub, manakala pandanganku mengarah pada sebuah patung besar setinggi hampir 2 meter yang dikelilingi banyak sesaji. Patung ini berdiri tegak disudut ruangan yang agak gelap. Aneh, siapakah laki-laki di depanku ini sebenarnya?
Saat bertanya jawab denganku, ternyata si bos ini memiliki sebentuk wajah yang agak aneh. Matanya menyerupai mata iblis seperti di film film animasi, sementara kedua alisnya naik ke atas bak alis para pendekar silat. Saat tersenyum pun dia lebih mirip menyeringai daripada senyuman, sembari memperlihatkan deretan giginya yang kotor serta tidak terawatt, bahkan masih dipenuhi sisa sisa makanan.
Sekalipun sangat aneh dan mengganggu pikiranku, namun aku terpaksa harus mengabaikan semua ini. Ya, demi mendapatkan sebuah pekerjaan!
Singkat cerita, aku memang diterima bekerja di kantor tersebut….
Setelah beberapa lama bekerja, baru kusadari kalau aku sebenarnya cuma jadi umpan kawan-kawan sekantor yang enggan lembur pada setiap kamis malam atau malam Jum’at. Ada apa sebenarnya?
“Hati hati dengan yang ada dilantai empat, Man!” bisik Larno, salah seorang teman sejawat yang baik padaku.
Aneh, peringatan ini bukan hanya datang dari Larno. Bahkan Pak Ishak, penjaga malam di gedung ini juga telah memperingatkanku agar tidak mencoba-coba naik ke lantai empat sendirian apabila hari telah gelap.
“Kamu pasti celaka, Nak!” tegasnya ketika aku meminta alasan larangan itu. Dia menambahkan, “Aku saja yang sudah 18 tahun bekerja disini tidak berani pergi kelantai empat sendirian, terlebih lagi malam hari.
Mulanya, aku tak serius menanggapi cerita-cerita itu. Hingga suatu malam, terjadilah peristiwa itu….
Malam itu, jarum jam telah menunjukan pukul 19.30. Hampir seluruh ruangan telah kosong. Suasana mendadak senyap, bahkan kemudian berganti angker. Di luar sana angin berhembus kencang disertai deru hujan.
Sendirian aku duduk terpaku di meja kerja ditemani dengan setumpuk tugas yang belum rampung. Aneh, tiba-tiba pikiranku melayang ke ruang sepi di lantai empat. Kulirik ruang sepi yang bersinar redup itu. Sepertinya, dari arah sana akan memunculkan satu bayangan, bahkan mungkin sesuatu yang mengerikan.
Aneh, tiba tiba sekelebat bayangan wanita tua melintas. Aku segera bangkit mengejarnya. Kucoba berjalan menuju munculnya bayangan tadi. Tapi, aku tak menumukan siapa-siapa.
Aku yakin telah melihat bayangan seorang nenek. Perempuan renta itu jalan tertatih tatih. Anehnya, dia menghilang di lorong gelap menuju lantai empat? Siapa gerangan perempuan tua berbaju kumal itu?
Bukannya merasa takut, kejadian ini justeru membuatku semakin penasaran. Segera saja kutelusuri lorong sepi yang terbentang panjang di depanku, sambil berharap sesosok nenek itu muncul lagi. Anehnya, tiba tiba terdengar suara perempuan sedang bercakap cakap di ujung koridor gelap ini. Siapa gerangan? Apa mungkin masih ada seorang staf wanita yang sedang menerima telepon?
Ketika aku dalam kebingungan, jantungku nyaris copot sebab tiba tiba ada sebuah tangan yang merengkuh bahuku. Ketika aku menoleh, di hadapanku telah berdiri seorang wanita muda. Dia tersenyum dingin sambil menyodorkan segenggam kertas.
“Mencari siapa, Mas?” tanyanya datar, disertai raut wajah dingin tanpa ekspresi.
Aku diam tergugu. Wanita itu kembali berkata, “Tolong fotocopy semua dokumen ini. Bisa kan?”
“Oh, tentu bisa!” jawabku pendek. Bulu kudukku meremang. Dalam hati aku bertanya, “Perempuan ini staff di bagian apa? Kok aku belum pernah melihatnya.”
“Ini dokumen penting, tidak semua orang bisa tahu!” katanya lagi.
Sambil berusaha menenangkan diri, aku menyahut, “Wah, kalau begitu saya jadi tahu dong, Mbak. Kan saya yang bantu fotocopynya!”
“Ini cuma daftar nama orang yang disuruh berkorban di sini, sekalipun mereka menolak. Ah, kasihan sekali mereka!” katanya lagi.
“Berkorban? Maksudnya untuk apa?” tanyaku, penasaran, sembari terus membolak balikan dokumen itu.
“Darah mereka!” jawabnya dengan suara yang agak tertahan.
Aku kaget bukan kepalang. Seketika pandanganku berubah gelap. Dan, ketika terang kembali, kulihat dia sudah menghilang. Lalu, sama-samar terdengar suara alunan pendek perempuan menyanyi dari arah lorong sepi ini.
Segera kuambil langkah seribu, setelah lebih dulu melemparkan kertas yang disebut dokumen tadi. Kubanting pintu dengan kencang. Aku lalu terduduk di depan meja kerjaku sambil mengatur nafas yang memburu tak karuan.
***
Gara-gara peristiwa ganjil itu, rasa penasaranku semakin bertambah. Apalagi, pagi setelah malamnya aku bertemu dengan sosok perempuan misterius itu ternyata ada karyawan yang meninggal. Apakah ini ada hubungannya dengan statemen perempuan misteruis itu?
Belakangan, aku memang melihat ada kejanggalan. Bila dihitung, hampir setiap minggu, satu persatu rekan kerja atau sanak saudara mereka ada saja yang meninggal. Menurut beberapa pegawai senior, setiap yang meninggal raut wajah mereka menyiratkan ada satu hal yang tidak wajar. Kabarnya, wajah jenazah tampak menghitam, punggung, tangan serta kakinya terdapat memar kebiruan, dan mata mereka terbuka, dengan rona wajah mereka seolah habis melihat sesuatu yang amat menakutkan.
Pernah juga terjadi sebuah peristiwa lucu namun menyeramkan. Suatu hari, ada salah seorang menejer di kantor ini yang kerasukan roh seorang perempuan muda. Sang roh mengaku bernama Karissa. Dia telah mati karena bunuh diri 100 tahun silam.
Lucunya, sang menejar yang bertubuh tambun dan galak itu, tiba tiba dapat berjalan sangat gemulai laksana perempuan. Tak hanya itu, suaranya juga berubah lembut khas wanita muda.
Nah, dari celoteh Karissa-lah cerita yang sebenarnya bergulir. Termasuk tentang para korban mahluk di lantai empat.
Karisasa yang meminjam mulut Pak Wahono, sang menejer itu, bercerita bahwa bos besar kami yang bernama Pak Paulus itu telah meminjam arwahnya sebagai budak suruhan untuk mendapatkan harta. Bahkan, untuk mengikat jiwa sesorang yang dia kehendaki untuk ditaklukan.
Arwah Karissa juga mengaku bahwa pada hari-hari tertentu dia akan diberi “suguhan khusus” oleh majikannya. Selain umbo rampe dan dupa wangi, dia juga menghisap sari makanan langsung dari perut Pak Paulus. Syaratnya, Pak Paulus harus memakan tiga jenis makan kesukaan Karissa dalam jumlah amat banyak. Mungkin, inilah yang menyebabkan kenapa Pak Paulus pernah kulihat makan dalam jumlah banyak dan nampak sangat rakus.
Aku juga pernah melihat dukun kepercayaan Pak Paulus datang ke lantai empat untuk mengadakan ritual semalam suntuk. Setelah itu, beredarlah cerita dari mulut orang dekatnya, bahwa Pak Paulus segera akan memecat beberapa orang karyawan, sebab menurut sang dukun mereka tidak cocok dan harus dienyahkan.
Yang terjadi selanjutnya, setelah kedatangan dukun itu, suasana di dalam kantor jadi makin kacau. Seringkali terjadi keributan diantara staff dan karyawan. Sejumlah peristiwa aneh juga terjadi. Mulai staff kerasukan, mengalami kecelakaan fatal hingga cacat, bahkan yang meninggal pun ada.
Selain itu, bisnis di perusahaan yang bergerak dalam industri garmen ini menjadi tersendat-sendat. Banyak hasil produksi yang tidak laku dijual bahkan dikembalikan karena rusak. Padahal, semua barang produksi yang dikirim ke costumer dalam keadaan baik tanpa cacat.
Kondisi semacam ini membuat pikiranku jadi tidak karuan. Hingga, pada suatu malam, ketika semua staff dan karyawan telah meninggalkan ruang kerjanya masing-masing, tinggalah aku sendiri tercenung di meja kerjaku. Ketika aku sedang membereskan dokumen yang masih tercecer, tiba tiba saja ada angin dingin menyapu pundakku.
Tidak berapa lama, samara-samar terdenar suara perempuan yang seolah sedang merapal doa. Seketika itu rasa takut di dalam hatiku muncul. Terlebih lagi, lama kelamaan suara itu semakin keras terdengar, meski tidak jelas mantra apa yang sedang dilantunkannya. Walau begitu, kucoba memberanikan diri bangkit lalu berjalan ke arah datangnya suara itu.
Kubuka pintu koridor ke lantai tiga, yang kuduga menjadi sumber suara. Seketika tercium semerbak wangi bunga sedap malam, serta aroma rokok klobot. Kuhentikan langkah untuk sekedar mengatur nafas, sambil menenangkan hatiku yang mulai dihantui rasa takut.
Hatiku pun kecut bukan main ketika sadar bahwa langkah ini telah sampai di trap tangga terakhir dari sepuluh anak tangga menuju ruangan laknat di lantai empat itu.
Sementara itu, suara rapalan mantera si perempuan semakin keras terdengar, diselingi oleh aroma semerbak bunga sedap malam, kemenyan serta anyir darah yang semakin menyengat hidungku.
Sejenak, aku berdiri terpaku di depan pintu kaca kusam yang membatasi pandanganku ke ruangan bagian dalam. Kaca patri bermotif burung elang membingkai sehelai pintu ruang laknat penuh misteri ini. Tanganku bergetar tak sabar ingin membuka pintunya.
Kudorong perlahan. Suara berderit engselnya seolah genderang perang yang memukul jantungku. Saat aku melangkah tertatih di dalam suasana temaram, aku mengenali gerak gerik sesosok mahluk besar kehitaman di bawah temaram lampu 5 watt. Kakiku pun terasa lemas! Sungguh, aku benar-benar melihat bagaimana makhluk itu sambil menggeram terus menggerogoti mangsanya dengan rakus.
Dalam keadaan sangat takut, aku mengenali kalau ternyata mahluk itu wujudnya separuh srigala separuh manusia. Dia sedang mengoyak-ngoyak sepotong daging merah dengan kuku hitam tajamnya .
Pes! Aneh, tiba tiba lampu di dalam ruangan itu padam. Aku terkejut dan hampir tidak bisa menguasai diri lagi. Bau anyir darah busuk itu sangat menyesakkan dada, hingga kepalaku pusing. Suara dengusan srigala besar yang menggeram dengan marah menghentak jantungku!
Dalam ruangan gelap itu aku tidak dapat berbuat apa-apa, selain membalikan badan menghambur keluar ruangan. Tapi binatang iblis itu tidak tinggal diam. Dia berusaha menangkpuku. Akupun terdorong keluar dari ruangan itu. Di ruangan yang lebar terang ini, aku cukup jelas melihat wajah serigala aneh itu, dengan seringai gigi tajamnya yang belumuran darah.
Akupun berteriak sekuat tenaga. Tidak sadar, kakiku terpeleset. Tubuhku terpelanting jatuh berguling guling menuruni anak tangga sampai ke lantai. Tak ayal lagi seluruh sendi di badanku terasa patah. Kepala ku pusing berat, Bersamaan dengan itu, di telingaku kembali terngiang suara perempuan pembaca mantera tadi. Sambil menahan sakit, aku segera berlari meninggalkan ruangan….
Seminggu setelah kejadian itu, suatu siang aku sedang merapikan beberapa barang yang tertumpuk di koridor gelap depan ruangan. Pak Paulus muncul dengan tiba tiba. Dia berjalan ke arahku dengan rona wajah yang tidak bersahabat. Aku segera aku bangkit untuk memberi salam. Tidak diduga dia malah mengancamku dengan kata-kata yang tidak mengenakan hati.
“Hei you!” katanya sambil menunjuk wajahku. “Gua orang kaya raya, gua ada uang banyak, ribuan setan, arwah leluhur bahkan jin manapun sudah gua panggil dan gua tundukkan, apalagi cuma you manusia kecil!” cecarnya dengan nada sinis.
“Gua, kasih you peringatan! Mahluk besar di lantai empat adalah pelindung gua, seluruh harta gua dia yang jaga, dia amat kuat luar biasa, tidak akan ada yang bisa kalahkan dia punya kekuatan!” bentaknya lagi.
“Karena mahluk mahluk itu gua jadi punya kekuatan besar lebih dari orang lain! Asal you tahu aja ya, gua gak bisa mati!!” lanjutnya dengan jumawa.
“So, jadi you jangan coba-coba ganggu dia punya tempat, apalagi you mau jadi pahlawan kesiangan di sini!” hardiknya pula.
“Kalau you masih butuh makan, you duduk en kerja baik baik seperti si bego lainnya atau you out saja dari sini!” kejarnya lagi sambil telunjuknya terus mendorong keningku keras-keras. Setelah itu dia pergi sambil masih terus mengumpat dengan kata-kata yang sangat kasar.
Penghinaan Pak Paulus memang sungguh menyakiti perasaanku. Harga diriku telah diinjak-injak olehnya. Namun, bukan ini alasan utamaku untuk berhenti bekerja. Demi Tuhan, sejak peristiwa malam itu, bayangan menyeramkan sosok srigala berbadan manusia itu selalu menghantuiku. Bahkan, dengus nafasnya yang berbau busuk itu serasa begitu dekat dengan hidung dan telingaku.
Walau aku sangat membutuhkan pekerjaan, namun kuputskan untuk segera hengkang dari kantor itu. Dan hari itu, aku kembali duduk di sofa depan ruangan Pak Paulus, menunggu giliran masuk seperti tempo hari. Tapi kali ini bukan untuk mengemis minda dipekerjaan, namun aku akan menyerahkan surat pengunduran diri resmi.
Tak lama kemudian aku diizinkan masuk. Ketika berhadapan dengannya, sedikitpun aku tidak mau melihat wajahnya yang amat serupa dengan iblis srigala di lantai empat itu. Sembari mejawab pertanyaannya, dalam hati kupanjatkan doa-doa pendek, serta berusaha tetap menjaga kesadaran pikiranku, agar tidak terpengaruh jampi-jampi lewat tatapan matanya yang tajam menusuk itu.
Sambil disertai dengan sumpah serapah dari mulut Pak Paulus, aku segera keluar meninggalkan ruangannya. Dengan nama Tuhan, aku segera tinggalkan kerajaan setan itu untuk kembali ke kehidupanku yang normal.
Demikianlah sepenggal kisah yang pernah kualami. Sejak 2 tahun meninggalkan perushaan itu, tak pernah sekalipun kudengar kisahnya. Entah apa yang terjadi dengan teman-temanku yang masih coba bertahan di sana. Kabarnya, perushaan garmen itu sudah di ambang kebangkrutan. Pak Paulus sendiri disebut-sebut lebih senang tinggal di villanya yang ada di Seminyak, Bali.
TERDAMPAR DI KERAJAAN GAIB LAUT SELATAN
Petualangan di pantai Bandealit yang angker itu benar-benar membuatnya jera. Dia terjebak di sebuah kerajaan gaib yang dihuni oleh wanita-wanita sangat cantik. Siapa mereka sebenarnya…?
Namaku Hengki, usia 25 tahun. Salah satu kegemaranku adalah jalan-jalan menikmati keindahan alam, baik itu pegunungan maupun pantai. Sudah banyak tempat yang kukunjungi. Bahkan, sejumlah gunung di Jawa, seperti Gunung Semeru dan Bromo telah aku jelajahi. Demikian pula beberapa kawasan pantai yang legendaris pernah kujamah dengan tanganku.
Rasanya ada kepuasan tersendiri yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Dengan kegemaranku bertravelling telah banyak memberiku pengalaman baru, teman-teman baru, dan harapan-harapan baru. Tapi, aku tidak sendirian melakukan semua itu. Ada 8 orang teman yang selalu bersama dan kompak dalam mewujudkan kegemaran tersebut.
Umumnya, kami melakukan pendakian ke gunung, atau berkemah di sekitar pantai. Kegiatan ini terutama sekali kami lakukan saat kami liburan kuliah. Maklum, semua gengku adalah mahasiswa yang kuliah di berbagai perguruan tinggi. Ada yang kuliah di ITN Malang, ITS Surabaya, UMM Malang, Unesa Surabaya, dan aku sendiri di STIE Mandala Jember.
Suatu kali, kami mengadakan plesir ke pantai Bandealit. Hampir semua orang tahu, kalau pantai yang satu ini masih perawan dan penuh dengan misteri. Disamping jarang dirambah orang, pantai Bandealit beserta hutannya dihuni oleh manusia-manusia kerdil yang sulit dilacak keberadaannya, juga binatang buas masih banyak yang berkeliaran.
Sebagai orang-orang yang masih berjiwa muda, kami tertantang untuk menaklukkan keganasan pantai Bandealit. Dengan diantar beberapa petugas dari Perum Perhutani, kami menelusuri hutan yang masih perawan lewat jalan setapak. Hutan lindung ini ternyata memang benar-benar sangat lebat dan belum terjamah oleh tangan-tangan kotor.
Bunga anggrek banyak bertebaran di atas batu, pohon, dan di lereng-lereng bukit dengan berbagai aroma dan warna yang sangat indah sekali. Sayang, petugas Perhutani dan Pelindung Alam melarang kami memetik anggrek tersebut.
Hampir setengah hari kami berjalan naik turun bukit. Karena saking lebatnya pepohonan, sinar matahari tidak bisa menerobos tubuh kami.
Sesampainya di bibir pantai, kami segera memasang tenda, karena hari memang telah petang. Setelah itu, kami santai menikmati petang dengan minum kopi hangat dan makan mie instant. Tiga jam kemudian, malam tiba. Anak-anak ada yang main kartu di dalam tenda, ada juga yang memancing sambil duduk-duduk di atas batu karang.
Kebetulan sekali, malam itu purnama bersinar sempurna. Rasanya damai sekali berada di tengah-tengah alam yang masih asri.
Karena keadaan alamnya yang demikian permai, kami betah berkemah di lokasi pantai ini. Namun, sewaktu memasuki malam ketiga, aku mengalami suatu keanehan yang sulit diterima nalar.
Malam itu, sekitar pukul 12 malam, aku tidak bisa tidur. Kulihat di sisi kiriku Arman, tertidur dengan pulas. Kulihat pula di sisi kananku Andi juga tertidur ngorok.
Karena kesal sendirian, perlahan-lahan aku keluar dari tenda. Entah kenapa, betapa takjubnya aku melihat pemandangan alam dan air laut yang mengkilat diterpa sinar rembulan.
Ya, malam itu aku berdiri sendirian menghadap laut lepas. Angin malam benar-benar terasa segar dan tenang. Ombak pun berdebur ramah, menghadirkan irama alam yang menyegarkan pikiran.
Namun, laut yang semula tenang, tiba-tiba berubah seperti mengamuk. Ombak datang bergulung-gulung menjilati pantai Bandealit, disertai gemuruh angin semula ramah namun kini berhembus tak tentu arah.
Tapi yang jauh lebih aneh adalah diriku. Entah bagaimana, aku tidak merasa takut atau panic dengan perubahan alam yang sepertinya marah itu. Malahan, aku tetap saja asyik duduk-duduk menikmati kebesaran Sang Pencipta Alam.
Dari jarak sekitar 100 meter, kulihat tenda yang dihuni teman-teman tidak ada yang terbuka, pertanda semua penghuninya masih tetap tertidur pulas. Sementara itu, gulungan ombak yang menghempas pantai semakin mengganas. Bahkan, tiba-tiba suasana pantai jadi mendung dan gelap. Tak ada sinar purnama yang semula permai. Sementara, cahaya yang nampak di pantai itu hanya lampu listrik baterai dari dalam tenda teman-teman yang terlihat berkelap-kelip di kejauhan.
Aku sendiri tidak tahu siapa saja yang masih di pantai selain diriku. Namun aku sendiri, saat itu tidak memperdulikan hal itu. Yang terpikirkan hanya menikmati malam.
Deburan ombak pantai masih terus bergulung-gulung seperti alunan musik memecah kesunyian malam. Ketika asyik menikmati suasana sekitar, mendadak aku dikejutkan oleh suara yang sangat asing di telingaku. Ya, suara itu seperti langkah kuda yang menarik kereta diiringi gemerincing klintingan yang biasanya menghiasi leher kuda.
Secara reflek, aku memalingkan wajah ke arah laut lepas tempat asal suara aneh itu muncul. Kembali aku merasakan keanehan. Wujud kereta dan kuda tidak ada. Yang kulihat hanya deburan ombak yang menyapu pantai.
Setelah itu, kembali suasana menjadi sunyi dan sepi. Keheningan menyelimuti pantai Bandealit.
Merasa tidak ada sesuatu yang terjadi, aku kembali bermain air dengan jari-jari kakiku. Namun, belum sempat aku memanjakan kakiku dengan air laut, lagi-lagi aku dikejutkan dengan suara yang sama. Bahkan kali ini, suara tersebut semakin jelas. Suara gemerincing klintingan sampai terasa memekakkan telingaku.
Dengan perasaan berdebar-debar, kuarahkan pandanganku pada sumber suara itu datang. Darahku seketika berdesir diiringi detak jantung berdegup cepat. Bagaimana tidak, kulihat ada suatu keanehan yang sepertinya muncul dari dasar laut. Seberkas sinar yang sangat menyilaukan mata menyemubul di antara gelombang. Dan yang lebih aneh, seperti ada sesuatu di balik cahaya kemilau itu.
Sayangnya, belum sempat aku melihat wujud apa sebenarnya yang ada di balik sinar itu, aku sudah jatuh pingsan. Yang kulihat setelah itu, aku merasa berada di atas kereta kuda dengan pengendalinya seorang wanita cantik, sementara itu disamping kiri dan kananya ada beberapa wanita yang sepertinya turut menjagaku.
Aku berusaha berontak dan berteriak, tapi aku tidak bisa mengeluarkan suara. Hingga akhirnya aku pasrah.
Tidak lama kemudian, pemandangan yang kulihat benar-benar membuatku terpesona dan keheranan. Kereta berhenti di suatu tempat yang sangat terang dan indah. Orang di sekelilingku hampir semuanya wanita dengan pakaian ala kerajaan. Ada juga kaum lelaki, tetapi mereka selalu di belakang para wanita itu, dan mereka selalu siap menunggu perintah.
Setelah lama berada di ruangan yang sangat indah dan sulit digambarkan itu, tiba-tiba muncul seorang wanita bermahkota. Sepetinya wanita ini adalah pemimpin dari para wanita yang membawaku. Dengan tatapan matanya yang tajam, namun kurasakan sejuk saat beradu pandang, wanita itu angkat bicara memberi tawaran padaku.
“Cah bagus, maukah kamu menjadi suami dari anak-anakku yang cantik-cantik itu? Kalau kamu mau, aku siap memberikan harta kekayaan yang melimpah padamu.”
Aku tdiak segera menjawabnya. Memang, kulihat ada sekitar 10 wanita cantik yang duduk berjajar di belakang wanita bermahkota itu. Dan rasanya aku tidak mungkin menikahi wanita-wanita cantik itu sekaligus. Dengan halus aku menolak mentah-mentah permintaan konyol itu.
Dalam benakku berkecamuk, pikiran yang susah diterjemahkan, karena aku masih merasa sangat aneh. Meski beberapa kali aku dibujuk agar mau mengawani 10 wanita cantik tersebut, aku tetap bersikukuh dengan pendirianku. Walaupun aku diiming-imingi harta yang tiada tara jumlahnya.
Karena aku tetap menolak, tiba-tiba aku ditendang, bahkan kemudian dicambuk oleh wanita-wanita cantik tadi. Yang tak kalah aneh, kecantikan yang semula terpancar di wajahnya berubah seram. Tiba-tiba wajah wanita-wanita cantik itu mengeluarkan taring dan sekujur tubuhnya bersisik seperti ular.
Bau anyir dan tubuh berlendir benar-benar membuatku mual. Ya, wanita-wanita tadi telah berubah menjadi ular berbisa yang kemudian melilit sekujur tubuhku. Pemimpin wanita tadi juga telah berubah menjadi ular bermahkota.
Aku berusaha untuk menguatkan diri. Tidak lupa aku berdoa dan menyebut asma Allah SWT berkali-kali agar aku bisa selamat dari marabahaya, dan kembali pada keluargaku. Hingga akhirnya aku jatuh pingsan lagi.
Kejadian berikutnya, aku ditemukan seorang nelayan mengapung di tengah lautan dengan pakaian yang sudah compang-camping. Tapi, anehnya sekujur tubuhku masih utuh dan segar. Nelayan yang belakangan aku ketahui bernama Pak Dirjo ini rupanya segera membawaku ke darat dan menyerahkan jasadku pada sesepuh Desa Bandealit.
Kabar tentang penemuan jasadku benar-benar membuat penduduk Desa Bandealit yang hanya beberapa KK jumlahnya itu jadi gempar. Begitu juga dengan kedua orang tuaku yang segera dihubungi oleh Polisi setempat. Teman-teman yang ikut pergi bertravelling juga turut serta datang satu mobil dengan kedua orangtuaku.
Kejadian ini benar-benar luar biasa sekali. Sebab, bagaimana mungkin jasadku tetap utuh bila mengapung di tengah laut selama satu minggu.
Ketika aku siuman dari tidur panjang yang aneh itu, aku pun benar-benar merasa takjub atas kejadian ini. Bagaimana mungkin aku bisa hidup mengapung di atas air laut selama seminggu, dan perasaan aku hanya sebentar tertidur.
“Kamu tidak usah bingung. Dunia gaib dan alam nyata memang sangat berbeda. Yang patut kita syukuri sekarang, kamu bisa kembali ke dunia ini dengan selamat. Dan itulah kebesaran Allah yang patut kita syukuri,” kata sesepuh desa Bandealit.
“Lalu siapakah mereka yang telah menyanderaku?”
“Mereka adalah penguasa laut selatan, dan kamu telah terdampar di kerajaan laut selatan tersebut.”
“Alhamdulillah, sekarang kamu telah kembali ke dunia nyata. Padahal Ibu dan ayahmu, juga semua keluarga kita, telah mengadakan tahlillan hari ke tujuh,” ucap Ibuku dengan linangan air mata.
Aku tertegun dan menatap kesedihan Ibu. Lalu aku memeluk Ibu dengan hangat dan erat. Aku berjanji dalam hati, tak akan membuatnya was-was dan khawatir lagi.
Sejak peristiwa itu, aku tidak lagi senang pergi ke tempat yang aneh-aneh. Apalagi, kini di sampingku sudah ada wanita cantik yang menjadi isteri syahku, dan telah memberiku seorang anak. Yang jelas, wanita satu ini bukan wanita siluman seperti di kerajaan laut selatan dulu. Jadi, karena itulah aku sangat mencintainya.
Misteri Pulau Marundang
Bagi kapal-kapal yang akan sandar di Pelabuhan Pontianak, kemungkinan besar akan melewati pulau ini. Ya, pulau Merundang! Konon, pulau ini dihuni oleh hantu. Benarkah? Berikut kesaksian salah seorang ABK kapal kargo yang pernah mengalami kejadian sangat aneh sekaitan dengan pulau Marundang…
Selepas Maghrib, kapal kargo Ratu Rosali meninggalkan pelabuhan Pontianak. Sesuai rencana, kapal ini akan berlayar menuju negeri jiran, Malaysia. Kapal yang sarat muatan ini berlayar tenang meninggalkan Dermaga Teluk Air, tempat Ratu Rosli sebelumnya ditambatkan. Senja itu, cuaca cukup cerah. Sesuai dengan ramalan cuaca yang diinformasikan oleh pelabuhan, hari itu ombak laut memang akan jinak, tanpa gejolak berarti.
Pulau demi pulau dilalui Ratu Rosli tanpa rintangan. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba mesin kapal mengalami kerusakan. Kapal berhenti, terombang-ambing ditengah laut. Karena kerusakan mesin tidak dapat diperbaiki dengan cepat, maka tak ada pilihan lain. Ratu Rosli terpaksa buang jangkar.
Bila kapal mengalami kerusakan, sebagai bagian dari kru kapal, tentunya akupun ikut panic. Terlebih kapten kapal kargo yang akrab disapa Pak Chief itu. Maklum saja, keterlambatan akan menimbulkan komplain dari pemilik barang. Mereka tak pernah mau mengerti bila kapal tiba ditujuan. Bahkan akan jadi boomerang bagi pemilik kapal, sebab kepercayaan pelanggan ternodai.
Ternyata mesin kapal mengalami kerusakan fatal. Kruk as patah dan tak bisa difungsikan lagi. Sementara onderdil cadangan tidak ada.
Karena keadaan ini, keesokan harinya, Pak Chief terpaksa kembali ke Pontianak dengan menumpang kapal nelayan yang kebetulan akan pulang.
Tak ada yang mesti dikerjakan selama Pak Chief berada di darat. Para ABK menghambur-hamburkan waktu percuma, atau paling-paling memancing cumi-cumi.
Pemandangan laut yang menoton memang membuatku jenuh. Akhirnya aku beranjak masuk ke dek. Anehnya, malam itu aku gelisah. Setiap ruang sepertinya tidak membuatku nyaman. Berdiri salah, duduk apalagi.
Setelah cukup lama berbaring di kamar, rasa kantuk pun menyerang. Beberapa saat kemudian aku terlelap.Dan, entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba seorang wanita hadir dalam mimpiku. Bibirnya yang padat berisi itu menyunggingkan senyuman yang begitu mempesona.
Wanita cantik itu mengenakan gaun malam warna perak. Langkahnya gemulai, anggun bak peragawati di atas cat walk. Lekuk tubuhnya, amboi, indah sekali!
Sesekali dia menebar pandang ke seantero ruangan. Dan sesekali pula dia melirik genit kepadaku. Sesaat kemudian dia menghentikan langkahnya. Berdiri mematung dekat jendela yang memang sengaja dibiarkan terbuka. Rambut panjangnya terurai menutupi leher jenjangnya, melayang-layang liar dipermaikan angin yang berhembus semilir.
Sebagai seorang pelaut yang jarang bertemu perempuan, apa perempuan secantik dirinya, maka aku pun langsung tersihir oleh kecantikannya. Jantungku berdebar tak beraturan. Betapa ingin aku menyapanya, namun lidahku terasa kelu.
Entah berapa lama pandanganku tetap menancap padanya. Bidadari itu belum juga beranjak dari jendela. Namun, seketika rasa takjubku berubah menjadi takut. Entah mengapa, perempuan itu menatapku dengan tajam, dengan sorot matanya yang penuh dengan bara kebencian. Tatapannya berubah nanar, persis singa betina lapar yang ingin menerkam mangsanya. Sangat mengerikan!
Seolah tak peduli pada ketakutanku, perempuan itu merentangkan kedua tangannya yang dipenuhi bulu-bulu halus. Ya, dia sepertinya ingin terbang ke luar jendela. Tapi, tidak! Secepat kilat dia malah menghampiriku dan langsung mendekapku.
Dalam dekapanya, aku sulit bergerak. Nafasku tercekat. Anehnya, tubuh wanita cantik ini berbau seperti kemenyan. Sangat menyengat. Aku meronta, berusaha melepaskan diri. Lalu aku berteriak keras. “Lepaskan aku! Tolooong…!”
Anehnya lagi, kenapa Very, teman sekamarku tidak lekas membantuku? Padahal posisinya tepat di sisiku. Bahkan tubuh kami nyaris bersentuhan diatas dipan untuk dua orang ABK. Kalau pun akhirnya ia bangun lebih dulu, mungkin karena mendengar gumam tak jelas, atau tersenggol tubuhku yang bergerak tak terkendali.
“Hei..Man bangun!” teriaknya sambil mengguncangkan tubuhku.
Aku tersentak, dan kembali ke alam nyata. Spontan aku amat lega terlepas dari beban menyiksa dari mimpi yang menakutkan itu.
Very menyeringai melihatku masih ketakutan. Dia juga tampak tegang. “Mimpi seram ya, Man?” Tanyanya. Dia mengingatkanku agar membaca Bismillah sebelum tidur, kemudian memberiku segelas air mineral.
“Mimpinya aneh,” ujarku setelah menenggak air mineral sampai habis.
“Memangnya mimpi apaan sih, sampai kamu berteriak-teriak seperti orang sekarat?” tanya Veri.
“Menyenangkan tapi menakutkan Ver. Seram!” jawabku, Lalu kuceritakan isi mimpiku.
“Berarti makhluk itu penghuni pulau Marundang? Mengapa baru sekarang? Padahal sudah seminggu kita lego jangkar di sini,” ujar Very setelah mendengar ceritaku, sambil mengernyitkan dahinya,
Aku memang baru mendengar apa yang disebut Veri sebagai Pulau Marundang itu. Anehnya, nama pulau ini sepertinya berhubungan dengan wanita yang hadir dalam mimpiku.
Selepas mimpi itu, aku memang sulit memejamkan mata. Bahkan, sekitar pukul tiga dini hari, melalu jendela, aku menerawang ke kejauhan. Samar-samar pulau yang terletak antara Indonesia dan Malaysia itu tampak diselimuti kabut, terkesan angker. Tiba-tiba bayangan sosok wanita itu kembali mengusikku. Bukan kecantikan atau senyumnya, melainkan sorot matanya yang menakutkan. Hih, bulu kudukku berdiri.
“Sudahlah, lupakan saja, Man! Mimpi kan hanya bunga tidur. Jangan terlalu dipikirkan kalau kau selalu mengingatnya, nanti kesurupan lho!” Very menepuk bahuku.
Dua hari kemudian, kekhawatiran Very terjadi. Menjelang sore, aku merasakan perubahan yang aneh. Sosok wanita itu kembali mengusik ketenganku. Sudah kupaksakan agar bayangannya enyah dari ingatanku, tetapi tak bisa.
Apa yang terjadi selanjutnya menimpa diriku? Semuanya diceritakan oleh Very, karena aku memang sama sekali tidak menyadarinya. Beginilah kisahnya…:
Setiba dari Pontianak, Pak Chief kaget mendengar suara gaduh dari kamarku. Dia penasaran, karena selama ini belum pernah melihatku bikin ulah. Mendapati aku dirubungi para ABK, karuan Pak Chief keheranan. Saat itu, aku bukanlah diriku lagi. Rupanya, makhluk itu telah menguasaiku.
Pak Chief, juga teman-temanku ABK yang lain, ketakutan melihatku terus cekikikan, dengan mata melotot sambil menceracau tak jelas. Pak Chief berusaha menenangkanku.
“Siapa kau ini, laki-laki atau perempuan?” tanyanya. Sementara itu, para ABK saling berpandangan, penuh harap menunggu jawaban. Mereka ketakutan saatku pelototi bergantian.
Bukan jawaban yang didapatkan didapatkan dari mulutku yang kerasukan itu. Menurut cerita Very, aku malah menampar keras pipi kiri Pak Chef.
Sontak saja lelaki bertubuh gempal ini jadi berang. Lima ABK yang mendapat perintah langsung darinya segera memegangi tangan dan kakiku. Namun, mereka kewalahan, sebab aku terus berontak dengan tenaga kuat luar biasa.
Merasa khawatir akan keselamatanku, takut aku mencebur diri ke laut misalnya, atas perintah Pak Chief, kemudian aku diikat pada pilar di tengah ruangan. Ikatannya sangat kuat, dengan menggunakan tali sebesar jari kelingking orang dewasa.
Kata Very, aku memang tak bisa berkutik lagi. Tubuhku langsung terkulai menyatu dengan pilar itu. Suasana kapal pun berubah tenang, dengan demikian para ABK, khususnya bagian mesin bisa lebih berkonsentrasi memperbaiki kerusakan mesin.
Keputusan Pak Chief memang kejam, namun tepat. Hal itu merupakan wujud dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin. “Sebelum sadarkan diri, jangan lepaskan tali ini. Tolong awasi dia!” katanya dengan tegas, seperti yang ditirukan Very.
Sejurus kemudian, Pak Chief pergi menuju ruangan mesin. Dua orang petugas juru mesin mengaku kewalahan, sebab baru kali ini mereka menghadapi kerusakan fatal. Butuh kesabaran ekstra memasang kembali truk as ke dalam mesin. Apalagi onderdilnya masih baru.
Akhirnya, mesin selesai diperbaiki. Anehnya, di saat bersamaan, aku yang semula kerasukan kembali siuman. Pak Chief girang melihatku.
“Sudah sadar kau rupanya?” candanya sembari mengucek-ucek rambutku.
Setelah mesin berhasil dihidupkan dan jangkar ditarik ke haluan, Ratu Rosali pun siap melaju kembali meneruskan pelayaran yang tertunda. Karena truk asnya diganti, kapal melaju lebih kencang dari biasanya, yakni dengan kecepatan 12 mil/jam.
Meskipun aku telah sadar, namun ternyata Pak Chief masih merisaukan keselamatanku. Buktinya, sepanjang perjalanan aku selalu diawasinya. Rupanya, dia khawatir kalau tiba-tiba makhluk itu kembali merasuki tubuhku.
Syukurlah, tak ada kejadian aneh hingga kami sampai di tujuan. Usai bongkar muatan, selama 15 hari di pelabuhan Malaysia, kami kembali berlayar menuju Lampung. Aku tak sabar ingin secepatnya tiba disana. Aku yakin, Marni pasti menantikan kedatanganku yang sudah terlambat lama. Dia wanita sederhana pedagang kopi keliling di pelabuhan. Setiap awak kapal yang bersandar di Lampung, tentu mengenalnya. Bersamanya, aku berharap hidupku lebih berwarna lagi.
Pada saat pelayaran menuju lampang, suatu malam aku sendirian di kamar. Asyik, aku bebas berfantasi tanpa ada yang mengganggu. Aku membayangkan Marni, agar bisa melupakan sosok makhluk jahat itu. Tapi, ya Tuhan, beberapa jam kemudian, aku kembali mendapatkan teror!
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba sosok mengerikan itu sudah berdiri di hadapanku. Dia menampakkan wujudnya yang sangat menyeramkan. Persis Mak Lampir. Gaun malamnya tetap berwarna perak, namun wajahnya tak cantik lagi.
Aku takut setengah mati. Sekujur tubuhku lemas. Ingin berteriak, tapi bibir rasanya terkunci. Ingin lari keluar dari kamar pun tak bisa.
Akhirnya, dengan tubuh gemetar, aku hanya pasrah. Di saat ketakutanku tak tertahan lagi, tiba-tiba dia menghilang. Aku lantas menghambur ke luar kamar, ke ruangan Pak Chief. Aku menemukan ketenangan dan merasa aman. Setidaknya, ada hiburan sementara menunggu pagi. Pak Chief cukup bijak, mengizinkan aku nonton DVD sesukaku di kamarnya.
Kapal bersandar di Lampung pada malam hari. Aku betul-betul kasmaran. Setelah pamit pada Pak Chief, aku menemui Marni yang rumahnya tidak seberapa jauh dari pelabuhan. Gadis sederhan itu amat antusias mendengarkan kejadian aneh yang kualami.
Beberapa saat kami terdiam. Marni menatapku. Entah apa yang dia pikirkan. Kemudian dia memecah kesunyian.
“Sebaiknya , istirahat saja dulu kerja di laut, Kak. Makhluk itu berbahaya! Siapa tahu dia minta korban. Tapi saya hanya menyarankan. Tidak memaksa, lho!” bibir gadis itu bergetar.
Giliran aku diam kebingungan. Mana yang harus kupilih? Masih dua pulau lagi yang akan kusinggahi. Kalau diteruskan, aku akan terus-terusan diteror makhluk sialan itu. Aku tak ingin berlama-lama dalam kebimbangan.
Karena yakin, rasa takut itu berasal dari diriku sendiri, maka kuputuskan meneruskan pelayaran ke pulau Bangka. Keinginan mengundurkan diri kutangguhkan sampai tiba di rute terakhir. Ya, kembali ke Pontianak. Dengan begitu, paling tidak aku bangga akan diriku. Setidaknya aku bukan pelaut pengecut.
Selama bersandar di pulau Bangka, tak ada kejadian aneh. Mungkin makhluk itu telah lupa dan bosan mengusik ketenanganku. Atau mungkin dia sudah berselingkuh dengan ABK lain? Segala sesuatu berjalan wajar hingga selesai bongkar muatan. Setelah itu, pelayaran dilanjutkan menuju Ketapang.
Pagi cerah, laut masih berkabut, sewaktu kapal bertolak meninggalkan pelabuhan Bangka.
Sebagai seorang pelaut aku tahu persis kalau sedari dulu pulau Ketapang memang terkenal nuansa mistinya. Sering kudengar cerita teman yang melihat penampakkan di pelabuhan. Tapi, aku cenderung mengabaikannya.
Tiga hari berlalu, aman di Ketapang. Pak Chief gembira melihatku kembali ceria dan membaur sesama ABK. Seperinya biasanya, kami bersenda gurau melepas penat usai kerja bongkar muatan.
Namun, sungguh aneh, di tengah keceriaan itu, tiba-tiba sekelebat bayangan kembali melintas dalam benakku. Bayangan wanita bergaun perak itu. Tapi, segera kutepis dan langsung mengingat Marni. Demikian kulakukan berulang-ulang kali, sehingga pikiran dan perasaanku mulai ngelantur. Semula aku beranggapan, mustahil makhluk itu kembali mendatangiku lagi karena jarak Marundang – Ketapang terlampau jauh. Tapi nyatanya, dia terus mengikuti dan kembali bereaksi. Kali ini kejadiannya sangat aneh.
Malam itu, hujan masih menyisakan gerimis. Suasana pelabuhan Ketapang tampak lengng. Biasanya, bila cuaca cerah, warga setempat selalu datang meramaikan pelabuhan. Disana-sini biasanya terlihat pasangan memadu kasih, duduk santai di dermaga sambil mengobral janji-janji manisnya.
Tapi, malam itu suasana sepi sekali. Bahkan, sebagian temanku pasti sudah terlelap. Aku belum mengantuk. Aneh, perasaanku serasa sangat galau. Resah. Kusibuk kandiri dengan mempertimbangkan keputusan terbaik setelah tiba di Pontianak nanti. Berhenti kerja di laut, tapi apa yang bisa aku lakukan? Sementara aku tak punya pengalaman kerja di darat?
Angin bertiup kencang dan rasa dingin semakin menggigit. Sebagai perokok kronik, di saat cuaca dingin, aku sangat membutuhkannya. Sial, rokokku tak satu pun tersisa. Aku beringsut ke kamar sebelah. Begitu pintu terkuak, kulihat temanku sudah pulas meringkuk. Rasanya sungkan membangunkan tidurnya. Siapa tahu, mungkin dia tengah mimpi indah.
Kemudian aku langsung meraih sebungkus rokok yang tergeletak di atas meja. Kunyalakan korek api lalu menyulut sebatang. Begitu melangkah ingin meninggalkan kamar, tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku. Spontan bulu kudukku meremang.
Ya, Tuhan! Makhluk itu muncul dari kehampaan. Dia tiba-tiba saja sudah berdiri dengan berkacak pinggang menghadangkan di bibir pintu. Tubuhnya yang langsing itu masih mengenakan gaun malam berwarna perak. Bibirnya tersenyum sinis dengan sorot mata melotot tajam.
Tanpa kuasa menolak, aku mengikuti langkah wanita itu ketika dia menuntun lenganku pergi meninggalkan kapal. Hanya itu terakhir yang kuingat di ambang batas kesadaranku.
Rupanya, tak seorang ABK pun tahu bahwa aku kembali dirasuki dan pergi bersama sosok perempuan misteri itu ke alamnya. Ya, suatu tempat yang sulit diketahui di mana letak persisnya. Sebuah tempat yang sangat asing bagiku, dan bagi siapa pun juga. Mungkin bukan di alam nyata. Yang pasti, panorama alamnya begitu indah dilatari sederetan pohon rindang.
Anehnya, selama dalam pengembaraan itu, yang kurasakan bukannya malam hari, tetapi suatu sore saat matahari akan tenggelam. Cuaca redup menyejukkan. Seluas mata memandang, yang kulihat hanyalah hamparan pemandangan menakjubkan.
Setelah cukup lama berjalan, akupun merasa lelah. Aku mengajaknya duduk di tepi sebuah telaga. Wanita itu berdiri membelakangiku. Sementara aku tak berkedip memandangi ikan-ikan beraneka warna yang terus berenang berseliwaran di dalam telaga yang sangat bening. Karena kelelahan, aku bersandar pada pokok pohon mati ditepi telaga itu. Tak lama kemudian, makhluk itu melirikku sekilas, lalu pergi tanpa bicara sepatah katapun.
Yang tak kalah aneh, saat terjaga, aku berada buritan kapal. Dengan gugup, aku segera berlari meninggalkan lokasi ini. Waktu itu pagi sudah tiba. Saat masuk kamar, kulihat Very belum juga bangun.
Pagi itu, perasaanku tak menentu. Aku merenung, mengenang perjalanan yang kutelusuri di luar kesadaranku. Sementara. Ratu Rosali bertolak meninggalkan pelabuhan Ketapang.
Selama dalam pelayaran menuju Pontianak, sengaja aku pindah kamar. Temanku tak keberatan bertukar kamar yang kuanggap sial itu.
“Dengan senang hati aku akan tidur di kamarmu. Jika nasib lagi mujur, siapa tahu makhluk itu hadir dalam mimpiku nanti. Kemudian memberi angka jitu. Lalu aku kaya mendadak jadi jutawan,” ujar Idham, temanku, dengan gayanya yang jenaka.
Setelah bertukar kamar dengan Idham, kukira wanita gaib itu tak lagi mengusikku. Namun, kenyataannya dia terus mengikuti kemana pun aku pindah, bahkan ke mana pun kapal berlayar. Aku tak bisa mendeteksi keberadaannya aku karena tak punya kemampuan supranatural.
Di kamar yang baru, aku beranjak tidur dengan perasaan sedikit lega. Biarlah temanku yang didatangi makhluk gaib itu. Tapi, apa yang terjadi? Tiba-tiba dia muncul lagi dalam mimpiku. Kulihat dia tampak beringas, sepertin ingin menelanku hidup-hidup. Jelas terdengar saat wanita itu bicara begini, “Namaku Tukiyem. Aku minta disediakan kambing putih.”
Bahkan, dia mengancam akan terus meneror ABK Ratu Rosali sebelum keinginannya dikabulkan. Aku hanya melongo terdiam. Hanya bisa mendengar, ingin bicara, tapi tak terucapkan.
Mimpi malam itu makin membulatkan tekadku untuk mengundurkan diri. Aku tak harus takut tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan di darat. Bukankah tersedia banyak pilihan dalam hidup? Jika mau berusaha, selalu ada jalan, demikian pikirku.
Bila tak ada peluang di daratan, apa salahnya kembali bekerja di laut. Tak harus kapal kargo Ratu Rosali yang berhantu ini.
Setelah selesai bongkar muatan di pelabuhan Pontianak, malamnya aku menemui Pak Chief di kamarnya. Dengan tegas kusampaikan keputusanku. Mendengar itu, dia menyipitkan mata. Mungkin sulit memahami alasan pengunduran diriku yang begitu mendadak. Tapi, dia merasa tidak berhak menghalangi niatku.
Sebelum pergi meninggalkan kapal, aku harus menceritakan mimpiku semalam. Salah besar jika kupendam sendiri. Demi keselamatan seisi kapal, apa salahnya memenuhi permintaan makhluk itu.
Sepertinya Pak Chief tak mempercayai kata-kataku. Dia mengangap makhluk gaib jenis apapun hanyalah tahyul belaka. Tak mengapa. Yang penting aku lega, sebab mimpi yang membebani pikiranku itu telah kuceritakan padanya.
Sebulan kemudian, Ratu Rosali kembali berlayar ke Malaysia. Sebelum kapal bertolak, aku menemui Very dan menanyakan tentang kambing putih permintaan makhluk itu. Tapi jawabannya, “Pak Chief mengabaikan itu!”
Aku membatin, ABK siapa lagi yang akan diteror wanita sialan itu nanti?
Sementara belum mendapat pekerjaan, aku menghabiskan hati-hariku di pelabuhan. Kadang ikut melaut dengan perahu nelayan. Berangkat pagi mencari ikan, sore harinya kembali ke daratan.
Waktu terus berlalu, Senin pagi, tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan kapal nelayan yang membawa Pak Chief bersama 10 ABK Ratu Rosali. Kapal nelayan itu menyelamatkan mereka saat terapung di tengah laut, tak jauh dari pulau Marundang.
Menurut Very, yang kutemui dalam keadaan shock, saat melintasi lautan pulau Marundang, kapal kembali mengalami kerusakan. Baling-baling kemudi patah tanpa sebab. Ketika itulah tiba-tiba angin bertiup kencang dari dua arah, barat dan barat laut, membangkitkan ombak setinggi 5 meter.
Ratu Rosali terombang-ambing tanpa daya. Akhirnya, suatu tamparan ombak yang begitu dahsyat menenggelamkannya. Tamatlah riwayat kapal kargo itu….
Mendengar cerita Veri, seketika sosok makhluk itu berkelebat dalam benakku. Adakah hubungan kecelakaan itu dengan sikap sombong Pak Chief, yang tak mau memberikan kambing putih pada sosok perempuan gaib yang mengaku bernama Tukiyem itu?
Wallahu’alam. Hanya Allah SWT yang mengetahui rahasia hikmah di balik setiap musibah.
Selepas Maghrib, kapal kargo Ratu Rosali meninggalkan pelabuhan Pontianak. Sesuai rencana, kapal ini akan berlayar menuju negeri jiran, Malaysia. Kapal yang sarat muatan ini berlayar tenang meninggalkan Dermaga Teluk Air, tempat Ratu Rosli sebelumnya ditambatkan. Senja itu, cuaca cukup cerah. Sesuai dengan ramalan cuaca yang diinformasikan oleh pelabuhan, hari itu ombak laut memang akan jinak, tanpa gejolak berarti.
Pulau demi pulau dilalui Ratu Rosli tanpa rintangan. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba mesin kapal mengalami kerusakan. Kapal berhenti, terombang-ambing ditengah laut. Karena kerusakan mesin tidak dapat diperbaiki dengan cepat, maka tak ada pilihan lain. Ratu Rosli terpaksa buang jangkar.
Bila kapal mengalami kerusakan, sebagai bagian dari kru kapal, tentunya akupun ikut panic. Terlebih kapten kapal kargo yang akrab disapa Pak Chief itu. Maklum saja, keterlambatan akan menimbulkan komplain dari pemilik barang. Mereka tak pernah mau mengerti bila kapal tiba ditujuan. Bahkan akan jadi boomerang bagi pemilik kapal, sebab kepercayaan pelanggan ternodai.
Ternyata mesin kapal mengalami kerusakan fatal. Kruk as patah dan tak bisa difungsikan lagi. Sementara onderdil cadangan tidak ada.
Karena keadaan ini, keesokan harinya, Pak Chief terpaksa kembali ke Pontianak dengan menumpang kapal nelayan yang kebetulan akan pulang.
Tak ada yang mesti dikerjakan selama Pak Chief berada di darat. Para ABK menghambur-hamburkan waktu percuma, atau paling-paling memancing cumi-cumi.
Pemandangan laut yang menoton memang membuatku jenuh. Akhirnya aku beranjak masuk ke dek. Anehnya, malam itu aku gelisah. Setiap ruang sepertinya tidak membuatku nyaman. Berdiri salah, duduk apalagi.
Setelah cukup lama berbaring di kamar, rasa kantuk pun menyerang. Beberapa saat kemudian aku terlelap.Dan, entah berapa lama aku tertidur, tiba-tiba seorang wanita hadir dalam mimpiku. Bibirnya yang padat berisi itu menyunggingkan senyuman yang begitu mempesona.
Wanita cantik itu mengenakan gaun malam warna perak. Langkahnya gemulai, anggun bak peragawati di atas cat walk. Lekuk tubuhnya, amboi, indah sekali!
Sesekali dia menebar pandang ke seantero ruangan. Dan sesekali pula dia melirik genit kepadaku. Sesaat kemudian dia menghentikan langkahnya. Berdiri mematung dekat jendela yang memang sengaja dibiarkan terbuka. Rambut panjangnya terurai menutupi leher jenjangnya, melayang-layang liar dipermaikan angin yang berhembus semilir.
Sebagai seorang pelaut yang jarang bertemu perempuan, apa perempuan secantik dirinya, maka aku pun langsung tersihir oleh kecantikannya. Jantungku berdebar tak beraturan. Betapa ingin aku menyapanya, namun lidahku terasa kelu.
Entah berapa lama pandanganku tetap menancap padanya. Bidadari itu belum juga beranjak dari jendela. Namun, seketika rasa takjubku berubah menjadi takut. Entah mengapa, perempuan itu menatapku dengan tajam, dengan sorot matanya yang penuh dengan bara kebencian. Tatapannya berubah nanar, persis singa betina lapar yang ingin menerkam mangsanya. Sangat mengerikan!
Seolah tak peduli pada ketakutanku, perempuan itu merentangkan kedua tangannya yang dipenuhi bulu-bulu halus. Ya, dia sepertinya ingin terbang ke luar jendela. Tapi, tidak! Secepat kilat dia malah menghampiriku dan langsung mendekapku.
Dalam dekapanya, aku sulit bergerak. Nafasku tercekat. Anehnya, tubuh wanita cantik ini berbau seperti kemenyan. Sangat menyengat. Aku meronta, berusaha melepaskan diri. Lalu aku berteriak keras. “Lepaskan aku! Tolooong…!”
Anehnya lagi, kenapa Very, teman sekamarku tidak lekas membantuku? Padahal posisinya tepat di sisiku. Bahkan tubuh kami nyaris bersentuhan diatas dipan untuk dua orang ABK. Kalau pun akhirnya ia bangun lebih dulu, mungkin karena mendengar gumam tak jelas, atau tersenggol tubuhku yang bergerak tak terkendali.
“Hei..Man bangun!” teriaknya sambil mengguncangkan tubuhku.
Aku tersentak, dan kembali ke alam nyata. Spontan aku amat lega terlepas dari beban menyiksa dari mimpi yang menakutkan itu.
Very menyeringai melihatku masih ketakutan. Dia juga tampak tegang. “Mimpi seram ya, Man?” Tanyanya. Dia mengingatkanku agar membaca Bismillah sebelum tidur, kemudian memberiku segelas air mineral.
“Mimpinya aneh,” ujarku setelah menenggak air mineral sampai habis.
“Memangnya mimpi apaan sih, sampai kamu berteriak-teriak seperti orang sekarat?” tanya Veri.
“Menyenangkan tapi menakutkan Ver. Seram!” jawabku, Lalu kuceritakan isi mimpiku.
“Berarti makhluk itu penghuni pulau Marundang? Mengapa baru sekarang? Padahal sudah seminggu kita lego jangkar di sini,” ujar Very setelah mendengar ceritaku, sambil mengernyitkan dahinya,
Aku memang baru mendengar apa yang disebut Veri sebagai Pulau Marundang itu. Anehnya, nama pulau ini sepertinya berhubungan dengan wanita yang hadir dalam mimpiku.
Selepas mimpi itu, aku memang sulit memejamkan mata. Bahkan, sekitar pukul tiga dini hari, melalu jendela, aku menerawang ke kejauhan. Samar-samar pulau yang terletak antara Indonesia dan Malaysia itu tampak diselimuti kabut, terkesan angker. Tiba-tiba bayangan sosok wanita itu kembali mengusikku. Bukan kecantikan atau senyumnya, melainkan sorot matanya yang menakutkan. Hih, bulu kudukku berdiri.
“Sudahlah, lupakan saja, Man! Mimpi kan hanya bunga tidur. Jangan terlalu dipikirkan kalau kau selalu mengingatnya, nanti kesurupan lho!” Very menepuk bahuku.
Dua hari kemudian, kekhawatiran Very terjadi. Menjelang sore, aku merasakan perubahan yang aneh. Sosok wanita itu kembali mengusik ketenganku. Sudah kupaksakan agar bayangannya enyah dari ingatanku, tetapi tak bisa.
Apa yang terjadi selanjutnya menimpa diriku? Semuanya diceritakan oleh Very, karena aku memang sama sekali tidak menyadarinya. Beginilah kisahnya…:
Setiba dari Pontianak, Pak Chief kaget mendengar suara gaduh dari kamarku. Dia penasaran, karena selama ini belum pernah melihatku bikin ulah. Mendapati aku dirubungi para ABK, karuan Pak Chief keheranan. Saat itu, aku bukanlah diriku lagi. Rupanya, makhluk itu telah menguasaiku.
Pak Chief, juga teman-temanku ABK yang lain, ketakutan melihatku terus cekikikan, dengan mata melotot sambil menceracau tak jelas. Pak Chief berusaha menenangkanku.
“Siapa kau ini, laki-laki atau perempuan?” tanyanya. Sementara itu, para ABK saling berpandangan, penuh harap menunggu jawaban. Mereka ketakutan saatku pelototi bergantian.
Bukan jawaban yang didapatkan didapatkan dari mulutku yang kerasukan itu. Menurut cerita Very, aku malah menampar keras pipi kiri Pak Chef.
Sontak saja lelaki bertubuh gempal ini jadi berang. Lima ABK yang mendapat perintah langsung darinya segera memegangi tangan dan kakiku. Namun, mereka kewalahan, sebab aku terus berontak dengan tenaga kuat luar biasa.
Merasa khawatir akan keselamatanku, takut aku mencebur diri ke laut misalnya, atas perintah Pak Chief, kemudian aku diikat pada pilar di tengah ruangan. Ikatannya sangat kuat, dengan menggunakan tali sebesar jari kelingking orang dewasa.
Kata Very, aku memang tak bisa berkutik lagi. Tubuhku langsung terkulai menyatu dengan pilar itu. Suasana kapal pun berubah tenang, dengan demikian para ABK, khususnya bagian mesin bisa lebih berkonsentrasi memperbaiki kerusakan mesin.
Keputusan Pak Chief memang kejam, namun tepat. Hal itu merupakan wujud dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin. “Sebelum sadarkan diri, jangan lepaskan tali ini. Tolong awasi dia!” katanya dengan tegas, seperti yang ditirukan Very.
Sejurus kemudian, Pak Chief pergi menuju ruangan mesin. Dua orang petugas juru mesin mengaku kewalahan, sebab baru kali ini mereka menghadapi kerusakan fatal. Butuh kesabaran ekstra memasang kembali truk as ke dalam mesin. Apalagi onderdilnya masih baru.
Akhirnya, mesin selesai diperbaiki. Anehnya, di saat bersamaan, aku yang semula kerasukan kembali siuman. Pak Chief girang melihatku.
“Sudah sadar kau rupanya?” candanya sembari mengucek-ucek rambutku.
Setelah mesin berhasil dihidupkan dan jangkar ditarik ke haluan, Ratu Rosali pun siap melaju kembali meneruskan pelayaran yang tertunda. Karena truk asnya diganti, kapal melaju lebih kencang dari biasanya, yakni dengan kecepatan 12 mil/jam.
Meskipun aku telah sadar, namun ternyata Pak Chief masih merisaukan keselamatanku. Buktinya, sepanjang perjalanan aku selalu diawasinya. Rupanya, dia khawatir kalau tiba-tiba makhluk itu kembali merasuki tubuhku.
Syukurlah, tak ada kejadian aneh hingga kami sampai di tujuan. Usai bongkar muatan, selama 15 hari di pelabuhan Malaysia, kami kembali berlayar menuju Lampung. Aku tak sabar ingin secepatnya tiba disana. Aku yakin, Marni pasti menantikan kedatanganku yang sudah terlambat lama. Dia wanita sederhana pedagang kopi keliling di pelabuhan. Setiap awak kapal yang bersandar di Lampung, tentu mengenalnya. Bersamanya, aku berharap hidupku lebih berwarna lagi.
Pada saat pelayaran menuju lampang, suatu malam aku sendirian di kamar. Asyik, aku bebas berfantasi tanpa ada yang mengganggu. Aku membayangkan Marni, agar bisa melupakan sosok makhluk jahat itu. Tapi, ya Tuhan, beberapa jam kemudian, aku kembali mendapatkan teror!
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba sosok mengerikan itu sudah berdiri di hadapanku. Dia menampakkan wujudnya yang sangat menyeramkan. Persis Mak Lampir. Gaun malamnya tetap berwarna perak, namun wajahnya tak cantik lagi.
Aku takut setengah mati. Sekujur tubuhku lemas. Ingin berteriak, tapi bibir rasanya terkunci. Ingin lari keluar dari kamar pun tak bisa.
Akhirnya, dengan tubuh gemetar, aku hanya pasrah. Di saat ketakutanku tak tertahan lagi, tiba-tiba dia menghilang. Aku lantas menghambur ke luar kamar, ke ruangan Pak Chief. Aku menemukan ketenangan dan merasa aman. Setidaknya, ada hiburan sementara menunggu pagi. Pak Chief cukup bijak, mengizinkan aku nonton DVD sesukaku di kamarnya.
Kapal bersandar di Lampung pada malam hari. Aku betul-betul kasmaran. Setelah pamit pada Pak Chief, aku menemui Marni yang rumahnya tidak seberapa jauh dari pelabuhan. Gadis sederhan itu amat antusias mendengarkan kejadian aneh yang kualami.
Beberapa saat kami terdiam. Marni menatapku. Entah apa yang dia pikirkan. Kemudian dia memecah kesunyian.
“Sebaiknya , istirahat saja dulu kerja di laut, Kak. Makhluk itu berbahaya! Siapa tahu dia minta korban. Tapi saya hanya menyarankan. Tidak memaksa, lho!” bibir gadis itu bergetar.
Giliran aku diam kebingungan. Mana yang harus kupilih? Masih dua pulau lagi yang akan kusinggahi. Kalau diteruskan, aku akan terus-terusan diteror makhluk sialan itu. Aku tak ingin berlama-lama dalam kebimbangan.
Karena yakin, rasa takut itu berasal dari diriku sendiri, maka kuputuskan meneruskan pelayaran ke pulau Bangka. Keinginan mengundurkan diri kutangguhkan sampai tiba di rute terakhir. Ya, kembali ke Pontianak. Dengan begitu, paling tidak aku bangga akan diriku. Setidaknya aku bukan pelaut pengecut.
Selama bersandar di pulau Bangka, tak ada kejadian aneh. Mungkin makhluk itu telah lupa dan bosan mengusik ketenanganku. Atau mungkin dia sudah berselingkuh dengan ABK lain? Segala sesuatu berjalan wajar hingga selesai bongkar muatan. Setelah itu, pelayaran dilanjutkan menuju Ketapang.
Pagi cerah, laut masih berkabut, sewaktu kapal bertolak meninggalkan pelabuhan Bangka.
Sebagai seorang pelaut aku tahu persis kalau sedari dulu pulau Ketapang memang terkenal nuansa mistinya. Sering kudengar cerita teman yang melihat penampakkan di pelabuhan. Tapi, aku cenderung mengabaikannya.
Tiga hari berlalu, aman di Ketapang. Pak Chief gembira melihatku kembali ceria dan membaur sesama ABK. Seperinya biasanya, kami bersenda gurau melepas penat usai kerja bongkar muatan.
Namun, sungguh aneh, di tengah keceriaan itu, tiba-tiba sekelebat bayangan kembali melintas dalam benakku. Bayangan wanita bergaun perak itu. Tapi, segera kutepis dan langsung mengingat Marni. Demikian kulakukan berulang-ulang kali, sehingga pikiran dan perasaanku mulai ngelantur. Semula aku beranggapan, mustahil makhluk itu kembali mendatangiku lagi karena jarak Marundang – Ketapang terlampau jauh. Tapi nyatanya, dia terus mengikuti dan kembali bereaksi. Kali ini kejadiannya sangat aneh.
Malam itu, hujan masih menyisakan gerimis. Suasana pelabuhan Ketapang tampak lengng. Biasanya, bila cuaca cerah, warga setempat selalu datang meramaikan pelabuhan. Disana-sini biasanya terlihat pasangan memadu kasih, duduk santai di dermaga sambil mengobral janji-janji manisnya.
Tapi, malam itu suasana sepi sekali. Bahkan, sebagian temanku pasti sudah terlelap. Aku belum mengantuk. Aneh, perasaanku serasa sangat galau. Resah. Kusibuk kandiri dengan mempertimbangkan keputusan terbaik setelah tiba di Pontianak nanti. Berhenti kerja di laut, tapi apa yang bisa aku lakukan? Sementara aku tak punya pengalaman kerja di darat?
Angin bertiup kencang dan rasa dingin semakin menggigit. Sebagai perokok kronik, di saat cuaca dingin, aku sangat membutuhkannya. Sial, rokokku tak satu pun tersisa. Aku beringsut ke kamar sebelah. Begitu pintu terkuak, kulihat temanku sudah pulas meringkuk. Rasanya sungkan membangunkan tidurnya. Siapa tahu, mungkin dia tengah mimpi indah.
Kemudian aku langsung meraih sebungkus rokok yang tergeletak di atas meja. Kunyalakan korek api lalu menyulut sebatang. Begitu melangkah ingin meninggalkan kamar, tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku. Spontan bulu kudukku meremang.
Ya, Tuhan! Makhluk itu muncul dari kehampaan. Dia tiba-tiba saja sudah berdiri dengan berkacak pinggang menghadangkan di bibir pintu. Tubuhnya yang langsing itu masih mengenakan gaun malam berwarna perak. Bibirnya tersenyum sinis dengan sorot mata melotot tajam.
Tanpa kuasa menolak, aku mengikuti langkah wanita itu ketika dia menuntun lenganku pergi meninggalkan kapal. Hanya itu terakhir yang kuingat di ambang batas kesadaranku.
Rupanya, tak seorang ABK pun tahu bahwa aku kembali dirasuki dan pergi bersama sosok perempuan misteri itu ke alamnya. Ya, suatu tempat yang sulit diketahui di mana letak persisnya. Sebuah tempat yang sangat asing bagiku, dan bagi siapa pun juga. Mungkin bukan di alam nyata. Yang pasti, panorama alamnya begitu indah dilatari sederetan pohon rindang.
Anehnya, selama dalam pengembaraan itu, yang kurasakan bukannya malam hari, tetapi suatu sore saat matahari akan tenggelam. Cuaca redup menyejukkan. Seluas mata memandang, yang kulihat hanyalah hamparan pemandangan menakjubkan.
Setelah cukup lama berjalan, akupun merasa lelah. Aku mengajaknya duduk di tepi sebuah telaga. Wanita itu berdiri membelakangiku. Sementara aku tak berkedip memandangi ikan-ikan beraneka warna yang terus berenang berseliwaran di dalam telaga yang sangat bening. Karena kelelahan, aku bersandar pada pokok pohon mati ditepi telaga itu. Tak lama kemudian, makhluk itu melirikku sekilas, lalu pergi tanpa bicara sepatah katapun.
Yang tak kalah aneh, saat terjaga, aku berada buritan kapal. Dengan gugup, aku segera berlari meninggalkan lokasi ini. Waktu itu pagi sudah tiba. Saat masuk kamar, kulihat Very belum juga bangun.
Pagi itu, perasaanku tak menentu. Aku merenung, mengenang perjalanan yang kutelusuri di luar kesadaranku. Sementara. Ratu Rosali bertolak meninggalkan pelabuhan Ketapang.
Selama dalam pelayaran menuju Pontianak, sengaja aku pindah kamar. Temanku tak keberatan bertukar kamar yang kuanggap sial itu.
“Dengan senang hati aku akan tidur di kamarmu. Jika nasib lagi mujur, siapa tahu makhluk itu hadir dalam mimpiku nanti. Kemudian memberi angka jitu. Lalu aku kaya mendadak jadi jutawan,” ujar Idham, temanku, dengan gayanya yang jenaka.
Setelah bertukar kamar dengan Idham, kukira wanita gaib itu tak lagi mengusikku. Namun, kenyataannya dia terus mengikuti kemana pun aku pindah, bahkan ke mana pun kapal berlayar. Aku tak bisa mendeteksi keberadaannya aku karena tak punya kemampuan supranatural.
Di kamar yang baru, aku beranjak tidur dengan perasaan sedikit lega. Biarlah temanku yang didatangi makhluk gaib itu. Tapi, apa yang terjadi? Tiba-tiba dia muncul lagi dalam mimpiku. Kulihat dia tampak beringas, sepertin ingin menelanku hidup-hidup. Jelas terdengar saat wanita itu bicara begini, “Namaku Tukiyem. Aku minta disediakan kambing putih.”
Bahkan, dia mengancam akan terus meneror ABK Ratu Rosali sebelum keinginannya dikabulkan. Aku hanya melongo terdiam. Hanya bisa mendengar, ingin bicara, tapi tak terucapkan.
Mimpi malam itu makin membulatkan tekadku untuk mengundurkan diri. Aku tak harus takut tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan di darat. Bukankah tersedia banyak pilihan dalam hidup? Jika mau berusaha, selalu ada jalan, demikian pikirku.
Bila tak ada peluang di daratan, apa salahnya kembali bekerja di laut. Tak harus kapal kargo Ratu Rosali yang berhantu ini.
Setelah selesai bongkar muatan di pelabuhan Pontianak, malamnya aku menemui Pak Chief di kamarnya. Dengan tegas kusampaikan keputusanku. Mendengar itu, dia menyipitkan mata. Mungkin sulit memahami alasan pengunduran diriku yang begitu mendadak. Tapi, dia merasa tidak berhak menghalangi niatku.
Sebelum pergi meninggalkan kapal, aku harus menceritakan mimpiku semalam. Salah besar jika kupendam sendiri. Demi keselamatan seisi kapal, apa salahnya memenuhi permintaan makhluk itu.
Sepertinya Pak Chief tak mempercayai kata-kataku. Dia mengangap makhluk gaib jenis apapun hanyalah tahyul belaka. Tak mengapa. Yang penting aku lega, sebab mimpi yang membebani pikiranku itu telah kuceritakan padanya.
Sebulan kemudian, Ratu Rosali kembali berlayar ke Malaysia. Sebelum kapal bertolak, aku menemui Very dan menanyakan tentang kambing putih permintaan makhluk itu. Tapi jawabannya, “Pak Chief mengabaikan itu!”
Aku membatin, ABK siapa lagi yang akan diteror wanita sialan itu nanti?
Sementara belum mendapat pekerjaan, aku menghabiskan hati-hariku di pelabuhan. Kadang ikut melaut dengan perahu nelayan. Berangkat pagi mencari ikan, sore harinya kembali ke daratan.
Waktu terus berlalu, Senin pagi, tiba-tiba aku dikejutkan oleh kedatangan kapal nelayan yang membawa Pak Chief bersama 10 ABK Ratu Rosali. Kapal nelayan itu menyelamatkan mereka saat terapung di tengah laut, tak jauh dari pulau Marundang.
Menurut Very, yang kutemui dalam keadaan shock, saat melintasi lautan pulau Marundang, kapal kembali mengalami kerusakan. Baling-baling kemudi patah tanpa sebab. Ketika itulah tiba-tiba angin bertiup kencang dari dua arah, barat dan barat laut, membangkitkan ombak setinggi 5 meter.
Ratu Rosali terombang-ambing tanpa daya. Akhirnya, suatu tamparan ombak yang begitu dahsyat menenggelamkannya. Tamatlah riwayat kapal kargo itu….
Mendengar cerita Veri, seketika sosok makhluk itu berkelebat dalam benakku. Adakah hubungan kecelakaan itu dengan sikap sombong Pak Chief, yang tak mau memberikan kambing putih pada sosok perempuan gaib yang mengaku bernama Tukiyem itu?
Wallahu’alam. Hanya Allah SWT yang mengetahui rahasia hikmah di balik setiap musibah.
KESAKSIAN SANG PEMILIK “UANG BALIK”
Seorang wanita cantik memberinya selembar uang Rp. 50.000. Ternyata, ini adalah uang siluman, atau yang kemudian dikenal dengan nama Uang Balik. Uang inilah yang pada akhirnya membuatnya kaya raya. Lantas, apa yang kemudian terjadi….
Sebut saja lelaki yang sejatinya berwajah tampan itu dengan nama Danu. Penulis mengenalnya berkat jasa seorang teman, yang kebetulan juga temannya Danu. Seperti penuturan sohib Penulis itu, Danu memiliki kisah perjalanan hidup yang sangat mencekam. Seperti apa? Danu membeberkan kesaksiannya. Berikut ini kami jalinkan kisahnya untuk Anda…:
Malam itu, entah malam yang ke berapa kalinya aku dan isteriku harus tidur dengan menahan lapar. Maklumlah, pekerjaanku yang hanya sebagai pengepul barang rongsokan kelas teri, yang setiap hari keliling dari kampung ke kampung dengan sepeda butut, memang tidak menentu pendapatannya. Hampir setiap hari, kami hanya bisa makan dua piring nasi dengan sayur bening dan secobek sambal terasi. Kalau kebetulan dapat rezeki agak lumayan, barulah kami bisa makan dengan ikan goreng atau telur asin.
Kebetulan, siang hari tadi hujan turun lebat sekali, sehingga aku tidak bisa leluasa melakukan aktivitasku keliling kampung membeli koran atau botol-botol bekas. Alhasil, tak ada kelebihan uang yang bisa kubawa pulang, kecuali rasa letih dan kepala yang pusing akibat kehujanan hampir seharian.
Selepas sholat Isya, aku dan isteriku hanya makan sisa sayur asam yang tinggal airnya saja. Nasi pun hanya tinggal sepiring, dan kami makan bersama. Walau begitu, aku masih tetap merasa beruntung. Meski kehidupan ekonomiku carut-marut, isteriku tetap setia mendampingku. Dia juga termasuk seorang yang tekun dalam beribadah.
Ternyata aku tidak salah memilih Kartika sebagai pendamping hidupku. Dia tak hanya cantik dan salehah, namun dia juga isteri yang sangat sabar dalam menghadapi segala cobaan. Namun, cintanya yang tulus ini membuatku merasa bersalah, sebab aku tdak bisa membahagiakan Kartika. Jangankan memberinya harta yang berlimpah, untuk memberi kehidupan yang layak saja aku tidak bisa melakukannya.
Sungguh, bila ingat semua itu, tak terasa air mataku menetes. Aku merasa telah menjadi lelaki tak berguna. Nasib buruk sepertinya telah menjadi bagian dalam hidupku. Bukannya aku pemalas atau tidak mau bekerja keras. Aku sudah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencari rezeki. Tapi tetap saja hasilnya pas-pasan.
“Tika, sampai kapan hidup kita akan begini terus?” cetusku sambil memandangi wajahnya yang ayu.
“Sabar ya, Mas. Mungkin ini cobaan dari Allah!” jawabnya singkat.
“Coba kalau dulu aku sekolah sampai sarjana, pasti hidup kita tidak akan susah begini,” kataku, menggerutu.
“Sudahlah, jangan menyalahkan keadaan, tidak baik terus-menerus mengeluh!” timpalnya dengan bijak.
Kartika, atau biasa aku memanggilnya Tika, memang selalu menjadi sumber pencerahan batin bagiku. Dia adalah apu semangat hidupku dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Setiap kali aku merasa putus asa, setiap kali aku terjatuh, maka dia selalu ada dan menjadi malaikat yang seolah tak pernah bosan mengulurkan tangannya untukku. Rasanya berdosa sekali bila aku menyatikinya.
Suatu malam, aku duduk menyendiri di bibir sumur tua yang sudah tak terpakai lagi. Jaraknya sekitar 50 meter dari belakang rumahku. Waktu itu, hatiku memang sedang galau memikirkan kenyataan hidup yang kualami. Sambil membiarkan lamunanku berkelana entah kemana, mataku seakan tak berkedip memandang langit yang penuh dengan taburan bintang. Apalagi, malam itu bulan sedang purnama. Sinarnya yang terang menjadi mahkota di malam nan sunyi itu.
Entah pukul berapa, aku tak tahu, sebab aku memang tak pernah memiliki jam tangan yang bagiku adalah sebuah barang mewah. Yang pasti, malam itu suasana sudah sangat sepi. Tak ada suara pun orang lewat. Bahkan suara jangkrik pun seolah tidak terdengar. Ya, malam yang hening. Rasa dingin mulai menyelimuti tubuhku.
Ketika menyadari kesendirianku yang sedemikian sempurna, tiba-tiba aku merasa takut sekali. Entah kenapa? Bulu kudukku mendadak merinding. Aku bergegas bangkit dari tempat itu. Namun, tiba-tiba aku tersentak kaget.
“Jangan pergi dari sini, kalau kamu ingin hidup kaya!”
Demikian kata satu suara yang tidak berwujud, yang membuatku kaget setengah mati.
Aku celingukkan, mencoba mencari sumber siapa pemilik suara itu. Tapi, jangankan orangnya, bayangannya pun aku tidak melihatnya.
“Siapa kau ini?” tanyaku, dengan bulu kuduk semakin berdiri meremang.
“Kembalilah duduk di bibir sumur ini, Sayang!” suara iu kembali terdengar. Astaga! Aku baru menyadari kalau suadara itu terdengar lembut sekali. Ya, suara seorang wanita. Tapi, siapa dia? Mengapa ada wanita tengah malam begini?
“Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu. Duduklah kembali di bibir sumur ini, Sayang!” katanya lagi.
Entah mengapa, sekali ini aku menuruti perintahnya.
“Lihatlah ke dalam sumur dan tolong keluarkan aku dari dalam sumur ini,” pinta suara itu dengan nada lembut penuh permohonan.
Seperti terhipnotis, aku langsung melolong ke dalam sumur. Aneh bin ajaib! Di dalam sumur yang sudah tidak terpakai selama bertahun-tahun ternyata memang ada seorang perempuan. Dengan sigap aku kemudian berusaha mengeluarkan wanita cantik itu. Anehnya, saat itu, entah mengapa rasa takut yang tadi menyergap batinku telah hilang entah kemana. Bahkan, demi melihat kecantikan wanita itu, rasa takutku malah berubah menjadi rasa cinta dan sayang. Padahal, jelas aku tidak pernah mengenal, atau melihat wanita itu sebelumnya.
Kejadian selanjutnya sungguh terjadi di luar akal sehat. Nafsu birahiku tiba-tiba bergejolak saat melihat paha wanita itu tersingkap karena tertitup angin malam. Dan entah siapa yang memulai, tiba-tiba aku sudah bergumulnya. Ya, kami bercinta seperti laiknya sepasang kekasih yang dimabuk asmara setelah sekian lama tidak saling bersua.
Apa yang terjadi detik selanjutnya?
Aku terkulai lemas setelah menyemprotkan magma kenikmatan pada sesosok wanita cnatik tersebut. Entah berapa lama kami bercumbu. Yang pasti, sebelum pergi, wanita cantk itu memberikan selembar uang lima puluh ribuan rupiah padaku sambil berkata, “Uang ini sebagai awal dari kekayaanmu, Sayang!” Setelah itu dia pergi, dan bayangannya pun lenyap di telan gelap malam di ambang subuh.
Aku tertegun dan bingung. Aku sulit mempercayai apa yang barusan terjadi. Kuraba saku bajuku, ternyata selembar uang lima puluh ribuan rupiah itu benar-benar ada….
Pagi hari setelah kejadian ini, kepada Kartika aku pamit mencari rongsokan seperti biasanya. Tapi sebenarnya aku tidak mencari rongsokan. Aku masih bingung dan cemas bila teringat kejadian semalam.
“Apa sebenarnya maksud uang ini?” batinku sambil memegang uang Rp. 50.000 pemberi wanita misterius itu.
Meski pada awalnya sekedar mencoba-coba, akhirnya kubelanjarkan uang itu ke sebuah warung. Aku membeli beras, minyak goreng, telur dan beberapa makanan ringan untuk camilan isteriku. Setelah dihitung, jumlah belanjaanku Rp. 42.000. Jadi, aku masih menerima kembalian Rp. 8000
Sesampainya di rumah, bukan main senangnya isteriku. Dia menyambutku dengan rasa syukur.
“Alhamdulillah, akhirnya Mas Danu dapat rezeki kan?” ycap Kartika, memanjatkan rasa syukurnya.
Aku tersenyum, pura-pura ikut mengucapkan syukur. Dalam hati aku tetap berniat akan berusaha untuk menjaga rahasia ini.
Setelah menyerahkan belanjaan itu kepada Kartika, aku bergegas mandi. Saat kulepas bajuku, tiba-tiba uang Rp. 50.000 ribuan jatuh dari saku saku bajuku. Aku terpana dibuatnya. Aneh, bukankah uang itu sudah habis kubelanjakan? Lantas, kenapa bisa balik lagi ke saku bajuku?
Lambat laun akhirnya aku mulai menyadari bahwa uang Rp. 50.000 pemberian makhluk misterius itu memang bukanlah sembarang uang. Mungkin, ini adalah uang siluman? Atau mungkin pula ini yang dinakaman Uang Balik?
Pada awalnya, batinku gelisah karena kenyataan ini. Namun celakanya, lambat laun aku malah menikmati keanehan ini. Mungkin, karena semakin hari uangku semakin banyak. Bayangkan saja, setiap kali aku belanja uangku pasti kembali utuh. Bukan hanya barang yang kubeli yang kuterima, tapi sekaligus juga uang kembaliannya.
Untuk menghindari kecurigaan isteriku, aku berdalih bisnis barang antik dengan orang kaya. Karena ketulusan cintanya, isteriku percaya saja dengan kebohonganku.
Berkat Uang Balik itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku mampu membeli rumah, sawah, dan beberapa areal tanah yang cukup luas. Pekarangan yang luas tersebut aku kapling-kapling menjadi rumah, kemudian aku jual perunit. Maka jangan heran bila akhirnya aku mampu membeli mobil, juga rumah mewah beserta isinya.
Tahukah, ada satu hal yang harus kulakukan untuk mempertahankan kekayaan yang kumiliki. Setiap malam Jum’at Legi, aku harus melayani isteri gaibku yang bersemayam di sumur tua belakang rumah kami. Isteri gelapku ini bernama Puteri Sanca. Dia berasal dari bangsa lelembut. Dari Puteri Sanca tersebut kekayaanku bersumber.
Sampai sejauh ini Kartika, isteriku, tidak pernah tahu sepak terjangku. Dalam hati, sebenarnya aku merasa berdosa. Tapi biarlah semua ini menjadi rahasia hidupku.
Terlepas dari semua itu, setiap toko atau warung yang baru aku beli, entah itu beli semen, emas atau apa saja, uang dariku pasti hilang tak berbekas. Dan uang itu sebenarnya tidak hilang, tapi uang itu kembali padaku. Memang, banyak orang yang curiga padaku, tapi mereka tidak bisa membuktikan kecurigaannya itu. Apalagi aku selalu berbuat amal baik dengan membagi-bagikan sembako. Terutama setiap menjelang lebaran dan menjelang Ramadhan.
Aku juga selalu menyantuni anak-anak yatim piatu. Jadi, sepertinya aku bersih di mata masyarakat sekitar. Seiring dengan itu, kekayaanku semakin melimpah ruah. Dan yang membuatku bahagia Kartika, isteriku, bisa tersenyum senang dan hidup mewah.
Di luar sepengetahuanku, rupanya secara diam-diam ada orang yang merasa tertipu oleh ulahku mencari orang pintarl Akhirnya, orang itu menemukan penangkalnya. Dan orang ini memberikan rahasia penangkal ini kepada pemilik warung atau toko yang lainnya.
Apa yang kemudian terjadi?
Entah bagaimana, setiap aku membeli sesuatu, uangku tidak kembali lagi seperti biasanya. Bahkan uangku yang kusimpan dibrangkas, tiba-tiba lenyap tanpa sebab. Karena itulah, dalam waktu singkat, hartaku mulai menipis. Aku benar-benar shock dengan kenyataan ini.
Sementara itu, tanpa kuduga isteriku juga mulai curiga dengan sepak terjangku. Dia berusaha menyadarkanku, tapi aku menangkisnya dengan kera.
“Aku tidak sudi Mas mencari harta dengan bersekutu dengan setan. Itu namanya murtad, Mas!” kata isteriku, suatu malam. Baru kali ini kulihat dia berkata keras seperti itu kepadaku.
Bukannya insyaf, aku malah menendang dan menamparnya. Aku benar-benar berubah beringas, terlebih setelah tahu kalau isteriku ternyata mencari orang pintar dan menyuruh orang untuk menguburkan uangku di kuburan.
Setelah mengetahui perbuatan Kartika ini, dengan kejam kuinjak-injak tubuhnya. Untung para tetangga segera menolongnya. Kalau tidak, mungkin aku telah membunuh isteriku sendiri.
Dengan kalap aku berlari menuju sumur tua tempat puteri Sanca. Aku berteriak-teriak memanggil namanya. “Keluar puteri Sanca! Tolong aku. Beri aku uang. Aku tidak ingin jatuh miskin, aku tidak ingin jadi kere!” Pintaku menghiba.
Tiba-tiba dari dalam sumur tua tersebut keluar seorang nenek renta berbaju compang-camping dan berbau anyir. Orang-orang yang melihatnya pada muntah dan menutup hidungnya.
“Pergi kamu nenek busuk! Aku mau puteri Sanca, bukan kamu!” bentakku setelah meludah karena rasa jijik.
Nenek itu tertawa menyeramkan. “Puteri Sanca itu ya aku. Ayo sini. Kamu telah melanggar kesepakatan, sudah dua malam Jum’at, kamu tidak memenuhi hasrat birahiku!” ucapnya sambil berusaha menyeretku ke dalam sumur tua.
Melihat itu, isteriku berusaha meraih tanganku. Aku sendiri terus meronta melakukan perlawanan.
“Kartika toloong aku…tolong aku!” pintaku setengah putus asa. Percuma saja, puteri Sanca yang ternyata siluman tua renta berhasil menyeretku masuk ke dalam sumur.
Kudengar saat-saat terakhir isteri berteriak pilu memanggil namaku. Dan suara isteriku itu rasanya begitu nyeri terdengar di telingaku. Selanjutnya aku tidak mendengar apa-apa lagi. Pandanganku jadi gelap dan pekat….
Saat siuman, kudapati diriku berada di ruang perawatan sebuah rumah sakit. Sekujur tubuhku terasa nyeri. Namun, rasa nyeri itu seakan lenyap saat kulihat Kartika menatapku dengan senyum, walau kulihat matanya bengkak dan merah.
“Apa yang terjadi denganku, Tika?” tanyaku.
Kartika tak menjawab. Dia berusaha menenangkanku,. Di saat yang sama, baru kusadari kalau di dalam ruangan itu ada juga ayah dan ibuku, kedua mertuaku, juga seorang lelaki tua bersorban putih, yang belakangan kuketahui namanya sebagai Kyai Abdullah (samaran).
Nah, Kyai Abdullah inilah yang kini membimbing pertobatanku. Belakangan aku tahu kalau pada hari itu, aku benar-benar jatuh ke dalam sumur tua tersebut. Untunglah para tetangga menyelamatkanku, walau beberapa persendianku dinyatakan patah oleh dokter.
Kini, aku telah sembuh dan sehat wal’afiat. Satu hal yang paling kusyukuri, Allah SWT masih memberiku panjang umur, sehingga aku bisa melakukan tobatan nasuha. Walau kekayaanku telah habis, namun aku bersyukur sebab masih memiliki Iman Islam. Dan, aku juga masih bisa merasa bangga sebab memiliki isteri salehah seperti Kartika.
Dengan sedikit sisa uang yang ada, Kartika kini membuka sebuah warung kecil-kecilan, sedangkan aku tinggal di pesentran milik Kyai Abdullah. Entah untuk berapa lama lagi….
Sebut saja lelaki yang sejatinya berwajah tampan itu dengan nama Danu. Penulis mengenalnya berkat jasa seorang teman, yang kebetulan juga temannya Danu. Seperti penuturan sohib Penulis itu, Danu memiliki kisah perjalanan hidup yang sangat mencekam. Seperti apa? Danu membeberkan kesaksiannya. Berikut ini kami jalinkan kisahnya untuk Anda…:
Malam itu, entah malam yang ke berapa kalinya aku dan isteriku harus tidur dengan menahan lapar. Maklumlah, pekerjaanku yang hanya sebagai pengepul barang rongsokan kelas teri, yang setiap hari keliling dari kampung ke kampung dengan sepeda butut, memang tidak menentu pendapatannya. Hampir setiap hari, kami hanya bisa makan dua piring nasi dengan sayur bening dan secobek sambal terasi. Kalau kebetulan dapat rezeki agak lumayan, barulah kami bisa makan dengan ikan goreng atau telur asin.
Kebetulan, siang hari tadi hujan turun lebat sekali, sehingga aku tidak bisa leluasa melakukan aktivitasku keliling kampung membeli koran atau botol-botol bekas. Alhasil, tak ada kelebihan uang yang bisa kubawa pulang, kecuali rasa letih dan kepala yang pusing akibat kehujanan hampir seharian.
Selepas sholat Isya, aku dan isteriku hanya makan sisa sayur asam yang tinggal airnya saja. Nasi pun hanya tinggal sepiring, dan kami makan bersama. Walau begitu, aku masih tetap merasa beruntung. Meski kehidupan ekonomiku carut-marut, isteriku tetap setia mendampingku. Dia juga termasuk seorang yang tekun dalam beribadah.
Ternyata aku tidak salah memilih Kartika sebagai pendamping hidupku. Dia tak hanya cantik dan salehah, namun dia juga isteri yang sangat sabar dalam menghadapi segala cobaan. Namun, cintanya yang tulus ini membuatku merasa bersalah, sebab aku tdak bisa membahagiakan Kartika. Jangankan memberinya harta yang berlimpah, untuk memberi kehidupan yang layak saja aku tidak bisa melakukannya.
Sungguh, bila ingat semua itu, tak terasa air mataku menetes. Aku merasa telah menjadi lelaki tak berguna. Nasib buruk sepertinya telah menjadi bagian dalam hidupku. Bukannya aku pemalas atau tidak mau bekerja keras. Aku sudah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencari rezeki. Tapi tetap saja hasilnya pas-pasan.
“Tika, sampai kapan hidup kita akan begini terus?” cetusku sambil memandangi wajahnya yang ayu.
“Sabar ya, Mas. Mungkin ini cobaan dari Allah!” jawabnya singkat.
“Coba kalau dulu aku sekolah sampai sarjana, pasti hidup kita tidak akan susah begini,” kataku, menggerutu.
“Sudahlah, jangan menyalahkan keadaan, tidak baik terus-menerus mengeluh!” timpalnya dengan bijak.
Kartika, atau biasa aku memanggilnya Tika, memang selalu menjadi sumber pencerahan batin bagiku. Dia adalah apu semangat hidupku dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Setiap kali aku merasa putus asa, setiap kali aku terjatuh, maka dia selalu ada dan menjadi malaikat yang seolah tak pernah bosan mengulurkan tangannya untukku. Rasanya berdosa sekali bila aku menyatikinya.
Suatu malam, aku duduk menyendiri di bibir sumur tua yang sudah tak terpakai lagi. Jaraknya sekitar 50 meter dari belakang rumahku. Waktu itu, hatiku memang sedang galau memikirkan kenyataan hidup yang kualami. Sambil membiarkan lamunanku berkelana entah kemana, mataku seakan tak berkedip memandang langit yang penuh dengan taburan bintang. Apalagi, malam itu bulan sedang purnama. Sinarnya yang terang menjadi mahkota di malam nan sunyi itu.
Entah pukul berapa, aku tak tahu, sebab aku memang tak pernah memiliki jam tangan yang bagiku adalah sebuah barang mewah. Yang pasti, malam itu suasana sudah sangat sepi. Tak ada suara pun orang lewat. Bahkan suara jangkrik pun seolah tidak terdengar. Ya, malam yang hening. Rasa dingin mulai menyelimuti tubuhku.
Ketika menyadari kesendirianku yang sedemikian sempurna, tiba-tiba aku merasa takut sekali. Entah kenapa? Bulu kudukku mendadak merinding. Aku bergegas bangkit dari tempat itu. Namun, tiba-tiba aku tersentak kaget.
“Jangan pergi dari sini, kalau kamu ingin hidup kaya!”
Demikian kata satu suara yang tidak berwujud, yang membuatku kaget setengah mati.
Aku celingukkan, mencoba mencari sumber siapa pemilik suara itu. Tapi, jangankan orangnya, bayangannya pun aku tidak melihatnya.
“Siapa kau ini?” tanyaku, dengan bulu kuduk semakin berdiri meremang.
“Kembalilah duduk di bibir sumur ini, Sayang!” suara iu kembali terdengar. Astaga! Aku baru menyadari kalau suadara itu terdengar lembut sekali. Ya, suara seorang wanita. Tapi, siapa dia? Mengapa ada wanita tengah malam begini?
“Jangan takut. Aku tidak akan menyakitimu. Duduklah kembali di bibir sumur ini, Sayang!” katanya lagi.
Entah mengapa, sekali ini aku menuruti perintahnya.
“Lihatlah ke dalam sumur dan tolong keluarkan aku dari dalam sumur ini,” pinta suara itu dengan nada lembut penuh permohonan.
Seperti terhipnotis, aku langsung melolong ke dalam sumur. Aneh bin ajaib! Di dalam sumur yang sudah tidak terpakai selama bertahun-tahun ternyata memang ada seorang perempuan. Dengan sigap aku kemudian berusaha mengeluarkan wanita cantik itu. Anehnya, saat itu, entah mengapa rasa takut yang tadi menyergap batinku telah hilang entah kemana. Bahkan, demi melihat kecantikan wanita itu, rasa takutku malah berubah menjadi rasa cinta dan sayang. Padahal, jelas aku tidak pernah mengenal, atau melihat wanita itu sebelumnya.
Kejadian selanjutnya sungguh terjadi di luar akal sehat. Nafsu birahiku tiba-tiba bergejolak saat melihat paha wanita itu tersingkap karena tertitup angin malam. Dan entah siapa yang memulai, tiba-tiba aku sudah bergumulnya. Ya, kami bercinta seperti laiknya sepasang kekasih yang dimabuk asmara setelah sekian lama tidak saling bersua.
Apa yang terjadi detik selanjutnya?
Aku terkulai lemas setelah menyemprotkan magma kenikmatan pada sesosok wanita cnatik tersebut. Entah berapa lama kami bercumbu. Yang pasti, sebelum pergi, wanita cantk itu memberikan selembar uang lima puluh ribuan rupiah padaku sambil berkata, “Uang ini sebagai awal dari kekayaanmu, Sayang!” Setelah itu dia pergi, dan bayangannya pun lenyap di telan gelap malam di ambang subuh.
Aku tertegun dan bingung. Aku sulit mempercayai apa yang barusan terjadi. Kuraba saku bajuku, ternyata selembar uang lima puluh ribuan rupiah itu benar-benar ada….
Pagi hari setelah kejadian ini, kepada Kartika aku pamit mencari rongsokan seperti biasanya. Tapi sebenarnya aku tidak mencari rongsokan. Aku masih bingung dan cemas bila teringat kejadian semalam.
“Apa sebenarnya maksud uang ini?” batinku sambil memegang uang Rp. 50.000 pemberi wanita misterius itu.
Meski pada awalnya sekedar mencoba-coba, akhirnya kubelanjarkan uang itu ke sebuah warung. Aku membeli beras, minyak goreng, telur dan beberapa makanan ringan untuk camilan isteriku. Setelah dihitung, jumlah belanjaanku Rp. 42.000. Jadi, aku masih menerima kembalian Rp. 8000
Sesampainya di rumah, bukan main senangnya isteriku. Dia menyambutku dengan rasa syukur.
“Alhamdulillah, akhirnya Mas Danu dapat rezeki kan?” ycap Kartika, memanjatkan rasa syukurnya.
Aku tersenyum, pura-pura ikut mengucapkan syukur. Dalam hati aku tetap berniat akan berusaha untuk menjaga rahasia ini.
Setelah menyerahkan belanjaan itu kepada Kartika, aku bergegas mandi. Saat kulepas bajuku, tiba-tiba uang Rp. 50.000 ribuan jatuh dari saku saku bajuku. Aku terpana dibuatnya. Aneh, bukankah uang itu sudah habis kubelanjakan? Lantas, kenapa bisa balik lagi ke saku bajuku?
Lambat laun akhirnya aku mulai menyadari bahwa uang Rp. 50.000 pemberian makhluk misterius itu memang bukanlah sembarang uang. Mungkin, ini adalah uang siluman? Atau mungkin pula ini yang dinakaman Uang Balik?
Pada awalnya, batinku gelisah karena kenyataan ini. Namun celakanya, lambat laun aku malah menikmati keanehan ini. Mungkin, karena semakin hari uangku semakin banyak. Bayangkan saja, setiap kali aku belanja uangku pasti kembali utuh. Bukan hanya barang yang kubeli yang kuterima, tapi sekaligus juga uang kembaliannya.
Untuk menghindari kecurigaan isteriku, aku berdalih bisnis barang antik dengan orang kaya. Karena ketulusan cintanya, isteriku percaya saja dengan kebohonganku.
Berkat Uang Balik itu, dalam waktu yang tidak terlalu lama, aku mampu membeli rumah, sawah, dan beberapa areal tanah yang cukup luas. Pekarangan yang luas tersebut aku kapling-kapling menjadi rumah, kemudian aku jual perunit. Maka jangan heran bila akhirnya aku mampu membeli mobil, juga rumah mewah beserta isinya.
Tahukah, ada satu hal yang harus kulakukan untuk mempertahankan kekayaan yang kumiliki. Setiap malam Jum’at Legi, aku harus melayani isteri gaibku yang bersemayam di sumur tua belakang rumah kami. Isteri gelapku ini bernama Puteri Sanca. Dia berasal dari bangsa lelembut. Dari Puteri Sanca tersebut kekayaanku bersumber.
Sampai sejauh ini Kartika, isteriku, tidak pernah tahu sepak terjangku. Dalam hati, sebenarnya aku merasa berdosa. Tapi biarlah semua ini menjadi rahasia hidupku.
Terlepas dari semua itu, setiap toko atau warung yang baru aku beli, entah itu beli semen, emas atau apa saja, uang dariku pasti hilang tak berbekas. Dan uang itu sebenarnya tidak hilang, tapi uang itu kembali padaku. Memang, banyak orang yang curiga padaku, tapi mereka tidak bisa membuktikan kecurigaannya itu. Apalagi aku selalu berbuat amal baik dengan membagi-bagikan sembako. Terutama setiap menjelang lebaran dan menjelang Ramadhan.
Aku juga selalu menyantuni anak-anak yatim piatu. Jadi, sepertinya aku bersih di mata masyarakat sekitar. Seiring dengan itu, kekayaanku semakin melimpah ruah. Dan yang membuatku bahagia Kartika, isteriku, bisa tersenyum senang dan hidup mewah.
Di luar sepengetahuanku, rupanya secara diam-diam ada orang yang merasa tertipu oleh ulahku mencari orang pintarl Akhirnya, orang itu menemukan penangkalnya. Dan orang ini memberikan rahasia penangkal ini kepada pemilik warung atau toko yang lainnya.
Apa yang kemudian terjadi?
Entah bagaimana, setiap aku membeli sesuatu, uangku tidak kembali lagi seperti biasanya. Bahkan uangku yang kusimpan dibrangkas, tiba-tiba lenyap tanpa sebab. Karena itulah, dalam waktu singkat, hartaku mulai menipis. Aku benar-benar shock dengan kenyataan ini.
Sementara itu, tanpa kuduga isteriku juga mulai curiga dengan sepak terjangku. Dia berusaha menyadarkanku, tapi aku menangkisnya dengan kera.
“Aku tidak sudi Mas mencari harta dengan bersekutu dengan setan. Itu namanya murtad, Mas!” kata isteriku, suatu malam. Baru kali ini kulihat dia berkata keras seperti itu kepadaku.
Bukannya insyaf, aku malah menendang dan menamparnya. Aku benar-benar berubah beringas, terlebih setelah tahu kalau isteriku ternyata mencari orang pintar dan menyuruh orang untuk menguburkan uangku di kuburan.
Setelah mengetahui perbuatan Kartika ini, dengan kejam kuinjak-injak tubuhnya. Untung para tetangga segera menolongnya. Kalau tidak, mungkin aku telah membunuh isteriku sendiri.
Dengan kalap aku berlari menuju sumur tua tempat puteri Sanca. Aku berteriak-teriak memanggil namanya. “Keluar puteri Sanca! Tolong aku. Beri aku uang. Aku tidak ingin jatuh miskin, aku tidak ingin jadi kere!” Pintaku menghiba.
Tiba-tiba dari dalam sumur tua tersebut keluar seorang nenek renta berbaju compang-camping dan berbau anyir. Orang-orang yang melihatnya pada muntah dan menutup hidungnya.
“Pergi kamu nenek busuk! Aku mau puteri Sanca, bukan kamu!” bentakku setelah meludah karena rasa jijik.
Nenek itu tertawa menyeramkan. “Puteri Sanca itu ya aku. Ayo sini. Kamu telah melanggar kesepakatan, sudah dua malam Jum’at, kamu tidak memenuhi hasrat birahiku!” ucapnya sambil berusaha menyeretku ke dalam sumur tua.
Melihat itu, isteriku berusaha meraih tanganku. Aku sendiri terus meronta melakukan perlawanan.
“Kartika toloong aku…tolong aku!” pintaku setengah putus asa. Percuma saja, puteri Sanca yang ternyata siluman tua renta berhasil menyeretku masuk ke dalam sumur.
Kudengar saat-saat terakhir isteri berteriak pilu memanggil namaku. Dan suara isteriku itu rasanya begitu nyeri terdengar di telingaku. Selanjutnya aku tidak mendengar apa-apa lagi. Pandanganku jadi gelap dan pekat….
Saat siuman, kudapati diriku berada di ruang perawatan sebuah rumah sakit. Sekujur tubuhku terasa nyeri. Namun, rasa nyeri itu seakan lenyap saat kulihat Kartika menatapku dengan senyum, walau kulihat matanya bengkak dan merah.
“Apa yang terjadi denganku, Tika?” tanyaku.
Kartika tak menjawab. Dia berusaha menenangkanku,. Di saat yang sama, baru kusadari kalau di dalam ruangan itu ada juga ayah dan ibuku, kedua mertuaku, juga seorang lelaki tua bersorban putih, yang belakangan kuketahui namanya sebagai Kyai Abdullah (samaran).
Nah, Kyai Abdullah inilah yang kini membimbing pertobatanku. Belakangan aku tahu kalau pada hari itu, aku benar-benar jatuh ke dalam sumur tua tersebut. Untunglah para tetangga menyelamatkanku, walau beberapa persendianku dinyatakan patah oleh dokter.
Kini, aku telah sembuh dan sehat wal’afiat. Satu hal yang paling kusyukuri, Allah SWT masih memberiku panjang umur, sehingga aku bisa melakukan tobatan nasuha. Walau kekayaanku telah habis, namun aku bersyukur sebab masih memiliki Iman Islam. Dan, aku juga masih bisa merasa bangga sebab memiliki isteri salehah seperti Kartika.
Dengan sedikit sisa uang yang ada, Kartika kini membuka sebuah warung kecil-kecilan, sedangkan aku tinggal di pesentran milik Kyai Abdullah. Entah untuk berapa lama lagi….
DIKUNTIT DEDEMIT GUNUNG SALAK
Gara-gara ada salah seorang peserta wanita yang membuang pembalut sembarangan, rombongan pecinta alam itu mengalami rentetan kejadian aneh. Bahkan, si peserta yang membuang pembalutnya itu terud dikuntit oleh dedemit gunung Salak. Apa yang terjadi selanjutnya…?
Sebagai seorang pendaki, banyak kejadian mistik yang kualami ketika aku mendaki gunung. Tapi, kisah yang kutulis ini adalah yang paling menyeramkan dalam riwayat pendakianku ke sejumlah gunung. Peristiwa ini menyebabkan trauma selama 1 tahun lebih. Berikut kisahnya…:
Seperti biasa, setiap tahun organisasi kami, Mahasiswa Pecinta Alam, pada sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, selalu mengadakan diklat atau pelatihan untuk calon anggota baru. Kali ini, kegiatan tersebut diadakan di gunung Salak, Sukabumi.
Dari awal pemberangkatan menuju lokasi pertama, keadaan baik-baik saja. Semua berjalan sesuai schedule yang telah ditetapkan panitia. Kebetulan, aku menjadi mentor pembimbing untuk 1 grup, yang terdiri dari Keni, Irfan dan Agung. Tugasku adalah mengawasi dan membimbing mereka selama dalam pendakian. Sedangkan 2 grup lagi, dipimpin oleh Bayu dan Hendi. Jumlah peserta termasuk senior dan panitia tak kurang dari 20 orang.
Perjalanan menuju lokasi pendakian pertama ditempuh sekitar 2 Km. Itupun baru tahap pemanasan. Para catas (istilah untuk calon anggota) harus berjalan sejauh 2 Km. dengan membawa beban carrier rata-rata 9 – 12 Kg/orang. Selama dalam perjalanan, tampak sekali aku lihat para catas ini sangat kelelahan. Apalagi Keni yang kebetulan catas wanita satu-satunya.
Ketika perjalanan mulai memasuki perhutanan, terjadi sedikit kekacauan pada Keni. Tiba-tiba dia ketakutan sambil memegang tangan rekan sesama cates.
“Ada apa Ken?” tanyaku, agak jengkel juga.
“Lihat, Kak Ida! Di sana ada orang tinggi besar menghadang jalan kita,” jawab Keni. Tangannya gemetar menunjuk ke depan.
Tapi aku dan yang lainnya tidak melihat orang yang dimaksudnya.
“Mana Ken, kamu jangan bercanda ya. Ayo, kita jalan lagi!” perintahku.
“Tidak…tidak! Aku takut, Kak!” bantah Keni, setengah merengek.
“Kalau kamu tidak melanjutkan pendidikan ini, kamu batal jadi catas. Lagian kamu jangan nyusahin gitu, dong!” kataku mengingatkan.
Keni hampir menangir. Untunglah, karena bujkan dari beberapa teman catas dan semangat dari para senior, akhirnya dia mau melanjutkan perjalanan.
Untuk menuju titik pendakian pertama, jalan yang kami lalui sudah sedikit sulit, apalagi para senior cowok harus membuka jalur terlebih dahulu. Ditambah lagi rute yang becek dan licin karena seringnya turun hujan.
Ketika hari menjelang sore, kami harus mencari lokasi peristirahatan. Setelah mendapat lokasi yang cukup baik, kami mulai memasang tenda. Ada sebagian yang membuat makan malam, dan tak lupa membuat perapian untuk penerangan dan menghangatkan badan.
Setelah rapi semuanya, para senior mengumpulkan catas untuk evaluasi dan pelaksanaan jadwal besok hari. Waktu itu, jelas sekali kulihat wajah Keni yang pucat dengan pandangan kosong.
“Kamu kenapa, Ken?” tanyaku, tapi Keni diam saja.
Untuk kedua kalinya aku bertanya, “He, ngapain kami bengong saja. Masuk nggak tuh pelajaran?” bentak Jawir sebagai panitia pelaksana lapangan.
Keni tersentak kaget. “I…iya, Kak!” geragapnya.
Setelah evaluasi selesai, para catas dipersilahkan kembali ke tendanya masing-masing. Begitu juga dengan para senior.
Namun, belum sampai setengah jam kami beristirahat, tiba-tiba terdengar suara Keni berteriak keras. “Tolooong…!!”
Sontak kami berhamburan keluar menghampiri tendanya. Apa yang terjadi?
Kami melihat wajah Keni berubah menyeramkan. Matanya melotot ke atas. Ketika salah seorang dari kami menanyakan keadaannya, tiba-tiba Keni malah tertawa keras. Namun, itu bukan suara tawanya yang asli. Tawa itu seperti suara seorang lelaki.
Lebih aneh lagi, Keni juga bisa tertawa dengan suara wanita cekikikkan mirip Mak Lampir dalam sintron. Akhirnya, kami sadar kalau Keni kerasukan.
“Siapa kamu ini sebenarnya?” tanya Jawir yang memang paling senior dari kami.
Keni tertawa dan menyeringai. “Aing nu boga tempat ieu (aku yang punya tempat ini),” jawabnya dengan suara bariton yang berat milik laki-laki.
“Kami mohon maaf apabila berbuat kesalahan. Tapi tolong bebaskan teman kami ini. Dia tidak tahu apa-apa,” bujuk Jawir.
Keni hanya diam. Anehnya, beberapa saat kemudian Keni berubah tenang. Namun, ketika aku memintanya itirahat di dalam tenda, tiba-tiba Keni kembali lagi berteriak dan meronta-ronta. Sontak Jawir mendekap tubuh Keni. Bahkan karena takut terjadi sesuatu, kami bersepakat mengikat kaki dan tangan Keni. Ya, kami takut Keni akan lari dan masuk jurang.
Sampai pagi harinya, kami tidak tidur hanya menunggui Keni yang sebentar-bentar kerasukan dan mengamuk. Namun, karena schedule harus dilaksanakan, maka kami harus berkemas untuk menuju lokasi berikutnya.
Kali ini, rute yang kami tempuh sangat sulit. Hujan yang turun mengakibatkan jalan setapak becek dan licin, sehingga kami harus ekstra hati-hati.
Karena sulitnya medan, perjalanan kami jadi sangat lambat dan melelahkan. Akhirnya kami memilih berhenti ketika melihat Keni tiba-tiba terjatuh. Beberapa peserta lelaki membopong tubuh Keni yang terjatuh.
Anehnya, Keni meronta-ronta sambil mendengus seperti seekor harimau.
“Aku suka dengan anak ini!” kata makhluk itu dengan suara sangat menakutkan.
Kami kembali sibuk mengurusi Keni. Rupanya demit ini menyukai Keni dan selalu mengikutinya.
Dengan sisa-sisa keberanian para senior bergantian mengintrogasi si demit yang tentu saja dengan bahasa Sunda. Akhirnya, diketahui mengapa demit itu selalu mengikuti Keni. Rupanya, Keni telah membuang bekas pembalut sembarangan.
Demit tersebut sangat bandel, tidak bisa disuruh keluar. Hal ini memaksa Sapri, senior yang mengerti spiritual mengusir dengan doa-doa. Tetapi tetap saja demit itu bersamayam di tubuh Keni.
Aku yang tak tega melihat Keni, langsung membacakan doa-doa ditelinganya. Ketika baru selesai, tiba-tiba mata Keni melotot ke arahku sambil tertawa dengan suara lelaki yang mengeramkan.
“Kamu gadis cantik sekali…!” kata demit yang bersemayam dalam tubuh Keni. Sontak aku menjauhi Keni, karena dia sepertinya ingin menyentuhku. Dengan sigap pula Ema, teman seniorku, langsung menutup mata Keni karena pandangannya tak lepas dariku.
Karena keadaan Keni yang tambah buruk, pendakian akhirnya kamu tunda. Kami pun kembali membuka tenda. Jadwal yang telah disusun tidak terlaksana dengan baik.
Pagi harinya, tepatnya hari ketiga, kami kembali lagi berkemas untuk menuju lokasi berikutnya.
Sebelum berangkat Hendi, teman kami, melihat ada seekor anjing berbulu putih di balik semak-semak.
“Aneh, kok ada anjing hutan menghampiri tenda kita?” tanya Hendi.
“Mungkin saja dia mencium makanan yang kita bawa,” jawab Sapri.
Tanpa menaruh curiga, kami pun segera melanjutkan pendakian. Kali ini pendakian benar-benar sulit. Selain cuaca yang tidak mendukung karena hujan turun dengan lebatnya, juga kondisi peserta yang mulai kurang vit.
Hal yang tidak masuk akal, di tengah perjalan dan derasnya hujan yang memaksa kami harus ekstra hati-hati itu, aku dikagetkan dengan kemunculan Keni yang tiba-tiba berjalan dengan cepat dan sudah berada di depanku.
“Yang lainya mana, Ken?” tanyaku, tanpa menaruh curiga.
“Mereka masih jauh, Kak. Ayo, kita jalan duluan dan tetap semangat, Kak!”
Kata-kata Keni ini membuatku heran dan penasaran. Namun, aku hanya terdiam sambil terus berdoa memohon perlindungan Yang Maha Kuasa.
Akhirnya, aku dan Keni menyusul rombongan terdepan. Tapi aku heran karena semak yang kami pangkas untuk dilewati, bisa tertutup kembali dengan sendirinya.
“Kita tunggu yang lainnya,” kata Jawir yang sudah berhasil aku susul bersama Keni.
Tak berapa lama, rombongan paling belakang telah sampai.
“Bagaimana ini, jalur yang sudah dipangkas, kok bisa tertutup kembali?” tanya Jawir ke Eko sebagai ketua rombongan.
“Sudahlah, kita pangkas lagi di tempat yang tadi juga!” ujar Eko yang mencoba tetap tenang.
Seringnya terjadi keanehan, membuat kami harus berjalan beriringan jangan sampai terpisah jauh. Karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sementara itu, sambil terus berdoa, tak sedetikpun pengawasanku lepas dari Keni yang kulihat ada kejanggalan pada dirinya.
Karena kondisi yang tak memungkinkan dan haripun menjelang sore, kembali kami membuka tenda di lokasi yang tidak sesuai rencana kami sebelumnya.
Hari keempat ini kami mengalami pendakian yang letihnya tiada tara. Ketika hari menjelang Maghrib, tiba-tiba kembali tubuh Keni dirasuki demit yang selalu mengikutinya. Keni meronta-ronta dan menendangi siapa saja yang dekat dengannya. Untunglah, Jawir dan Sapri dengan sigap menelikung tubuh Keni yang kecil itu. Karena tenaga Keni berubah sangat kuat, maka para senior dan para catas pun ikut memeganginya. Mereka membopong Keni ke tenda panitia yang lebi besar.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Sangat sulit dibayangkan. Tubuh Keni terus meronta dan menendangi sambil terus mengoceh dalam bahasa Sunda. Tujuh tenaga lelaki tak sanggup menahannya. Setelah tak ada yang sanggup memegangginya, sbentar-bentar tubuh Keni terangkat ke atas dan melayang-layang, seperti tertarik oleh kekuatan tak kasat mata. Beberapa teman senior berusaha menahannya. Keni berteriak keras dan tentu saja membuat kami yang wanita menangis histeris.
“Tolong….jangan bawa aku!” teriak Keni.
Kenyataan yang tak masuk akal terus saja terjadi. Keni seperti mengalami penyiksaan. Sebentar tubuhnya melayang, namun sebentar kemudian jatuh terempas ke tanah. Melihat kejadian ini, tak henti-hentinya kami mengumandangkan takbir. Sedang aku sendiri tak tahu lagi harus berbuat apa. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya.
Sampai lewat tengah malam, demit itu seolah terus menyiksanya, bahkan lebih sadis lagi. Kali ini, kemarahan sang iblis tak terbendung lagi. Wanita mana saja lengah, pasti akan diserang. Aneh sekali! Walaupun dalam penyiksaan yang tiada tara, tapi terkadang Keni tersadar bila demit itu keluar dari tubuhnya.
“Ema..awas dia mau masuk ke tubuh kamu!” teriak Keni memperingatkan Ema.
Kesal dengan peringatan itu, membuat demit itu marah luar biasa. Kembali dia menyiksa Keni dengan ulahnya yang semakin menjadi-jadi.
Mony yang sedari tadi sibuk dengan komat-kamitnya dengan spontan langsung mengumandangkan adzan pada jam setengah tiga pagi. Tiba-tiba keadaan menjadi hening, karena suara adzan. Kami yakin demit itu takut dengan adzan. Dia mungkin telah pergi meninggalkan tubuh Keni. Alhamdulillah, kami bersyukur karena Allah masih melindungi kami.
Tapi, dugaan kami salah. Sepertinya demit itu sadar, kalau dia hanya dikerjai oleh adzan Mony. Dia kembali dengan ganas dan menyiksa Keni, bahkan kali ini tak luput Mony kena sedikit bogemnya.
“He, kamu tidak takut dengan Allah?!” bentak Jawir.
“Tidak!” jawab demit itu meminjam mulut Keni.
“Masuk neraka kamu! Kafir kamu!” susul Sapri.
Iblis malah tertawa dengan sangat menyeramkan.
Pagi harinya, kami selaku panitia memutuskan untuk kembali turun mencari perumahan penduduk, dengan maksud untuk menyelamatkan Keni, karena walaupun hari telah pagi, demit itu tetap mengikuti dan menyiksa Keni.
Perjalanan turun diwarnai dengan pertarungan yang hebat, bahkan aku yang berlari paling belakang sempat carrier ditarik demit sialan itu, hampir-hampir aku terjerembat jatuh.
Bahkan, lewat mulit Keni demit itu mengancam bila telah lewat siang hari dia akan mengundang teman-temannya yang lebih banyak lagi.
Ketika kami hampir sampai di pemukiman penduduk, tiba-tiba demit sial berpindah merasuki tubuh Rani.
“Jangan….!” teriak Rani sambil menangis histeris. Rupanya, dengan jelas Rani melihat makhluk tinggi besar hitam dan berambut panjang itu. Karena tersadar, demit itu tidak berhasil merasuki tubuh Rani.
Singkat cerita, akhirnya Keni ditangani salah seorang supranturalis di kaki gunung Salak. Setelah ditangani, keadaan Keni mulai tenang dan tidak kacau lagi. Setelah itu kami memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta. Syukur Alhamdulillah, demit itu sudah tidak mengganggu lagi.
Dalam perjalanan pulang, aku yang tertidur di bus bermimpi Keni diikuti demit itu sambil menyeringai ke arahku. Sontak aku terbangun. Rupanya, Keni kembali mengamuk di bus.
Sampai di kampus, Keni langsung dibawa ke orang pintar. Orang pintar tersebut mengatakan, bahwa makhluk itu dulunya seorang jawara sakti dan melarikan diri ke gunung Salak sebagai tempatnya yang baru. Keni disukai makhluk jahanam ini, karena akan dijadikan pendamping di alam kegelapan. Karena itulah, ke mana pun dia pergi, makhluk itu akan mengikutinya.
Saat berusaha mengobati Keni, orang pintar tersebut menyuruh makhluk itu untuk kembali ke asalnya, tapi dia tidak mau kalau tidak di antar. Sudah barang tentu, tak satupun teman-teman yang mau mengantar, karena kami takut itu hanya jebakan saja.
Dengan kejadian tersebut, salama satu tahun lebih, aku merasa diikuti oleh makhluk itu. Sampai-sampai ke kamar mandi pun harus ditemani oleh kakak atau ibuku.
Sampai kini aku tidak tahu bagaimana nasib Keni selanjutnya. Namun, sempat kudengar kabar bahwa dia menjadi seorang muslimah yang taat. Mungkin, hanya dengan pilihan ini dia bisa melakukan penyembuhan untuk dirinya.
Sebagai seorang pendaki, banyak kejadian mistik yang kualami ketika aku mendaki gunung. Tapi, kisah yang kutulis ini adalah yang paling menyeramkan dalam riwayat pendakianku ke sejumlah gunung. Peristiwa ini menyebabkan trauma selama 1 tahun lebih. Berikut kisahnya…:
Seperti biasa, setiap tahun organisasi kami, Mahasiswa Pecinta Alam, pada sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta, selalu mengadakan diklat atau pelatihan untuk calon anggota baru. Kali ini, kegiatan tersebut diadakan di gunung Salak, Sukabumi.
Dari awal pemberangkatan menuju lokasi pertama, keadaan baik-baik saja. Semua berjalan sesuai schedule yang telah ditetapkan panitia. Kebetulan, aku menjadi mentor pembimbing untuk 1 grup, yang terdiri dari Keni, Irfan dan Agung. Tugasku adalah mengawasi dan membimbing mereka selama dalam pendakian. Sedangkan 2 grup lagi, dipimpin oleh Bayu dan Hendi. Jumlah peserta termasuk senior dan panitia tak kurang dari 20 orang.
Perjalanan menuju lokasi pendakian pertama ditempuh sekitar 2 Km. Itupun baru tahap pemanasan. Para catas (istilah untuk calon anggota) harus berjalan sejauh 2 Km. dengan membawa beban carrier rata-rata 9 – 12 Kg/orang. Selama dalam perjalanan, tampak sekali aku lihat para catas ini sangat kelelahan. Apalagi Keni yang kebetulan catas wanita satu-satunya.
Ketika perjalanan mulai memasuki perhutanan, terjadi sedikit kekacauan pada Keni. Tiba-tiba dia ketakutan sambil memegang tangan rekan sesama cates.
“Ada apa Ken?” tanyaku, agak jengkel juga.
“Lihat, Kak Ida! Di sana ada orang tinggi besar menghadang jalan kita,” jawab Keni. Tangannya gemetar menunjuk ke depan.
Tapi aku dan yang lainnya tidak melihat orang yang dimaksudnya.
“Mana Ken, kamu jangan bercanda ya. Ayo, kita jalan lagi!” perintahku.
“Tidak…tidak! Aku takut, Kak!” bantah Keni, setengah merengek.
“Kalau kamu tidak melanjutkan pendidikan ini, kamu batal jadi catas. Lagian kamu jangan nyusahin gitu, dong!” kataku mengingatkan.
Keni hampir menangir. Untunglah, karena bujkan dari beberapa teman catas dan semangat dari para senior, akhirnya dia mau melanjutkan perjalanan.
Untuk menuju titik pendakian pertama, jalan yang kami lalui sudah sedikit sulit, apalagi para senior cowok harus membuka jalur terlebih dahulu. Ditambah lagi rute yang becek dan licin karena seringnya turun hujan.
Ketika hari menjelang sore, kami harus mencari lokasi peristirahatan. Setelah mendapat lokasi yang cukup baik, kami mulai memasang tenda. Ada sebagian yang membuat makan malam, dan tak lupa membuat perapian untuk penerangan dan menghangatkan badan.
Setelah rapi semuanya, para senior mengumpulkan catas untuk evaluasi dan pelaksanaan jadwal besok hari. Waktu itu, jelas sekali kulihat wajah Keni yang pucat dengan pandangan kosong.
“Kamu kenapa, Ken?” tanyaku, tapi Keni diam saja.
Untuk kedua kalinya aku bertanya, “He, ngapain kami bengong saja. Masuk nggak tuh pelajaran?” bentak Jawir sebagai panitia pelaksana lapangan.
Keni tersentak kaget. “I…iya, Kak!” geragapnya.
Setelah evaluasi selesai, para catas dipersilahkan kembali ke tendanya masing-masing. Begitu juga dengan para senior.
Namun, belum sampai setengah jam kami beristirahat, tiba-tiba terdengar suara Keni berteriak keras. “Tolooong…!!”
Sontak kami berhamburan keluar menghampiri tendanya. Apa yang terjadi?
Kami melihat wajah Keni berubah menyeramkan. Matanya melotot ke atas. Ketika salah seorang dari kami menanyakan keadaannya, tiba-tiba Keni malah tertawa keras. Namun, itu bukan suara tawanya yang asli. Tawa itu seperti suara seorang lelaki.
Lebih aneh lagi, Keni juga bisa tertawa dengan suara wanita cekikikkan mirip Mak Lampir dalam sintron. Akhirnya, kami sadar kalau Keni kerasukan.
“Siapa kamu ini sebenarnya?” tanya Jawir yang memang paling senior dari kami.
Keni tertawa dan menyeringai. “Aing nu boga tempat ieu (aku yang punya tempat ini),” jawabnya dengan suara bariton yang berat milik laki-laki.
“Kami mohon maaf apabila berbuat kesalahan. Tapi tolong bebaskan teman kami ini. Dia tidak tahu apa-apa,” bujuk Jawir.
Keni hanya diam. Anehnya, beberapa saat kemudian Keni berubah tenang. Namun, ketika aku memintanya itirahat di dalam tenda, tiba-tiba Keni kembali lagi berteriak dan meronta-ronta. Sontak Jawir mendekap tubuh Keni. Bahkan karena takut terjadi sesuatu, kami bersepakat mengikat kaki dan tangan Keni. Ya, kami takut Keni akan lari dan masuk jurang.
Sampai pagi harinya, kami tidak tidur hanya menunggui Keni yang sebentar-bentar kerasukan dan mengamuk. Namun, karena schedule harus dilaksanakan, maka kami harus berkemas untuk menuju lokasi berikutnya.
Kali ini, rute yang kami tempuh sangat sulit. Hujan yang turun mengakibatkan jalan setapak becek dan licin, sehingga kami harus ekstra hati-hati.
Karena sulitnya medan, perjalanan kami jadi sangat lambat dan melelahkan. Akhirnya kami memilih berhenti ketika melihat Keni tiba-tiba terjatuh. Beberapa peserta lelaki membopong tubuh Keni yang terjatuh.
Anehnya, Keni meronta-ronta sambil mendengus seperti seekor harimau.
“Aku suka dengan anak ini!” kata makhluk itu dengan suara sangat menakutkan.
Kami kembali sibuk mengurusi Keni. Rupanya demit ini menyukai Keni dan selalu mengikutinya.
Dengan sisa-sisa keberanian para senior bergantian mengintrogasi si demit yang tentu saja dengan bahasa Sunda. Akhirnya, diketahui mengapa demit itu selalu mengikuti Keni. Rupanya, Keni telah membuang bekas pembalut sembarangan.
Demit tersebut sangat bandel, tidak bisa disuruh keluar. Hal ini memaksa Sapri, senior yang mengerti spiritual mengusir dengan doa-doa. Tetapi tetap saja demit itu bersamayam di tubuh Keni.
Aku yang tak tega melihat Keni, langsung membacakan doa-doa ditelinganya. Ketika baru selesai, tiba-tiba mata Keni melotot ke arahku sambil tertawa dengan suara lelaki yang mengeramkan.
“Kamu gadis cantik sekali…!” kata demit yang bersemayam dalam tubuh Keni. Sontak aku menjauhi Keni, karena dia sepertinya ingin menyentuhku. Dengan sigap pula Ema, teman seniorku, langsung menutup mata Keni karena pandangannya tak lepas dariku.
Karena keadaan Keni yang tambah buruk, pendakian akhirnya kamu tunda. Kami pun kembali membuka tenda. Jadwal yang telah disusun tidak terlaksana dengan baik.
Pagi harinya, tepatnya hari ketiga, kami kembali lagi berkemas untuk menuju lokasi berikutnya.
Sebelum berangkat Hendi, teman kami, melihat ada seekor anjing berbulu putih di balik semak-semak.
“Aneh, kok ada anjing hutan menghampiri tenda kita?” tanya Hendi.
“Mungkin saja dia mencium makanan yang kita bawa,” jawab Sapri.
Tanpa menaruh curiga, kami pun segera melanjutkan pendakian. Kali ini pendakian benar-benar sulit. Selain cuaca yang tidak mendukung karena hujan turun dengan lebatnya, juga kondisi peserta yang mulai kurang vit.
Hal yang tidak masuk akal, di tengah perjalan dan derasnya hujan yang memaksa kami harus ekstra hati-hati itu, aku dikagetkan dengan kemunculan Keni yang tiba-tiba berjalan dengan cepat dan sudah berada di depanku.
“Yang lainya mana, Ken?” tanyaku, tanpa menaruh curiga.
“Mereka masih jauh, Kak. Ayo, kita jalan duluan dan tetap semangat, Kak!”
Kata-kata Keni ini membuatku heran dan penasaran. Namun, aku hanya terdiam sambil terus berdoa memohon perlindungan Yang Maha Kuasa.
Akhirnya, aku dan Keni menyusul rombongan terdepan. Tapi aku heran karena semak yang kami pangkas untuk dilewati, bisa tertutup kembali dengan sendirinya.
“Kita tunggu yang lainnya,” kata Jawir yang sudah berhasil aku susul bersama Keni.
Tak berapa lama, rombongan paling belakang telah sampai.
“Bagaimana ini, jalur yang sudah dipangkas, kok bisa tertutup kembali?” tanya Jawir ke Eko sebagai ketua rombongan.
“Sudahlah, kita pangkas lagi di tempat yang tadi juga!” ujar Eko yang mencoba tetap tenang.
Seringnya terjadi keanehan, membuat kami harus berjalan beriringan jangan sampai terpisah jauh. Karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sementara itu, sambil terus berdoa, tak sedetikpun pengawasanku lepas dari Keni yang kulihat ada kejanggalan pada dirinya.
Karena kondisi yang tak memungkinkan dan haripun menjelang sore, kembali kami membuka tenda di lokasi yang tidak sesuai rencana kami sebelumnya.
Hari keempat ini kami mengalami pendakian yang letihnya tiada tara. Ketika hari menjelang Maghrib, tiba-tiba kembali tubuh Keni dirasuki demit yang selalu mengikutinya. Keni meronta-ronta dan menendangi siapa saja yang dekat dengannya. Untunglah, Jawir dan Sapri dengan sigap menelikung tubuh Keni yang kecil itu. Karena tenaga Keni berubah sangat kuat, maka para senior dan para catas pun ikut memeganginya. Mereka membopong Keni ke tenda panitia yang lebi besar.
Apa yang terjadi selanjutnya?
Sangat sulit dibayangkan. Tubuh Keni terus meronta dan menendangi sambil terus mengoceh dalam bahasa Sunda. Tujuh tenaga lelaki tak sanggup menahannya. Setelah tak ada yang sanggup memegangginya, sbentar-bentar tubuh Keni terangkat ke atas dan melayang-layang, seperti tertarik oleh kekuatan tak kasat mata. Beberapa teman senior berusaha menahannya. Keni berteriak keras dan tentu saja membuat kami yang wanita menangis histeris.
“Tolong….jangan bawa aku!” teriak Keni.
Kenyataan yang tak masuk akal terus saja terjadi. Keni seperti mengalami penyiksaan. Sebentar tubuhnya melayang, namun sebentar kemudian jatuh terempas ke tanah. Melihat kejadian ini, tak henti-hentinya kami mengumandangkan takbir. Sedang aku sendiri tak tahu lagi harus berbuat apa. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya.
Sampai lewat tengah malam, demit itu seolah terus menyiksanya, bahkan lebih sadis lagi. Kali ini, kemarahan sang iblis tak terbendung lagi. Wanita mana saja lengah, pasti akan diserang. Aneh sekali! Walaupun dalam penyiksaan yang tiada tara, tapi terkadang Keni tersadar bila demit itu keluar dari tubuhnya.
“Ema..awas dia mau masuk ke tubuh kamu!” teriak Keni memperingatkan Ema.
Kesal dengan peringatan itu, membuat demit itu marah luar biasa. Kembali dia menyiksa Keni dengan ulahnya yang semakin menjadi-jadi.
Mony yang sedari tadi sibuk dengan komat-kamitnya dengan spontan langsung mengumandangkan adzan pada jam setengah tiga pagi. Tiba-tiba keadaan menjadi hening, karena suara adzan. Kami yakin demit itu takut dengan adzan. Dia mungkin telah pergi meninggalkan tubuh Keni. Alhamdulillah, kami bersyukur karena Allah masih melindungi kami.
Tapi, dugaan kami salah. Sepertinya demit itu sadar, kalau dia hanya dikerjai oleh adzan Mony. Dia kembali dengan ganas dan menyiksa Keni, bahkan kali ini tak luput Mony kena sedikit bogemnya.
“He, kamu tidak takut dengan Allah?!” bentak Jawir.
“Tidak!” jawab demit itu meminjam mulut Keni.
“Masuk neraka kamu! Kafir kamu!” susul Sapri.
Iblis malah tertawa dengan sangat menyeramkan.
Pagi harinya, kami selaku panitia memutuskan untuk kembali turun mencari perumahan penduduk, dengan maksud untuk menyelamatkan Keni, karena walaupun hari telah pagi, demit itu tetap mengikuti dan menyiksa Keni.
Perjalanan turun diwarnai dengan pertarungan yang hebat, bahkan aku yang berlari paling belakang sempat carrier ditarik demit sialan itu, hampir-hampir aku terjerembat jatuh.
Bahkan, lewat mulit Keni demit itu mengancam bila telah lewat siang hari dia akan mengundang teman-temannya yang lebih banyak lagi.
Ketika kami hampir sampai di pemukiman penduduk, tiba-tiba demit sial berpindah merasuki tubuh Rani.
“Jangan….!” teriak Rani sambil menangis histeris. Rupanya, dengan jelas Rani melihat makhluk tinggi besar hitam dan berambut panjang itu. Karena tersadar, demit itu tidak berhasil merasuki tubuh Rani.
Singkat cerita, akhirnya Keni ditangani salah seorang supranturalis di kaki gunung Salak. Setelah ditangani, keadaan Keni mulai tenang dan tidak kacau lagi. Setelah itu kami memutuskan untuk segera kembali ke Jakarta. Syukur Alhamdulillah, demit itu sudah tidak mengganggu lagi.
Dalam perjalanan pulang, aku yang tertidur di bus bermimpi Keni diikuti demit itu sambil menyeringai ke arahku. Sontak aku terbangun. Rupanya, Keni kembali mengamuk di bus.
Sampai di kampus, Keni langsung dibawa ke orang pintar. Orang pintar tersebut mengatakan, bahwa makhluk itu dulunya seorang jawara sakti dan melarikan diri ke gunung Salak sebagai tempatnya yang baru. Keni disukai makhluk jahanam ini, karena akan dijadikan pendamping di alam kegelapan. Karena itulah, ke mana pun dia pergi, makhluk itu akan mengikutinya.
Saat berusaha mengobati Keni, orang pintar tersebut menyuruh makhluk itu untuk kembali ke asalnya, tapi dia tidak mau kalau tidak di antar. Sudah barang tentu, tak satupun teman-teman yang mau mengantar, karena kami takut itu hanya jebakan saja.
Dengan kejadian tersebut, salama satu tahun lebih, aku merasa diikuti oleh makhluk itu. Sampai-sampai ke kamar mandi pun harus ditemani oleh kakak atau ibuku.
Sampai kini aku tidak tahu bagaimana nasib Keni selanjutnya. Namun, sempat kudengar kabar bahwa dia menjadi seorang muslimah yang taat. Mungkin, hanya dengan pilihan ini dia bisa melakukan penyembuhan untuk dirinya.
GANASNYA SIHIR ULAR-ULAR RAMBUT
Konon, sihir ini merupakan peninggalan nenek moyang Bangsa India. Seseorang yang akan mewarisi sihir ular rambut, wajib melakukan sebentuk ritual pemujaan di rumah nenek moyangnya. Biasanya yang menjadi pewaris adalah keturunan yang berkelamin perempuan yang sudah bersuami….
Konon sihir sering ditumpangi atau dibantu oleh energi setan, sebagaimana yang diamalkan oleh mereka yang menguasai ilmu sihir warisan nenek moyang tempo dulu. Korban sihir dapat disembuhkan dengan ruqyah, doa, serta ramuan obat dari berjenis tumbuh-tumbuhan.
Kisah berikut ini masih ada hubungannya dengan kekuatan sihir. Karena alasan tertentu, si penutur kisah meminta agar jatidirinya disembunyikan. Berikut kisah lengkapnya…:
Saat itu, aku telah menikah dengan seorang gadis desa dari suku Mandaliling, dan menempati sebuah rumah sebagai hadiah perkawinan dari ayah mertua. Lokasi tempat kediaman kami ini letaknya agak terpencil dari rumah tetangga. Namun, rumah yang kami tempati cukup besar, asri dan bersih serta laik huni.
Air sungai yang letaknya tak jauh dari rumah kami sangat jernih, sehingga selain untuk mandi dan mencuci pakaian, airnya cukup laik untuk diminum. Perlu kuungkapkan bahwa desa tempat kami berdomisili dikenal sebagai daerah yang sudah kondang keangkerannya.
Si Piso Dainang, demikian nama desa itu. Letaknya lebih kurang 20 km dari kota Sipirok. Di perkampungan ini masih banyak ditemukan fenomena yang aneh-aneh. bahkan hingga kini dikenal merupakan daerah terlarang bagi siapa saja yang datang atau berkunjung dengan membawa niat yang tidak baik. Jika ketentuan ini dilanggar, maka nasibnya tidak akan beruntung.
Selain itu, ada sebuah pantangan yang dipegang teguh oleh warganya: Jangan sekali-kali berani mencoba mengambil barang orang tanpa hak, atau mencuri di kampung ini. Akibatnya cukup fatal. Bisa-bisa si pelaku akan tersesat, tidak tahu jalan pulang dan akan mengalami hal-hal yang sangat menakutkan.
Pantangan lainnnya yang perlu diketahui bagi pendatang, adalah tidak boleh bersiul pada malam hari, juga dilarang meludah di sembarang tempat, dan mengorek-ngorek kerak nasi. Yang paling pantang adalah menjemur celana dalam perempuan yang sedang haid di luar rumah atau dibiarkan tercampak di kamar mandi.
Demikianlah sekilas tentang berbagai pantangan di desan tempat aku dan isteriku tinggal. Walau kelihatannya main-main, namun tak seorang pun berani melanggar pantangan-pantangan tersebut.
Entah berhubungan atau tidak dengan berbagai pantangan tersebut, kisah menyeramkan ini akhirnya kualami….
Masih kuingat, hari itu bertepatan dengan Selasa Kliwon. Isteriku, sebut saja namanya Boru Lubis, baru pulang dari rumah sakit di kota Sipirok. Wanita yang sangat kucintai ini sempat dirawat inap akibat keguguran pada kelahirannya yang ketiga. Karena masih mengalami pendarahan, dia kulihat sering keluar masuk kamar mandi yang terletak di pinggir sungai samping rumah kami. Kamar mandi ini berdinding bilik bambu tanpa atap di atasnya.
Beberapa hari setelah kepulangan isteriku dari rumah sakit, malamnya aku mendapat giliran ronda. Aku sedang asyik ngobrol dengan beberapa petugas jaga lainnya, ketika malam itu terlihat dari arah puncak bukit segumpal cahaya merah seukuran ikatan sapu lidi. Aku tertarik melihat penampakan ini karena cahaya aneh itu meluncur deras ke arah rumahku. Sepertinya, cahaya itu turun dan masuk ke dalam sumur.
Melihat keanehan ini, menyebabkan hatiku tidak tenang dan agak cemas. Jantungku terdegup kencang sebab rasa khawatir menyelinap dalam dada begitu menyadari bahwa saat itu aku meninggalkan isteriku yang belum pulih kesehatannya di rumah bersama dua orang anak-anak kami yang masih kecil.
Untuk menyelidiki fenomena aneh tersebut, aku bersama dua orang petugas ronda bergegas menuju cahaya tadi menghilang. Begitu tiba di sana, alangkah kagetnya kami menyaksikan ramainya ular-ular seukuran belut sawah. Yang membuat kami bnyaris terkencing-kencing, ternyata gerombolan ular ini bertaut pada sepotong kepala perempuan. Ular-ular yang panjangnya kurang lebih 70 cm kemudian berkeliaran di seputar sumur. Mereka saling berebut merubungi celana dalam isteriku yang siang tadi mungkin lupa dicci akibat keletihan.
Cukup lama aku dan dua rekanku melihat keanehan ini. Kami terkesima seperti laiknya orang terkena sihir. Hawa mistis memang menyungkup suasana malam itu. Kami masih terpana ketika ular-ular itu lenyap begitu saja meninggalkan celana dalam isteriku yang penuh dengan lubang bekas gigitan mereka.
Aku baru sadar dari ketersimaanku, ketika terdengar suara isteriku menjerit-jerit seperti orang menahan kesakitan. Bersamaan dengan itu, para tetangga menjadi terbangun dan mereka segera berhamburan menuju rumah kami.
Saat kulihat, isteriku pingsan. Namun yang membikin seram, pada bagian sekitar perutnya yang terbuka, tumbuh rambut-rambut aneh dan menjijikan dalam bentuk jalinan berwujud ular-ular kecil sebesar kepala lidi yang kepalanya bergerak kian kemari. Pemandangan ini amat mirip seperti yang kulihat di dekat sumur.
Tak ayal lagi, para tetangga yang hadir tampak ketakutan menyaksikannya. Seorang demi seorang, mereka kemudia mundur meninggalkan rumah kami. Yang bertahan, hanya dua lelaki tua, namun mereka nampak kebingungan juga menyaksikan fenomena aneh sekaligus menyeramkan ini.
Sementara itu, ular-ular rambut itu semakin banyak bermunculan, sementara isteriku terus merintih-rintih kesakitan. Ngeri aku memandangnya, dan tidak tahu harus berbuat apa.
Sayup-sayup kudengan adzan Subuh. Anehnya, bersamaan dengan itu, ular-ular mini di perut isteriku, kemudian menghilang dengan meninggalkan guratan-guratan kemerahan seperti bilur. Perempuan yang sangat kucintai itu pun tertidur karena lelah menahan sakit.
Ketika matahari menampakkan wajahnya di ufuk timur, isteriku mulai tersadar. Namun, dia nampaknya seperti orang bodoh dan tidak bisa di ajak bicara. Seharian perempuan yang bernama Boru Lubis ini hanya duduk termenung saja. Ketika kucoba menegurnya, dia hanya diam. Paling-paling memandangku dengan sorot mata kosong. Entah apa yang terjadi dengannya?
Malam berikutnya, menjelang tengah malam, Boru Lubis kembali mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Kucoba menenangkannya ketika kulihat ular-ular rambut itu muncul lagi dari dalam perutnya. Dengan keberanian yang kupaksakan, nekad aku mencabut ular-ular seekor demi seekor. Isteriku menjerit menahan sakit, bersamaan dengan tercabutnya ular-ular itu dari perutnya.
Tetapi…usaha yang nekad ini percuma. Aneh sekali! Begitu tercabut, maka ular-ular itu muncul lagi, seolah berurat akan di dalam perut isteriku.
Tetangga yang datang hanya melongo, tanpa mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya merasa prihatin.
Penyakit yang dialami isteriku benar-benar aneh dan mengerikan. Datang pada malam telah larut, tapi segera menghilang ketika pagi tiba. Namun, pada siang hari isteriku tidak bisa diajak ngomong sepatah pun, seperti orang bisu.
Melihat keanehan ini, terbersit dalam benakku, tidak mustahil ibu dari anak-anakku ini telah terkena guna-guna atau sihir. Untuk mastikan dugaan ini, aku segera melaporkan kasus ini ke ayah mertuaku di kota Sipirok. Ayah rupanya sependapat dengan diriku, bahwa anak perempuannya telah terserang ilmu gaib sejenis sihir. Beliau kemudian berusaha mendatangi orang pintar yang menguasai ilmu, bahkan hingga ke Tapanuli Utara. Namun, tidak seorangpun yang mampu menyembuhkan isteriku.
Sementara itu, hampir sebulan setiap malam Boru Lubis mengerang kesakitan pada saat ular-ular itu bermunculan. Tubuhnya mulai kurus, karena sejak kejadian pertama, dia sudah tidak berselera makan dan minum.
Upaya terakhir, kuputuskan memboyongnya ke rumah sakit di kota Sipirok. Dan hari itu aku sudah bersiap-siap berangkat mencari kendaraan, ketika pintu rumahku terdengar diketuk seseorang dari luar.
Aku bergegas membukanya. Di ambang pintu kulihat berdiri seorang lelaki tua berwajah hitam legam mengenakan jubah putih yang kontras sekali dengan rona wajah dan kulitnya.
Lelaki tua yang tidak kukenal ini, sesat mengumbar senyumnya sambil memperkenalkan dirinya. Dia mengaku seorang pengembara yang aslinya berasal dari daerah Benggali, India.
“Nama saya Mahipal Ranjit Singh!” ujarnya sembari mengulurkan tangan kea rahku, untuk mengajak bersalaman. Dia juga mengatakan, bahwa dirinya merasa terpanggil singgah, karena mengetahui di rumah kami ada orang yang sedang sakit.
“Tahu dari mana kalau isteri saya sedang sakit, Tuan?” tanyaku sedikit curiga.
Lelaki tua yang mengaku bernama Mahipal Ranjit Singh ini hanya mengulum senyum tanpa menjawab. Namun, sebagai tuan rumah yang baik, aku masih ingin bersikap santun. Aku menyilahkannya masuk dan duduk di kursi tamu.
Setelah duduk, degera saja dia bercerita tentang berbagai penyakit yang disebabkan oleh sihir. Dia juga memastikan bahwa penyakit isteriku datang dari sihir ular rambut yang ganas.
Aku hanya heran, karena tamu ini belum melihat kondisi isteriku yang masih terbaring lemah dalam kamar tidur, namun sepertinya sudah mengetahui bagaimana keadaannya.
“Boleh saya menjenguk si sakit?” tanyanya dengan nada santun. “Kalau memungkinkan, saya ingin membantu kesembuhannya.”
Melihat aku mengangguk-angguk, dia langsung berdiri dan kuantar masuk ke kamar tidur kami. Hanya sebentar saja dia memperhatikan isteriku, kemudian mengajakku keluar kembali dan duduk di kursi tamu.
“Dugaan saya benar. Isterimu terkena sihir ular rambut yang ganas. Dan kalau tidak ditolong dengan cepat akan menyebabkan kematian,” tuturnya pula.
Untuk meyakinkan diriku, tamua yang sering kupanggil “Tuan” ini kemudian berkisah tentang sejarah keberadaan sihir ular rambut. Konon, sihir itu merupakan peninggalan nenek moyang bangsa India. Agaknya, saudara-saudara dari negeri Hindustan yang datang ke Indonesia sempat mewariskan kepada warga setempat setelah dimodifikasi sedemikian rupa, sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Menurutnya, sihir ular rambut yang asli, dikenal sebagai pusaka keturunan keluarga. Seseorang yang akan mewarisi sihir ular rambut, wajib melakukan sebentuk ritual pemujaan di rumah nenek moyangnya yang berusia lanjut. Biasanya yang menjadi pewaris adalah keturunan yang berkelamin perempuan yang sudah bersuami.
Rumah nenek moyang biasanya terbuat dari dinding yang dilumuri lumpur dan tanpa jendela, kecuali sebuah pintu yang tidak boleh dibuka lama-lama ketika matahari bersinar terang. Saat itu, sebuah lampu minyak segera dinyalakan dekat pedupaan termasuk mengisi air minum dalam tempayan.
Manakala mereka yang akan mewarisi pusaka kuno ini memasuki rumah nenek moyang tersebut maka harus merangkak menggunakan kedua lutut dan siku-siku tangan. Tak bleh ngomong sepatah katapun. Semua dilakukan melalui isyarat. Begitu berada di dalamnya, mereka yang akan mewarisi sihir ular, harus melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhnya, lalu duduk bersila.
Setelah itu, maju ke depan sambil terus melakukan ritual pemujaan tanpa berbicara apapun, kecuali desah nafas belaka. Melalui pedupaan, kemudian menyeruak asap setanggi. Dan di depan mereka terletak lampu minyak yang menerangi ruangan secara samar-samar. Kemudian ritual pemujaan dilanjutkan dengan lebih khusyuk lagi sambil tegak berdiri dan tubuh mereka yang polos tanpa busana kemudian diarahkan menghadap lampu minyak tanpa bergerak-gerak.
Entah dari mana datangnya, seorang bertelanjang dada muncul dan mengangkat pedupaan. Sosok yang ini kemudian menghirup asap pedupaan dan menghembuskan asap setanggi itu keseluruh tubuh mereka yang mengikuti ritual.
Setelah itu, mereka diperintahkan duduk kembali di depan sosok telanjang dada. Para pelaku ritual kemudian bersedekap tangan di dada masing-masing. Mata mereka konsentrasi memandang ujung jari yang didekapkan di dada tadi.
Pemujaan dengan cara bersedekap tangan ini, dilakukan terus-menerus tanpa melakukan gerakan berupa apapun. Maka, tidak lama kemudian, nampak percikan api menimbulkan kilatan-kilatan sinar terlontar dari lampu minyak yang menyinari tubuh-tubuh mereka. Dan pada saat bersamaan, seluruh helai rambut di kepala mereka akan berdiri. Rambut yang berdiri tersebut kemudian bergerak dan memilin secara otomatis sehingga membentuk wujud ular mini.
Ritual ini harus dilakukan tujuh malam berturut-turut. Pada malam ketujuh, pelaku ritual harus menyediakan seekor hewan ternak, biasanya yang dipilih kambing untuk dijadikan korban sihir ular rambut. Kambing itu diikatkan didepan lampu minyak. Jarak antara kambing itu dengan pelaku yang melakukan pemujaan kira-kira 5 meter.
Tapi, khusus pada pemujaan malam terakhir itu, sosok telanjang dada meniupkan nafiri kedalam tubuh pelaku ritual melalui lobang tubuh mereka, seperti lobang telinga, pusar, aurat dan naus. Begitu energi nafiri beraktivitas dalam diri pelaku ritual, seluruh rambut mereka berdiri dan terayun-ayun pada saat berjalin-jalin berwujud ular-ular mini.
Fenomena itu yang terjadi pada malam ke tujuh, ketika ular-ular rambut yang berasal dari jalinan rambut dikepala pelaku ritual, tiba-tiba melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Menikam atau menusuk tubuh kambing yang sengaja dijadikan sebagai uji coba. Kambing yang dikorbankan, sebelumnya nampak gelisah ingin dilepaskan dari tali yang mengikatnya, menjadi terdiam tak bergerak.
Dan dalam hitungan detik, kemudian mati oleh bisa ular rambut dalam kondisi kaku.
“Demikian dahsyatnya pusaka karuhun sihir ular rambut yang asli tersebut,” kata Mahipal Ranjit Singh menutup kisahnya.
Aku yang sedari tadi menyimak cerita tamuku ini hanya diam, tidak mampu berkomentar sepatah katapun selain manggut-manggut saja.
“Seperti saya ungkapkan tadi, bahwa sihir ular rambut yang mendatangkan penyakit pada isterimu, bukan yang asli dari Hindustan, melainkan sudah dimodifikasi,” tambah Mahipal Ranjit Singh. “Jadi, masih ada harapan untuk disembuhkan. Meskipun sudah tiba pada puncak krisis,” tandasnya pula.
Tanpa banyak tanya, aku segera menyiapkan apa yang dimintanya. Baskom yang berisi air bersih diletakkan lelaki tua itu didekat isteriku. Kudengar mulutnya melafadzkan beberapa ayat Al-Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan mantera-mantera kuno yang sulit kumengerti.
Usai itu, Mahipal Ranjit Singh mengambil sesuatu dari balik jubah putihnya. Rupanya sebentuk piring porselin kecil antik yang kemudian dicelupkannya ke dalam air di baskom.
“Sebaiknya kamu buka baju isterimu,” pintanya kemudian dengan nada sopan dan berwibawa. Meski agak ragu-ragu, aku mematuhi arahannya demi kesembuhan isteri tercinta.
Begitu pakaian Boru Lubis tersingkap, Mahipal Ranjit Singh segera menelungkupkan piring antik tadi di dada isteriku. Apa yang terjadi?
Piring porselin ini langsung lengket ke dada isteriku. Bagaikan terhisap oleh energi magnet yang teramat kuat. Sejurus kemudian terdengar bunyi dentingan piring bersamaan mengendurnya tarikan magnet gaib tadi.
“Kekuatan sihir ular rambut ini, cukup lumayan juga. Meskipun sudah dimodifikasi oleh mereka yang mewariskannya,” desah Mahipal Ranjit Singh sambil membalikkan piring itu.
Aneh, dibalik piring itu nampak lengekt ular-ular rambut. Puluhan ekor jumlahnya, berwarna hitam legam dan wujudnya mirip cacing-cacing tanah. Sementara besarnya tak lebih dari kepala lidi dengan panjang sekitar 30 sentimeter.
Tak lama kemudian isteriku terbangun dari tidurnya. Aneh, dia sudah mampu berkomunikasi dengan baik meskipun dengan suara masih terbata-bata.
“Apa yang telah terjadi denganku, Bang?” tanyanya, kebingungan. Aku tersenyum haru.
“Sudah hampir sebulan kamu mengalami penyakit aneh,” jelasku sambil menahan air mata.
Boru Lubis tertegun cukup lama sambil memperhatikan tubuhnya yang kurus kering. Mungkin ingin memastikan apa yang kukatakan barusan. Kami saling berpelukan dan bertangisan, sehingga aku sendiri lupa pada Mahipal Ranjit Singh, tamu sekaligus dewa penolong kesembuhan isteriku itu.
Kemana perginya lelaki itu? Dia seperti menghilang tanpa jejak. Setelah kususul keluar rumah, aku kecewa dan menyesal karena belum sempat mengucapkan terima kasih padanya.
Namun, di ruang tamu kutemukan selembar kertas yang bertuliskan: “Maaf, saya berlalu tanpa pamit. Jadi saya tidak perlu diberi apapun, bahkan ucapan terima kasih sekalipun. Bersyukurlah dan berterima kasihlah kalian pada Allah SWT. Karena telah menggerakkan saya untuk singgah di rumah kalian yang memang butuh pertolongan. Yang perlu kalian ketahui, bahwa penyakit yang ditimbulkan oleh sihir ular rambut tersebut, dilakukan oleh orang iseng yang ingin mengadakan uji coba keampuhan ilmu yang dimilikinya. Jadi bukan karena ada unsur dendam. Selamat tinggal, dari saya sang pengembara.”
Cukup lama aku tertegun setelah membaca kalimat itu. Siapa sebenarnya lelaki tua yang mengaku sebagai pengembara itu? Apakah lelaki tua yang mengaku bernama Mahipal Ranjit Singh itu merupakan sosok malaikat atau jin muslim yang menyamar? Pertanyaan tersebut hingga kini belum pernah kuperoleh jawabannya.
Konon sihir sering ditumpangi atau dibantu oleh energi setan, sebagaimana yang diamalkan oleh mereka yang menguasai ilmu sihir warisan nenek moyang tempo dulu. Korban sihir dapat disembuhkan dengan ruqyah, doa, serta ramuan obat dari berjenis tumbuh-tumbuhan.
Kisah berikut ini masih ada hubungannya dengan kekuatan sihir. Karena alasan tertentu, si penutur kisah meminta agar jatidirinya disembunyikan. Berikut kisah lengkapnya…:
Saat itu, aku telah menikah dengan seorang gadis desa dari suku Mandaliling, dan menempati sebuah rumah sebagai hadiah perkawinan dari ayah mertua. Lokasi tempat kediaman kami ini letaknya agak terpencil dari rumah tetangga. Namun, rumah yang kami tempati cukup besar, asri dan bersih serta laik huni.
Air sungai yang letaknya tak jauh dari rumah kami sangat jernih, sehingga selain untuk mandi dan mencuci pakaian, airnya cukup laik untuk diminum. Perlu kuungkapkan bahwa desa tempat kami berdomisili dikenal sebagai daerah yang sudah kondang keangkerannya.
Si Piso Dainang, demikian nama desa itu. Letaknya lebih kurang 20 km dari kota Sipirok. Di perkampungan ini masih banyak ditemukan fenomena yang aneh-aneh. bahkan hingga kini dikenal merupakan daerah terlarang bagi siapa saja yang datang atau berkunjung dengan membawa niat yang tidak baik. Jika ketentuan ini dilanggar, maka nasibnya tidak akan beruntung.
Selain itu, ada sebuah pantangan yang dipegang teguh oleh warganya: Jangan sekali-kali berani mencoba mengambil barang orang tanpa hak, atau mencuri di kampung ini. Akibatnya cukup fatal. Bisa-bisa si pelaku akan tersesat, tidak tahu jalan pulang dan akan mengalami hal-hal yang sangat menakutkan.
Pantangan lainnnya yang perlu diketahui bagi pendatang, adalah tidak boleh bersiul pada malam hari, juga dilarang meludah di sembarang tempat, dan mengorek-ngorek kerak nasi. Yang paling pantang adalah menjemur celana dalam perempuan yang sedang haid di luar rumah atau dibiarkan tercampak di kamar mandi.
Demikianlah sekilas tentang berbagai pantangan di desan tempat aku dan isteriku tinggal. Walau kelihatannya main-main, namun tak seorang pun berani melanggar pantangan-pantangan tersebut.
Entah berhubungan atau tidak dengan berbagai pantangan tersebut, kisah menyeramkan ini akhirnya kualami….
Masih kuingat, hari itu bertepatan dengan Selasa Kliwon. Isteriku, sebut saja namanya Boru Lubis, baru pulang dari rumah sakit di kota Sipirok. Wanita yang sangat kucintai ini sempat dirawat inap akibat keguguran pada kelahirannya yang ketiga. Karena masih mengalami pendarahan, dia kulihat sering keluar masuk kamar mandi yang terletak di pinggir sungai samping rumah kami. Kamar mandi ini berdinding bilik bambu tanpa atap di atasnya.
Beberapa hari setelah kepulangan isteriku dari rumah sakit, malamnya aku mendapat giliran ronda. Aku sedang asyik ngobrol dengan beberapa petugas jaga lainnya, ketika malam itu terlihat dari arah puncak bukit segumpal cahaya merah seukuran ikatan sapu lidi. Aku tertarik melihat penampakan ini karena cahaya aneh itu meluncur deras ke arah rumahku. Sepertinya, cahaya itu turun dan masuk ke dalam sumur.
Melihat keanehan ini, menyebabkan hatiku tidak tenang dan agak cemas. Jantungku terdegup kencang sebab rasa khawatir menyelinap dalam dada begitu menyadari bahwa saat itu aku meninggalkan isteriku yang belum pulih kesehatannya di rumah bersama dua orang anak-anak kami yang masih kecil.
Untuk menyelidiki fenomena aneh tersebut, aku bersama dua orang petugas ronda bergegas menuju cahaya tadi menghilang. Begitu tiba di sana, alangkah kagetnya kami menyaksikan ramainya ular-ular seukuran belut sawah. Yang membuat kami bnyaris terkencing-kencing, ternyata gerombolan ular ini bertaut pada sepotong kepala perempuan. Ular-ular yang panjangnya kurang lebih 70 cm kemudian berkeliaran di seputar sumur. Mereka saling berebut merubungi celana dalam isteriku yang siang tadi mungkin lupa dicci akibat keletihan.
Cukup lama aku dan dua rekanku melihat keanehan ini. Kami terkesima seperti laiknya orang terkena sihir. Hawa mistis memang menyungkup suasana malam itu. Kami masih terpana ketika ular-ular itu lenyap begitu saja meninggalkan celana dalam isteriku yang penuh dengan lubang bekas gigitan mereka.
Aku baru sadar dari ketersimaanku, ketika terdengar suara isteriku menjerit-jerit seperti orang menahan kesakitan. Bersamaan dengan itu, para tetangga menjadi terbangun dan mereka segera berhamburan menuju rumah kami.
Saat kulihat, isteriku pingsan. Namun yang membikin seram, pada bagian sekitar perutnya yang terbuka, tumbuh rambut-rambut aneh dan menjijikan dalam bentuk jalinan berwujud ular-ular kecil sebesar kepala lidi yang kepalanya bergerak kian kemari. Pemandangan ini amat mirip seperti yang kulihat di dekat sumur.
Tak ayal lagi, para tetangga yang hadir tampak ketakutan menyaksikannya. Seorang demi seorang, mereka kemudia mundur meninggalkan rumah kami. Yang bertahan, hanya dua lelaki tua, namun mereka nampak kebingungan juga menyaksikan fenomena aneh sekaligus menyeramkan ini.
Sementara itu, ular-ular rambut itu semakin banyak bermunculan, sementara isteriku terus merintih-rintih kesakitan. Ngeri aku memandangnya, dan tidak tahu harus berbuat apa.
Sayup-sayup kudengan adzan Subuh. Anehnya, bersamaan dengan itu, ular-ular mini di perut isteriku, kemudian menghilang dengan meninggalkan guratan-guratan kemerahan seperti bilur. Perempuan yang sangat kucintai itu pun tertidur karena lelah menahan sakit.
Ketika matahari menampakkan wajahnya di ufuk timur, isteriku mulai tersadar. Namun, dia nampaknya seperti orang bodoh dan tidak bisa di ajak bicara. Seharian perempuan yang bernama Boru Lubis ini hanya duduk termenung saja. Ketika kucoba menegurnya, dia hanya diam. Paling-paling memandangku dengan sorot mata kosong. Entah apa yang terjadi dengannya?
Malam berikutnya, menjelang tengah malam, Boru Lubis kembali mengerang kesakitan sambil memegangi perutnya. Kucoba menenangkannya ketika kulihat ular-ular rambut itu muncul lagi dari dalam perutnya. Dengan keberanian yang kupaksakan, nekad aku mencabut ular-ular seekor demi seekor. Isteriku menjerit menahan sakit, bersamaan dengan tercabutnya ular-ular itu dari perutnya.
Tetapi…usaha yang nekad ini percuma. Aneh sekali! Begitu tercabut, maka ular-ular itu muncul lagi, seolah berurat akan di dalam perut isteriku.
Tetangga yang datang hanya melongo, tanpa mampu berbuat apa-apa. Mereka hanya merasa prihatin.
Penyakit yang dialami isteriku benar-benar aneh dan mengerikan. Datang pada malam telah larut, tapi segera menghilang ketika pagi tiba. Namun, pada siang hari isteriku tidak bisa diajak ngomong sepatah pun, seperti orang bisu.
Melihat keanehan ini, terbersit dalam benakku, tidak mustahil ibu dari anak-anakku ini telah terkena guna-guna atau sihir. Untuk mastikan dugaan ini, aku segera melaporkan kasus ini ke ayah mertuaku di kota Sipirok. Ayah rupanya sependapat dengan diriku, bahwa anak perempuannya telah terserang ilmu gaib sejenis sihir. Beliau kemudian berusaha mendatangi orang pintar yang menguasai ilmu, bahkan hingga ke Tapanuli Utara. Namun, tidak seorangpun yang mampu menyembuhkan isteriku.
Sementara itu, hampir sebulan setiap malam Boru Lubis mengerang kesakitan pada saat ular-ular itu bermunculan. Tubuhnya mulai kurus, karena sejak kejadian pertama, dia sudah tidak berselera makan dan minum.
Upaya terakhir, kuputuskan memboyongnya ke rumah sakit di kota Sipirok. Dan hari itu aku sudah bersiap-siap berangkat mencari kendaraan, ketika pintu rumahku terdengar diketuk seseorang dari luar.
Aku bergegas membukanya. Di ambang pintu kulihat berdiri seorang lelaki tua berwajah hitam legam mengenakan jubah putih yang kontras sekali dengan rona wajah dan kulitnya.
Lelaki tua yang tidak kukenal ini, sesat mengumbar senyumnya sambil memperkenalkan dirinya. Dia mengaku seorang pengembara yang aslinya berasal dari daerah Benggali, India.
“Nama saya Mahipal Ranjit Singh!” ujarnya sembari mengulurkan tangan kea rahku, untuk mengajak bersalaman. Dia juga mengatakan, bahwa dirinya merasa terpanggil singgah, karena mengetahui di rumah kami ada orang yang sedang sakit.
“Tahu dari mana kalau isteri saya sedang sakit, Tuan?” tanyaku sedikit curiga.
Lelaki tua yang mengaku bernama Mahipal Ranjit Singh ini hanya mengulum senyum tanpa menjawab. Namun, sebagai tuan rumah yang baik, aku masih ingin bersikap santun. Aku menyilahkannya masuk dan duduk di kursi tamu.
Setelah duduk, degera saja dia bercerita tentang berbagai penyakit yang disebabkan oleh sihir. Dia juga memastikan bahwa penyakit isteriku datang dari sihir ular rambut yang ganas.
Aku hanya heran, karena tamu ini belum melihat kondisi isteriku yang masih terbaring lemah dalam kamar tidur, namun sepertinya sudah mengetahui bagaimana keadaannya.
“Boleh saya menjenguk si sakit?” tanyanya dengan nada santun. “Kalau memungkinkan, saya ingin membantu kesembuhannya.”
Melihat aku mengangguk-angguk, dia langsung berdiri dan kuantar masuk ke kamar tidur kami. Hanya sebentar saja dia memperhatikan isteriku, kemudian mengajakku keluar kembali dan duduk di kursi tamu.
“Dugaan saya benar. Isterimu terkena sihir ular rambut yang ganas. Dan kalau tidak ditolong dengan cepat akan menyebabkan kematian,” tuturnya pula.
Untuk meyakinkan diriku, tamua yang sering kupanggil “Tuan” ini kemudian berkisah tentang sejarah keberadaan sihir ular rambut. Konon, sihir itu merupakan peninggalan nenek moyang bangsa India. Agaknya, saudara-saudara dari negeri Hindustan yang datang ke Indonesia sempat mewariskan kepada warga setempat setelah dimodifikasi sedemikian rupa, sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Menurutnya, sihir ular rambut yang asli, dikenal sebagai pusaka keturunan keluarga. Seseorang yang akan mewarisi sihir ular rambut, wajib melakukan sebentuk ritual pemujaan di rumah nenek moyangnya yang berusia lanjut. Biasanya yang menjadi pewaris adalah keturunan yang berkelamin perempuan yang sudah bersuami.
Rumah nenek moyang biasanya terbuat dari dinding yang dilumuri lumpur dan tanpa jendela, kecuali sebuah pintu yang tidak boleh dibuka lama-lama ketika matahari bersinar terang. Saat itu, sebuah lampu minyak segera dinyalakan dekat pedupaan termasuk mengisi air minum dalam tempayan.
Manakala mereka yang akan mewarisi pusaka kuno ini memasuki rumah nenek moyang tersebut maka harus merangkak menggunakan kedua lutut dan siku-siku tangan. Tak bleh ngomong sepatah katapun. Semua dilakukan melalui isyarat. Begitu berada di dalamnya, mereka yang akan mewarisi sihir ular, harus melepaskan semua pakaian yang melekat di tubuhnya, lalu duduk bersila.
Setelah itu, maju ke depan sambil terus melakukan ritual pemujaan tanpa berbicara apapun, kecuali desah nafas belaka. Melalui pedupaan, kemudian menyeruak asap setanggi. Dan di depan mereka terletak lampu minyak yang menerangi ruangan secara samar-samar. Kemudian ritual pemujaan dilanjutkan dengan lebih khusyuk lagi sambil tegak berdiri dan tubuh mereka yang polos tanpa busana kemudian diarahkan menghadap lampu minyak tanpa bergerak-gerak.
Entah dari mana datangnya, seorang bertelanjang dada muncul dan mengangkat pedupaan. Sosok yang ini kemudian menghirup asap pedupaan dan menghembuskan asap setanggi itu keseluruh tubuh mereka yang mengikuti ritual.
Setelah itu, mereka diperintahkan duduk kembali di depan sosok telanjang dada. Para pelaku ritual kemudian bersedekap tangan di dada masing-masing. Mata mereka konsentrasi memandang ujung jari yang didekapkan di dada tadi.
Pemujaan dengan cara bersedekap tangan ini, dilakukan terus-menerus tanpa melakukan gerakan berupa apapun. Maka, tidak lama kemudian, nampak percikan api menimbulkan kilatan-kilatan sinar terlontar dari lampu minyak yang menyinari tubuh-tubuh mereka. Dan pada saat bersamaan, seluruh helai rambut di kepala mereka akan berdiri. Rambut yang berdiri tersebut kemudian bergerak dan memilin secara otomatis sehingga membentuk wujud ular mini.
Ritual ini harus dilakukan tujuh malam berturut-turut. Pada malam ketujuh, pelaku ritual harus menyediakan seekor hewan ternak, biasanya yang dipilih kambing untuk dijadikan korban sihir ular rambut. Kambing itu diikatkan didepan lampu minyak. Jarak antara kambing itu dengan pelaku yang melakukan pemujaan kira-kira 5 meter.
Tapi, khusus pada pemujaan malam terakhir itu, sosok telanjang dada meniupkan nafiri kedalam tubuh pelaku ritual melalui lobang tubuh mereka, seperti lobang telinga, pusar, aurat dan naus. Begitu energi nafiri beraktivitas dalam diri pelaku ritual, seluruh rambut mereka berdiri dan terayun-ayun pada saat berjalin-jalin berwujud ular-ular mini.
Fenomena itu yang terjadi pada malam ke tujuh, ketika ular-ular rambut yang berasal dari jalinan rambut dikepala pelaku ritual, tiba-tiba melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya. Menikam atau menusuk tubuh kambing yang sengaja dijadikan sebagai uji coba. Kambing yang dikorbankan, sebelumnya nampak gelisah ingin dilepaskan dari tali yang mengikatnya, menjadi terdiam tak bergerak.
Dan dalam hitungan detik, kemudian mati oleh bisa ular rambut dalam kondisi kaku.
“Demikian dahsyatnya pusaka karuhun sihir ular rambut yang asli tersebut,” kata Mahipal Ranjit Singh menutup kisahnya.
Aku yang sedari tadi menyimak cerita tamuku ini hanya diam, tidak mampu berkomentar sepatah katapun selain manggut-manggut saja.
“Seperti saya ungkapkan tadi, bahwa sihir ular rambut yang mendatangkan penyakit pada isterimu, bukan yang asli dari Hindustan, melainkan sudah dimodifikasi,” tambah Mahipal Ranjit Singh. “Jadi, masih ada harapan untuk disembuhkan. Meskipun sudah tiba pada puncak krisis,” tandasnya pula.
Tanpa banyak tanya, aku segera menyiapkan apa yang dimintanya. Baskom yang berisi air bersih diletakkan lelaki tua itu didekat isteriku. Kudengar mulutnya melafadzkan beberapa ayat Al-Qur’an, kemudian dilanjutkan dengan mantera-mantera kuno yang sulit kumengerti.
Usai itu, Mahipal Ranjit Singh mengambil sesuatu dari balik jubah putihnya. Rupanya sebentuk piring porselin kecil antik yang kemudian dicelupkannya ke dalam air di baskom.
“Sebaiknya kamu buka baju isterimu,” pintanya kemudian dengan nada sopan dan berwibawa. Meski agak ragu-ragu, aku mematuhi arahannya demi kesembuhan isteri tercinta.
Begitu pakaian Boru Lubis tersingkap, Mahipal Ranjit Singh segera menelungkupkan piring antik tadi di dada isteriku. Apa yang terjadi?
Piring porselin ini langsung lengket ke dada isteriku. Bagaikan terhisap oleh energi magnet yang teramat kuat. Sejurus kemudian terdengar bunyi dentingan piring bersamaan mengendurnya tarikan magnet gaib tadi.
“Kekuatan sihir ular rambut ini, cukup lumayan juga. Meskipun sudah dimodifikasi oleh mereka yang mewariskannya,” desah Mahipal Ranjit Singh sambil membalikkan piring itu.
Aneh, dibalik piring itu nampak lengekt ular-ular rambut. Puluhan ekor jumlahnya, berwarna hitam legam dan wujudnya mirip cacing-cacing tanah. Sementara besarnya tak lebih dari kepala lidi dengan panjang sekitar 30 sentimeter.
Tak lama kemudian isteriku terbangun dari tidurnya. Aneh, dia sudah mampu berkomunikasi dengan baik meskipun dengan suara masih terbata-bata.
“Apa yang telah terjadi denganku, Bang?” tanyanya, kebingungan. Aku tersenyum haru.
“Sudah hampir sebulan kamu mengalami penyakit aneh,” jelasku sambil menahan air mata.
Boru Lubis tertegun cukup lama sambil memperhatikan tubuhnya yang kurus kering. Mungkin ingin memastikan apa yang kukatakan barusan. Kami saling berpelukan dan bertangisan, sehingga aku sendiri lupa pada Mahipal Ranjit Singh, tamu sekaligus dewa penolong kesembuhan isteriku itu.
Kemana perginya lelaki itu? Dia seperti menghilang tanpa jejak. Setelah kususul keluar rumah, aku kecewa dan menyesal karena belum sempat mengucapkan terima kasih padanya.
Namun, di ruang tamu kutemukan selembar kertas yang bertuliskan: “Maaf, saya berlalu tanpa pamit. Jadi saya tidak perlu diberi apapun, bahkan ucapan terima kasih sekalipun. Bersyukurlah dan berterima kasihlah kalian pada Allah SWT. Karena telah menggerakkan saya untuk singgah di rumah kalian yang memang butuh pertolongan. Yang perlu kalian ketahui, bahwa penyakit yang ditimbulkan oleh sihir ular rambut tersebut, dilakukan oleh orang iseng yang ingin mengadakan uji coba keampuhan ilmu yang dimilikinya. Jadi bukan karena ada unsur dendam. Selamat tinggal, dari saya sang pengembara.”
Cukup lama aku tertegun setelah membaca kalimat itu. Siapa sebenarnya lelaki tua yang mengaku sebagai pengembara itu? Apakah lelaki tua yang mengaku bernama Mahipal Ranjit Singh itu merupakan sosok malaikat atau jin muslim yang menyamar? Pertanyaan tersebut hingga kini belum pernah kuperoleh jawabannya.
Langganan:
Postingan (Atom)