Di Bali tak hanya ada Leak. Ada juga yang namanya Desti, semacam santet yang menumbalkan roh korbannya kepada Btari Durga....
Selama ini kita hanya akrab dengan santet buatan dukun di Jawa, Bahkan sebelum Soeharto lengser kita dikagetkan dengan terbunuhnya ratusan dukun santet di Jawa Timur, Jawa Tengah, bahkan hampir di seluruh Jawa.
Santet, teluh, tenung atau apapun namanya disebarkan oleh dukun dengan maksud melampiaskan sakit hati pelanggan yang memintanya. Santet Jawa konon dibuat dengan mendatangi kuburan saat malam Jumat Kliwon, kemudian sang dukun dengan menggunakan telur akan mengirimkan kekuatan kepada para korbannya.
“Makanya kami menyebutkannya sebagai kekuatan teluh, karena bahan baku utamanya memang telur,” tutur Tasrip, dukun santet yang berpraktek di Semawang, Sanur.
Di Bali, menurut Tasrip yang telah 15 tahun berpraktek membantu korban santet juga ada kekuatan serupa itu. Tapi namanya bukan santet, melainkan Desti. Kekuatan Desti bahkan lebih dahsyat, karena bila santet bisa dipulihkan dalam waktu seminggu, Desti bisa bersemayam di tubuh korban seumur hidup.
Seperti yang dialami Putu Ana,18 tahun, yang sejak berusia setahun terserang Desti, bahkan yang terkena bukan dia sendiri. Tapi juga seluruh keluarganya.
Seperti dituturkan oleh Nyoman Suparta, 50 tahun, ayah Putu Ana. "Saat anak saya berusia setahun, dia tiba-tiba panas, ini setelah kakak lelakinya meninggal mendadak juga karena serangan Desti itu," Suparta mengawali kisahnya.
Anak lelakinya sempat sakit seminggu, dibawa ke dokter kemudian sembuh, tapi saat kumat tanpa jelas penyebabnya langsung mati mendadak. Mungkin karena Putu Ana memang dekat dengan sang kakak dia juga kena pengaruh Desti.
"Yang pasti, sejak itu anak saya menunjukkan gejala, kakinya lumpuh, bicaranya cadel dan tak bisa mengingat apapun," tambah Suparta.
Telah lebih dari 100 dukun yang didatanginya, lebih dari 100 tempat dikunjungi untuk memohon kesembuhan, tapi sampai saat Putu Ana yang semestinya duduk di bangku SMA itu sikapnya masih mirip seperti bocah umur tiga tahun. Menurut dokter yang memeriksanya Ana ditengarai mengidap sakit kelainan gen, karena orang tuanya ada hubungan darah.
"Tapi menurut seluruh dukun yang saya datangi, anak saya dibilang terkena Desti, arwahnya konon telah dipersembahkan pada Btari Durga untuk menambah kesaktian orang yang bermaksud jahat itu,” papar dia.
Tasrip menduga Putu Ana terkena Desti, yang pelakunya iri dan sangat benci pada keberhasilan keluarga petani sayur ini. Picu persoalannya adalah ketika Suparta memutuskan kawin lagi karena istri pertamanya tidak setia. Ketika itulah ada orang yang membantu si pemasang Desti untuk melampiaskan sakit hatinya.
"Yang pasti dia bukan isteri pertama saya, karena setalah dibawa ke dukun sakti dia diteropong luar dalam dan tak ada kekuatan Desti pada tubuhnya. Jadi ada kekuatan lain yang bukan dari isteri saya yang memasang Desti itu," tegas Suparta.
Yang pasti, sejak usia 2 tahun selain menunjukkan kelumpuhannya, Putu Ana juga menjadi lamban cara berpikirnya. Saat berusia 5 tahun, bahkan tubuhnya melonjak dratis, sehingga dia tak bisa berjalan. "Padahal makannya biasa saja hanya tiga kali sehari, menurut bidan puskesmas, itu karena jarang olah raga, tapi menurut dukun memang bawaan Desti yang menyerangnya," tambah Suparta lagi.
Desti muncul karena permintaan sang pemohon di kuburan tapi tidak menggunakan telur seperti di Jawa. "Dukun yang mempraktekkan Desti cukup membawa sesajen lengkap, kemudian memohon agar penguasa kuburan melakukan ini dan itu seperti permintaan klien sang dukun, maka dalam hitungan hari si korban akan menunjukkan gejala mati raga, lumpuh, cadel, lamban berpikirnya, bahkan kadangkala bila Destinya kuat si korban bisa mati mendadak," ungkap Tasrip.
Konon, sampai sekarang belum ada cara penyembuhannya. Ini karena dukun yang memasang Desti biasanya amat sukar dilacak. “Karena biasanya seperti yang saya alami ada sekitar 8 orang yang saya curigai, mana yang mesti kita mintai pertanggungjawabannya, salah-salah melahan dia balik menyeret saya dari sisi hukum karena dituduh memfitnah,” papar Suparta.
Maka upayanya dalam penyembuhan Putu Ana terbilang lamban, apalagi dari hasilnya sebagai petani sayur dia tak bisa datang setiap saat ke dukun pemusnah Desti.
Sehari-harinya Ana hanya bisa tergolek lesu di ranjang yang khusus dibuatkan keluarganya. Untuk mandi atau ganti pakaian harus dibantu oleh kakaknya yang bernama Ayu. Tapi saat rumahnya kosong dia kadangkala masih bisa bersijingkat pelahan seperti melata masuk dapur atau ke kamar mandi.
"Pernah karena rumah kosong ditinggal penghuni dia nekat pergi ke warung dan hampir diserempet sedan yang melintas, dan dia hanya ketawa-tawa saat dimarahi. Dia memang tak sadar akan dirinya," papar Ayu yang bekerja sebagai clening service di pasar swalayan.
Sejak kejadian itu Ana selalu dikurang dalam kamar, selain menghindari bahaya dia keluyuran juga menghindarkan agar dia tak terserang Desti untuk kedua kalinya.
"Sang pemasang Desti konon menginginkan agar dia mati, karena arwahnya dipersembahkan untuk mencari kesaktian," tutur Suparti lagi.
Dalam ilmu pe-Desti-an, persembahan arwah seperti itu memang diperlukan agar kenaikan tingkat sang pengikut Desti bisa berjalan dengan mulus.
Yang dikorbankan umumnya adalah orang-orang yang dibenci atau yang membuat sang Desti iri, seperti halnya Putu Ana tadi. Setelah keadaan keluarganya morat-marit, kekayaannya ludes untuk berobat, rumahnya selama hampir 10 tahun ini terbengkalai tak bisa dirombak dan direnovasi, konon ada kalangan tertentu yang datang mengulurkan tangan untuk membantunya.
"Saya curiga jangan-jangan dialah yang menyakiti anak saya, karena sebelumnya dia tak pernah sebaik itu, jadi bantuannya saya tolak. Takutnya setelah bantuannya itu diterima arwah anak sayalah yang kemudian jadi korban ketamakan sang Desti," ujar Suparta penuh curiga.
Mereka sekeluarga akhirnya pasrah, perkembangan Putu Ana yang semakin hari semakin gemuk sehingga sulit berjalan walau untuk turun ke halaman, dianggapnya sebagai semacam kutukan.
Terakhir usahanya adalah dengan mendatangi beberapa tempat di Bali, Jawa, dan Lombok untuk mengurangi penderitaan Putu Ana. "Belum ketahuan juga hasilnya karena semua dukun di ketiga tempat itu baik Bali, Jawa, maupun Lombok sepertinya angkat tangan, mereka mengaku Desti yang menyerang anak saya sudah menyusup sampai ke sumsum susah diobati," ujarnya sedih.
Santet seperti yang menerpa Putu Ana termasuk yang kelas super. Ini menurut penuturan Jro Tapakan Suci, 60 tahun, dukun di Desa Sibang, Bali. Dia baru pertama kali itu ketemu korban yang lumpuh, lambat berpikir, dan bicaranya cadel.
"Biasanya hanya berakibat si korban linglung, dengan pijatan di batang leher biasnya sembuh dalam sebulan," tambahnya.
Dalam upaya mengobati Putu Ana, ia melakukannya dengan membuatkan tebusan di kuburan kampung Putu Ana, Namun juga tak membuahkan hasil. Juga memberikannya jampi-jampi berupa air suci yang diperoleh di Lumajang, Tengger, sampai ke Tirta Nadhi di Lombok masih belum menunjuk hasil.
"Hanya kerakusannya dalam hal makan yang bisa saya atasi. Dulu makannya bisa 5 kali sehari, sekarang sudah seperti orang normal 3 kali sehari," tutur Jro Tapakan Suci lagi.
Langkah paling akhir yang bakal dia lakukan adalah menjauhkannya dari lingkungan yang selama ini dicurigai mengirim Desti itu. "Mungkin dia harus disembunyikan selama setahun di tempat yang tidak diketahui oleh orang yang menyakitinya, sehingga kekuatan buruk Desti tak bisa menjangkaunya. Tapi itupun belum bisa dipastikan, apakah bisa membuat Putu Ana bakal bisa normal kembali," ujarnya.
Yang pasti, di kala teman seumurnya sudah bersekolah di SMA dan saling kirim surat cinta monyet, Putu Ana masih tergolek dan sering berjalan tertatih tatih walau hanya untuk urusan segelas air.
Kalimat yang diketahuinya pun seputar piring, ikan, telur, dan sumur. Namanya sendiri kadang dia lupakan.
"Bagitulah hebatnya Desti yang menyerang dia, membuat dia jadi ideot, berkembang lamban dan penderitaannya sungguh-sungguh mengenaskan,” ujar Jro Tapakan Suci penuh antusiasme.
Benarkah Putu Ana menjadi korban Desti, santet khas Bali? Mungkin perlu penyelidikan lebih lanjut.
Sabtu, 29 Maret 2008
BERGAUL DENGAN PELACUR CANTIK YANG SUDAH LAMA MENINGGAL
Dipecat dari pekerjaan sebagai General Manager Marine View di Jackson Island, Frank Lampard, 41 tahun, membuka usaha Sex Shop di Kingcross, Sydney, Australia. Modal usaha toko kelontong yang menjual pernik kenikmatan ranjang dan alat-alat imitasi seksual itu dijalaninya dengan serius. Hasilnya cukup menggembirakan. Perharinya, Frank bisa memasukan uang sebesar 30 ribu dollar Australia dengan rasio keuntungan 25 persen.
Yang jadi masalah besar bagi Frank, hanya sewa tempat yang cukup tinggi, berikut pajak usaha dan pajak-pajak lain seperti restrebusi parkir dan juga PPN yang cukup besar. Tapi pria bujang tua itu tetap saja melenggang dengan usahanya, walau margin keuntungan begitu tipis setelah menghitung pajak ini dan itu yang memberatkan.
Pada suatu malam, sekitar 19.45. waktu Sydney, datang seorang gadis cantik memakai blus merah dengan sal putih di lehernya. Gadis berambut hitam gelap itu berwajah Puerto Rico, suatu negara kecil di Amerika Selatan. Dengan wajah sumringah, gadis yang mengaku PSK di Bondi Beach itu memesan Electric Pomp merk Masculine Talk untuk kenikmatan sebelum tidur. Semacam vibrator karet perangsang kenikmatan seks.
"Aku selalu menggunakan alat itu sebelum melayani tamu. Oleh karena itulah aku bertahan selama 10 tahun sebagai pekerja seks komersial, PSK!" desis gadis itu, sambil memainkan kunci sedan Porche warna biru laut yang terparkir di toko Frank.
Walau mencuat perasaan ingin tahu menggantung di batin Frank, tapi laki-laki asal Derby County Inggris Utara itu berdiam diri saja. Batinnya, bagaimana seorang pelacur seperti itu menggunakan alat agar dia juga merasa puas dalam melayani tamu. Tapi walau Fank tidak bertanya, gadis umur 35 tahunan mengaku bernama Lila Caparita itu bercerita dengan sendirinya.
"Tidak adil dong kalau saya hanya memuaskan pelanggan sementara saya menderita. Walau saya dibayar saat melakukan hubungan seks, saya pun harus menikmati hubungan intim itu secara total," desis wanita berkulit agak coklat dan cantik itu.
Frank terus mencari barang yang sedang dicari gadis itu. Tapi sampai 20 menit benda itu tidak ditemukan. Namun Frank yakin bahwa benda yang dicarinya masih ada satu, pekan lalu terjual empat unit.
"Aku yakin barang yang anda cari ada, tapi aneh, kemarin saya masih lihat di sini adanya, tapi sekarang kok tidak ada lagi ya?" tanya Frank, tidak menuntut jawaban.
Mendengar Frank mengoceh sendiri, Lila Carparita menggoyang-goyangkan kepalanya. Sementara kunci Porche terjatuh ke lantai dan dia memungutnya. Tapi kunci itu ternyata masuk ke bawah kolong rak VCD dan LD yang terpajang di bagian depan. Lila minta bantuan Frank mencari kunci Porche itu. Karena mempertimbangkan pelayanan pelanggan, Frank berbaik hati mencari kunci bergantungan simbol lovers itu.
"Oh, terima kasih Anda membantu mencari kunci saya yang terjatuh!" ungkap Lila, berbasa-basi.
"Ah, tidak apa-apa, don't mention it!" tekannya.
Anehnya, kunci itu ternyata tidak ditemukan. Di kolong rak, di kolong meja kasir dan kolong safety box pun, tidak ada.
"Kemana kunci Anda itu?" tanya Frank.
Perempuan ayu kemayu itu menggeleng, kemudian mengembangkan kedua tangannya pertanda tidak mengerti.
"Oh, misterius! Tempat ini tempat misterius!" celetuknya.
Pencarian kunci itu berlangsung lama. Untung malam itu tidak ada pembeli lain yang masuk. Frank Lampard berdua saja dengan Lila dan mereka terus mencari kunci kontak itu ke tiap pojok. Makin jauh pencarian, makin tidak ada setitik pun tanda-tanda kunci itu akan ditemukan.
"Gila, benar-benar gila, kemana kunci itu?" batin Frank.
Tidak terasa, waktu menunjukkan pukul 21.00 malam. Jam itu adalah jam toko Frank harus tutup. Sementara kunci mobil itu belum ditemukan juga.
"Bagaimana kalau Anda telepon ke rumah dan minta dikirim kunci duplikat mobil itu?" usul Frank.
"Oh, maaf Tuan, kunci duplikat yang Anda maksud, saya tidak mempunyai. Duplikat kunci mobil itu adalah yang hilang ini, sementara yang aslinya sudah lama hilang!" jawab Lila.
"Jadi bagaimana caranya, kunci yang jatuh itu tidak ditemukan sama sekali di sini. Atau bagaimana kalau saya telepon montir dan dashboard dibuka, kabel kontak disambungkan dari dalam. Biasanya hal itu dapat dilakukan bila kunci hilang dan keadaan darurat. Bagaimana, saya telepon montir panggilan di nomor 3344 sekarang?" desak Frank.
"Anda mengusulkan cara itu karena Anda mau buru-buru menutup toko ini kan?" tanya Lila.
"Jujurnya iya, Nona. Jam sudah menunjukkan angka 9.15 malam, toko ini malah biasa saya tutup pukul sembilan. Jadi, maaf Nona, saya harus menutup toko ini!" kata Frank.
"Ya, ya, saya emang mengganggu Anda, ya, saya telah merepotkan Anda karena kunci itu. Tapi mana Electric Pomp yag saya pesan tadi?" tanya Lila.
Frank baru ingat, perempuan itu mau beli suatu barang, tapi sebelum barang itu ditemukan, barang yang lain, yaitu kunci Porche hilang. Maka itu, selama beberapa jam, perhatian berubah dari Electric Pomp ke kunci kontak yang raib.
Barang yang dipesan ternyata ditemukan. Adanya di rak pojok kanan ujung tertutup dibalik korset karet. Benda itu segera diberikan Frank kepada Lila, dan Lila mengamati benda itu.
"Oh, bagus, ini original dan inilah yang biasa saya gunakan!" celetuknya.
"Oke, oke, saya ambil barang ini. Oh ya, berapa harganya? Saya kok tidak melihat lebel harga di produk ini!" pancing Lila.
Frank kembali memegang benda itu dan mencari lebel harga komputer yang biasa tertera di sisi kanan bungkus plastik bening.
"Oh, maaf Nona, lebelnya terhapus karena kaver barang ini pernah terkena bensin. Harganya 700 dollar. Ya hanya 700 dollar!" sungut Frank.
Lila mengeluarkan dompet di dalam tas gantungnya. Setelah menghitung-hitung uang dalam dompet, Lila pun memberikan tujuh lembar pecahan seratus dollar kepada Frank. Lila memasukkan benda itu ke dalam tasnya lalu pamit pergi meninggalkan Frank.
"Terima kasih tuan, maaf saya telah merepotkan Anda malam ini!" sorong Lila.
"Tapi bagaimana cara Anda menjalankan mobil Anda itu?" tanya Frank serius.
"Tenang tuan, saya bisa membuka pintu dan menghidupkan mesin mobil itu dengan satu telunjuk kiri!" katanya, cuek, sambil berlalu.
Ekor mata Frank terus membuntuti punggung gadis itu. Dengan langkah pasti dia mendekati Porche dan mengacungkan telunjuk kirinya ke arah pintu. Benar saja, pintu secara otomatis terbuka dan Lila masuk ke dalamnya. Di belakang setir, telunjuk itu kembali diacungkan, tapi kali ini mengarah ke decker kunci kontak. Ajaib, mobil langsung menderu dan mesinnya kontan hidup.
"Perempuan itu memang hebat. Dia bukan saja pelacur, tapi juga ahli sulap profesional. Dia pastilah bukan WTS biasa!" pikir Frank.
Sebelum hanyut memikirkan wanita aneh itu, Frank buru-buru menutup kasir dan melipat rak-rak lipat ke ruang pojok. Hal itu setiap hari dilakukan Frank saat menutup tokonya. Lalu besok pagi pukul 09.00 pagi, dia kembali membuka rak itu dan memperhatikan produk-produk yang dijualnya.
Setelah merapikan ruang dalam, Frank menarik pintu rolling door dan menggemboknya. Sebelum meninggalkan toko dan keluar dari pintu darurat, tiba-tiba sebuah benda berdenting jatuh menimpa kaca. Kretek! Bunyinya. Kaca pajangan pun menjadi pecah.
"Oh Tuhan, suara apa yang jatuh itu?" pikir Frank.
Penasaran mendengar suara benda jatuh, Frank kembali masuk ke dalam dan menyalakan lampu. Frank terkejut bukan kepalang, ternyata benda yang jatuh itu adalah kunci mobil Porche bersimbol lovers.
"Astaga, itu kunci mobil perempuan Puerto Rico tadi!" batin Frank.
Dengan sigap Frank memungut kunci itu dan mengamatinya. Di balik gambar lovers tertera nama dan alamat jelas gadis pekerja seks komersial itu. Lila Carparita, Elm Palm Street 33 D Hamhsring Long, Nort Sydney. Frank mengantongi kunci itu dan pagi-pagi akan mencari alamat gadis itu dan memberikan kunci yang hilang itu.
"Tapi ajaib!" pikir Frank, kunci itu kok jatuh dari atas sementara hilangnya ke bawah.
"Aneh, aneh, apa yang terjadi dengan kunci ini?" pikir Frank, bertanya-tanya dalam batin.
Frank penasaran. Dia mau mengantarkan kunci itu karena pingin tahu siapa sebenarnya gadis misterius itu. Lila itu siapa, pesulap profesional atau dia seorang yang benar-benar pelacur. Besok paginya, Selasa 16 Juli 1999, Frank ke alamat yang tertera di kunci itu.
Pukul 07.15, Frank sudah sampai dialamat itu, kawasan Hamhsring Long, Elm Palm nomor 33 D, North Sydnye. Frank mengetuk pintu sebuah rumah sederhana dengan taman bunga yang mulai kering.
"Good morning, Madamme, betulkah ini rumah Lila Caparita? Saya dari Blackboard Shop Kingcross, mau mengantarkan kunci kontak mobil Porche Lila yang hilang di toko saya tadi malam!" ungkap Frank Lampard, pada seorang wanita tua umur 70-an yang membukakan pintu.
"Hah? Anda tidak salah lihat tuh! Tapi......ya....bagaimana kalau Anda masuk dulu barang sebentar, kita bicara di dalam!" kata wanita itu sambil menerima kunci kontak Porche yang diberikan Frank kepadanya.
Begitu duduk, wanita itu memperkenalkan dirinya bernama Joanna Caparita. Dia datang sebagai imigran asal Puerto Rico dan mukim di Sydney sebagai warga negara Australia baru. Lila Caparita adalah anak kandungnya yang meninggal tanggal 16 Juli 1998 lalu akibat suatu pembunuhan di pinggir laut Bondxi Beach pukul 19.30 malam.
Hingga sekarang pembunuh Lila itu masih misterius dan jadi durk number kepolisian negara bagian New South Wales, NSW. Wanita tua itu menunjukkan foto Lila dan Frank mengenali betul wajah gambar itu. Sebab foto itu adalah persis dengan wajah Lila yang dilihatnya tadi malam.
Joanna yang berjalan lamban itu membimbing Frank ke garasi samping dan membuka pintu garasi itu. Mobil Porche warna biru laut ada terparkir di dalam garasi. Mobil itu nampak berdebu karena sudah beberapa lama tidak digunakan.
"Porche ini adalah kendaraan pribadi Lila dan sudah satu tahun tidak keluar dari garasi ini. Mobil ini seharusnya dijual, tapi karena barang bermotor ini kesukaan Lila, untuk menghormati jasad dan rohnya, saya tidak akan menjual mobil ini, walau harga berapapun!" cetus Joanna, terbata-bata.
"Tapi mobil ini tadi malam terparkir di depan toko saya dan Lila membawa mobil ini ke sana. Lila berbaju blues warna merah dan sal berwarna putih di leher serta tas gantung warna hitam merk Lois Vitton. Saya melihat semuanya secara persis!" kata Frank, bingung.
Joanna membuka laci dashboard dan mengeluarkan sebuah foto yang tersimpan rapi di dalam sebuah amplop disitu. Foto itu adalah foto terakhir Lila dengan gaun warna merah dan sal berwarna putih di lehernya.
"Ya, kostum dan sal inilah yang digunakannya tadi malam!" sungut Frank, antusias.
""Ya, ya, saya percaya Anda melihat dan bertemu dengan Lila anak saya tadi malam. Tapi Lila sudah mati satu tahun yang lalu. Persis satu tahun tanggal 16 Juli hari ini. Lihatlah kliping koran Sydney Post, Sydney Tribune dan Australian Time yang saya simpan di dalam!" ajak Joanna.
Frank melihat dengan pasti kasus kematian Lila dan sosok mayat yagn tergolek di tepi laut Bondi Beach. Judul koran-koran itu benar-benar mengerikan. Frank tergetar dibuatnya, karena yang datang ke tokonya tadi malam ternyata roh yang maujud. Roh yang membeli barang Electric Pomp dan memberinya 700 dollar.
Judul koran itu : PELACUR IMIGRAN PUERTO RICO MATI DIBANTAI DI BONDI BEACH. Yang lain judulnya lebih seran : CABO CANTIK MATI BERSIMBA DARAH DI TEPI PANTAI!" Dan lain-lain.
Setelah menyalami Joanna dan ikut berkabung atas kematian anaknya, Frank kembali ke toko. Dalam perjalanan pikirannya berkecamuk hebat. Antara mimpi dan nyata, tapi malam Frank telah menemukan pengalaman baru yang penuh keanehan. Yaitu, melayani pembeli cantik yang meminta Electric Pomp dan memberinya 700 dollar utuh.
Uang itu telah tersimpan dalam laci kasir dan benar-benar uang asli. Dan yang menggetarkan batinnya hingga sekarang, pembeli jelita itu ternyata sudah mati satu tahun yang lalu. Tapi buat apa roh gadis itu membeli Electric Pomp dan meninggalkan kunci simbol lovers itu di tokonya?
Hal itu tetap menjadi pertanyaan Frank hingga sekarang, pertanyaan demi pertanyaan yang menggantung dan tak bisa terjawabkan sampai kapanpun. Sampai Frank menjadi mayat sebagai mana Lila, gadis Puerto Rico yang malang itu.
Yang lebih membuat Frank merasa aneh, uang 700 dollar pembayaran Lila ternyata berubah menjadi 700 ribu dollar dan uang itu memenuhi kotak uang di meja kasirnya. Diatas tumpukan uang, terlihat selembar surat.
Isi surat itu berbunyi, "Tuan Frank Lampard yang baik. Uang 700 dollar sudah dirubah menjadi 700 ribu dollar secara sah. Ini uang asli dan sudah menjadi hakmu. Tolong berikan 40 persen dari nilai ini untuk mama saya yang kau temui tadi pagi di Hamhsring. Dari Lila Cariparita. Orang miskin pinggiran pantai yang teraniaya oleh keadaan." Tulis Lila.
Setelah memberikan 40 % uang itu kepada Joanna, Frank menutup tokonya dan kembali ke Inggris Utara. Hingga sekarang, Frank tidak pernah balik lagi ke Australia dan mengubur hidup-hidup kenangan mistis yang menggetarkan jiwanya itu.
Bulan lalu, Frank jalan-jalan ke Yogyakarta dan bertemu Penulis di sana. Frank menceritakan kejadian itu dan memberitahukan bahwa dia tetap bujangan hingga sekarang.
"Kenangan itu begitu indah sekaligus menakutkan di setiap tanggal 16 Juli setiap tahun. Sebab hingga 16 Juli 2003 lalu itu, roh Lila terus maujud dan menemuiku di manapun aku berada," tukas Frank.
Yang jadi masalah besar bagi Frank, hanya sewa tempat yang cukup tinggi, berikut pajak usaha dan pajak-pajak lain seperti restrebusi parkir dan juga PPN yang cukup besar. Tapi pria bujang tua itu tetap saja melenggang dengan usahanya, walau margin keuntungan begitu tipis setelah menghitung pajak ini dan itu yang memberatkan.
Pada suatu malam, sekitar 19.45. waktu Sydney, datang seorang gadis cantik memakai blus merah dengan sal putih di lehernya. Gadis berambut hitam gelap itu berwajah Puerto Rico, suatu negara kecil di Amerika Selatan. Dengan wajah sumringah, gadis yang mengaku PSK di Bondi Beach itu memesan Electric Pomp merk Masculine Talk untuk kenikmatan sebelum tidur. Semacam vibrator karet perangsang kenikmatan seks.
"Aku selalu menggunakan alat itu sebelum melayani tamu. Oleh karena itulah aku bertahan selama 10 tahun sebagai pekerja seks komersial, PSK!" desis gadis itu, sambil memainkan kunci sedan Porche warna biru laut yang terparkir di toko Frank.
Walau mencuat perasaan ingin tahu menggantung di batin Frank, tapi laki-laki asal Derby County Inggris Utara itu berdiam diri saja. Batinnya, bagaimana seorang pelacur seperti itu menggunakan alat agar dia juga merasa puas dalam melayani tamu. Tapi walau Fank tidak bertanya, gadis umur 35 tahunan mengaku bernama Lila Caparita itu bercerita dengan sendirinya.
"Tidak adil dong kalau saya hanya memuaskan pelanggan sementara saya menderita. Walau saya dibayar saat melakukan hubungan seks, saya pun harus menikmati hubungan intim itu secara total," desis wanita berkulit agak coklat dan cantik itu.
Frank terus mencari barang yang sedang dicari gadis itu. Tapi sampai 20 menit benda itu tidak ditemukan. Namun Frank yakin bahwa benda yang dicarinya masih ada satu, pekan lalu terjual empat unit.
"Aku yakin barang yang anda cari ada, tapi aneh, kemarin saya masih lihat di sini adanya, tapi sekarang kok tidak ada lagi ya?" tanya Frank, tidak menuntut jawaban.
Mendengar Frank mengoceh sendiri, Lila Carparita menggoyang-goyangkan kepalanya. Sementara kunci Porche terjatuh ke lantai dan dia memungutnya. Tapi kunci itu ternyata masuk ke bawah kolong rak VCD dan LD yang terpajang di bagian depan. Lila minta bantuan Frank mencari kunci Porche itu. Karena mempertimbangkan pelayanan pelanggan, Frank berbaik hati mencari kunci bergantungan simbol lovers itu.
"Oh, terima kasih Anda membantu mencari kunci saya yang terjatuh!" ungkap Lila, berbasa-basi.
"Ah, tidak apa-apa, don't mention it!" tekannya.
Anehnya, kunci itu ternyata tidak ditemukan. Di kolong rak, di kolong meja kasir dan kolong safety box pun, tidak ada.
"Kemana kunci Anda itu?" tanya Frank.
Perempuan ayu kemayu itu menggeleng, kemudian mengembangkan kedua tangannya pertanda tidak mengerti.
"Oh, misterius! Tempat ini tempat misterius!" celetuknya.
Pencarian kunci itu berlangsung lama. Untung malam itu tidak ada pembeli lain yang masuk. Frank Lampard berdua saja dengan Lila dan mereka terus mencari kunci kontak itu ke tiap pojok. Makin jauh pencarian, makin tidak ada setitik pun tanda-tanda kunci itu akan ditemukan.
"Gila, benar-benar gila, kemana kunci itu?" batin Frank.
Tidak terasa, waktu menunjukkan pukul 21.00 malam. Jam itu adalah jam toko Frank harus tutup. Sementara kunci mobil itu belum ditemukan juga.
"Bagaimana kalau Anda telepon ke rumah dan minta dikirim kunci duplikat mobil itu?" usul Frank.
"Oh, maaf Tuan, kunci duplikat yang Anda maksud, saya tidak mempunyai. Duplikat kunci mobil itu adalah yang hilang ini, sementara yang aslinya sudah lama hilang!" jawab Lila.
"Jadi bagaimana caranya, kunci yang jatuh itu tidak ditemukan sama sekali di sini. Atau bagaimana kalau saya telepon montir dan dashboard dibuka, kabel kontak disambungkan dari dalam. Biasanya hal itu dapat dilakukan bila kunci hilang dan keadaan darurat. Bagaimana, saya telepon montir panggilan di nomor 3344 sekarang?" desak Frank.
"Anda mengusulkan cara itu karena Anda mau buru-buru menutup toko ini kan?" tanya Lila.
"Jujurnya iya, Nona. Jam sudah menunjukkan angka 9.15 malam, toko ini malah biasa saya tutup pukul sembilan. Jadi, maaf Nona, saya harus menutup toko ini!" kata Frank.
"Ya, ya, saya emang mengganggu Anda, ya, saya telah merepotkan Anda karena kunci itu. Tapi mana Electric Pomp yag saya pesan tadi?" tanya Lila.
Frank baru ingat, perempuan itu mau beli suatu barang, tapi sebelum barang itu ditemukan, barang yang lain, yaitu kunci Porche hilang. Maka itu, selama beberapa jam, perhatian berubah dari Electric Pomp ke kunci kontak yang raib.
Barang yang dipesan ternyata ditemukan. Adanya di rak pojok kanan ujung tertutup dibalik korset karet. Benda itu segera diberikan Frank kepada Lila, dan Lila mengamati benda itu.
"Oh, bagus, ini original dan inilah yang biasa saya gunakan!" celetuknya.
"Oke, oke, saya ambil barang ini. Oh ya, berapa harganya? Saya kok tidak melihat lebel harga di produk ini!" pancing Lila.
Frank kembali memegang benda itu dan mencari lebel harga komputer yang biasa tertera di sisi kanan bungkus plastik bening.
"Oh, maaf Nona, lebelnya terhapus karena kaver barang ini pernah terkena bensin. Harganya 700 dollar. Ya hanya 700 dollar!" sungut Frank.
Lila mengeluarkan dompet di dalam tas gantungnya. Setelah menghitung-hitung uang dalam dompet, Lila pun memberikan tujuh lembar pecahan seratus dollar kepada Frank. Lila memasukkan benda itu ke dalam tasnya lalu pamit pergi meninggalkan Frank.
"Terima kasih tuan, maaf saya telah merepotkan Anda malam ini!" sorong Lila.
"Tapi bagaimana cara Anda menjalankan mobil Anda itu?" tanya Frank serius.
"Tenang tuan, saya bisa membuka pintu dan menghidupkan mesin mobil itu dengan satu telunjuk kiri!" katanya, cuek, sambil berlalu.
Ekor mata Frank terus membuntuti punggung gadis itu. Dengan langkah pasti dia mendekati Porche dan mengacungkan telunjuk kirinya ke arah pintu. Benar saja, pintu secara otomatis terbuka dan Lila masuk ke dalamnya. Di belakang setir, telunjuk itu kembali diacungkan, tapi kali ini mengarah ke decker kunci kontak. Ajaib, mobil langsung menderu dan mesinnya kontan hidup.
"Perempuan itu memang hebat. Dia bukan saja pelacur, tapi juga ahli sulap profesional. Dia pastilah bukan WTS biasa!" pikir Frank.
Sebelum hanyut memikirkan wanita aneh itu, Frank buru-buru menutup kasir dan melipat rak-rak lipat ke ruang pojok. Hal itu setiap hari dilakukan Frank saat menutup tokonya. Lalu besok pagi pukul 09.00 pagi, dia kembali membuka rak itu dan memperhatikan produk-produk yang dijualnya.
Setelah merapikan ruang dalam, Frank menarik pintu rolling door dan menggemboknya. Sebelum meninggalkan toko dan keluar dari pintu darurat, tiba-tiba sebuah benda berdenting jatuh menimpa kaca. Kretek! Bunyinya. Kaca pajangan pun menjadi pecah.
"Oh Tuhan, suara apa yang jatuh itu?" pikir Frank.
Penasaran mendengar suara benda jatuh, Frank kembali masuk ke dalam dan menyalakan lampu. Frank terkejut bukan kepalang, ternyata benda yang jatuh itu adalah kunci mobil Porche bersimbol lovers.
"Astaga, itu kunci mobil perempuan Puerto Rico tadi!" batin Frank.
Dengan sigap Frank memungut kunci itu dan mengamatinya. Di balik gambar lovers tertera nama dan alamat jelas gadis pekerja seks komersial itu. Lila Carparita, Elm Palm Street 33 D Hamhsring Long, Nort Sydney. Frank mengantongi kunci itu dan pagi-pagi akan mencari alamat gadis itu dan memberikan kunci yang hilang itu.
"Tapi ajaib!" pikir Frank, kunci itu kok jatuh dari atas sementara hilangnya ke bawah.
"Aneh, aneh, apa yang terjadi dengan kunci ini?" pikir Frank, bertanya-tanya dalam batin.
Frank penasaran. Dia mau mengantarkan kunci itu karena pingin tahu siapa sebenarnya gadis misterius itu. Lila itu siapa, pesulap profesional atau dia seorang yang benar-benar pelacur. Besok paginya, Selasa 16 Juli 1999, Frank ke alamat yang tertera di kunci itu.
Pukul 07.15, Frank sudah sampai dialamat itu, kawasan Hamhsring Long, Elm Palm nomor 33 D, North Sydnye. Frank mengetuk pintu sebuah rumah sederhana dengan taman bunga yang mulai kering.
"Good morning, Madamme, betulkah ini rumah Lila Caparita? Saya dari Blackboard Shop Kingcross, mau mengantarkan kunci kontak mobil Porche Lila yang hilang di toko saya tadi malam!" ungkap Frank Lampard, pada seorang wanita tua umur 70-an yang membukakan pintu.
"Hah? Anda tidak salah lihat tuh! Tapi......ya....bagaimana kalau Anda masuk dulu barang sebentar, kita bicara di dalam!" kata wanita itu sambil menerima kunci kontak Porche yang diberikan Frank kepadanya.
Begitu duduk, wanita itu memperkenalkan dirinya bernama Joanna Caparita. Dia datang sebagai imigran asal Puerto Rico dan mukim di Sydney sebagai warga negara Australia baru. Lila Caparita adalah anak kandungnya yang meninggal tanggal 16 Juli 1998 lalu akibat suatu pembunuhan di pinggir laut Bondxi Beach pukul 19.30 malam.
Hingga sekarang pembunuh Lila itu masih misterius dan jadi durk number kepolisian negara bagian New South Wales, NSW. Wanita tua itu menunjukkan foto Lila dan Frank mengenali betul wajah gambar itu. Sebab foto itu adalah persis dengan wajah Lila yang dilihatnya tadi malam.
Joanna yang berjalan lamban itu membimbing Frank ke garasi samping dan membuka pintu garasi itu. Mobil Porche warna biru laut ada terparkir di dalam garasi. Mobil itu nampak berdebu karena sudah beberapa lama tidak digunakan.
"Porche ini adalah kendaraan pribadi Lila dan sudah satu tahun tidak keluar dari garasi ini. Mobil ini seharusnya dijual, tapi karena barang bermotor ini kesukaan Lila, untuk menghormati jasad dan rohnya, saya tidak akan menjual mobil ini, walau harga berapapun!" cetus Joanna, terbata-bata.
"Tapi mobil ini tadi malam terparkir di depan toko saya dan Lila membawa mobil ini ke sana. Lila berbaju blues warna merah dan sal berwarna putih di leher serta tas gantung warna hitam merk Lois Vitton. Saya melihat semuanya secara persis!" kata Frank, bingung.
Joanna membuka laci dashboard dan mengeluarkan sebuah foto yang tersimpan rapi di dalam sebuah amplop disitu. Foto itu adalah foto terakhir Lila dengan gaun warna merah dan sal berwarna putih di lehernya.
"Ya, kostum dan sal inilah yang digunakannya tadi malam!" sungut Frank, antusias.
""Ya, ya, saya percaya Anda melihat dan bertemu dengan Lila anak saya tadi malam. Tapi Lila sudah mati satu tahun yang lalu. Persis satu tahun tanggal 16 Juli hari ini. Lihatlah kliping koran Sydney Post, Sydney Tribune dan Australian Time yang saya simpan di dalam!" ajak Joanna.
Frank melihat dengan pasti kasus kematian Lila dan sosok mayat yagn tergolek di tepi laut Bondi Beach. Judul koran-koran itu benar-benar mengerikan. Frank tergetar dibuatnya, karena yang datang ke tokonya tadi malam ternyata roh yang maujud. Roh yang membeli barang Electric Pomp dan memberinya 700 dollar.
Judul koran itu : PELACUR IMIGRAN PUERTO RICO MATI DIBANTAI DI BONDI BEACH. Yang lain judulnya lebih seran : CABO CANTIK MATI BERSIMBA DARAH DI TEPI PANTAI!" Dan lain-lain.
Setelah menyalami Joanna dan ikut berkabung atas kematian anaknya, Frank kembali ke toko. Dalam perjalanan pikirannya berkecamuk hebat. Antara mimpi dan nyata, tapi malam Frank telah menemukan pengalaman baru yang penuh keanehan. Yaitu, melayani pembeli cantik yang meminta Electric Pomp dan memberinya 700 dollar utuh.
Uang itu telah tersimpan dalam laci kasir dan benar-benar uang asli. Dan yang menggetarkan batinnya hingga sekarang, pembeli jelita itu ternyata sudah mati satu tahun yang lalu. Tapi buat apa roh gadis itu membeli Electric Pomp dan meninggalkan kunci simbol lovers itu di tokonya?
Hal itu tetap menjadi pertanyaan Frank hingga sekarang, pertanyaan demi pertanyaan yang menggantung dan tak bisa terjawabkan sampai kapanpun. Sampai Frank menjadi mayat sebagai mana Lila, gadis Puerto Rico yang malang itu.
Yang lebih membuat Frank merasa aneh, uang 700 dollar pembayaran Lila ternyata berubah menjadi 700 ribu dollar dan uang itu memenuhi kotak uang di meja kasirnya. Diatas tumpukan uang, terlihat selembar surat.
Isi surat itu berbunyi, "Tuan Frank Lampard yang baik. Uang 700 dollar sudah dirubah menjadi 700 ribu dollar secara sah. Ini uang asli dan sudah menjadi hakmu. Tolong berikan 40 persen dari nilai ini untuk mama saya yang kau temui tadi pagi di Hamhsring. Dari Lila Cariparita. Orang miskin pinggiran pantai yang teraniaya oleh keadaan." Tulis Lila.
Setelah memberikan 40 % uang itu kepada Joanna, Frank menutup tokonya dan kembali ke Inggris Utara. Hingga sekarang, Frank tidak pernah balik lagi ke Australia dan mengubur hidup-hidup kenangan mistis yang menggetarkan jiwanya itu.
Bulan lalu, Frank jalan-jalan ke Yogyakarta dan bertemu Penulis di sana. Frank menceritakan kejadian itu dan memberitahukan bahwa dia tetap bujangan hingga sekarang.
"Kenangan itu begitu indah sekaligus menakutkan di setiap tanggal 16 Juli setiap tahun. Sebab hingga 16 Juli 2003 lalu itu, roh Lila terus maujud dan menemuiku di manapun aku berada," tukas Frank.
ARWAHNYA JADI SRIGALA SILUMAN
Mengingat kematian Pak Sastro yang kaya raya itu, tiba-tiba muncul sosok srigala siluman. Ketika dikejar, srigala itu hilang di kuburan Pak Sastro....
Akhir Februari 2004, merupakan tanggal yang sial bagiku. Karena waktu itu aku termasuk pegawai yang di PHK oleh perusahan tempat selama ini bekerja. Setelah menganggur, untuk sekedar mengisi hari-hari yang kosong aku memutuskan mengunjungi sahabat-sahabat yang sudah lama tidak pernah ketemu. Tanya lowongan, tapi hasilnya nihil.
Dengan segala kekecewaan dan harapan, aku putuskan untuk pulang kampung dulu. Tepatnya hari Senin aku berangkat pagi-pagi sekali supaya sampai di rumah masih pagi, karena kalau sudah siang ibuku sudah berangkat ke ladang.
Ringkas cerita, seminggu sudah aku berada di kampung halaman. Rasanya seperti anak kecil lagi, karena bisa berkumpul dengan teman-teman yang biasa bercanda ria bahkan melakukan hal-hal yang konyol. Kami se-geng biasa nongkrong di warungnya Pak Sastro, orang yang sangat kaya raya di kampungku. Bahkan setengah tanah penduduk miliknya.
Tepatnya Selasa pagi, aku dikejutkan oleh pengumuman bahwa Pak H. Sastro meninggal dunia. Dengan terburu-buru aku berlari menuju rumah Pak Sastro. Betul sekali, di sana sudah banyak orang. Aku terbengong-bengong seakan-akan tidak percaya denga apa yang terjadi. Di ruang tamu terbujur kaki jasad Pak Sastro. Sulit dipercaya, padahal semalam kami bercanda bersama.
Ketika masih terbengong-bengong, aku dikagetkan oleh suara pak RT yang menyuruhku dan teman-teman membantu orang-orang tua untuk menggali liang lahat. Dan kami semua menurutinya.
Akhirnya kami semua berangkat menuju ke pemakaman umum. Di sinilah keanehan mulai terjadi. Tanah yang digali sangat susah sekali. Tidak biasanya tanah yang digali banyak batunya bahkan sudah tiga tempat, tetapi tetap sama. Walaupun begitu akhirnya selesai juga dan tinggal menunggu mayat Pak Sastro dikebumikan.
Tepat pukul 11 siang, mayat Pak Sastro sudah siap dimasukan keliang lahat. Keganjilanpun terjadi lagi. Ketika mau ditutup dengan batu bata, tiba-tiba batu-bata yang berada di atas longsor dan tepat sekali menimpa kepala mayat Pak Sastro. Kami semua menjerit histeris, kerena takut dan kaget.
Singkat cerita acara penguburan pak Sastro sudah selesai.
Malamnya, awal dari segala ketakutan dan ketegangan. Waktu itu saya dan teman-teman biasa nongkrong dan begadang, tapi kali ini begadangnya di dalam rumahku. Tidak biasanya udara di luar sangat dingin sekali dan dibarengi dengan hujan rintik-rintik.
Ketika lagi asyik main kartu, kami semua dikejutkan oleh suara lolongan anjing yang sangat panjang. Bahkan sangat menyayat hati. Suara itu tidak henti-hentinya. Setiap kali melolong, suaranya berubah. Seperti suara orang marah, dan kadang merintih-rintih.
Suara anjing itu memang hampir setiap malam muncul, dan sudah menggegerkan seluruh kampung.
Akhirnya penduduk sangat resah. Dengan kesepakatan bersama Pak RT, kami mengadakan ronda malam.
Ronda malampun dimulai. Aku dan kawan-kawan ramai-ramai menunggu di pos sambil membakar singkong. Ketika kami lagi asyik mengobrol, tiba-tiba dikejutkan oleh suara lolongan yang berasal dari rumah Pak Sastro. Dibarengi dengan rasa penasaran, kami bergegas menuju rumah itu dan tidak lama sudah sampai dihalaman depan.
Alangkah terkejutnya kami semua, karena pas di depan pintu depan terdapat seekor srigala yang sangat aneh sekali. Srigala itu bentuknya sangat menakutkan, matanya merah menyala dengan taringnya sangat panjang. Untung waktu itu ada seorang diantara kami yang pemberani.
Dia menyurh menangkap dan membunuh srigala itu, tapi lagi-lagi kami dikejutkan oleh keanehan srigala itu. Tiba-tiba srigala itu terbang di atas kepala kami dan hendak melarikan diri. Kami semua tidak tinggal diam, srigala itu kami kejar sampai kekuburan Pak Sastro.
Malam-malam berikutnya pun srigala itu kerap muncul dan menghilang tepat di atas kuburan Pak Sastro sampai menjelang 40 hari kematiannya. Setelah 40 hari, srigala itu tidak pernah muncul lagi.
Pernah, salah seorang penduduk mimpi didatangi oleh Pak Sastro dalam bentuk yang mengerikan. Dia datang dengan telanjang bulat dan kepalanya berupa srigala. Apakah itu Pak Sastro atau iblis? Kami semua tidak tahu.
Yang jelas, sampai sekarang misteri ini belum terungkap. Tapi bagi penduduk kampung dengan menghilangnya srigala itu sudah sangat bersyukur sekali, karena sudah terbebas dari rasa ketakutan yang selama sebulan menghantui.
Akhir Februari 2004, merupakan tanggal yang sial bagiku. Karena waktu itu aku termasuk pegawai yang di PHK oleh perusahan tempat selama ini bekerja. Setelah menganggur, untuk sekedar mengisi hari-hari yang kosong aku memutuskan mengunjungi sahabat-sahabat yang sudah lama tidak pernah ketemu. Tanya lowongan, tapi hasilnya nihil.
Dengan segala kekecewaan dan harapan, aku putuskan untuk pulang kampung dulu. Tepatnya hari Senin aku berangkat pagi-pagi sekali supaya sampai di rumah masih pagi, karena kalau sudah siang ibuku sudah berangkat ke ladang.
Ringkas cerita, seminggu sudah aku berada di kampung halaman. Rasanya seperti anak kecil lagi, karena bisa berkumpul dengan teman-teman yang biasa bercanda ria bahkan melakukan hal-hal yang konyol. Kami se-geng biasa nongkrong di warungnya Pak Sastro, orang yang sangat kaya raya di kampungku. Bahkan setengah tanah penduduk miliknya.
Tepatnya Selasa pagi, aku dikejutkan oleh pengumuman bahwa Pak H. Sastro meninggal dunia. Dengan terburu-buru aku berlari menuju rumah Pak Sastro. Betul sekali, di sana sudah banyak orang. Aku terbengong-bengong seakan-akan tidak percaya denga apa yang terjadi. Di ruang tamu terbujur kaki jasad Pak Sastro. Sulit dipercaya, padahal semalam kami bercanda bersama.
Ketika masih terbengong-bengong, aku dikagetkan oleh suara pak RT yang menyuruhku dan teman-teman membantu orang-orang tua untuk menggali liang lahat. Dan kami semua menurutinya.
Akhirnya kami semua berangkat menuju ke pemakaman umum. Di sinilah keanehan mulai terjadi. Tanah yang digali sangat susah sekali. Tidak biasanya tanah yang digali banyak batunya bahkan sudah tiga tempat, tetapi tetap sama. Walaupun begitu akhirnya selesai juga dan tinggal menunggu mayat Pak Sastro dikebumikan.
Tepat pukul 11 siang, mayat Pak Sastro sudah siap dimasukan keliang lahat. Keganjilanpun terjadi lagi. Ketika mau ditutup dengan batu bata, tiba-tiba batu-bata yang berada di atas longsor dan tepat sekali menimpa kepala mayat Pak Sastro. Kami semua menjerit histeris, kerena takut dan kaget.
Singkat cerita acara penguburan pak Sastro sudah selesai.
Malamnya, awal dari segala ketakutan dan ketegangan. Waktu itu saya dan teman-teman biasa nongkrong dan begadang, tapi kali ini begadangnya di dalam rumahku. Tidak biasanya udara di luar sangat dingin sekali dan dibarengi dengan hujan rintik-rintik.
Ketika lagi asyik main kartu, kami semua dikejutkan oleh suara lolongan anjing yang sangat panjang. Bahkan sangat menyayat hati. Suara itu tidak henti-hentinya. Setiap kali melolong, suaranya berubah. Seperti suara orang marah, dan kadang merintih-rintih.
Suara anjing itu memang hampir setiap malam muncul, dan sudah menggegerkan seluruh kampung.
Akhirnya penduduk sangat resah. Dengan kesepakatan bersama Pak RT, kami mengadakan ronda malam.
Ronda malampun dimulai. Aku dan kawan-kawan ramai-ramai menunggu di pos sambil membakar singkong. Ketika kami lagi asyik mengobrol, tiba-tiba dikejutkan oleh suara lolongan yang berasal dari rumah Pak Sastro. Dibarengi dengan rasa penasaran, kami bergegas menuju rumah itu dan tidak lama sudah sampai dihalaman depan.
Alangkah terkejutnya kami semua, karena pas di depan pintu depan terdapat seekor srigala yang sangat aneh sekali. Srigala itu bentuknya sangat menakutkan, matanya merah menyala dengan taringnya sangat panjang. Untung waktu itu ada seorang diantara kami yang pemberani.
Dia menyurh menangkap dan membunuh srigala itu, tapi lagi-lagi kami dikejutkan oleh keanehan srigala itu. Tiba-tiba srigala itu terbang di atas kepala kami dan hendak melarikan diri. Kami semua tidak tinggal diam, srigala itu kami kejar sampai kekuburan Pak Sastro.
Malam-malam berikutnya pun srigala itu kerap muncul dan menghilang tepat di atas kuburan Pak Sastro sampai menjelang 40 hari kematiannya. Setelah 40 hari, srigala itu tidak pernah muncul lagi.
Pernah, salah seorang penduduk mimpi didatangi oleh Pak Sastro dalam bentuk yang mengerikan. Dia datang dengan telanjang bulat dan kepalanya berupa srigala. Apakah itu Pak Sastro atau iblis? Kami semua tidak tahu.
Yang jelas, sampai sekarang misteri ini belum terungkap. Tapi bagi penduduk kampung dengan menghilangnya srigala itu sudah sangat bersyukur sekali, karena sudah terbebas dari rasa ketakutan yang selama sebulan menghantui.
AKIBAT RITUAL BANK GAIB, NYAWA ANAK PUN DIKORBANKAN
Gara-gara melakukan ritual bank gaib, anakku mati secara misterius. Nyawanya telah direnggut oleh jin penjamin pinjaman uang gaib tersebut....
Banyak cara dan upaya yang ditempuh manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup berupa kekayaan. Memang, kemiskinan sebagai dampak lemahnya ekonomi sering mendorong manusia nekad untuk melakukan apa saja yang dapat mencapai keinginannya itu. Tidak peduli apakah cara-cara tersebut bertentangan dengan keimanan.
Salah satu contoh seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang hendak mencari pesugihan dengan cara mencari pinjaman uang ke bank gaib. Lokasinya berada di daerah pesisir laut kidul, Jawa Barat.
Perisitiwa ini terjadi pada akhir 2001 yang lalu. Seperti kita ketahui, isyu tentang keberadaan bank gaib yang berada di beberapa tempat di Pulau Jawa masih sangat kontroversial ketika itu. Konon, biasanya persekutuan dengan modus bank gaib, yaitu berupa pinjaman uang pada makhluk halus yang harus dibayar dalam jangka waktu yang ditentukan. Tapi kali ini, tebusan yang harus dibayar berupa tumbal!
Kisah mistis kali ini, sebuah kejadian nyata yang dialami oleh salah seorang pelaku yang pernah datang ke tempat pesugihan berupa bank gaib. Nama-nama para pelaku sengaja kami samarkan untuk menjaga citra diri mereka. Berikut pengakuan salah seorang saksi yang berhasil kami tuliskan kembali....:
Aku dilahirkan di Desa Jatimulya, dari sepasang suami istri yang berprofesi sebagai penjual makanan. Setelah dewasa, aku menikah dengan seorang gadis pilihanku dari desa sebelah kampung halamanku. Gadis itu bernama Mumun.
Karena sifat manja yang ditanamkan sejak kecil oleh ke dua orang tuaku, akhirnya berakibat buruk pada saat aku sudah berumah tangga. Aku menjadi seorang bisa dikatakan ingin hidup enak tapi enggan mencari pekerjaan yang layak.
Meski pernikahan kami sudah berjalan dua tahun lebih, namun beberapa usaha yang aku geluti belum membuahkan hasil yang memuaskan. Tak jarang, untuk makan sehari-hari saja, masih bergantung pada orang tua. Hingga suatu ketika, istriku hamil dan melahirkan seorang putri yang cantik. Sebut saja namanya Mely.
Mulanya aku merintis pekerjaan sebagai pengrajin batu bata. Beberapa tahun kemudian, usaha itu pun berhenti karena kurang modal. Beberapa kali aku mencoba mencari usaha-usaha yang lain. Namun lagi-lagi aku belum juga menemukan pekerjaan yang cocok dengan kepribadianku.
Di saat aku sedang kalut dengan keadaan, aku kedatangan seorang teman dari desa lain. Sang teman menawarkan suatu jalan alternatif mencari kekayaan yang terdengar sangat musykil bagiku.
Temanku yang sebut saja bernama Solihin itu memang tergolong berada di desanya. Kedetangannya ke tempatku, karena Solihin disuruh oleh seorang perantara dari Desa Terisi agar mencarikan tujuh peserta lain untuk diajak ke suatu tempat keramat yang ada di pesisir laut kidul Jawa Barat. Maksudnya tak lain dan tak bukan adalah untuk melakukan peminjaman uang ke bank gaib.
Menurut Solihin, segala kebutuhan mulai dari ongkos dan kendaraan dijamin oleh Abbas, sang perantara tersebut. Aku dan teman-teman cukup membawa KTP dan botol kosong bekas air mineral. Di sana, konon ada sebuah tempat yang dirahasiakan berupa gua untuk meminta pesugihan berupa bank gaib.
Terus terang, aku tidak percaya pada cara-cara nyleneh yang diutarakan temanku itu. Tapi mengingat kondisi keluarga yang memprihatinkan, akhirnya aku turuti saja ajakan mereka. Sekedar mencari peruntungan! Pikirku ketika itu.
Sesuai dengan waktu yang direncanakan, rombongan disuruh berkumpul di suatu tempat yang ditentukan untuk menunggu jemputan dari Abbas selaku perantara.
Pagi itu, sekitar pukul 06.00 WIB, datanglah sebuah mobil Kijang. Kenmdaraan inilah yang kemudian membawa rombongan kami menyusuri arah selatan menuju Pantai Pangandaran di daerah Ciamis, Jawa Barat. Setelah sampai di sana, kami diajak memasuki sebuah goa yang pengap. Kami semua menemui seorang juru kunci yang berpakaian serba putih ala wali.
Setelah melakukan uluk salam, Abbas mengutarakan maksud kedatangan kami. Juru kunci tersebut tidak langsung menyanggupi, melainkan memberikan sebuah nasehat bahwa apa yang kami lakukan adalah perbuatan yang dilarang agama. Namun setelah Abbas mendesak, akhirnya juru kunci itu pun memenuhi permintaan kami dengan syarat-syarat dan resiko yang bakal terjadi.
Persyaratannya antara lain: peserta harus menyerahkan KTP dan memasukkan ombak air laut ke dalam botol yang kami bawa. Para peserta tidak boleh menciduk air laut secara langsung, melainkan menadahkan botol itu pada ombak yang datang sendiri secara bergelombang.
Setelah semuanya diuraikan, kira-kira setengah jam kemudian kami keluar untuk mendapatkan air tersebut.
Setelah dapat, semua orang masuk kembali ke ruangan sang juru kunci. Lelaki berjubah putih itu memberikan lagi beberapa persyaratan yang harus disediakan oleh tiap-tiap peserta setelah sampai di rumah nanti. Di antaranya kami harus menyediakan kamar khusus untuk meletakkan sarana ritual nanti.
Air laut yang ada di dalam botol harus dicampur dengan bunga tujuh rupa. Peserta juga harus menyediakan tujuh jenis minuman yang berbeda dalam gelas, seperti kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis, kopi jahe, air kelapa, dan beberapa sarana ritual lainnya. Semuanya ditutup dengan kain putih. Pelaku juga tidak boleh tertidur pada tengah malam.
Di dalam kamar kami harus menunggu makhluk yang akan datang memenuhi hajat bagi tiap peserta. Menurut juru kunci, apapun yang terjadi para pelaku tidak boleh beranjak dari kamar. Apabila ritual itu gagal, para pelaku siap menanggung resiko yang akan terjadi kelak.
Setelah semua persyaratan beres, kami pun pulang kembali ke rumah dan desa masing-masing.
***
Sampai di rumah, aku mempersiapkan segalanya, termasuk kamar khusus untuk acara ritual. Ketika malam semakin larut aku mulai melakukan ritual itu. Bau kemenyan yang mengepul menyengat di kedua rongga hidungku. Aku masih duduk bersila menahan rasa kantuk yang sedari tadi menggayut di kelopak mataku.
Sesaat kemudian, tiba-tiba ruangan kamarku serasa berguncang. Aku merasakan seolah rumahku digoyangkan oleh sesuatu kekuatan yang amat dahsyat. Aku sangat terkejut dan beranjak dari tempat duduk untuk bangkit ke belakang. Setelah itu entah dari mana datangnya, di depanku tampak asap putih mengepul. Lambat laun asap itu menjelma menjadi sosok makhluk yang mengerikan. Makhluk tinggi besar itu berdiri tepat di depanku. Terlihat jelas rambutnya yang gondrong, dengan taring mencuat di mulutnya. Tubuhnya tampak berwarna belang-belang mirip zebra.
Makhluk itu menggeram. Seraya menyeringai dia mendekatiku. Mungkin makhluk itu hendak mencekikku. Saat itu juga aku berusaha menghindar lari karena didera rasa takut yang membuncah. Ingin sekali aku berteriak. Tapi entah kenapa suaraku tersekat di tenggorokkan. Aku terus berusaha menggapai daun pintu untuk keluar. Setelah sampai keluar, aku lari mendekati ruang tamu. Untung saja makhluk itu tidak terus mengejarku.
Nmun masih kurasakan, seakan rumahku berguncang hendak roboh. Tapi anehnya, istri dan anakku tidak terusik sama sekali dengan peristiwa yang kualami. Memang, kejadian itu hanya berlangsung sementara, kerana sesaat kemudian keadaan kembali normal. Karena takut, aku pun tertidur di sofa ruang tamu. Akhirnya, kunyatakan ritual itu gagal total.
Keesokan harinya, aku mendatangi beberapa rumah temanku. Mereka pun mengaku sama mengalami peristiwa semalam. Akhirnya, semuanya gagal. Begitu juga Abbas, sang perantara.
Seminggu setelah kejadian itu, tersiar kabar dari teman-teman bahwa mereka kerap kali diganggu makhluk tinggi besar itu. Makhluk itu datang dan menuntut ganti rugi atas kekecewaannya. Tidak sedikit di antara teman-temanku mengalami kesurupan yang nyaris merenggut nyawanya. Bahkan di antara mereka banyak yang anak-anaknya mengalami penyakit yang sangat aneh. Untuk saja ada orang-orang pintar di desa masing-massing yang segera menangani.
Dua hari setelah kabar itu, menjelang maghrib istriku yang baru pulang dengan anakku dari tempat mertuaku mengalami peristiwa yang selama ini aku takutkan. Setelah tiba di rumah, anakku yang berusia 2 tahun itu mendadak kejang-kejang. Semua tetangga hadir, termasuk ibuku untuk melihat keadaan anakku.
Sebelumnya, anakku tidak mengalami sakit apa-apa. Setelah semuanya berkumpul, anakku pun menghembuskan nafas yang terakhir. Semua orang yang hadir termasuk istri dan ibuku menangis meratapi kepergian anakku yang masih belia itu. Aku sangat terpukul dan menyesal dengan kejadian ini.
Saat kematiannya, ada sesuatu yang aneh aku lihat di leher anakku. Begitu juga pada tetangga yang hadir. Kami semua melihat seperti ada bekas cekikan di leher Mely, anakku. Akhirnya keadaan pun menjadi gempar. Ada yang beranggapan anakku terkena tulah makhluk halus. Namun ada juga yang mengatakan, anakku menjadi tumbal orang yang melakukan pesugihan.
Hanya aku yang tahu pasti tentang semuanya. Dan, aku hanya menyesali perbuatan yagn pernah kulakukan itu. Benarkah anakku menjadi tumbal akibat persekutuan yang gagal? Wallahu'alam.
Kini...aku hidup dalam kesendirian, karena setelah peristiwa itu istriku memutuskan untuk pergi menjadi TKW ke Arab Saudi. Semoga peristiwa yang kualami ini tidak menimpa kepada para pembaca yang lain. Sampai kapanpun kejadian ini terus membekas di dalam ingatanku.
Banyak cara dan upaya yang ditempuh manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup berupa kekayaan. Memang, kemiskinan sebagai dampak lemahnya ekonomi sering mendorong manusia nekad untuk melakukan apa saja yang dapat mencapai keinginannya itu. Tidak peduli apakah cara-cara tersebut bertentangan dengan keimanan.
Salah satu contoh seperti yang dilakukan oleh sekelompok orang yang hendak mencari pesugihan dengan cara mencari pinjaman uang ke bank gaib. Lokasinya berada di daerah pesisir laut kidul, Jawa Barat.
Perisitiwa ini terjadi pada akhir 2001 yang lalu. Seperti kita ketahui, isyu tentang keberadaan bank gaib yang berada di beberapa tempat di Pulau Jawa masih sangat kontroversial ketika itu. Konon, biasanya persekutuan dengan modus bank gaib, yaitu berupa pinjaman uang pada makhluk halus yang harus dibayar dalam jangka waktu yang ditentukan. Tapi kali ini, tebusan yang harus dibayar berupa tumbal!
Kisah mistis kali ini, sebuah kejadian nyata yang dialami oleh salah seorang pelaku yang pernah datang ke tempat pesugihan berupa bank gaib. Nama-nama para pelaku sengaja kami samarkan untuk menjaga citra diri mereka. Berikut pengakuan salah seorang saksi yang berhasil kami tuliskan kembali....:
Aku dilahirkan di Desa Jatimulya, dari sepasang suami istri yang berprofesi sebagai penjual makanan. Setelah dewasa, aku menikah dengan seorang gadis pilihanku dari desa sebelah kampung halamanku. Gadis itu bernama Mumun.
Karena sifat manja yang ditanamkan sejak kecil oleh ke dua orang tuaku, akhirnya berakibat buruk pada saat aku sudah berumah tangga. Aku menjadi seorang bisa dikatakan ingin hidup enak tapi enggan mencari pekerjaan yang layak.
Meski pernikahan kami sudah berjalan dua tahun lebih, namun beberapa usaha yang aku geluti belum membuahkan hasil yang memuaskan. Tak jarang, untuk makan sehari-hari saja, masih bergantung pada orang tua. Hingga suatu ketika, istriku hamil dan melahirkan seorang putri yang cantik. Sebut saja namanya Mely.
Mulanya aku merintis pekerjaan sebagai pengrajin batu bata. Beberapa tahun kemudian, usaha itu pun berhenti karena kurang modal. Beberapa kali aku mencoba mencari usaha-usaha yang lain. Namun lagi-lagi aku belum juga menemukan pekerjaan yang cocok dengan kepribadianku.
Di saat aku sedang kalut dengan keadaan, aku kedatangan seorang teman dari desa lain. Sang teman menawarkan suatu jalan alternatif mencari kekayaan yang terdengar sangat musykil bagiku.
Temanku yang sebut saja bernama Solihin itu memang tergolong berada di desanya. Kedetangannya ke tempatku, karena Solihin disuruh oleh seorang perantara dari Desa Terisi agar mencarikan tujuh peserta lain untuk diajak ke suatu tempat keramat yang ada di pesisir laut kidul Jawa Barat. Maksudnya tak lain dan tak bukan adalah untuk melakukan peminjaman uang ke bank gaib.
Menurut Solihin, segala kebutuhan mulai dari ongkos dan kendaraan dijamin oleh Abbas, sang perantara tersebut. Aku dan teman-teman cukup membawa KTP dan botol kosong bekas air mineral. Di sana, konon ada sebuah tempat yang dirahasiakan berupa gua untuk meminta pesugihan berupa bank gaib.
Terus terang, aku tidak percaya pada cara-cara nyleneh yang diutarakan temanku itu. Tapi mengingat kondisi keluarga yang memprihatinkan, akhirnya aku turuti saja ajakan mereka. Sekedar mencari peruntungan! Pikirku ketika itu.
Sesuai dengan waktu yang direncanakan, rombongan disuruh berkumpul di suatu tempat yang ditentukan untuk menunggu jemputan dari Abbas selaku perantara.
Pagi itu, sekitar pukul 06.00 WIB, datanglah sebuah mobil Kijang. Kenmdaraan inilah yang kemudian membawa rombongan kami menyusuri arah selatan menuju Pantai Pangandaran di daerah Ciamis, Jawa Barat. Setelah sampai di sana, kami diajak memasuki sebuah goa yang pengap. Kami semua menemui seorang juru kunci yang berpakaian serba putih ala wali.
Setelah melakukan uluk salam, Abbas mengutarakan maksud kedatangan kami. Juru kunci tersebut tidak langsung menyanggupi, melainkan memberikan sebuah nasehat bahwa apa yang kami lakukan adalah perbuatan yang dilarang agama. Namun setelah Abbas mendesak, akhirnya juru kunci itu pun memenuhi permintaan kami dengan syarat-syarat dan resiko yang bakal terjadi.
Persyaratannya antara lain: peserta harus menyerahkan KTP dan memasukkan ombak air laut ke dalam botol yang kami bawa. Para peserta tidak boleh menciduk air laut secara langsung, melainkan menadahkan botol itu pada ombak yang datang sendiri secara bergelombang.
Setelah semuanya diuraikan, kira-kira setengah jam kemudian kami keluar untuk mendapatkan air tersebut.
Setelah dapat, semua orang masuk kembali ke ruangan sang juru kunci. Lelaki berjubah putih itu memberikan lagi beberapa persyaratan yang harus disediakan oleh tiap-tiap peserta setelah sampai di rumah nanti. Di antaranya kami harus menyediakan kamar khusus untuk meletakkan sarana ritual nanti.
Air laut yang ada di dalam botol harus dicampur dengan bunga tujuh rupa. Peserta juga harus menyediakan tujuh jenis minuman yang berbeda dalam gelas, seperti kopi pahit, kopi manis, teh pahit, teh manis, kopi jahe, air kelapa, dan beberapa sarana ritual lainnya. Semuanya ditutup dengan kain putih. Pelaku juga tidak boleh tertidur pada tengah malam.
Di dalam kamar kami harus menunggu makhluk yang akan datang memenuhi hajat bagi tiap peserta. Menurut juru kunci, apapun yang terjadi para pelaku tidak boleh beranjak dari kamar. Apabila ritual itu gagal, para pelaku siap menanggung resiko yang akan terjadi kelak.
Setelah semua persyaratan beres, kami pun pulang kembali ke rumah dan desa masing-masing.
***
Sampai di rumah, aku mempersiapkan segalanya, termasuk kamar khusus untuk acara ritual. Ketika malam semakin larut aku mulai melakukan ritual itu. Bau kemenyan yang mengepul menyengat di kedua rongga hidungku. Aku masih duduk bersila menahan rasa kantuk yang sedari tadi menggayut di kelopak mataku.
Sesaat kemudian, tiba-tiba ruangan kamarku serasa berguncang. Aku merasakan seolah rumahku digoyangkan oleh sesuatu kekuatan yang amat dahsyat. Aku sangat terkejut dan beranjak dari tempat duduk untuk bangkit ke belakang. Setelah itu entah dari mana datangnya, di depanku tampak asap putih mengepul. Lambat laun asap itu menjelma menjadi sosok makhluk yang mengerikan. Makhluk tinggi besar itu berdiri tepat di depanku. Terlihat jelas rambutnya yang gondrong, dengan taring mencuat di mulutnya. Tubuhnya tampak berwarna belang-belang mirip zebra.
Makhluk itu menggeram. Seraya menyeringai dia mendekatiku. Mungkin makhluk itu hendak mencekikku. Saat itu juga aku berusaha menghindar lari karena didera rasa takut yang membuncah. Ingin sekali aku berteriak. Tapi entah kenapa suaraku tersekat di tenggorokkan. Aku terus berusaha menggapai daun pintu untuk keluar. Setelah sampai keluar, aku lari mendekati ruang tamu. Untung saja makhluk itu tidak terus mengejarku.
Nmun masih kurasakan, seakan rumahku berguncang hendak roboh. Tapi anehnya, istri dan anakku tidak terusik sama sekali dengan peristiwa yang kualami. Memang, kejadian itu hanya berlangsung sementara, kerana sesaat kemudian keadaan kembali normal. Karena takut, aku pun tertidur di sofa ruang tamu. Akhirnya, kunyatakan ritual itu gagal total.
Keesokan harinya, aku mendatangi beberapa rumah temanku. Mereka pun mengaku sama mengalami peristiwa semalam. Akhirnya, semuanya gagal. Begitu juga Abbas, sang perantara.
Seminggu setelah kejadian itu, tersiar kabar dari teman-teman bahwa mereka kerap kali diganggu makhluk tinggi besar itu. Makhluk itu datang dan menuntut ganti rugi atas kekecewaannya. Tidak sedikit di antara teman-temanku mengalami kesurupan yang nyaris merenggut nyawanya. Bahkan di antara mereka banyak yang anak-anaknya mengalami penyakit yang sangat aneh. Untuk saja ada orang-orang pintar di desa masing-massing yang segera menangani.
Dua hari setelah kabar itu, menjelang maghrib istriku yang baru pulang dengan anakku dari tempat mertuaku mengalami peristiwa yang selama ini aku takutkan. Setelah tiba di rumah, anakku yang berusia 2 tahun itu mendadak kejang-kejang. Semua tetangga hadir, termasuk ibuku untuk melihat keadaan anakku.
Sebelumnya, anakku tidak mengalami sakit apa-apa. Setelah semuanya berkumpul, anakku pun menghembuskan nafas yang terakhir. Semua orang yang hadir termasuk istri dan ibuku menangis meratapi kepergian anakku yang masih belia itu. Aku sangat terpukul dan menyesal dengan kejadian ini.
Saat kematiannya, ada sesuatu yang aneh aku lihat di leher anakku. Begitu juga pada tetangga yang hadir. Kami semua melihat seperti ada bekas cekikan di leher Mely, anakku. Akhirnya keadaan pun menjadi gempar. Ada yang beranggapan anakku terkena tulah makhluk halus. Namun ada juga yang mengatakan, anakku menjadi tumbal orang yang melakukan pesugihan.
Hanya aku yang tahu pasti tentang semuanya. Dan, aku hanya menyesali perbuatan yagn pernah kulakukan itu. Benarkah anakku menjadi tumbal akibat persekutuan yang gagal? Wallahu'alam.
Kini...aku hidup dalam kesendirian, karena setelah peristiwa itu istriku memutuskan untuk pergi menjadi TKW ke Arab Saudi. Semoga peristiwa yang kualami ini tidak menimpa kepada para pembaca yang lain. Sampai kapanpun kejadian ini terus membekas di dalam ingatanku.
AKIBAT ILMU TRAWANGAN AKU JADI IMPOTEN
Kisah mistis ini diceritakan secara lengkap oleh Embong Slamet. Gara-gara ilmu trawangan senjatanya menjadi loyo, akibat seringnya melihat wanita cantik berbugil ria....
Pada mulanya aku hanya coba-coba. Aku sering membayangkan, betapa enaknya bisa tembus pandang, meskipun dalam jarak jauh dengan radius ratusan meter. Tentu saja bisa dibayangkan, betapa nikmatnya bisa melihat tubuh wanita yang mulus di depan mata. Apalagi bila berdekatan dengan artis top ibu kota, bisa kelihatan luar dalamnya. Belum lagi orang-orang yang sedang mandi di kamar-kamar hotel. Tentu sebuah pemandangan yang benar-benar langka dan tak bisa dibayangkan. Bisa dikata, itu adalah sebuah perjalanan surgawi tersendiri yang tiada bandingnya.
Dari banyak keinginan yang aneh-aneh itulah akhirnya aku berani menanyakannya pada Mbah Warso. Sebab di kampungku, hanya dialah yang dikenal memiliki ilmu langka tersebut. Meski usianya masih muda, namun orang-orang kampungku sudah memanggilnya dengan sebutan Mbah, sebab ilmunya dikenal sebagai ilmu tua. Selain itu penampilannya juga seperti seorang Mbah. Memelihara jenggot dan kumis panjangnya, plus rambut panjang dikuncir ke belakang. Gaya ngomongnya pun tak ubahnya seperti seorang Mbah, pelan dan sangat hati-hati.
Karena dikenal memiliki ilmu trawangan, Mbah Warso semakin dijauhi wanita. Kabar yang beredar, mereka tidak berani datang ke tempat Mbah Warso karena malu tubuhnya bisa dilihat secara jelas, meski mengenakan pakaian lengkap sekalipun. Padahal sebenarnya banyak wanita yang menaruh hati padanya. Namun karena perasaan malu lebih besar, mereka suka menjauhi. Oleh karena itulah Mbah Warso tetap membujang meski usianya sudah menginjak kepala empat.
Nasib baik rupanya berpihak kepadaku. Beberapa orang yang meminta diajari ilmu tersebut tak pernah diberi. Meski dengan berbagai dalih dan sedikit ngeyel, namun Mbah Warso lebih memilih diam. Bahkan bila dipaksa sekalipun, dia akan lebih memilih ribut daripada harus mengajarkan ilmunya pada orang yang tidak dikehendaki. Seakan ada tanda tersendiri pada calon murid yang bisa diajarkan ilmu tersebut.
Tapi lain halnya dengan aku. Ketika aku minta diajari, dia langsung legowo (menerima-Red). Bahkan langsung menanyakan kesiapanku untuk mempelajarinya. Jawaban itulah yang sempat membuatku setengah tak percaya. Kok begitu mudah bagiku? Padahal yang lain sulitnya setengah mati. Bahkan sampai mati sekalipun, belum bisa mendapatkannya. Kata orang, garis tanganku menakdirkan akulah salah seorang yang akan mampu menerima ilmu trawangan tersebut. Syukurlah kalau memang begitu. Ini memang rejekiku, pikirku saat itu.
Dalam waktu tidak begitu lama aku sudah berhasil menguasainya. Ternyata ritualnya tidak sesulit yang aku bayangkan sebelumnya. Hanya dengan berpuasa patigeni beberapa hari saja, plus lelaku yang tak seberapa berat, keinginanku sudah tercapai. Dalam hitungan jari tangan, aku sudah bisa menerawang ke beberapa tempat, meski terhalang tembok tebal. Benar-benar gila! Betapa mulusnya tubuh, Dian, Sari, Hilda dan Siska. Padahal sejak dulu aku mau mengintip waktu mandi saja susah minta ampun. Takut kepergok orang kampung.
Sejak mulai menguasai ilmu trawangan, aku memilih hobi baru. Setiap hari selalu kusempatkan diri untuk menjajal ilmuku. Hampir seluruh wanita di kampungku, semuanya sudah pernah kulihat tubuhnya, meski dengan kelebihan ilmu yang diberi¬kan kepadaku. Bahkan isteri kepala desaku yang bekas foto model, sudah puas aku memandanginya.
Tak puas hanya dengan memandangi seluruh gadis-gadis, ibu dan janda di kampungku jadi sasaran. Akhirnya, aku mengembangkan ‘bakat alamku’ ke kota. Setiap memasuki terminal bus, aku selalu menyempatkan untuk merapal ilmuku lebih dulu. Jadinya, mereka yang ada di sekitar tempat itu seperti tak mengenakan pakaian sedikit pun. Luar biasa! Enak benar. Terasa seperti hidup di alam lain saja.
Tidak hanya tubuh wanita yang mulus saja yang bisa kulihat, tapi juga orang-orang yang sedang melakukan hubungan intim di kamarnya. Lewat ilmu trawangan, aku bisa melihatnya dengan jelas setiap gerakan mereka. Beberapa temanku yang sempat kuceritakan detik demi detik permainan seorang tetangga hanya bisa ngiler mendengarnya.
“Ayo dong, ajari aku!” itulah ujungnya setiap aku menceritakan sesuatu pada mereka.
Akibat ilmu tersebut, aku tak suka lagi nonton vcd porno. Bagiku, melihat langsung akan lebih bagus ketimbang hanya melihat di layar televisi. Lagian, dengan ilmu warisan leluhur itu aku tak usah mengeluarkan biaya sedikitpun. Hanya dengan modal konsentrasi dan sedikit waktu untuk merapal mantra, aku sudah bisa menikmatinya dengan leluasa. Aku benar-benar leluasa untuk bisa melihat apapun yang berada di balik pakaian seseorang. Termasuk untuk mengukur besar, kecil, kencang dan kendur milik seseorang. Aku hapal benar “barang-barang” mereka.
Namun ada satu dampak yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Padahal dampak itu amat fatal bagiku. Mbah Warso juga tak pernah memberitahu aku sebelumnya. Ternyata, sejak aku menguasai ilmu pemberian Mbah Warso, senjataku tak pernah lagi berdiri tegak. Padahal secara nyata, pancingan yang diberikan mataku sudah benar-benar maksimal. Apapun yang kuinginkan, aku bisa melihatnya dengan jelas. Tapi anehnya, meski kedua mataku bisa melihat segala sesuatu dengan leluasa, namun aku tak pernah bernafsu. Semuanya terasa biasa. Tak ada yang istimewa dan perlu dihayati.
Yang juga amat kusesali, ternyata aku sudah terlambat mengetahuinya. Ketika aku sudah puas dengan melihat segala macam wanita yang kuinginkan, dan aku mulai ingin menikah dan hidup normal. Saat itulah aku baru tahu, ternyata senjataku tak berfungsi lagi. Beberapa kali aku mencoba untuk mereparasi ke beberapa tukang obat kuat, namun belum juga membuahkan hasil yang maksimal. Bahkan saking gusarnya sempat aku datangi kios pengobatan India khusus lemah syahwat, namun belum juga berhasil. Padahal saat itu, si pengobatnya wanita India yang benar-benar cantik plus bahenol. Berpakaian minim lagi. Sebagai seorang lelaki normal, melihat saja (tanpa menyentuh), bisa membuat lelaki yang lemah syahwat langsung bergairah. Jantan kembali. Tapi aku benar-benar lain. Disentuh beberapa kali pun tak juga mau bergerak.
Aku mulai panik. Kudatangi Mbah Warso, lalu kusampaikan keluhanku kepadanya. Pikirku, hanya dialah yang tahu penawarnya karena dia juga yang memberikan ilmu itu padaku. Namun apa yang terjadi kemudian, sungguh di luar dugaanku. Orang itu malah tertawa terbahak-bahak.
“Bukan cuma kamu yang merasakan hal itu, aku sendiri juga sangat menyesal,” jawabnya dengan enteng.
Saat itu darah mudaku langsung naik ke ubun-ubun. Tanpa terkendali, kupegang krah bajunya lalu kuangkat.
“Dasar guru bajingan!” bentakku, diiringi bogem mentah yang langsung mendarat di bibirnya. Lelaki itu terjerembab ke tanah sambil meratap minta ampun.
Tetapi secara diam-diam, aku merasa kasihan juga kepadanya. Tak kuat dengan batinku yang semakin memberontak, kutinggalkan Mbah Warso sendirian. Tak lupa aku memohon maaf atas kekasaranku. Namun tetap dengan jawaban semula, ia mengaku belum tahu penangkalnya. Ia sendiri sebenarnya juga kepingin bisa memiliki senjata normal layaknya seorang lelaki biasa.
Setiap menjelang tidur aku selalu merenungi dosa-dosa yang telah kuperbuat. Bukankah mengamalkan ilmu semacam itu dilarang Tuhan karena bisa mempermalukan orang? Kenapa aku melakukannya? Bukan salah Mbah Warso kalau aku sekarang dihukum. Toh, kesalahan sudah aku lakukan dalam beberapa lama. Beruntung aku masih diberi kesempatan untuk bertobat. Jika tidak, maka aku akan menyesali lebih lama lagi nantinya.
Setelah merenung untuk beberapa lama, aku mulai menemukan jalan keluarnya. Aku semakin senang dengan puasa Senin-Kamis, lalu membaca syahadat sebanyak 41 kali setiap usai sahalat Maghrib. Sementara mantra ilmu trawangan kusingkirkan jauh-jauh. Tak pernah lagi kuamalkan. Bahkan kulupakan sebisa mungkin. Beberapa pantangannya malah sengaja kulanggar.
Rupanya usahaku tak sia-sia. Beberapa kali aku merasakan aliran hangat merambat dari pusarku menuju alat vitalku. Saat itu pula aku merasa optimis untuk bisa hidup normal seperti dulu lagi. Namun semuanya tetap kuserahkan kepada-Mu, Tuhanku yang Maha Pengampun.
Pada mulanya aku hanya coba-coba. Aku sering membayangkan, betapa enaknya bisa tembus pandang, meskipun dalam jarak jauh dengan radius ratusan meter. Tentu saja bisa dibayangkan, betapa nikmatnya bisa melihat tubuh wanita yang mulus di depan mata. Apalagi bila berdekatan dengan artis top ibu kota, bisa kelihatan luar dalamnya. Belum lagi orang-orang yang sedang mandi di kamar-kamar hotel. Tentu sebuah pemandangan yang benar-benar langka dan tak bisa dibayangkan. Bisa dikata, itu adalah sebuah perjalanan surgawi tersendiri yang tiada bandingnya.
Dari banyak keinginan yang aneh-aneh itulah akhirnya aku berani menanyakannya pada Mbah Warso. Sebab di kampungku, hanya dialah yang dikenal memiliki ilmu langka tersebut. Meski usianya masih muda, namun orang-orang kampungku sudah memanggilnya dengan sebutan Mbah, sebab ilmunya dikenal sebagai ilmu tua. Selain itu penampilannya juga seperti seorang Mbah. Memelihara jenggot dan kumis panjangnya, plus rambut panjang dikuncir ke belakang. Gaya ngomongnya pun tak ubahnya seperti seorang Mbah, pelan dan sangat hati-hati.
Karena dikenal memiliki ilmu trawangan, Mbah Warso semakin dijauhi wanita. Kabar yang beredar, mereka tidak berani datang ke tempat Mbah Warso karena malu tubuhnya bisa dilihat secara jelas, meski mengenakan pakaian lengkap sekalipun. Padahal sebenarnya banyak wanita yang menaruh hati padanya. Namun karena perasaan malu lebih besar, mereka suka menjauhi. Oleh karena itulah Mbah Warso tetap membujang meski usianya sudah menginjak kepala empat.
Nasib baik rupanya berpihak kepadaku. Beberapa orang yang meminta diajari ilmu tersebut tak pernah diberi. Meski dengan berbagai dalih dan sedikit ngeyel, namun Mbah Warso lebih memilih diam. Bahkan bila dipaksa sekalipun, dia akan lebih memilih ribut daripada harus mengajarkan ilmunya pada orang yang tidak dikehendaki. Seakan ada tanda tersendiri pada calon murid yang bisa diajarkan ilmu tersebut.
Tapi lain halnya dengan aku. Ketika aku minta diajari, dia langsung legowo (menerima-Red). Bahkan langsung menanyakan kesiapanku untuk mempelajarinya. Jawaban itulah yang sempat membuatku setengah tak percaya. Kok begitu mudah bagiku? Padahal yang lain sulitnya setengah mati. Bahkan sampai mati sekalipun, belum bisa mendapatkannya. Kata orang, garis tanganku menakdirkan akulah salah seorang yang akan mampu menerima ilmu trawangan tersebut. Syukurlah kalau memang begitu. Ini memang rejekiku, pikirku saat itu.
Dalam waktu tidak begitu lama aku sudah berhasil menguasainya. Ternyata ritualnya tidak sesulit yang aku bayangkan sebelumnya. Hanya dengan berpuasa patigeni beberapa hari saja, plus lelaku yang tak seberapa berat, keinginanku sudah tercapai. Dalam hitungan jari tangan, aku sudah bisa menerawang ke beberapa tempat, meski terhalang tembok tebal. Benar-benar gila! Betapa mulusnya tubuh, Dian, Sari, Hilda dan Siska. Padahal sejak dulu aku mau mengintip waktu mandi saja susah minta ampun. Takut kepergok orang kampung.
Sejak mulai menguasai ilmu trawangan, aku memilih hobi baru. Setiap hari selalu kusempatkan diri untuk menjajal ilmuku. Hampir seluruh wanita di kampungku, semuanya sudah pernah kulihat tubuhnya, meski dengan kelebihan ilmu yang diberi¬kan kepadaku. Bahkan isteri kepala desaku yang bekas foto model, sudah puas aku memandanginya.
Tak puas hanya dengan memandangi seluruh gadis-gadis, ibu dan janda di kampungku jadi sasaran. Akhirnya, aku mengembangkan ‘bakat alamku’ ke kota. Setiap memasuki terminal bus, aku selalu menyempatkan untuk merapal ilmuku lebih dulu. Jadinya, mereka yang ada di sekitar tempat itu seperti tak mengenakan pakaian sedikit pun. Luar biasa! Enak benar. Terasa seperti hidup di alam lain saja.
Tidak hanya tubuh wanita yang mulus saja yang bisa kulihat, tapi juga orang-orang yang sedang melakukan hubungan intim di kamarnya. Lewat ilmu trawangan, aku bisa melihatnya dengan jelas setiap gerakan mereka. Beberapa temanku yang sempat kuceritakan detik demi detik permainan seorang tetangga hanya bisa ngiler mendengarnya.
“Ayo dong, ajari aku!” itulah ujungnya setiap aku menceritakan sesuatu pada mereka.
Akibat ilmu tersebut, aku tak suka lagi nonton vcd porno. Bagiku, melihat langsung akan lebih bagus ketimbang hanya melihat di layar televisi. Lagian, dengan ilmu warisan leluhur itu aku tak usah mengeluarkan biaya sedikitpun. Hanya dengan modal konsentrasi dan sedikit waktu untuk merapal mantra, aku sudah bisa menikmatinya dengan leluasa. Aku benar-benar leluasa untuk bisa melihat apapun yang berada di balik pakaian seseorang. Termasuk untuk mengukur besar, kecil, kencang dan kendur milik seseorang. Aku hapal benar “barang-barang” mereka.
Namun ada satu dampak yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Padahal dampak itu amat fatal bagiku. Mbah Warso juga tak pernah memberitahu aku sebelumnya. Ternyata, sejak aku menguasai ilmu pemberian Mbah Warso, senjataku tak pernah lagi berdiri tegak. Padahal secara nyata, pancingan yang diberikan mataku sudah benar-benar maksimal. Apapun yang kuinginkan, aku bisa melihatnya dengan jelas. Tapi anehnya, meski kedua mataku bisa melihat segala sesuatu dengan leluasa, namun aku tak pernah bernafsu. Semuanya terasa biasa. Tak ada yang istimewa dan perlu dihayati.
Yang juga amat kusesali, ternyata aku sudah terlambat mengetahuinya. Ketika aku sudah puas dengan melihat segala macam wanita yang kuinginkan, dan aku mulai ingin menikah dan hidup normal. Saat itulah aku baru tahu, ternyata senjataku tak berfungsi lagi. Beberapa kali aku mencoba untuk mereparasi ke beberapa tukang obat kuat, namun belum juga membuahkan hasil yang maksimal. Bahkan saking gusarnya sempat aku datangi kios pengobatan India khusus lemah syahwat, namun belum juga berhasil. Padahal saat itu, si pengobatnya wanita India yang benar-benar cantik plus bahenol. Berpakaian minim lagi. Sebagai seorang lelaki normal, melihat saja (tanpa menyentuh), bisa membuat lelaki yang lemah syahwat langsung bergairah. Jantan kembali. Tapi aku benar-benar lain. Disentuh beberapa kali pun tak juga mau bergerak.
Aku mulai panik. Kudatangi Mbah Warso, lalu kusampaikan keluhanku kepadanya. Pikirku, hanya dialah yang tahu penawarnya karena dia juga yang memberikan ilmu itu padaku. Namun apa yang terjadi kemudian, sungguh di luar dugaanku. Orang itu malah tertawa terbahak-bahak.
“Bukan cuma kamu yang merasakan hal itu, aku sendiri juga sangat menyesal,” jawabnya dengan enteng.
Saat itu darah mudaku langsung naik ke ubun-ubun. Tanpa terkendali, kupegang krah bajunya lalu kuangkat.
“Dasar guru bajingan!” bentakku, diiringi bogem mentah yang langsung mendarat di bibirnya. Lelaki itu terjerembab ke tanah sambil meratap minta ampun.
Tetapi secara diam-diam, aku merasa kasihan juga kepadanya. Tak kuat dengan batinku yang semakin memberontak, kutinggalkan Mbah Warso sendirian. Tak lupa aku memohon maaf atas kekasaranku. Namun tetap dengan jawaban semula, ia mengaku belum tahu penangkalnya. Ia sendiri sebenarnya juga kepingin bisa memiliki senjata normal layaknya seorang lelaki biasa.
Setiap menjelang tidur aku selalu merenungi dosa-dosa yang telah kuperbuat. Bukankah mengamalkan ilmu semacam itu dilarang Tuhan karena bisa mempermalukan orang? Kenapa aku melakukannya? Bukan salah Mbah Warso kalau aku sekarang dihukum. Toh, kesalahan sudah aku lakukan dalam beberapa lama. Beruntung aku masih diberi kesempatan untuk bertobat. Jika tidak, maka aku akan menyesali lebih lama lagi nantinya.
Setelah merenung untuk beberapa lama, aku mulai menemukan jalan keluarnya. Aku semakin senang dengan puasa Senin-Kamis, lalu membaca syahadat sebanyak 41 kali setiap usai sahalat Maghrib. Sementara mantra ilmu trawangan kusingkirkan jauh-jauh. Tak pernah lagi kuamalkan. Bahkan kulupakan sebisa mungkin. Beberapa pantangannya malah sengaja kulanggar.
Rupanya usahaku tak sia-sia. Beberapa kali aku merasakan aliran hangat merambat dari pusarku menuju alat vitalku. Saat itu pula aku merasa optimis untuk bisa hidup normal seperti dulu lagi. Namun semuanya tetap kuserahkan kepada-Mu, Tuhanku yang Maha Pengampun.
AIR PUTIH BANTUAN JIN DI TENGAH PERSALINAN DARURAT
Saat air ketuban kering dan bayi terancam mati, datang sosok misterius memberi air putih untuk persalinan istriku. Laki-laki tua yang tiba-tiba datang itu, diyakini bukan manusia biasa, tapi jin utusan Tuhan yang diturunkan untuk membantu kami yang sedang panik dan menderita batin....
Saat istriku menjerit kesakitan karena air ketuban kering karena kelebihan dua minggu dari harinya, aku begitu cemas. Sementara bidan Sri Dwijaningsih sudah lepas tangan, tidak sanggup lagi menangani istriku yang sudah 20 hari di kliniknya. Kami dianjurkan rujukan ke rumah sakit besar l00 kilometer dari kampung kami untuk operasi sesar. Dalam teori medis, bila air ketuban kering, bayi akan meninggal. Sebab air ketuban itu dimakan oleh jabang bayi dan menjadi racun pembunuh utama. Bayanganku jauh soal biaya. Paling tidak, untuk melakukan operasi sesar, Rp 5 juta mesti keluar. Sedangkan di kantongku, hanya tersisa uang Rp 200 ribu pemberian Om Zul, adik bungsu ibuku yang tinggal di Jakarta lewat transfer BNI 46 cabang Tugumulya, Lampung Barat.
Di tengah kegelisahanku, tiba-tiba datang seorang laki-laki setengah baya memberikan segelas air putih untuk diminumkan kepada istriku. Entah darimana datangnya sosok pria berpeci hitam, berbaju koko putih dan memakai sarung batik coklat. Disodorkan air dengan niat baik itu, aku langsung meraih dan meminumkannya poada istriku. Arkian, lima menit setelah minum air putih itu, bayi kami langsung lahir dengan selamat. Tapi laki-laki yang membawa air putih itu tiba-tiba menghilang di balik jendela. Saya mengejar keluar untuk mengucapkan terima kasih. Tapi laki-laki itu ternyata raib, tidak meninggalkan bekas sama sekali. Ditanya pada orang-orang sekitar, tidak ada satupun orang yang tahu. Tidak seorangpun yang mengaku melihat ada laki-laki bersarung batik, berbaju koko dan berpeci hitam masuk ke klinik itu. Bu bidan pun, tidak mengetahui ada sosok yang dimaksud berada dalam kliniknya.
Sejak setahun yang lalu, tepatnya bulan Juli 2003, aku menganggur. Aku dipecat sebagai Duty Manager sebuah hotel melati tiga di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Pemecatan tanpa alasan dan dicari-cari oleh management untuk menghindari pengangkatan satusku dari kontrak setelah 7 tahun aku kerja itu, benar-benar memukul batin kami. Selain merasa tidak bersalah, aku pun harus menghadapi suatu permasalahan ekonomi karena melamar ke sana ke mari, tidak mudah diterima. Sementara rumah kontrakan kami di Desa Suradita, Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tanggerang, Banten, tinggal sedikit lagi masa kontraknya akan habis.
Kehidupan kami mulai mengalami cobaan dari Allah SWT, dan baru pertama kali itulah aku merasakan pukulan hidup yang begitu berat dan menekan. Tapi aku harus tabah dan menghadapi ujian itu dengan ihlas. Tapi istri dan anakku, tentu saja tidak bisa menunda makan, minum dan kebutuhan rumah tangga yang lain. Maka itu, barang-barang di rumah satu perastu dilepas untuk hidup. Mulanya VCD, lalu kulkas, radio dan handphone. Tinggal televisi yang tersisa, karena televisi itu buat hiburan di malam hari. Bila tidak ada televisi, tentu rumah akan menjadi neraka dunia, sunyi dan aku akan jadi buta informasi.
Sedangkan Verli putra kami yang berumur 3 tahun, tidak pernah mau makan nasi. Dia hanya mau minum susu indomilk kaleng dan satu kaleng hanya untuk satu hari. Sementara persedian uang belakangan sudah tidak ada lagi untuk membeli susu. Barang-barang pun tidak ada lagi yang bisa dijual untuk susu anak kami itu. Untungnya, kakak kandungku, Bang Is, yang tinggal tidak jauh dari rumah kami, turun membantu. Karena uluran tangannyalah, maka kami bisa membelikan susu untuk Verli setiap hari.
Berapa bulan kemudian Sukirtina istriku terlambat datang bulan. Setelah diperiksa di dokter kandungan di Medical Center Bahkati Asih, istriku ternyata positif hamil. Bila kebanyakansuami senang mendengar istri positif hamil, aku malah sebaliknya. Bayanganku jauh ke depan meyangkut biaya kehamilan dan biaya melahirkan, sementara aku belum juga mendapatkan pekerjaan yang bisa menopang semua kebutuhan itu. Maka itu, kami pun akhirnya sepakat untuk menggugurkan kandungan itu. Tapi tiba-tiba kami membayangkan dosa dan kami sangat takut bila Tuhan marah atas usaha pengguguran itu. Bayi itu, menurut hemat kami, adalah titipan Allah dan Allah pasti sudah mengatur rejekih untuknya. Pengguguran itu, pikir kami, adalah suatu pembunuhan, sebab kehamilan istriku ternyata sudah empat bulan dan jabang bayi di perus istriku sudah berbentuk utuh walau masih kecil.
Sejak dari itu, kandungan istriku tidak terurus lagi. Makan, minum susu serta vitamin pun tidak pernah dapat terpenuhi. Tak ada uang kami untuk membeli kebutuhan itu. Airmata istriku sering menggenang dan aku tahu dia sangat sedih melihat kenyataan itu. Kadang-kadang dia sewot pula bicara, menyuruh aku banting tulang bekerja apa saja untuk mendapatkan uang. Aku mengerti desakan itu, dan sudah seharusnyalah aku bekerja keras bekerja apa saja untuk mendapatkan uang. Tapi aku bingung, mau kerja apa aku. Om ku mengajak aku jadi sopir perusahaannya, tapi aku tidak bisa menyetir. Om yang lain lagi mengajak bekerja sebagai kru sinetron, tapi aku tidak punya pengalaman di bidang produksi sinetron. Paling-paling, kata Omku. aku bekerja sebagai Pembantu Umum, tukang masak air dan menyediakan keperluan pemain dari dapur. Dan Omku tidak tega melihat aku bekerja di bidang itu, pekerjaan terendah di produksi sinetron kita. Makan sehari-hari pun dengan seadanya dan juga di bantu dari paman kami. Karena merasa tidak enak dengan paman kami dan keluarga yang di Jakarta, akhirnya kami putuskan untuk berpisah sementara. Anak dan istriku dipulangkan dulu di kampung ke tempat orang tua kami di Lampung. Sedangkan aku berada di Jakarta untuk mencari kerja lagi, dari hotel ke hotel dan dari restoran ke restoran sesuai dengan bidang keahlianku sebagai Bar tender dan Duty Manager hotel melati tiga. Tapi upaya itu belum menunjukkan hasil. Tak satupun tempat aku masukkan lamaran dapat memanggilku. Semua bilang tunggu dan tunggu, terus begitu.
Walau perasaan kami sedih karena keluarga kami terpecah, tapi karena hanya itulah menurut kami hal yang terbaik kami ambil saat itu, maka kami terus ihlas dan tawakal menghadapi kenyataan itu. Sambil kami berharap, mudah-mudahan aku cepat mendapat pekerjaan dan istri serta dua anakku di lampung dapat kubawa lagi ke Jakarta.
Sebulan istriku di kampung, aku diajak kerja oleh salah satu paman dengan gaji yang cukup minim. Tapi aku bersyukur masih bisa menyambung hidup di kota Jakarta. Dua bulan kemudian, aku mendapat kabar dari istri di kampung, bahwa bulan Juli pertengahan dia akan melahirkan anak kami yang kedua.
Setelah tiba waktu istriku melahirkan, perut istriku selalu mulas-mulas tapi anehnya bayi kami tidak mau lahir juga. Sampai akhirnya istriku minta aku pulang ke kampung biar supaya dia punya kekuatan untuk melahirkan. Sesampainya di kampung, Tugumulya Lampung Barat, isteriku benar-benar akan melahirkan. Kehadiranku ternyata cukup memberi semangat istriku untuk cepat-cepat mengeluarkan anak. Tapi sayang, hal itu terbatas di mulas-mulas dan askit perut saja, tapi jabang bayi tidak muncul juga. Hingga akhirnya, bidan yang menangani isteriku, lepas tangan, minta agar kami ke rumah sakit Kayuagung dan melakukan operasi sesar.
Mendengar vonis dari Bidan itu, kami tentu saja kebingungan uang. Dari mana kami mendapatkan uang untuk membayar operasi sesar di rumah sakit di kota yang begitu besar. Jangankan uang Rp 5 juta sebagai biaya standar operasi sesar, uang untuk ongkos sewa mobil ke rumah sakit itupun, aku tak punya. Seemntara mertuaku di Tugumulya, bukanlah orang berada, hidupnya juga pas-pasan dari hasil jualan pakaian secara kreditan dari kampung ke kampung. Karena panik dan sangat cemas, saya berusaha menekan Bu Bidan. Barangkali saja, bila ditekan, Bu Bidan akan membantu sekuat tenaganya dan istriku bisa melahirkan.
"Bu bidan, kenapa istri saya harus dibawa ke rumah sakit, memang ibu tidak bisa membantu lagi? Ibu kan bidan ternama di daerah ini, masa ibu tidak bisa berusaha secara optimal agar istri saya dapat melahirkan?" tanyaku, agak ketus.
"Istri bapak air ketubannya sudah kering karena kelebihan dua minggu dari harinya. Dan hanya operasi sesarlah jalan satu-satunya yang dapat membantu!” kjelas Bu Bidan, lebih ketus lagi.
"Apa yang menyebabkan istri saya, kok bisa begini. Waktu anak kami yang pertama tidak begini, dan kira-kira biaya operasi sesar di rumah sakit berapa?" tanyaku lagi.
"Istri bapak menderita stress. Mungkin karena terlalu banyak masalah yang dipikirkannya. Ini berbeda dengan yang pertama, mungkin waktu hamil pertama istri bapak pikirannya tidak stress dan tenang, dan untuk biaya operasi sesar saya tidak tahu pasti. Tapi sekitar 4 juta rupiah atau 5 juta-an," jelas bidan itu.
Mendengar penjelasan dari bidan itu, otakku bertambah panik. Usaha apa lagi yang dapat aku tempuh dalam keadaan begini. Sedangkan istriku, masih menjerit kesakitan, merang di atas ranjang klinik sederhana itu. Sementara itu, Bu Bidan menjelaskan tambahan, bahwa bila kami terlambat ke rumah sakjit dan melakukan sesar, istriku akan celaka dan anakku akan meninggal di dalam kandungan. Saat itu, aku seakan dikejar waktu dan keadaan makin lama makin keras dan panas. “Kalau terlambat operasi, bisa-bisa anak Bapak meninggal di dalam perut dan istri Bapak bisa pula meninggal karena kontraksi!” kata-kata Bu Bidan terus terngiang di telingaku dan aku sangat ketakutan.
Saat itu aku menghambur ke kamar mandi dan wuduh di air keran. Aku langsung melakukan sembahyang yang aku tidak tahu itu sholat apa. Dalam sembahyang itu aku berkonsentrasi penuh kepada Allah minta bantuan-Nya, mukjizat atau keajaibannya dikirim untuk kami dalam keadaan kalut dan memprihatinkan itu. “Ya Allah, aku tidak mau melakukan perampokan, pencurian atau apapun yang tidak halal untuk kelahiran bayiku ini. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk biaya istriku ya Allah. yang kupunyai sekarang hanya Engkau dan untuk itulah aku meminta Engkau Yya Allah, utnuk menurunkan bantuanmu agar hari ini juga anakku lahir!” doaku, kala itu, begitu khusuk dan terasa begitu dekat kepada Allah. Habis aku bersujud, tiba-tiba sekujur tubuhku merinding dan aku merasa begitu tenang, seakan Allah tersenyum dan memberikan apa yang aku minta.
Habis sholat di kamar tengah yang kosong, aku kembali ke kamar istriku dan mencium keningnya. Suara tangis dan rasa sakitnya kala itu agak menurun walau wajahnya masih pucat dan bibirnya menjadi putih. Telapak tangan kanan istriku kupegang erat dan aku kembali khusuk minta kepada Allah, agar Tuhan menurunkan mukjizatnya dan istriku dapat lahir saat itu juga. Kekuatan doa dan kekuatan konsentrasiku pada Sang Khalik ini, alhamdulillah membuahkan hasil. Tiba-tiab datang seorang laki-laki berpeci hitam, berbaju koko putih dan bersarung batik membawa segelas air aqua untuk istriku. “Minumkan air ini untuk istrimu, Nak!” kata bapak-bapak itu, yang umurnya kurang lebih 80 tahun.
Saat itu juga, air putih tersebut aku minumkan ke istriku. Tanpa banyak bertanya aku langsung menuruti perintah dari bapak-bapak yang tidak tahu datangnya dari mana itu. Berapa jam kemudian keajaiban terjadi, istriku merasakan perutnya sangat sakit dan mulas sekali. Aku dan sitriku memanggil bidan lewat head phone dan Bu Bidan segera datang. Istriku bilang, bahwa kepala bayi sudah keluar sebagian dan ia akan melahirkan. Tanpa banyak kata-kata, Bu Bidan dengan cekatan membantu persalinan istriku dan berapa menit kemudian anak kami lahir.
Kami bersyukur sekali atas karunia Allah. di mana anak kami lahir tanpa sesar dan keluar dengan selamat, sehat dan segar. Kelahiran anak kami yang tidak jadi dioperasi sesar itu tentu saja membuat bidan bingung. Ahli persalinan itu, tidak menyangka bahwa istriku bisa melahirkan tanpa operasi sesar. Karena menurut ilmu kedokteran, istriku harus dioperasi sesar baru bayi itu bisa lahir. Tapi peristiwa ini, ternyata hanya dengan bantuan air putih dan doa, yang bisa membantu mempercepat kelahiran yang seharusnya dilakukan dengan operasi sesar.
Saat kami masih bertanya-tanya siapakah orang yang membantu kelahiran istriku dengan segelas air putih dan datangnya pun secara tiba-tiba itu, membuat aku bertanya-tanya hingga sekarang. Siapakah laki-laki yang berbaik hati itu? Benarkah dia manusia biasa atau mahluk dari bangsa jin yang diutus Allah untuk membantu kami? Kami tidak tahu dan tidak memcahkannya sekarang. Yang jelas dari bibir kami terucap, wallahuallam bissawab. Terima kasih ya Allah, terima kasih atas pertolongan dan mukjiza serta karunia mu yang begitu besar. Sekali lagi, terima Tuhan, terima kasih Ya Allah, ya Tuhanku. Tidak lama kemudian muncul seorang laki-laki tua menghampiri kami dan ternyata ia adalah pak Usup, 70 tahun, mertua ku, yang juga baru saja melakukan sholat khsusus di rumah, meminta agar istriku melahirkan tanpa operasi dan cepat beranak tanpa diperpanjang lagi rasa sakit yang dideritanya yang selama ini begitu berat.
Menurut mertuaku, bahwa, usai sholat, dia sudah mendapat firasat bahwa ada orang gaib yang datang memberi bantuan. “Alhamdulillah semua sudah beres, Tuhan mendengar doa kita. Amin!” bisik mertuaku. Kini, kata mertuaku, tinggal aku yang harus berkonsentrasi penuh, untuk mendapat pekerjaan di Jakarta buat mengambil istri dan dua anakku dan menghidup mereka di Jakarta. Tapi aku yakin dan percaya betul bahwa Tuhan pasti mempunyai rencana lain untukku. Akhirnya, l0 hari setelah kelahiran anak bungsuku, aku pun kembali ke Jakarta untuk mencari pekerjaan yang pas untukku. Semua itu, tujuannya adalah agar keluarga ku bisa berkumpul kembali seperti dulu, hiudp nyaman dan bahagia di kota metropolitan yang gemerlap.
Saat istriku menjerit kesakitan karena air ketuban kering karena kelebihan dua minggu dari harinya, aku begitu cemas. Sementara bidan Sri Dwijaningsih sudah lepas tangan, tidak sanggup lagi menangani istriku yang sudah 20 hari di kliniknya. Kami dianjurkan rujukan ke rumah sakit besar l00 kilometer dari kampung kami untuk operasi sesar. Dalam teori medis, bila air ketuban kering, bayi akan meninggal. Sebab air ketuban itu dimakan oleh jabang bayi dan menjadi racun pembunuh utama. Bayanganku jauh soal biaya. Paling tidak, untuk melakukan operasi sesar, Rp 5 juta mesti keluar. Sedangkan di kantongku, hanya tersisa uang Rp 200 ribu pemberian Om Zul, adik bungsu ibuku yang tinggal di Jakarta lewat transfer BNI 46 cabang Tugumulya, Lampung Barat.
Di tengah kegelisahanku, tiba-tiba datang seorang laki-laki setengah baya memberikan segelas air putih untuk diminumkan kepada istriku. Entah darimana datangnya sosok pria berpeci hitam, berbaju koko putih dan memakai sarung batik coklat. Disodorkan air dengan niat baik itu, aku langsung meraih dan meminumkannya poada istriku. Arkian, lima menit setelah minum air putih itu, bayi kami langsung lahir dengan selamat. Tapi laki-laki yang membawa air putih itu tiba-tiba menghilang di balik jendela. Saya mengejar keluar untuk mengucapkan terima kasih. Tapi laki-laki itu ternyata raib, tidak meninggalkan bekas sama sekali. Ditanya pada orang-orang sekitar, tidak ada satupun orang yang tahu. Tidak seorangpun yang mengaku melihat ada laki-laki bersarung batik, berbaju koko dan berpeci hitam masuk ke klinik itu. Bu bidan pun, tidak mengetahui ada sosok yang dimaksud berada dalam kliniknya.
Sejak setahun yang lalu, tepatnya bulan Juli 2003, aku menganggur. Aku dipecat sebagai Duty Manager sebuah hotel melati tiga di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Pemecatan tanpa alasan dan dicari-cari oleh management untuk menghindari pengangkatan satusku dari kontrak setelah 7 tahun aku kerja itu, benar-benar memukul batin kami. Selain merasa tidak bersalah, aku pun harus menghadapi suatu permasalahan ekonomi karena melamar ke sana ke mari, tidak mudah diterima. Sementara rumah kontrakan kami di Desa Suradita, Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tanggerang, Banten, tinggal sedikit lagi masa kontraknya akan habis.
Kehidupan kami mulai mengalami cobaan dari Allah SWT, dan baru pertama kali itulah aku merasakan pukulan hidup yang begitu berat dan menekan. Tapi aku harus tabah dan menghadapi ujian itu dengan ihlas. Tapi istri dan anakku, tentu saja tidak bisa menunda makan, minum dan kebutuhan rumah tangga yang lain. Maka itu, barang-barang di rumah satu perastu dilepas untuk hidup. Mulanya VCD, lalu kulkas, radio dan handphone. Tinggal televisi yang tersisa, karena televisi itu buat hiburan di malam hari. Bila tidak ada televisi, tentu rumah akan menjadi neraka dunia, sunyi dan aku akan jadi buta informasi.
Sedangkan Verli putra kami yang berumur 3 tahun, tidak pernah mau makan nasi. Dia hanya mau minum susu indomilk kaleng dan satu kaleng hanya untuk satu hari. Sementara persedian uang belakangan sudah tidak ada lagi untuk membeli susu. Barang-barang pun tidak ada lagi yang bisa dijual untuk susu anak kami itu. Untungnya, kakak kandungku, Bang Is, yang tinggal tidak jauh dari rumah kami, turun membantu. Karena uluran tangannyalah, maka kami bisa membelikan susu untuk Verli setiap hari.
Berapa bulan kemudian Sukirtina istriku terlambat datang bulan. Setelah diperiksa di dokter kandungan di Medical Center Bahkati Asih, istriku ternyata positif hamil. Bila kebanyakansuami senang mendengar istri positif hamil, aku malah sebaliknya. Bayanganku jauh ke depan meyangkut biaya kehamilan dan biaya melahirkan, sementara aku belum juga mendapatkan pekerjaan yang bisa menopang semua kebutuhan itu. Maka itu, kami pun akhirnya sepakat untuk menggugurkan kandungan itu. Tapi tiba-tiba kami membayangkan dosa dan kami sangat takut bila Tuhan marah atas usaha pengguguran itu. Bayi itu, menurut hemat kami, adalah titipan Allah dan Allah pasti sudah mengatur rejekih untuknya. Pengguguran itu, pikir kami, adalah suatu pembunuhan, sebab kehamilan istriku ternyata sudah empat bulan dan jabang bayi di perus istriku sudah berbentuk utuh walau masih kecil.
Sejak dari itu, kandungan istriku tidak terurus lagi. Makan, minum susu serta vitamin pun tidak pernah dapat terpenuhi. Tak ada uang kami untuk membeli kebutuhan itu. Airmata istriku sering menggenang dan aku tahu dia sangat sedih melihat kenyataan itu. Kadang-kadang dia sewot pula bicara, menyuruh aku banting tulang bekerja apa saja untuk mendapatkan uang. Aku mengerti desakan itu, dan sudah seharusnyalah aku bekerja keras bekerja apa saja untuk mendapatkan uang. Tapi aku bingung, mau kerja apa aku. Om ku mengajak aku jadi sopir perusahaannya, tapi aku tidak bisa menyetir. Om yang lain lagi mengajak bekerja sebagai kru sinetron, tapi aku tidak punya pengalaman di bidang produksi sinetron. Paling-paling, kata Omku. aku bekerja sebagai Pembantu Umum, tukang masak air dan menyediakan keperluan pemain dari dapur. Dan Omku tidak tega melihat aku bekerja di bidang itu, pekerjaan terendah di produksi sinetron kita. Makan sehari-hari pun dengan seadanya dan juga di bantu dari paman kami. Karena merasa tidak enak dengan paman kami dan keluarga yang di Jakarta, akhirnya kami putuskan untuk berpisah sementara. Anak dan istriku dipulangkan dulu di kampung ke tempat orang tua kami di Lampung. Sedangkan aku berada di Jakarta untuk mencari kerja lagi, dari hotel ke hotel dan dari restoran ke restoran sesuai dengan bidang keahlianku sebagai Bar tender dan Duty Manager hotel melati tiga. Tapi upaya itu belum menunjukkan hasil. Tak satupun tempat aku masukkan lamaran dapat memanggilku. Semua bilang tunggu dan tunggu, terus begitu.
Walau perasaan kami sedih karena keluarga kami terpecah, tapi karena hanya itulah menurut kami hal yang terbaik kami ambil saat itu, maka kami terus ihlas dan tawakal menghadapi kenyataan itu. Sambil kami berharap, mudah-mudahan aku cepat mendapat pekerjaan dan istri serta dua anakku di lampung dapat kubawa lagi ke Jakarta.
Sebulan istriku di kampung, aku diajak kerja oleh salah satu paman dengan gaji yang cukup minim. Tapi aku bersyukur masih bisa menyambung hidup di kota Jakarta. Dua bulan kemudian, aku mendapat kabar dari istri di kampung, bahwa bulan Juli pertengahan dia akan melahirkan anak kami yang kedua.
Setelah tiba waktu istriku melahirkan, perut istriku selalu mulas-mulas tapi anehnya bayi kami tidak mau lahir juga. Sampai akhirnya istriku minta aku pulang ke kampung biar supaya dia punya kekuatan untuk melahirkan. Sesampainya di kampung, Tugumulya Lampung Barat, isteriku benar-benar akan melahirkan. Kehadiranku ternyata cukup memberi semangat istriku untuk cepat-cepat mengeluarkan anak. Tapi sayang, hal itu terbatas di mulas-mulas dan askit perut saja, tapi jabang bayi tidak muncul juga. Hingga akhirnya, bidan yang menangani isteriku, lepas tangan, minta agar kami ke rumah sakit Kayuagung dan melakukan operasi sesar.
Mendengar vonis dari Bidan itu, kami tentu saja kebingungan uang. Dari mana kami mendapatkan uang untuk membayar operasi sesar di rumah sakit di kota yang begitu besar. Jangankan uang Rp 5 juta sebagai biaya standar operasi sesar, uang untuk ongkos sewa mobil ke rumah sakit itupun, aku tak punya. Seemntara mertuaku di Tugumulya, bukanlah orang berada, hidupnya juga pas-pasan dari hasil jualan pakaian secara kreditan dari kampung ke kampung. Karena panik dan sangat cemas, saya berusaha menekan Bu Bidan. Barangkali saja, bila ditekan, Bu Bidan akan membantu sekuat tenaganya dan istriku bisa melahirkan.
"Bu bidan, kenapa istri saya harus dibawa ke rumah sakit, memang ibu tidak bisa membantu lagi? Ibu kan bidan ternama di daerah ini, masa ibu tidak bisa berusaha secara optimal agar istri saya dapat melahirkan?" tanyaku, agak ketus.
"Istri bapak air ketubannya sudah kering karena kelebihan dua minggu dari harinya. Dan hanya operasi sesarlah jalan satu-satunya yang dapat membantu!” kjelas Bu Bidan, lebih ketus lagi.
"Apa yang menyebabkan istri saya, kok bisa begini. Waktu anak kami yang pertama tidak begini, dan kira-kira biaya operasi sesar di rumah sakit berapa?" tanyaku lagi.
"Istri bapak menderita stress. Mungkin karena terlalu banyak masalah yang dipikirkannya. Ini berbeda dengan yang pertama, mungkin waktu hamil pertama istri bapak pikirannya tidak stress dan tenang, dan untuk biaya operasi sesar saya tidak tahu pasti. Tapi sekitar 4 juta rupiah atau 5 juta-an," jelas bidan itu.
Mendengar penjelasan dari bidan itu, otakku bertambah panik. Usaha apa lagi yang dapat aku tempuh dalam keadaan begini. Sedangkan istriku, masih menjerit kesakitan, merang di atas ranjang klinik sederhana itu. Sementara itu, Bu Bidan menjelaskan tambahan, bahwa bila kami terlambat ke rumah sakjit dan melakukan sesar, istriku akan celaka dan anakku akan meninggal di dalam kandungan. Saat itu, aku seakan dikejar waktu dan keadaan makin lama makin keras dan panas. “Kalau terlambat operasi, bisa-bisa anak Bapak meninggal di dalam perut dan istri Bapak bisa pula meninggal karena kontraksi!” kata-kata Bu Bidan terus terngiang di telingaku dan aku sangat ketakutan.
Saat itu aku menghambur ke kamar mandi dan wuduh di air keran. Aku langsung melakukan sembahyang yang aku tidak tahu itu sholat apa. Dalam sembahyang itu aku berkonsentrasi penuh kepada Allah minta bantuan-Nya, mukjizat atau keajaibannya dikirim untuk kami dalam keadaan kalut dan memprihatinkan itu. “Ya Allah, aku tidak mau melakukan perampokan, pencurian atau apapun yang tidak halal untuk kelahiran bayiku ini. Aku tidak punya apa-apa lagi untuk biaya istriku ya Allah. yang kupunyai sekarang hanya Engkau dan untuk itulah aku meminta Engkau Yya Allah, utnuk menurunkan bantuanmu agar hari ini juga anakku lahir!” doaku, kala itu, begitu khusuk dan terasa begitu dekat kepada Allah. Habis aku bersujud, tiba-tiba sekujur tubuhku merinding dan aku merasa begitu tenang, seakan Allah tersenyum dan memberikan apa yang aku minta.
Habis sholat di kamar tengah yang kosong, aku kembali ke kamar istriku dan mencium keningnya. Suara tangis dan rasa sakitnya kala itu agak menurun walau wajahnya masih pucat dan bibirnya menjadi putih. Telapak tangan kanan istriku kupegang erat dan aku kembali khusuk minta kepada Allah, agar Tuhan menurunkan mukjizatnya dan istriku dapat lahir saat itu juga. Kekuatan doa dan kekuatan konsentrasiku pada Sang Khalik ini, alhamdulillah membuahkan hasil. Tiba-tiab datang seorang laki-laki berpeci hitam, berbaju koko putih dan bersarung batik membawa segelas air aqua untuk istriku. “Minumkan air ini untuk istrimu, Nak!” kata bapak-bapak itu, yang umurnya kurang lebih 80 tahun.
Saat itu juga, air putih tersebut aku minumkan ke istriku. Tanpa banyak bertanya aku langsung menuruti perintah dari bapak-bapak yang tidak tahu datangnya dari mana itu. Berapa jam kemudian keajaiban terjadi, istriku merasakan perutnya sangat sakit dan mulas sekali. Aku dan sitriku memanggil bidan lewat head phone dan Bu Bidan segera datang. Istriku bilang, bahwa kepala bayi sudah keluar sebagian dan ia akan melahirkan. Tanpa banyak kata-kata, Bu Bidan dengan cekatan membantu persalinan istriku dan berapa menit kemudian anak kami lahir.
Kami bersyukur sekali atas karunia Allah. di mana anak kami lahir tanpa sesar dan keluar dengan selamat, sehat dan segar. Kelahiran anak kami yang tidak jadi dioperasi sesar itu tentu saja membuat bidan bingung. Ahli persalinan itu, tidak menyangka bahwa istriku bisa melahirkan tanpa operasi sesar. Karena menurut ilmu kedokteran, istriku harus dioperasi sesar baru bayi itu bisa lahir. Tapi peristiwa ini, ternyata hanya dengan bantuan air putih dan doa, yang bisa membantu mempercepat kelahiran yang seharusnya dilakukan dengan operasi sesar.
Saat kami masih bertanya-tanya siapakah orang yang membantu kelahiran istriku dengan segelas air putih dan datangnya pun secara tiba-tiba itu, membuat aku bertanya-tanya hingga sekarang. Siapakah laki-laki yang berbaik hati itu? Benarkah dia manusia biasa atau mahluk dari bangsa jin yang diutus Allah untuk membantu kami? Kami tidak tahu dan tidak memcahkannya sekarang. Yang jelas dari bibir kami terucap, wallahuallam bissawab. Terima kasih ya Allah, terima kasih atas pertolongan dan mukjiza serta karunia mu yang begitu besar. Sekali lagi, terima Tuhan, terima kasih Ya Allah, ya Tuhanku. Tidak lama kemudian muncul seorang laki-laki tua menghampiri kami dan ternyata ia adalah pak Usup, 70 tahun, mertua ku, yang juga baru saja melakukan sholat khsusus di rumah, meminta agar istriku melahirkan tanpa operasi dan cepat beranak tanpa diperpanjang lagi rasa sakit yang dideritanya yang selama ini begitu berat.
Menurut mertuaku, bahwa, usai sholat, dia sudah mendapat firasat bahwa ada orang gaib yang datang memberi bantuan. “Alhamdulillah semua sudah beres, Tuhan mendengar doa kita. Amin!” bisik mertuaku. Kini, kata mertuaku, tinggal aku yang harus berkonsentrasi penuh, untuk mendapat pekerjaan di Jakarta buat mengambil istri dan dua anakku dan menghidup mereka di Jakarta. Tapi aku yakin dan percaya betul bahwa Tuhan pasti mempunyai rencana lain untukku. Akhirnya, l0 hari setelah kelahiran anak bungsuku, aku pun kembali ke Jakarta untuk mencari pekerjaan yang pas untukku. Semua itu, tujuannya adalah agar keluarga ku bisa berkumpul kembali seperti dulu, hiudp nyaman dan bahagia di kota metropolitan yang gemerlap.
ABU KIRIMAN DARI NEGARA JIN AZRAK
Seorang kyai yang juga paranormal asal Cirebon, dan konon bekas kepercayaan Cendana mendapat kiriman abu dari negara jin Azrak yang memiliki beragam kegunaan. Penulis sendiri pernah mencoba, rasanya mirip jamu. Tetapi berbau wangi ....
Kyai Satori, 52, demikian sapaan akrabnya, berasal dari salah satu desa di wilayah Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sosok ini dikenal memiliki ilmu yang pilih tanding dan banyak menguasai ilmu-ilmu hikmah. Bahkan menurut kabar yang berhasil diendus oleh Penulis, Kyai Satori pernah menjadi salah satu paranormal Cendana di era Orde Baru atau saat Pak Harto memegang kekuasaan di rentang tahun 1985 - 1995. Perkenalan dengan Kyai Satori berawal dari kedatangan Ustadz Abdul Lathif mantan pengajar sewaktu Misteri menjadi salah seorang santri di Pondok Pesantren Hidayaturrahman, Desa Sukra Barat, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Kedatangan beliau ke rumah adalah untuk mengundang Penulis untuk meliput acara istigosah rutin tiap bulan yang dilakukan pada tiap-tiap tanggal 12 Hijriah oleh keluarga besar MANAQIB SYEIKH ABDUL QODIR JAELANI yang beralamat di Desa Sukahaji, Kecamatan Sukra.
Pada mulanya hati merasa berat untuk menerima undangan Kang Latif, demikian Penulis biasa memanggilnya. Tetapi setelah Kang Latif memaparkan isi acaranya di mana usai istigosah akan diijazahkan beberapa ilmu di antaranya adalah; Baiat Asma Sungai Raje (ajian Nabi Khidir), ijazah Asma Qurun (rangkaian Asmaul Husna), ijazah Hizib Maghrobi (ajian Syeikh Magelung Sakti), dan pengisian badan dengan menggunakan abu jin dari negara Azrak --- suatu negara atau kawasan yang sudah tak asing lagi bagi kalangan penghayat spiritual. Dan menurut tutur dari para sesepuh kepada Penulis, tak banyak manusia yang mampu untuk mencapainya. Pasalnya, kesucian hati dan cobaan yang demikian berat adalah godaan yang biasanya tak kuat diterima oleh si pelaku yang kadar keimanannya masih tanggung. Dapat dibayangkan, betapa beratnya perjuangan untuk mencapai tempat atau negara Azrak yang legendaris ini. Dengan kata lain, hanya yang terpilih saja yang dapat mencapainya!
Akhirnya, Penulis pun jadi tertarik. Dan setelah mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari kamera, tape recorder dan notes, Penulis pun membonceng di motor yang sengaja Kang Lathif bawa dari Desa Sukahaji. Sungguh benar-benar beruntung, setibanya di sana, ternyata, acara istigosah belum dimulai. Dan seperti biasa, setelah sejenak berbasa-basi, Kang Lathif memperkenalkan Penulis kepada KH. Nurkani yang ternyata adalah sahabat karib ayah sewaktu muda. Tepatnya, saat keduanya mukim di salah satu pondok pesantren. Dan pada saat yang sama, Penulis juga diperkenalkan kepada Kyai Satori dan salah seorang santrinya yang berasal dan mukim di bilangan Brebes, Jawa Tengah.
Setelah mengikuti acara istigosah yang berlangsung sekitar kurang lebih empat jam, kami pun kembali berkumpul di rumah KH. Nurkani untuk berbincang-bincang tentang berbagai hal. Khusunya yang berkaitan dengan agama Islam. Dan pada saat itulah, Kang Lathif mencoba mengorek keterangan dari Kyai Satori tentang asal muasal abu gaib yang berasal dari negara jin Azrak. Seperti biasa, karena tak kuasa menghindar dari kepungan pertanyaan yang bertubi-tubi, dengan nada tetap merendah, Kyai Satori pun memaparkan pengalamannya. Menurutnya, kiriman abu gaib dari negara jin Azrak berawal dari ritualnya mengamalkan Hizib Asror yang dilakukan sebanyak empat puluh satu kali selama empat belas hari tanpa putus. Dan di akhir ritual itulah Kyai Satori mendapat abu gaib dari Ashif bin Barkiya yang mengaku berasal dari negara jin. Azrak! Waktu itu, hanya satu kalimat yang didengarnya dengan jelas, "Abu ini amat berguna untuk menolong masyarakat. Dan gunakan sebagaimana mestinya!"
Lebih lanjut, kyai yang berbadan tambun itu mengungkapkan, "Abu gaib ini bisa dipakai untuk berbagai keperluan. Mulai dari pengobatan segala macam penyakit baik medis maupun non medis, keselamatan, pengasihan, kewibawaan, pelarisan, dan bahkan mendapatkan atau mengekalkan jabatan. Pokoknya tergantung pada kebutuhan si pemakainya. Yang pasti, abu gaib ini tidak boleh dipakai untuk mencelakakan sesama. Bisa kena tulah!"
Dan setelah merenung beberapa saat seolah meminta izin dari gaib yang mengirimkan abu tersebut, kembali Kyai Satori melanjutkan penuturannya, "Jika abu ini dipakai oleh seorang calon Kepala Desa, maka, tiap perempatan jalan di desanya harus dipendami wifik yang telah diolesi dengan abu gaib itu. Begitu juga di kerobong tempat penusukan, harus diselipkan wifik yang telah diolesi dengan abu yang sama."
"Bagaimana hasilnya?" Potong Penulis penasaran.
Sambil tersenyum, Kyai Satori pun menjawab mantap, "Atas izin Allah, semuanya berjalan seperti yang direncanakan. Artinya, orang itu menang terus dan bahkan mampu meninggalkan suara lawan-lawannya lumayan jauh. Dan salah satu contohnya yang berhasil adalah Bapak Muhaimin, Kepala Desa Lempuyangan. Saat itu, pak Muhaimin bisa meraih suara jauh lebih tinggi ketimbang lawan-lawannya."
Menurut tutur yang beredar di tetangganya, kemenangan mutlak pada saat pemilihan Kepala Desa baru-baru ini juga terjadi di Subang, Bojong, Gintung, Kaliwedi dan Bunder. Sungguh tak dinyana, saat perhitungan terjadi, ternyata mereka yang menggunakan abu gaib itu berhasil memperoleh suara mutlak dari penduduk desanya.
Salah seorang tetangga yang tinggal bersebelahan dengan rumah Kyai Satori bahkan menambahkan, "Atas izin Allah, sebenarnya sudah banyak orang yang berhasil tercapai maksudnya bahkan tersembuhkan dari penyakitnya setelah diobati oleh beliau. Yang jelas-jelas saya tahu adalah penderita stroke yang berasal dari Cirebon. Mulanya datang dengan digendong. Dan di minggu kedua dia datang dengan dipapah dan pada minggu yang ketiga, si sakit sudah mulai bisa berjalkan walau tertatih-tatih."
"Bahkan sekarang, sudah bisa berjalan seperti semula," imbuhnya mantap.
Menurut pak Kiyai, sudah banyak orang yang ditolong dengan abu gaib miliknya ini. Yang paling aneh adalah, jumlah abu gaib ini selalu tetap. Alias tidak pernah berkurang walaupun dipakai terus menerus. Dan abu gaib yang lembut dan berwarna abu-abu mirip dengan serbuk jamu, hanya saja, baunya wangi. Wangi seakan aroma surgawi! Benarkah abu gaib ini kiriman dari jin yang mukim di negara Azrak? Hanya Allah yang Maha Tahu.
Kyai Satori, 52, demikian sapaan akrabnya, berasal dari salah satu desa di wilayah Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sosok ini dikenal memiliki ilmu yang pilih tanding dan banyak menguasai ilmu-ilmu hikmah. Bahkan menurut kabar yang berhasil diendus oleh Penulis, Kyai Satori pernah menjadi salah satu paranormal Cendana di era Orde Baru atau saat Pak Harto memegang kekuasaan di rentang tahun 1985 - 1995. Perkenalan dengan Kyai Satori berawal dari kedatangan Ustadz Abdul Lathif mantan pengajar sewaktu Misteri menjadi salah seorang santri di Pondok Pesantren Hidayaturrahman, Desa Sukra Barat, Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Kedatangan beliau ke rumah adalah untuk mengundang Penulis untuk meliput acara istigosah rutin tiap bulan yang dilakukan pada tiap-tiap tanggal 12 Hijriah oleh keluarga besar MANAQIB SYEIKH ABDUL QODIR JAELANI yang beralamat di Desa Sukahaji, Kecamatan Sukra.
Pada mulanya hati merasa berat untuk menerima undangan Kang Latif, demikian Penulis biasa memanggilnya. Tetapi setelah Kang Latif memaparkan isi acaranya di mana usai istigosah akan diijazahkan beberapa ilmu di antaranya adalah; Baiat Asma Sungai Raje (ajian Nabi Khidir), ijazah Asma Qurun (rangkaian Asmaul Husna), ijazah Hizib Maghrobi (ajian Syeikh Magelung Sakti), dan pengisian badan dengan menggunakan abu jin dari negara Azrak --- suatu negara atau kawasan yang sudah tak asing lagi bagi kalangan penghayat spiritual. Dan menurut tutur dari para sesepuh kepada Penulis, tak banyak manusia yang mampu untuk mencapainya. Pasalnya, kesucian hati dan cobaan yang demikian berat adalah godaan yang biasanya tak kuat diterima oleh si pelaku yang kadar keimanannya masih tanggung. Dapat dibayangkan, betapa beratnya perjuangan untuk mencapai tempat atau negara Azrak yang legendaris ini. Dengan kata lain, hanya yang terpilih saja yang dapat mencapainya!
Akhirnya, Penulis pun jadi tertarik. Dan setelah mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari kamera, tape recorder dan notes, Penulis pun membonceng di motor yang sengaja Kang Lathif bawa dari Desa Sukahaji. Sungguh benar-benar beruntung, setibanya di sana, ternyata, acara istigosah belum dimulai. Dan seperti biasa, setelah sejenak berbasa-basi, Kang Lathif memperkenalkan Penulis kepada KH. Nurkani yang ternyata adalah sahabat karib ayah sewaktu muda. Tepatnya, saat keduanya mukim di salah satu pondok pesantren. Dan pada saat yang sama, Penulis juga diperkenalkan kepada Kyai Satori dan salah seorang santrinya yang berasal dan mukim di bilangan Brebes, Jawa Tengah.
Setelah mengikuti acara istigosah yang berlangsung sekitar kurang lebih empat jam, kami pun kembali berkumpul di rumah KH. Nurkani untuk berbincang-bincang tentang berbagai hal. Khusunya yang berkaitan dengan agama Islam. Dan pada saat itulah, Kang Lathif mencoba mengorek keterangan dari Kyai Satori tentang asal muasal abu gaib yang berasal dari negara jin Azrak. Seperti biasa, karena tak kuasa menghindar dari kepungan pertanyaan yang bertubi-tubi, dengan nada tetap merendah, Kyai Satori pun memaparkan pengalamannya. Menurutnya, kiriman abu gaib dari negara jin Azrak berawal dari ritualnya mengamalkan Hizib Asror yang dilakukan sebanyak empat puluh satu kali selama empat belas hari tanpa putus. Dan di akhir ritual itulah Kyai Satori mendapat abu gaib dari Ashif bin Barkiya yang mengaku berasal dari negara jin. Azrak! Waktu itu, hanya satu kalimat yang didengarnya dengan jelas, "Abu ini amat berguna untuk menolong masyarakat. Dan gunakan sebagaimana mestinya!"
Lebih lanjut, kyai yang berbadan tambun itu mengungkapkan, "Abu gaib ini bisa dipakai untuk berbagai keperluan. Mulai dari pengobatan segala macam penyakit baik medis maupun non medis, keselamatan, pengasihan, kewibawaan, pelarisan, dan bahkan mendapatkan atau mengekalkan jabatan. Pokoknya tergantung pada kebutuhan si pemakainya. Yang pasti, abu gaib ini tidak boleh dipakai untuk mencelakakan sesama. Bisa kena tulah!"
Dan setelah merenung beberapa saat seolah meminta izin dari gaib yang mengirimkan abu tersebut, kembali Kyai Satori melanjutkan penuturannya, "Jika abu ini dipakai oleh seorang calon Kepala Desa, maka, tiap perempatan jalan di desanya harus dipendami wifik yang telah diolesi dengan abu gaib itu. Begitu juga di kerobong tempat penusukan, harus diselipkan wifik yang telah diolesi dengan abu yang sama."
"Bagaimana hasilnya?" Potong Penulis penasaran.
Sambil tersenyum, Kyai Satori pun menjawab mantap, "Atas izin Allah, semuanya berjalan seperti yang direncanakan. Artinya, orang itu menang terus dan bahkan mampu meninggalkan suara lawan-lawannya lumayan jauh. Dan salah satu contohnya yang berhasil adalah Bapak Muhaimin, Kepala Desa Lempuyangan. Saat itu, pak Muhaimin bisa meraih suara jauh lebih tinggi ketimbang lawan-lawannya."
Menurut tutur yang beredar di tetangganya, kemenangan mutlak pada saat pemilihan Kepala Desa baru-baru ini juga terjadi di Subang, Bojong, Gintung, Kaliwedi dan Bunder. Sungguh tak dinyana, saat perhitungan terjadi, ternyata mereka yang menggunakan abu gaib itu berhasil memperoleh suara mutlak dari penduduk desanya.
Salah seorang tetangga yang tinggal bersebelahan dengan rumah Kyai Satori bahkan menambahkan, "Atas izin Allah, sebenarnya sudah banyak orang yang berhasil tercapai maksudnya bahkan tersembuhkan dari penyakitnya setelah diobati oleh beliau. Yang jelas-jelas saya tahu adalah penderita stroke yang berasal dari Cirebon. Mulanya datang dengan digendong. Dan di minggu kedua dia datang dengan dipapah dan pada minggu yang ketiga, si sakit sudah mulai bisa berjalkan walau tertatih-tatih."
"Bahkan sekarang, sudah bisa berjalan seperti semula," imbuhnya mantap.
Menurut pak Kiyai, sudah banyak orang yang ditolong dengan abu gaib miliknya ini. Yang paling aneh adalah, jumlah abu gaib ini selalu tetap. Alias tidak pernah berkurang walaupun dipakai terus menerus. Dan abu gaib yang lembut dan berwarna abu-abu mirip dengan serbuk jamu, hanya saja, baunya wangi. Wangi seakan aroma surgawi! Benarkah abu gaib ini kiriman dari jin yang mukim di negara Azrak? Hanya Allah yang Maha Tahu.
Rabu, 05 Maret 2008
DIKUNTIT NINI GROWONG
Nenek misterius itu menyebut dirinya sebegai Nini Growong. Jin kafir ini sangat buruk rupanya. Anehnya, dialah yang membantu menyembuhkan berbagai penyakit. Apa yang terjadi sebenarnya...?
Agus adalah pemuda agak urakan. Karena kebiasaannya suka keluyuran dan minum-minuman beralkohol, membuat dia kurang disukai teman sekerjanya. Namun, semua sikap yang tidak terpuhi itu akhirnya berubah setelah dia mengalami peristiwa yang menakjubkan dan menakutkan.
Ya, peristiwa itu memang akan membuat semua orang berdiri bulu romanya. Kepada Penulis, Agus menceritakan pengalamannya....
Kejadiannya berlangsung di tahun 90-an silam. Tepatnya ditahun 1994. Saat itu Agus memanfaatkan waktu cutinya untuk main ke daerah Kubangputat, Kecamatan Tanjung., Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Di tempat itu dia mengunjungi temannya, Sucipto, seorang yang juga mengerti tentang hal-hal gaib.
"Sebenarnya aku kurang yakin dengan segala macam ilmu gaib, terutama ilmu untuk bisa melihat makhluk halus," kata Agus, ketika malam itu dia dan Sucipto berbincang-bincang mengenai hal gaib. Mendengar pendapat temannya iini Cipto hanya tersenyum.
"Kalau memang ilmu gaib itu ada, aku ingin belajar tetapi yang benar-benar ada buktinya," tegas Agus lagi.
"Tapi syaratnya sangat berat, Gus!" Ujar Cipto.
Agus kelihatannya tidak peduli dengan segala syarat. Walau seberat apapun, dia bertekad akan melakukannya, yang penting dia benar-benar bisa membuktikan keberadaan dunia gaib.
Akhirnya Cipto memberikan amalan kepada Agus. Syarat yang harus dilakukannya disamping meninggalkan 5 M (mabuk, maling, madon, madat dan main), juga yang terberat adalah harus melaksanakan sholat lima waktu.
"Kalau hanya itu syaratnya, baiklah aku akan menjalankannya dengan sungguh-sungguh!" Tandas Agus.
Rupanya, Agus bisa menarik nafas lega sebab syarat yang dikatakan berat itu hanyalah meninggalkan 5 M dan melaksanakan Sholat 5 waktu. Sebelumnya dia mengira adalah seperti Puasa Pati Geni atau Puasa Pendem, atau yang sejenisnya.
Dengan tersenyum pula Cipto menerangkan bahwa melaksanakan syarat itu adalah sangat berat karena dari 90% penduduk Indonesia yang bisa melaksanakan itu tidak ada separuhnya, bahkan mungkin hanya seperempatnya saja yang bisa sempurna melaksanakannya.
Maka sejak itu, atau sepulangnya Agus dari Brebes, dia jadi rajin sholat dan meninggalkan kebiasaannya minum-minuman. Tentu saja hal ini membuat teman-temannya menjadi heran. Apalagi melihat Agus yang tak lagi gemar keluyuran malam, malahan justeru jadi rajin duduk bersila di atas sajadah.
Keinginan Agus untuk membuktikan keberadaan dunia gaib memang sangat besar, hingga dia benar-benar tekun menjalankan amalan yang diberikan Cipto.
Sebenarnnya, semenjak Agus sering sholat malam sudah terjadi kejadian-kejadian aneh atas dirinya, hanya Agus saja yang tidak menyadarinya. Padahal, di antara teman-teman Agus, banyak yang menyaksikan keanehan ini. Kejadian aneh itu di antaranya ketika salah seorang teman Agus penasaran kepada apa yang sedang dilakukan Agus di dalam kamarnya, karena tidak biasanya dia malam-malam berada di dalam kamar. Ketika teman Agus itu mengintipnya, tiba-tiba datang angin puyuh yang entah datang dari mana datangnya, melemparkan orang sedang mengitip ini, hingga terjengkal dan langsung lari tunggang langgang dari kamar Agus.
Hal yang sama juga terjadi ketika Agus mandi di kantornya. Saat temannya akan mandi karena ada Agus, maka temannya itu menunggu giliran. Saat menunggu giliran itulah teman Agus itu melihat dari pakaian Agus yang digantungkan tiba-tiba keluar ular. Tentu saja sang teman sangat terkejut. Tetapi sebelum hilang rasa terkejutnya, dari pakaian Agus lagi muncul sepotong kepala manusia hitam dan besar, sangat mengerikan. Tentu saja temannya ini langsung menjerit dan lari.
Kejadian ini tentu saja membuat geger di kantor tempat Agus bekerja. Sedangkan Agus yang mendengar teriakkan itu segera keluar dari kamar mandi dan terbengong-bengong karena ada jeritan seseorang di dekat tempatnya berada, tetapi dia tidak menemukan atau melihat apa-apa yang menakutkan.
Sesuai dengan petunjuk Sucipto. Agus berhasil menyelesaikan puasanya selama tiga hari dengan amalan-amalannya yang lengkap. Semuanya dia laksanakan dengan benar. Tinggal sekarang Agus ingin mencoba membuktikan apakah amalannya berhasil atau tidak. Hal yang dilakukannya adalah dengan jalan membuka mata batinnya agar bisa melihat sesuatu yang gaib, yang selama ini memang benar-benar ingin dilihatnya.
Kebetulan saat itu di lokasi tempat Agus bekerja sedang geger karena keangkeran di salah satu sudut gudang perusahaan. Di tempat ini sering terjadi ada karyawan yang tiba-tiba jatuh dan kejang-kejang tanpa sebab. Setelah berhasil disembuhkan oleh orang pintar, orang yang mendadak kejang-kejang itu bercerita bahwa tadi saat kepingin kencing dan tidak tertahan lagi, sehingga dia kencing di sudut gudang itu. tetapi begitu selesai kencing tiba-tiba seperti ada yang menyergap dari belakang dan kemudian keadaan berubah jadi gelap.
Dari kejadian yang sering kali berlangsung itu menggugah keinginan Agus untuk mencoba ilmunya, yaitu dengan cara mengajak bertemu makhluk halus penunggu gudang dimaksud.
Beberapa malam sudah dijalani Agus tetapi kelihatannya belum ada hasilnya. Ilmu yang diamalkannya dengan tekun sepertinya tidak menghasilkan apa-apa. Mungkin hanya lelah yang dia dapatkan. Diam-diam, dia merasa kesal juga pada temannya, Sucipto. Namun, saat dia memprotes, Sucipto menyarankan agar Agus terus berusaha membuktikan ilmunya.
Ternyata benar. Setelah tujuh malam berturut-turut mengirim hadroh atau bacaan surat Al-Fatehah kepada penunggu gedung, akhirnya timbul suatu kejadian yang sangat aneh.
Saat itu ada salah seorang rekan sekerja Agus yang kembali terkena gangguan makhluk halus atau lebih dikenal dengan kesurupan. Badannya kaku seperti kayu, bahkan sukar sekali untuk digerakkan, sehingga hanya bisa berbaring saja. Sudah dilakukan segala macam upaya dari dokter-dokter perusahaan, bahkan orang-orang pintar sudah dimintai tolong. Tetapi tetap tidak bisa menyembuhkan penyakit itu. Sampai tiba-tiba si sakit mendapat mimpi bahwa yang dapat menyembuhkan penyakitnya adalah bukan siapa-siapa tetapi Agus, temannya sendiri.
Agus diminta untuk mengobati si sakit. Mulanya hal ini membuat Agus heran, bahkan dia merasa seperti dipermainkan. Namun, Agus sempat berpikir, apa ini salah satu bukti dari amalan yang selama ini dikerjakannya, agar dirinya yakin akan apa yang selama ini diamalkannya? Setelah berpikir demikian maka Agus pun bersedia ikut ke rumah Herman, temannya yang dijangkiti penyakit aneh itu.
Ketika Agus sampai di depan rumah Herman, dia sekilas melihat seorang nenek-nenek dengan bentuk aneh dan agak samar-samar. Si nenek kemudian tersenyum kepada Agus, dan sekejap kemudian melesat pergi.
"Eh, tadi kamu melihat nenek-nenek di depan pintu itu, nggak?" Agus mencoba bertanya kepada temannya, mengenai apa yang baru dilihatnya.
"Tidak, aku tidak lihat apa-apa!" Jawab sang teman dengan dahi berkerut.
Mendengar jawaban ini, Agus berpikir bahwa apa yang dilihatnya barusan mungkin hanya halusinasinya belaka. Dengan mengucapkan salam, dia akhirnya menemui Herman.Saat itu, Herman masih terlentang kaku. Hanya matanya yang bisa melirik Agus.
"Jangan khawatir, kamu pasti sembuh, Man!" Agus mencoba memberi semangat. Hal ini dijawab Herman hanya dengan kejapan mata dan senyum yang pahit.
Setelah memeriksa kondisi Herman, dengan menuruti instink semata kemudian Agus menekan jempol kaki kanan Herman, lalu membaca amalan yang selama ini diwiridzkannya. Lalu ditiupkannya ke ubun-ubun Herman. Setelah itu Agus minta segelas air. Seperti lagak seorang dukun yang berpengalaman, padahal Agus juga heran sebab sepertinya dia sudah biasa melakukan pengobatan, Agus berniat menyembuhkan herman dengan air putih ini. Namun, belum sampai Agus memberikan doa atas segelas air putih yang dimintanya, tiba-tiba hadirin dikejutkan oleh suara Herman yang tiba-tiba bangkit dari tempat tidurnya.
"Eh, ada Agus. Sudah lama datang, Gus?"
Mendengar suara itu tentu saja yang hadir di situ menjadi terpukau. Ya, bagaimana tidak! Herman yang sebelumnya tidak bisa menggerakkan anggota badannya itu tiba-tiba bisa bangkit dan berbicara seolah-olah tidak pernah mengalami sakit sebelumnya.
Sejak peristiwa itu, daerah tempat tinggal Agus gempar dengan munculnya dukun tiban, atau orang pintar baru. Banyak orang datang ke rumah Agus dengan maksud untuk meminta tolong, mulai dari orang-orang sekitarnya sampai mereka yang berasal dari luar kota.
Apa yang sebenarnya terjadi pada diri Agus? Sebenarnya, saat melakukan penyembuhan Agus mengalami kejadian aneh. Setiap dia mengobati serasa dia melihat kembali nenek-nenek misterius yang pertama kali dilihatnya di teras rumah Herman, yang kemudian menghilang. Celakanya, semakin banyak Agus menolong orang, dan semakin hari pula, penampakan nenek-nenek ini semakin jelas saja, bahkan berubah sangat mengerikan dan menakutkan bagi Agus. Herannya, hanya Agus saja yang bisa melihat wujudnya.
Hingga pada suatu hari Agus benar-benar dengan jelas bisa melihat wujudnya. Makhluk misterius itu benar seorang nenek berumur sekitar 70 tahun, dengan pakaian hanya kain melilit pada bawah pusar hingga ke bawah selangkangan. Sedangkan bagian pusar ke atas tanpa tertutup sehelai benang pun, hingga payudaranya yang panjangnya tidak lumrah itu dibiarkan terbuka. Dan lebih mengerikan lsgi, nenek itu penuh dengan belang-belang hitam hampir di seluruh tubuhnya, sehingga bagaikan seekor harimau.
Penampakan si nenek belakangan hari juga tidak hanya sekilas, dan tidak hanya berlangsung di Agus mengobati pasiennya. Tetapi semakin sering. Bahkan nenek itu selalu mengikuti Agus kemanapun dia pergi. Baik di jalan, di kantor, bahkan di kamar mandi. Tak perduli siang atau malam. Anehnya, hanya bila Agus masuk ke kamarnya saja nenek itu tidak ikut masuk, tetapi hanya mondar-mondir di depan pintu.
Kejadian ini tentu saja membuat Agus ketakutan setengah mati. Apalagi bila malam hari, saat Agus kepingin ke kamar mandi untuk sekedar buang hajat kecil, maka jelas dia tidak berani karena nenek itu tetap menunggunya di depan pintu kamar.
Pernah dengan nekat Agus bertanya kepada si nenek yang misterius itu, sebenarnya siapa dia dan apa maksudnya mengikuti dirinya terus? Jawaban si nenek membuat badan Agus lemas seperti tak bertenaga.
Jawaban mengerikan yang didahului dengan suara tawa si nenek itu memang membuat Agus tak hanya ketakutan, tapi sekaligus juga terperangah heran. Si nenek mengaku bahwa dirinya adalah makhluk penunggu gudang di pabrik tempat agus bekerja, yang tempo hari berulang kali dipanggil olleh Agus lewat ritualnya. Si nenek mengaku bernama Nini Growong. Dia mengikut Agus terus, karena Agus sendiri yang memulainya, yakni dengan mengirimkan bacaan Fatehah. Jangankan bangsa jin, para malaikat pun akan merasa senang sekali bila kita sering mengiriminya hadiah Fatehah. Tentu saja Agus yang setiap hari selama tujuh malam mengirimkan bacaan fatehah kepada penunggu gudang yang ternyata bernama Nini Growong itu, merasa senang kepada Agus hingga saking senangnya sampai selalu mendampingi Agus. Bahkan di manapun dia berada.
Tidak hanya itu, bahkan Nini Growong memberikan amalan kepada Agus yang mana amalan tersebut jika diamalkan akan mendatangkan rejeki yang melimpah. Anehnya, amalan itupun bacaannya diambil dari ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Tetapi bagaimanapun Agus adalah masih manusia biasa yang masih mengenal rasa takut. Apalagi kepada bangsa halus semacam Nini Growong, yang rupanya sungguh buruk tercela. Meskipun dia selalu berbuat baik, namun Agus bertekad untuk mengakhiri hubungannya dengan makhluk tersebut. Maka dengan tekad yang bulat, Agus minta cuti untuk pergi ke Brebes guna kembali menemui Cipto.
Anehnya, ketika Agus pergi ke tempat Cipto pun Nini Growong masih tetap mengikutinya. Hanya setelah Agus sampai di perbatasan Cirebon-Brebes, tiba-tiba Nini Growong raib. Entah mengapa? Aguspun tidak tahu.
Sesampai di rumah Cipto, Agus langsung menceritakan pengalamannya seraya mohon agar kejadian yang dialaminya bisa segera dihentikan. Mendengar cerita Agus, Cipto hanya tersenyum.
"Kamu ini lucu, beberapa waktu yang lalu kamu ingin membuktikan bahwa dunia gaib itu tidak ada. Tapi sekarang setelah kamu sudah membuktikan malah ingin dihentikan. Apa tidak nyesel? Karena banyak lho orang yang ingin seperti kamu tapi belum bisa berhasil. Nah, kamu termasuk orang yang beruntung!"
Meski Cipto mengatakan demikian, namun Agus tidak peduli. Dia tetap ingin agar kemampuannya melihat wujud yang gaib ditutup, tetapi kalau masalah kemampuannya menyembuhkan orang kalau bisa tetap bisa dimilikinya.
Sebelum mengabulkan permintaan Agus, Cipto menceritakan kejadian yang sebenarnya dari peristiwa yang dialami Agus. Menurutnya, setelah menerima kiriman Fatehah dari Agus, Nini Growong menjadi suka kepada Agus hingga sebagai balasannya Nini Growong selalu mendampingi Agus untuk membantu segala kesulitan Agus, terutama saat menangani pasiennya. Nini Growong-lah yang menjadikan Agus sebagai Dukun Tiban. Namun sebenarnya penyakit yang diderita oleh para pasien Agus adalah Nini Growong sendiri yang membuatnya, dan dia juga yang menyembuhkan lewat tangan Agus. Ya, namanya juga bangsa Jin ingin membalas budi tetapi caranya tetap merugikan manusia juga. Dengan demikian, bukan Agus yang bisa menyembuhkan pasiennya tetapi ulah Nini Growong.
Dari peristiwa setidaknya bisa kita gali pelajaran, bahwa jika kita sering-sering mengirimkan hadiah Fatehah kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, para sahabat, para malaikat dan juga para waliullah, terutama lagi kepada orang tua kita, maka tentunya kita akan mendapatkan kebaikan yang berlipat ganda. Bayangkan, bangsa jin kafir saja karena dikirimi hadiah Fatehah ingin membalasnya, mala apalagi para kekasih Allah yang tentunya lebih tahu membalas budi dan melalui jalan yang di ridhoi Allah.
Sementara itu, masalah amalan yang berasal dari Nini Growong itu walaupun sepertinya berasal dari ayat-ayatn Al Qur’an, menurut Cipto tetap jangan dilaksanakan karena bisa menyimpang dari akidah. Kita harus selalu waspada akan tipu daya setan dan sekutunya.
Akhirnya, karena memang secara mental Agus belum siap menerima kelebihan yang diberikan oleh Allah, maka kemampuan Agus akan ilmu pengobatan itupun hilang. Yang terpenting, kini Agus tidak lagi melihat sosok Nini Growong yang menakutkan. Dan sejak saat itu pula Agus memulai kehidupan normalnya tanpa kembali melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat. Dan kewajibannya akan menjalankan sholat lima waktupun tidak reda. Semoga kisah ini bisa membuka wawasan kita bahwa alam gaib itu ada dan janganlah kita main-main dengannya karena bisa mengakibatkan hal-hal yang buruk bila kita kurang hati-hati. Semoga Allah selalu menyertai langkah-langkah kita, Amien.
Agus adalah pemuda agak urakan. Karena kebiasaannya suka keluyuran dan minum-minuman beralkohol, membuat dia kurang disukai teman sekerjanya. Namun, semua sikap yang tidak terpuhi itu akhirnya berubah setelah dia mengalami peristiwa yang menakjubkan dan menakutkan.
Ya, peristiwa itu memang akan membuat semua orang berdiri bulu romanya. Kepada Penulis, Agus menceritakan pengalamannya....
Kejadiannya berlangsung di tahun 90-an silam. Tepatnya ditahun 1994. Saat itu Agus memanfaatkan waktu cutinya untuk main ke daerah Kubangputat, Kecamatan Tanjung., Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Di tempat itu dia mengunjungi temannya, Sucipto, seorang yang juga mengerti tentang hal-hal gaib.
"Sebenarnya aku kurang yakin dengan segala macam ilmu gaib, terutama ilmu untuk bisa melihat makhluk halus," kata Agus, ketika malam itu dia dan Sucipto berbincang-bincang mengenai hal gaib. Mendengar pendapat temannya iini Cipto hanya tersenyum.
"Kalau memang ilmu gaib itu ada, aku ingin belajar tetapi yang benar-benar ada buktinya," tegas Agus lagi.
"Tapi syaratnya sangat berat, Gus!" Ujar Cipto.
Agus kelihatannya tidak peduli dengan segala syarat. Walau seberat apapun, dia bertekad akan melakukannya, yang penting dia benar-benar bisa membuktikan keberadaan dunia gaib.
Akhirnya Cipto memberikan amalan kepada Agus. Syarat yang harus dilakukannya disamping meninggalkan 5 M (mabuk, maling, madon, madat dan main), juga yang terberat adalah harus melaksanakan sholat lima waktu.
"Kalau hanya itu syaratnya, baiklah aku akan menjalankannya dengan sungguh-sungguh!" Tandas Agus.
Rupanya, Agus bisa menarik nafas lega sebab syarat yang dikatakan berat itu hanyalah meninggalkan 5 M dan melaksanakan Sholat 5 waktu. Sebelumnya dia mengira adalah seperti Puasa Pati Geni atau Puasa Pendem, atau yang sejenisnya.
Dengan tersenyum pula Cipto menerangkan bahwa melaksanakan syarat itu adalah sangat berat karena dari 90% penduduk Indonesia yang bisa melaksanakan itu tidak ada separuhnya, bahkan mungkin hanya seperempatnya saja yang bisa sempurna melaksanakannya.
Maka sejak itu, atau sepulangnya Agus dari Brebes, dia jadi rajin sholat dan meninggalkan kebiasaannya minum-minuman. Tentu saja hal ini membuat teman-temannya menjadi heran. Apalagi melihat Agus yang tak lagi gemar keluyuran malam, malahan justeru jadi rajin duduk bersila di atas sajadah.
Keinginan Agus untuk membuktikan keberadaan dunia gaib memang sangat besar, hingga dia benar-benar tekun menjalankan amalan yang diberikan Cipto.
Sebenarnnya, semenjak Agus sering sholat malam sudah terjadi kejadian-kejadian aneh atas dirinya, hanya Agus saja yang tidak menyadarinya. Padahal, di antara teman-teman Agus, banyak yang menyaksikan keanehan ini. Kejadian aneh itu di antaranya ketika salah seorang teman Agus penasaran kepada apa yang sedang dilakukan Agus di dalam kamarnya, karena tidak biasanya dia malam-malam berada di dalam kamar. Ketika teman Agus itu mengintipnya, tiba-tiba datang angin puyuh yang entah datang dari mana datangnya, melemparkan orang sedang mengitip ini, hingga terjengkal dan langsung lari tunggang langgang dari kamar Agus.
Hal yang sama juga terjadi ketika Agus mandi di kantornya. Saat temannya akan mandi karena ada Agus, maka temannya itu menunggu giliran. Saat menunggu giliran itulah teman Agus itu melihat dari pakaian Agus yang digantungkan tiba-tiba keluar ular. Tentu saja sang teman sangat terkejut. Tetapi sebelum hilang rasa terkejutnya, dari pakaian Agus lagi muncul sepotong kepala manusia hitam dan besar, sangat mengerikan. Tentu saja temannya ini langsung menjerit dan lari.
Kejadian ini tentu saja membuat geger di kantor tempat Agus bekerja. Sedangkan Agus yang mendengar teriakkan itu segera keluar dari kamar mandi dan terbengong-bengong karena ada jeritan seseorang di dekat tempatnya berada, tetapi dia tidak menemukan atau melihat apa-apa yang menakutkan.
Sesuai dengan petunjuk Sucipto. Agus berhasil menyelesaikan puasanya selama tiga hari dengan amalan-amalannya yang lengkap. Semuanya dia laksanakan dengan benar. Tinggal sekarang Agus ingin mencoba membuktikan apakah amalannya berhasil atau tidak. Hal yang dilakukannya adalah dengan jalan membuka mata batinnya agar bisa melihat sesuatu yang gaib, yang selama ini memang benar-benar ingin dilihatnya.
Kebetulan saat itu di lokasi tempat Agus bekerja sedang geger karena keangkeran di salah satu sudut gudang perusahaan. Di tempat ini sering terjadi ada karyawan yang tiba-tiba jatuh dan kejang-kejang tanpa sebab. Setelah berhasil disembuhkan oleh orang pintar, orang yang mendadak kejang-kejang itu bercerita bahwa tadi saat kepingin kencing dan tidak tertahan lagi, sehingga dia kencing di sudut gudang itu. tetapi begitu selesai kencing tiba-tiba seperti ada yang menyergap dari belakang dan kemudian keadaan berubah jadi gelap.
Dari kejadian yang sering kali berlangsung itu menggugah keinginan Agus untuk mencoba ilmunya, yaitu dengan cara mengajak bertemu makhluk halus penunggu gudang dimaksud.
Beberapa malam sudah dijalani Agus tetapi kelihatannya belum ada hasilnya. Ilmu yang diamalkannya dengan tekun sepertinya tidak menghasilkan apa-apa. Mungkin hanya lelah yang dia dapatkan. Diam-diam, dia merasa kesal juga pada temannya, Sucipto. Namun, saat dia memprotes, Sucipto menyarankan agar Agus terus berusaha membuktikan ilmunya.
Ternyata benar. Setelah tujuh malam berturut-turut mengirim hadroh atau bacaan surat Al-Fatehah kepada penunggu gedung, akhirnya timbul suatu kejadian yang sangat aneh.
Saat itu ada salah seorang rekan sekerja Agus yang kembali terkena gangguan makhluk halus atau lebih dikenal dengan kesurupan. Badannya kaku seperti kayu, bahkan sukar sekali untuk digerakkan, sehingga hanya bisa berbaring saja. Sudah dilakukan segala macam upaya dari dokter-dokter perusahaan, bahkan orang-orang pintar sudah dimintai tolong. Tetapi tetap tidak bisa menyembuhkan penyakit itu. Sampai tiba-tiba si sakit mendapat mimpi bahwa yang dapat menyembuhkan penyakitnya adalah bukan siapa-siapa tetapi Agus, temannya sendiri.
Agus diminta untuk mengobati si sakit. Mulanya hal ini membuat Agus heran, bahkan dia merasa seperti dipermainkan. Namun, Agus sempat berpikir, apa ini salah satu bukti dari amalan yang selama ini dikerjakannya, agar dirinya yakin akan apa yang selama ini diamalkannya? Setelah berpikir demikian maka Agus pun bersedia ikut ke rumah Herman, temannya yang dijangkiti penyakit aneh itu.
Ketika Agus sampai di depan rumah Herman, dia sekilas melihat seorang nenek-nenek dengan bentuk aneh dan agak samar-samar. Si nenek kemudian tersenyum kepada Agus, dan sekejap kemudian melesat pergi.
"Eh, tadi kamu melihat nenek-nenek di depan pintu itu, nggak?" Agus mencoba bertanya kepada temannya, mengenai apa yang baru dilihatnya.
"Tidak, aku tidak lihat apa-apa!" Jawab sang teman dengan dahi berkerut.
Mendengar jawaban ini, Agus berpikir bahwa apa yang dilihatnya barusan mungkin hanya halusinasinya belaka. Dengan mengucapkan salam, dia akhirnya menemui Herman.Saat itu, Herman masih terlentang kaku. Hanya matanya yang bisa melirik Agus.
"Jangan khawatir, kamu pasti sembuh, Man!" Agus mencoba memberi semangat. Hal ini dijawab Herman hanya dengan kejapan mata dan senyum yang pahit.
Setelah memeriksa kondisi Herman, dengan menuruti instink semata kemudian Agus menekan jempol kaki kanan Herman, lalu membaca amalan yang selama ini diwiridzkannya. Lalu ditiupkannya ke ubun-ubun Herman. Setelah itu Agus minta segelas air. Seperti lagak seorang dukun yang berpengalaman, padahal Agus juga heran sebab sepertinya dia sudah biasa melakukan pengobatan, Agus berniat menyembuhkan herman dengan air putih ini. Namun, belum sampai Agus memberikan doa atas segelas air putih yang dimintanya, tiba-tiba hadirin dikejutkan oleh suara Herman yang tiba-tiba bangkit dari tempat tidurnya.
"Eh, ada Agus. Sudah lama datang, Gus?"
Mendengar suara itu tentu saja yang hadir di situ menjadi terpukau. Ya, bagaimana tidak! Herman yang sebelumnya tidak bisa menggerakkan anggota badannya itu tiba-tiba bisa bangkit dan berbicara seolah-olah tidak pernah mengalami sakit sebelumnya.
Sejak peristiwa itu, daerah tempat tinggal Agus gempar dengan munculnya dukun tiban, atau orang pintar baru. Banyak orang datang ke rumah Agus dengan maksud untuk meminta tolong, mulai dari orang-orang sekitarnya sampai mereka yang berasal dari luar kota.
Apa yang sebenarnya terjadi pada diri Agus? Sebenarnya, saat melakukan penyembuhan Agus mengalami kejadian aneh. Setiap dia mengobati serasa dia melihat kembali nenek-nenek misterius yang pertama kali dilihatnya di teras rumah Herman, yang kemudian menghilang. Celakanya, semakin banyak Agus menolong orang, dan semakin hari pula, penampakan nenek-nenek ini semakin jelas saja, bahkan berubah sangat mengerikan dan menakutkan bagi Agus. Herannya, hanya Agus saja yang bisa melihat wujudnya.
Hingga pada suatu hari Agus benar-benar dengan jelas bisa melihat wujudnya. Makhluk misterius itu benar seorang nenek berumur sekitar 70 tahun, dengan pakaian hanya kain melilit pada bawah pusar hingga ke bawah selangkangan. Sedangkan bagian pusar ke atas tanpa tertutup sehelai benang pun, hingga payudaranya yang panjangnya tidak lumrah itu dibiarkan terbuka. Dan lebih mengerikan lsgi, nenek itu penuh dengan belang-belang hitam hampir di seluruh tubuhnya, sehingga bagaikan seekor harimau.
Penampakan si nenek belakangan hari juga tidak hanya sekilas, dan tidak hanya berlangsung di Agus mengobati pasiennya. Tetapi semakin sering. Bahkan nenek itu selalu mengikuti Agus kemanapun dia pergi. Baik di jalan, di kantor, bahkan di kamar mandi. Tak perduli siang atau malam. Anehnya, hanya bila Agus masuk ke kamarnya saja nenek itu tidak ikut masuk, tetapi hanya mondar-mondir di depan pintu.
Kejadian ini tentu saja membuat Agus ketakutan setengah mati. Apalagi bila malam hari, saat Agus kepingin ke kamar mandi untuk sekedar buang hajat kecil, maka jelas dia tidak berani karena nenek itu tetap menunggunya di depan pintu kamar.
Pernah dengan nekat Agus bertanya kepada si nenek yang misterius itu, sebenarnya siapa dia dan apa maksudnya mengikuti dirinya terus? Jawaban si nenek membuat badan Agus lemas seperti tak bertenaga.
Jawaban mengerikan yang didahului dengan suara tawa si nenek itu memang membuat Agus tak hanya ketakutan, tapi sekaligus juga terperangah heran. Si nenek mengaku bahwa dirinya adalah makhluk penunggu gudang di pabrik tempat agus bekerja, yang tempo hari berulang kali dipanggil olleh Agus lewat ritualnya. Si nenek mengaku bernama Nini Growong. Dia mengikut Agus terus, karena Agus sendiri yang memulainya, yakni dengan mengirimkan bacaan Fatehah. Jangankan bangsa jin, para malaikat pun akan merasa senang sekali bila kita sering mengiriminya hadiah Fatehah. Tentu saja Agus yang setiap hari selama tujuh malam mengirimkan bacaan fatehah kepada penunggu gudang yang ternyata bernama Nini Growong itu, merasa senang kepada Agus hingga saking senangnya sampai selalu mendampingi Agus. Bahkan di manapun dia berada.
Tidak hanya itu, bahkan Nini Growong memberikan amalan kepada Agus yang mana amalan tersebut jika diamalkan akan mendatangkan rejeki yang melimpah. Anehnya, amalan itupun bacaannya diambil dari ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Tetapi bagaimanapun Agus adalah masih manusia biasa yang masih mengenal rasa takut. Apalagi kepada bangsa halus semacam Nini Growong, yang rupanya sungguh buruk tercela. Meskipun dia selalu berbuat baik, namun Agus bertekad untuk mengakhiri hubungannya dengan makhluk tersebut. Maka dengan tekad yang bulat, Agus minta cuti untuk pergi ke Brebes guna kembali menemui Cipto.
Anehnya, ketika Agus pergi ke tempat Cipto pun Nini Growong masih tetap mengikutinya. Hanya setelah Agus sampai di perbatasan Cirebon-Brebes, tiba-tiba Nini Growong raib. Entah mengapa? Aguspun tidak tahu.
Sesampai di rumah Cipto, Agus langsung menceritakan pengalamannya seraya mohon agar kejadian yang dialaminya bisa segera dihentikan. Mendengar cerita Agus, Cipto hanya tersenyum.
"Kamu ini lucu, beberapa waktu yang lalu kamu ingin membuktikan bahwa dunia gaib itu tidak ada. Tapi sekarang setelah kamu sudah membuktikan malah ingin dihentikan. Apa tidak nyesel? Karena banyak lho orang yang ingin seperti kamu tapi belum bisa berhasil. Nah, kamu termasuk orang yang beruntung!"
Meski Cipto mengatakan demikian, namun Agus tidak peduli. Dia tetap ingin agar kemampuannya melihat wujud yang gaib ditutup, tetapi kalau masalah kemampuannya menyembuhkan orang kalau bisa tetap bisa dimilikinya.
Sebelum mengabulkan permintaan Agus, Cipto menceritakan kejadian yang sebenarnya dari peristiwa yang dialami Agus. Menurutnya, setelah menerima kiriman Fatehah dari Agus, Nini Growong menjadi suka kepada Agus hingga sebagai balasannya Nini Growong selalu mendampingi Agus untuk membantu segala kesulitan Agus, terutama saat menangani pasiennya. Nini Growong-lah yang menjadikan Agus sebagai Dukun Tiban. Namun sebenarnya penyakit yang diderita oleh para pasien Agus adalah Nini Growong sendiri yang membuatnya, dan dia juga yang menyembuhkan lewat tangan Agus. Ya, namanya juga bangsa Jin ingin membalas budi tetapi caranya tetap merugikan manusia juga. Dengan demikian, bukan Agus yang bisa menyembuhkan pasiennya tetapi ulah Nini Growong.
Dari peristiwa setidaknya bisa kita gali pelajaran, bahwa jika kita sering-sering mengirimkan hadiah Fatehah kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW, para sahabat, para malaikat dan juga para waliullah, terutama lagi kepada orang tua kita, maka tentunya kita akan mendapatkan kebaikan yang berlipat ganda. Bayangkan, bangsa jin kafir saja karena dikirimi hadiah Fatehah ingin membalasnya, mala apalagi para kekasih Allah yang tentunya lebih tahu membalas budi dan melalui jalan yang di ridhoi Allah.
Sementara itu, masalah amalan yang berasal dari Nini Growong itu walaupun sepertinya berasal dari ayat-ayatn Al Qur’an, menurut Cipto tetap jangan dilaksanakan karena bisa menyimpang dari akidah. Kita harus selalu waspada akan tipu daya setan dan sekutunya.
Akhirnya, karena memang secara mental Agus belum siap menerima kelebihan yang diberikan oleh Allah, maka kemampuan Agus akan ilmu pengobatan itupun hilang. Yang terpenting, kini Agus tidak lagi melihat sosok Nini Growong yang menakutkan. Dan sejak saat itu pula Agus memulai kehidupan normalnya tanpa kembali melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermanfaat. Dan kewajibannya akan menjalankan sholat lima waktupun tidak reda. Semoga kisah ini bisa membuka wawasan kita bahwa alam gaib itu ada dan janganlah kita main-main dengannya karena bisa mengakibatkan hal-hal yang buruk bila kita kurang hati-hati. Semoga Allah selalu menyertai langkah-langkah kita, Amien.
BERSEKUTU DENGAN SILUMAN BUAYA PUTIH
Kisah mistis ini diadaptasi dari sebuah kejadian nyata yang berlangsung di daerah pinggiran Sukabumi. Bercerita tentang seorang wanita kemaruk harta yang bersekutu dengan Siluman Buaya Putih....
Hanya karena kecewa usaha butiknya tak maju dan tak berkembang, Setiowati nekad ingin melakukan pesugihan. Dia bernafsu melakukan ini agar usahanya maju kembali dan ingin cepat-cepat kaya.
Ringkasan cerita, setelah bertanya ke beberapa dukun aliran sesat, Setiowati akhirnya menjatuhkan pilihan dengan memuju Raja Siluman Buaya Putih.
"Berjalanlah menyusuri aliran Sungai Ciliwung. Ketika kau temukan sebuah pohon beringin besar, maka berhentilah di sana. Lakukanlah semua petunjuk yang telah aku berikan padamu!" kata sang dukun, memberi petunjuk mistis.
Ya, pada hari yang ditentukan, wanita yang penuh dengan ambisi duniawi ini akhirnya berjalan menyusuri bantaran Sungai Ciliwung di wilayah Bogor. Dia ingin secepatnya menemukan tempat yang tepat, dimana Raja Siluman Buaya Putih itu bercokol, dengan ciri seperti yang dijelaskan oleh dukun yang memberinya petunjuk, dan telah dia bayar dengan jumlah uang yang sangat besar. Karena itu, dia bertekad untuk tidak akan gagal.
Setelah seharian mencari, akhirnya dia menemukan juga. Tempat itu begitu sepi dan berada di pinggiran sungai yang banyak ditumbuhi pohon besar. Barangkali, tak banyak orang yang pernah menjamah wilayah ini. Di sana juga terdapat sebuah pohon beringin yang usianya diperkirakan sudah sangat tua. Setiowati merasa yakin, tempat inilah yang dimaksud oleh si dukun.
Setelah malam tiba, Setiowati langsung duduk bersimpuh di sisi pohon beringin tua yang berada di pinggiran sungai. Angin semilir yang menerpa rambutnya tak lagi dihiraukan. Begitu juga cahaya rembulan yang temaram tak dihiruakannya, meski sepertinya penuh dengan misteri. Dia coba berkonsentrasi. Namun, pikirannya kacau balau, sehingga terus mengembara memikirkan usahanya yang telah kandas.
Ya, usaha butik peninggalan almarhum suaminya itu kini telah bangkrut. Padahal dulu semasa suaminya masih hidup usaha ini cukup berkembang. Namun semenjak suaminya meninggal, sedikit demi sedikit usahnya itu mengalami kehancuran.
"Ah...aku tak boleh terus larut dalam kesedihanku. Aku ingin bangkit kembali, walau ini jalan sesat yang harus kutempuh!" batin Setiowati.
Dengan tangan gemetar, wanita yang terbiasa hidup dalam gelimang harta ini mulai membakar kemenyan di atas pedupaan yang telah dipersiapkannya. Bau tajam kemenyan menebar ke sekeliling, menerobos kimbunan pepohonan. Hembusan angin seakan membuat bulu kuduk merinding. Namun, Setiowati telah bertekad bulat dengan ambisinya. Karena itu, dengan sekuat hati dia berusaha menghilangkan perasaan takutnya.
Hatinya telah mantap untuk memanggil Raja Siluman Buaya Putih. Sesuai dengan petunjuk sang dukun, dengan perlahan bajunya dilepas satu persatu sambil mulutnya terus merapal sebuah mantera. Tak lama kemudian, da pun telanjang bulat. Sambil terus merapal mantera, tubuhnya yang tampak berkilat diterpa cahaya bulan yang tengah purnah, bergerak mengitari pedupaan.
Setelah tujuh kali putaran, tanpa peduli pada udara dingin dan rasa takut sedikitpun, dia pun menceburkan dirinya ke sungai. Mulai kaki, perut, dada sampai ujung rambutnya dia tenggelamkan ke dalam air sungai yang tenang itu.
Persis seperti yang dikatakan sang dukun kepadanya. Beberapa menit kemudian keanehan memang terjadi. Tiba-tiba dari kedalaman air sungai, sebuah suara terdengar memanggil-manggil namanya.
"Setiowati...Setiowati! Aku telah menerima kehadiranmu!" demikian kata suara itu.
Aneh, setelah suara itu sayup-sayup menghilang dari pendengaran Setiowati, lalu muncullah seorang pria tampan dengan pakaian kebesarannya. Di atas kepalanya terdapat mahkota bertatahkan intan berkilauan. Ah, penampilan si pria misterius ini sungguh sangat mempesona. Dia tak hanya tampan, tapi juga sangat gagah. Jauh dengan figur suami Setiowati yang kurus kerempeng akibat hampir sepanjang hidupnya digerogoti penyakit TBC.
"Ada keperluaan apa, kamu memanggilku?" tanya pria tampan itu dengan suara berwibawa.
Agak tergagap Setiowati menjawab, "Saya ingin kaya, dan usaha butik saya ingin kembali maju!"
"Baiklah...saya akan mengabulkan permintaanmu, namun dengan satu syarat. Apakah kau sanggup?"
"Syarat apakah gerangan itu?" tanya Setiowato, takjim.
"Setiap malam Jum'at kamu harus bertemu denganku dan mau melayaniku. Karena itu, kau harus menyediakan kamar khusus untukku."
"Baiklah, aku menyanggupi syarat itu!"
"Ingat, jika kamu ingkar janji, maka harta dan jiwamu jadi taruhannya. Apa kamu sanggup menaati permintaanku ini?"
"Saya sanggup menaatinya!"
"Baiklah, kalau begitu kau sekarang ikut aku!"
Singkat cerita, Setiowati dibawa masuk ke alam gaib yang terdapat di dalam aliran Sungai Ciliwung. Sepanjang perjalanan menuju istana Siluman Buaya Putih, Setiowati banyak melihat hal-hal aneh yang membuat dirinya kagum sekaligus takjub. Misalnya saja, dia melihat bangunan yang indah dan megah disertai para penjaga kerajaan yang gagah. Sesekali pula Setiowati memandangi para penjaga itu. Aneh, mereka sama sekali tidak mempunyai bibir bagian atas. Antara hidung dan bibir bawahnya langsung bertemu. Begitu pula dengan jari tangan dan jari kaki mereka tersambung. Ya, sungguh tak ubahnya bagaikan jari buaya.
Setelah sampai di suatu tempat yang indah, Setiowati dipersilahkan duduk di sebuah bangku yang bertahtakan bulu-bulu yang sangat indah. Sesaat lamanya, dia termenung mengagumi keindahan tempat itu.
Tanpa diketahui dan disadarinya, tiba-tiba di hadapan Setiowati telah berdiri sesosok lelaki dengan pakaian kebesaran sebperti layaknya seorang raja. Lelaki itu begitu tampan, tubuhnya atletis, tegap dan gagah. Kulitnya yang kuning langsat menambah penampilannya yang gagah itu sehingga terlihat semakin menawan.
Lelaki gagah itu segera menyalami Setiowati. Meski sedikit gugup, disambutnya uluran tangan itu sambil harap-harap cemas. Aneh, tangan itu begitu dingin, persis tangan mayat.
Namun keheranan Setiowati segera sirna saat aroma bunga melati menerpa hidugnnya. Bagaikan terangsang oleh wewangian aroma therapi, gairah birahinya mendadak begitu memuncak, terlebih di saat lelaki tampan itu menebar senyumnya. Ya, gejolak nafsunya yang selama ini terpendam sejak kepergian sang suami, meledak-ledak begitu lelaki tampan itu menyentuh bagian terlarang miliknya yang sangat pribadi.
Tak lama kemudian, mereka telah terlibat dalam sebuah adegan yang begitu menggairahkan. Tangan lelaki itu kian nakal dan berani memegang benda sensitifnya. Gairah asmara Setiowati yang tak pernah kesampaian kini ditumpahkan kepada lelaki tersebut, meski dia sebenarnya tak pernah tahu jatidiri pria itu yang sebenarnya.
Dengan mata terpejam dia menikmati permainan binal tersebut. Di tengah pergumulan, tanpa sengaja tiba-tiba kaki Setiowati terasa menyentuh sesuatu yang aneh. Sesuatu itu terasa sangat kasar mirip sebuah gergaji. Setiowati segera membuka matanya dan menatap ke arah benda tersebut. Betapa kagetnya Setiowati, ternyata benda itu adalah ekor buaya. Yang lebih membuat dia histeris, ternyata dia kini tak lagi bergemul dengan seorang pria tampan tapi dengan seekor buaya putih yang sangat besar.
Dengan rasa takut, dia coba meronta, melepaskan diri dari tindihan makhluk siluman itu. Namun siluman itu berteriak dengan nada marah, "Awas, kamu jangan mengingkari kesepakatan yang telah kita buat. Apa kamu ingin tetap hidup dalam kemiskinan?"
Mendengar kata "kemiskinan" hati Setiowati kembali terenyuh. Ya, sungguh dia tak ingin kembali hidup dalam kemiskinan, sebab itu semua sungguh sangat meyakinkan. "Biarlah tubuhku dinikmati siluman buaya, yang penting aku bisa kaya raya," batinnya.
Sekuat hati dia coba untuk tabah. Walau terasa menyakitkan, dia biarkan sesuatu mengoyak miliknya yang paling pribadi itu. Tak ada kenikmatan yang dirasakannya. Yang dia peroleh hanya kegetiran. Namun hal ini seakan tak berarti manakala terbayang di dalam perlupuk matanya limpahan harta yang akan dia peroleh.
Usai melayani nafsu Siluman Buaya Putih yang sangat bergairah, Setiowati merasakan sangat lelah yang luar biasa, hingga tanpa terasa dia tertidur dengan pulas. Aneh, begitu terbangun dia mendapati tubuhnya yang telanjang bulat telah berada di pinggir sungai. Ya, di dekat pohon beringin keramat itu.
Sotiowati merasakan ketakutan yang teramat sangat. Namun, perasaan ini segera sirna manaka di sekitar tubuhnya dia mendaparkan intan, berlian, serta perhiasan mewah lainnya yang nampak berserakan. Betapa senangnya hati Setiowati, dan dia tersenyum penuh kemenangan.
"Selamat tinggal kemiskinan!" bisik batinnya. Dan, dia segera merapikan dirinya untuk pergi meninggalkan tempat keramat itu.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu, Setiowati langsung membuka kembali usaha butiknya. Dan, dalam waktu yang tak begitu lama usahanya yang nyaris bangkrut kembali berkembang dengan pesat. Apa yang dikerjakannya selalu lancar, kekayaannya pun bertambah dan berlimpah ruah.
Kurang dari setahun, toko tempat usahanya diperluas, rumahnya pun dipugar dan ditingkat. Perabotan rumah tangganya seluruhnya diganti dengan yang mahal-mahal. Belum lagi mobil sedan yang kini telah terparkir di garasinya.
Namun, dibalik itu semuanya sifat dan tabiatnya mulai berubah. Dulu dia dikenal ramah dan murah senyum dengan para tetangga. Namun kini setelah dia kaya raya, tak ada lagi senyuman di bibirnya. Dia pun mulai pelit terhadap orang yang meminta sumbangan kepadanya.
Walau kekayaan telah diraihnya, dan usaha butiknya telah tumbuh dengan pesat, namun di dalam hatinya yang sangat dalam mulai muncul resah dan gelisah. Karena itu wajahnya yang cantik sering terlihat kusut. Bahkan, wajah itu kuan kusam tak beraura karena setiap malam Jum'at dia harus melayani nafsu buas Siluman Buaya Putih.
Ya, bila malam keramat itu tiba, maka sejak malam hari hingga menjelang subuh, dia harus rela tubuhnya dinikmati oleh Siluman Buaya Putih yang memberikan kekayaan terhadapnya. Terkadang dia menangis dan menahan rasa jijik jika tengah bergumul dengan siluman itu. Tak hanya wujudnya yang menjijikan, tapi nafsu seks makhluk itu juga sama menjijikannya. Dia begitu buas, hingga dalam sekali pertemuan bisa minta dilayani beberapa kali.
Tak hanya itu yang membuat Setiowati kian sirna gairah hidupnya. Yang lebih membuatnya tertekan ialah dia tak boleh menikah dengan pria lain. Kalau ini dilanggar, maka nyawalah yang jadi taruhannya.
Yang namanya penyesalan, memang selalu terjadi di belakang hari. Begitu pula dengan Setiowati. Dia merasa menyesal sebab telah bersekutu dengan Siluman Buaya Putih. Dia baru menyadari kalau ternyata kekayaan yang dimilikinya tetap tak membuatnya baghagia, malah membuatnya tambah menderita. Kini, terbesit di dalam hatinya untuk lari dari perjanjian gaib dengan siluman itu.
Pada suatu malam, dia berkemas seadanya. Tujuannya adalah ingin pulang ke kampung halamannya di daerah Sukabumi. Namun, belum lagi dia sempat membuka pintu, Siluman Buaya Putih itu telah muncul di hadapannya. Wajah makhluk itu kelihatan sangat marah, seakan hendak menelan bulat-bulat tubuh Setiowati.
"Setiowati...mau kemana kau. Kau hendak ingkar janji kepadaku hah...?!" bentaknya.
"Siluman Buaya Putih, aku ingin bertobat dan lepas dari cengkeraman buasmu. Biarkan aku pergi tanpa sepeser pun harta pemberianmu!"
"Tidak bisa. Enak saja kau meninggalkanku setelah kau menikmati harta pemberianku. Kau harus tetap bersamaku dan menemaniku di neraka nanti!"
Merasa tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman iblis itu, Setiowati berusaha berteriak sekencang-kencangnya untuk meminta pertolongan. Siluman Buaya Putih kian murka. Dengan kekuatan gaibnya dia membakar rumah megah milik setiowati beserta isinya.
Sementar itu, para tetangga yang mendengar teriakan Setiowati berusaha memadamkan kobaran api. Sebagian lagi mencari Setiowati.
Beberapa jam kemudian kebakaran dapat diatasti, dan Setiowati dapat ditemukan warga dalam keadaan selamat. Namun, walau Setiowati telah ditolong warga, dia tetap saja berteriak ketakutan. Wajahnya memendam rasa takut dan kengerian luar biasa. Warga yang merasa kasihan membawanya ke rumah sakit, namun tetap saja tak ada perubahan. Dia selalu kalap seperti orang gila.
Sampai saat ini Setiowati sering berteriak sendirian seperti orang gila, dan memang kini dia telah gila. Di tengah jalan, di tengah kerumunan orang banyak, maupun di tengah pasar, dia selalu berteriak ketakutan. Namun, kadangkala dia menangis sesenggukan. Ya, dia gila akibat perjanjiannya dengan Siluman Buaya Putih.
Semoga cerita ini bisa diambil hikmahnya. Walau bagaimanapun bersekutu dengan setan, apapun jenisnya, tetap tak membawa keuntungan. Malah kerugian yang kita dapati. Dan yang pasti nerakalah tempatnya.
Hanya karena kecewa usaha butiknya tak maju dan tak berkembang, Setiowati nekad ingin melakukan pesugihan. Dia bernafsu melakukan ini agar usahanya maju kembali dan ingin cepat-cepat kaya.
Ringkasan cerita, setelah bertanya ke beberapa dukun aliran sesat, Setiowati akhirnya menjatuhkan pilihan dengan memuju Raja Siluman Buaya Putih.
"Berjalanlah menyusuri aliran Sungai Ciliwung. Ketika kau temukan sebuah pohon beringin besar, maka berhentilah di sana. Lakukanlah semua petunjuk yang telah aku berikan padamu!" kata sang dukun, memberi petunjuk mistis.
Ya, pada hari yang ditentukan, wanita yang penuh dengan ambisi duniawi ini akhirnya berjalan menyusuri bantaran Sungai Ciliwung di wilayah Bogor. Dia ingin secepatnya menemukan tempat yang tepat, dimana Raja Siluman Buaya Putih itu bercokol, dengan ciri seperti yang dijelaskan oleh dukun yang memberinya petunjuk, dan telah dia bayar dengan jumlah uang yang sangat besar. Karena itu, dia bertekad untuk tidak akan gagal.
Setelah seharian mencari, akhirnya dia menemukan juga. Tempat itu begitu sepi dan berada di pinggiran sungai yang banyak ditumbuhi pohon besar. Barangkali, tak banyak orang yang pernah menjamah wilayah ini. Di sana juga terdapat sebuah pohon beringin yang usianya diperkirakan sudah sangat tua. Setiowati merasa yakin, tempat inilah yang dimaksud oleh si dukun.
Setelah malam tiba, Setiowati langsung duduk bersimpuh di sisi pohon beringin tua yang berada di pinggiran sungai. Angin semilir yang menerpa rambutnya tak lagi dihiraukan. Begitu juga cahaya rembulan yang temaram tak dihiruakannya, meski sepertinya penuh dengan misteri. Dia coba berkonsentrasi. Namun, pikirannya kacau balau, sehingga terus mengembara memikirkan usahanya yang telah kandas.
Ya, usaha butik peninggalan almarhum suaminya itu kini telah bangkrut. Padahal dulu semasa suaminya masih hidup usaha ini cukup berkembang. Namun semenjak suaminya meninggal, sedikit demi sedikit usahnya itu mengalami kehancuran.
"Ah...aku tak boleh terus larut dalam kesedihanku. Aku ingin bangkit kembali, walau ini jalan sesat yang harus kutempuh!" batin Setiowati.
Dengan tangan gemetar, wanita yang terbiasa hidup dalam gelimang harta ini mulai membakar kemenyan di atas pedupaan yang telah dipersiapkannya. Bau tajam kemenyan menebar ke sekeliling, menerobos kimbunan pepohonan. Hembusan angin seakan membuat bulu kuduk merinding. Namun, Setiowati telah bertekad bulat dengan ambisinya. Karena itu, dengan sekuat hati dia berusaha menghilangkan perasaan takutnya.
Hatinya telah mantap untuk memanggil Raja Siluman Buaya Putih. Sesuai dengan petunjuk sang dukun, dengan perlahan bajunya dilepas satu persatu sambil mulutnya terus merapal sebuah mantera. Tak lama kemudian, da pun telanjang bulat. Sambil terus merapal mantera, tubuhnya yang tampak berkilat diterpa cahaya bulan yang tengah purnah, bergerak mengitari pedupaan.
Setelah tujuh kali putaran, tanpa peduli pada udara dingin dan rasa takut sedikitpun, dia pun menceburkan dirinya ke sungai. Mulai kaki, perut, dada sampai ujung rambutnya dia tenggelamkan ke dalam air sungai yang tenang itu.
Persis seperti yang dikatakan sang dukun kepadanya. Beberapa menit kemudian keanehan memang terjadi. Tiba-tiba dari kedalaman air sungai, sebuah suara terdengar memanggil-manggil namanya.
"Setiowati...Setiowati! Aku telah menerima kehadiranmu!" demikian kata suara itu.
Aneh, setelah suara itu sayup-sayup menghilang dari pendengaran Setiowati, lalu muncullah seorang pria tampan dengan pakaian kebesarannya. Di atas kepalanya terdapat mahkota bertatahkan intan berkilauan. Ah, penampilan si pria misterius ini sungguh sangat mempesona. Dia tak hanya tampan, tapi juga sangat gagah. Jauh dengan figur suami Setiowati yang kurus kerempeng akibat hampir sepanjang hidupnya digerogoti penyakit TBC.
"Ada keperluaan apa, kamu memanggilku?" tanya pria tampan itu dengan suara berwibawa.
Agak tergagap Setiowati menjawab, "Saya ingin kaya, dan usaha butik saya ingin kembali maju!"
"Baiklah...saya akan mengabulkan permintaanmu, namun dengan satu syarat. Apakah kau sanggup?"
"Syarat apakah gerangan itu?" tanya Setiowato, takjim.
"Setiap malam Jum'at kamu harus bertemu denganku dan mau melayaniku. Karena itu, kau harus menyediakan kamar khusus untukku."
"Baiklah, aku menyanggupi syarat itu!"
"Ingat, jika kamu ingkar janji, maka harta dan jiwamu jadi taruhannya. Apa kamu sanggup menaati permintaanku ini?"
"Saya sanggup menaatinya!"
"Baiklah, kalau begitu kau sekarang ikut aku!"
Singkat cerita, Setiowati dibawa masuk ke alam gaib yang terdapat di dalam aliran Sungai Ciliwung. Sepanjang perjalanan menuju istana Siluman Buaya Putih, Setiowati banyak melihat hal-hal aneh yang membuat dirinya kagum sekaligus takjub. Misalnya saja, dia melihat bangunan yang indah dan megah disertai para penjaga kerajaan yang gagah. Sesekali pula Setiowati memandangi para penjaga itu. Aneh, mereka sama sekali tidak mempunyai bibir bagian atas. Antara hidung dan bibir bawahnya langsung bertemu. Begitu pula dengan jari tangan dan jari kaki mereka tersambung. Ya, sungguh tak ubahnya bagaikan jari buaya.
Setelah sampai di suatu tempat yang indah, Setiowati dipersilahkan duduk di sebuah bangku yang bertahtakan bulu-bulu yang sangat indah. Sesaat lamanya, dia termenung mengagumi keindahan tempat itu.
Tanpa diketahui dan disadarinya, tiba-tiba di hadapan Setiowati telah berdiri sesosok lelaki dengan pakaian kebesaran sebperti layaknya seorang raja. Lelaki itu begitu tampan, tubuhnya atletis, tegap dan gagah. Kulitnya yang kuning langsat menambah penampilannya yang gagah itu sehingga terlihat semakin menawan.
Lelaki gagah itu segera menyalami Setiowati. Meski sedikit gugup, disambutnya uluran tangan itu sambil harap-harap cemas. Aneh, tangan itu begitu dingin, persis tangan mayat.
Namun keheranan Setiowati segera sirna saat aroma bunga melati menerpa hidugnnya. Bagaikan terangsang oleh wewangian aroma therapi, gairah birahinya mendadak begitu memuncak, terlebih di saat lelaki tampan itu menebar senyumnya. Ya, gejolak nafsunya yang selama ini terpendam sejak kepergian sang suami, meledak-ledak begitu lelaki tampan itu menyentuh bagian terlarang miliknya yang sangat pribadi.
Tak lama kemudian, mereka telah terlibat dalam sebuah adegan yang begitu menggairahkan. Tangan lelaki itu kian nakal dan berani memegang benda sensitifnya. Gairah asmara Setiowati yang tak pernah kesampaian kini ditumpahkan kepada lelaki tersebut, meski dia sebenarnya tak pernah tahu jatidiri pria itu yang sebenarnya.
Dengan mata terpejam dia menikmati permainan binal tersebut. Di tengah pergumulan, tanpa sengaja tiba-tiba kaki Setiowati terasa menyentuh sesuatu yang aneh. Sesuatu itu terasa sangat kasar mirip sebuah gergaji. Setiowati segera membuka matanya dan menatap ke arah benda tersebut. Betapa kagetnya Setiowati, ternyata benda itu adalah ekor buaya. Yang lebih membuat dia histeris, ternyata dia kini tak lagi bergemul dengan seorang pria tampan tapi dengan seekor buaya putih yang sangat besar.
Dengan rasa takut, dia coba meronta, melepaskan diri dari tindihan makhluk siluman itu. Namun siluman itu berteriak dengan nada marah, "Awas, kamu jangan mengingkari kesepakatan yang telah kita buat. Apa kamu ingin tetap hidup dalam kemiskinan?"
Mendengar kata "kemiskinan" hati Setiowati kembali terenyuh. Ya, sungguh dia tak ingin kembali hidup dalam kemiskinan, sebab itu semua sungguh sangat meyakinkan. "Biarlah tubuhku dinikmati siluman buaya, yang penting aku bisa kaya raya," batinnya.
Sekuat hati dia coba untuk tabah. Walau terasa menyakitkan, dia biarkan sesuatu mengoyak miliknya yang paling pribadi itu. Tak ada kenikmatan yang dirasakannya. Yang dia peroleh hanya kegetiran. Namun hal ini seakan tak berarti manakala terbayang di dalam perlupuk matanya limpahan harta yang akan dia peroleh.
Usai melayani nafsu Siluman Buaya Putih yang sangat bergairah, Setiowati merasakan sangat lelah yang luar biasa, hingga tanpa terasa dia tertidur dengan pulas. Aneh, begitu terbangun dia mendapati tubuhnya yang telanjang bulat telah berada di pinggir sungai. Ya, di dekat pohon beringin keramat itu.
Sotiowati merasakan ketakutan yang teramat sangat. Namun, perasaan ini segera sirna manaka di sekitar tubuhnya dia mendaparkan intan, berlian, serta perhiasan mewah lainnya yang nampak berserakan. Betapa senangnya hati Setiowati, dan dia tersenyum penuh kemenangan.
"Selamat tinggal kemiskinan!" bisik batinnya. Dan, dia segera merapikan dirinya untuk pergi meninggalkan tempat keramat itu.
***
Beberapa hari setelah kejadian itu, Setiowati langsung membuka kembali usaha butiknya. Dan, dalam waktu yang tak begitu lama usahanya yang nyaris bangkrut kembali berkembang dengan pesat. Apa yang dikerjakannya selalu lancar, kekayaannya pun bertambah dan berlimpah ruah.
Kurang dari setahun, toko tempat usahanya diperluas, rumahnya pun dipugar dan ditingkat. Perabotan rumah tangganya seluruhnya diganti dengan yang mahal-mahal. Belum lagi mobil sedan yang kini telah terparkir di garasinya.
Namun, dibalik itu semuanya sifat dan tabiatnya mulai berubah. Dulu dia dikenal ramah dan murah senyum dengan para tetangga. Namun kini setelah dia kaya raya, tak ada lagi senyuman di bibirnya. Dia pun mulai pelit terhadap orang yang meminta sumbangan kepadanya.
Walau kekayaan telah diraihnya, dan usaha butiknya telah tumbuh dengan pesat, namun di dalam hatinya yang sangat dalam mulai muncul resah dan gelisah. Karena itu wajahnya yang cantik sering terlihat kusut. Bahkan, wajah itu kuan kusam tak beraura karena setiap malam Jum'at dia harus melayani nafsu buas Siluman Buaya Putih.
Ya, bila malam keramat itu tiba, maka sejak malam hari hingga menjelang subuh, dia harus rela tubuhnya dinikmati oleh Siluman Buaya Putih yang memberikan kekayaan terhadapnya. Terkadang dia menangis dan menahan rasa jijik jika tengah bergumul dengan siluman itu. Tak hanya wujudnya yang menjijikan, tapi nafsu seks makhluk itu juga sama menjijikannya. Dia begitu buas, hingga dalam sekali pertemuan bisa minta dilayani beberapa kali.
Tak hanya itu yang membuat Setiowati kian sirna gairah hidupnya. Yang lebih membuatnya tertekan ialah dia tak boleh menikah dengan pria lain. Kalau ini dilanggar, maka nyawalah yang jadi taruhannya.
Yang namanya penyesalan, memang selalu terjadi di belakang hari. Begitu pula dengan Setiowati. Dia merasa menyesal sebab telah bersekutu dengan Siluman Buaya Putih. Dia baru menyadari kalau ternyata kekayaan yang dimilikinya tetap tak membuatnya baghagia, malah membuatnya tambah menderita. Kini, terbesit di dalam hatinya untuk lari dari perjanjian gaib dengan siluman itu.
Pada suatu malam, dia berkemas seadanya. Tujuannya adalah ingin pulang ke kampung halamannya di daerah Sukabumi. Namun, belum lagi dia sempat membuka pintu, Siluman Buaya Putih itu telah muncul di hadapannya. Wajah makhluk itu kelihatan sangat marah, seakan hendak menelan bulat-bulat tubuh Setiowati.
"Setiowati...mau kemana kau. Kau hendak ingkar janji kepadaku hah...?!" bentaknya.
"Siluman Buaya Putih, aku ingin bertobat dan lepas dari cengkeraman buasmu. Biarkan aku pergi tanpa sepeser pun harta pemberianmu!"
"Tidak bisa. Enak saja kau meninggalkanku setelah kau menikmati harta pemberianku. Kau harus tetap bersamaku dan menemaniku di neraka nanti!"
Merasa tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman iblis itu, Setiowati berusaha berteriak sekencang-kencangnya untuk meminta pertolongan. Siluman Buaya Putih kian murka. Dengan kekuatan gaibnya dia membakar rumah megah milik setiowati beserta isinya.
Sementar itu, para tetangga yang mendengar teriakan Setiowati berusaha memadamkan kobaran api. Sebagian lagi mencari Setiowati.
Beberapa jam kemudian kebakaran dapat diatasti, dan Setiowati dapat ditemukan warga dalam keadaan selamat. Namun, walau Setiowati telah ditolong warga, dia tetap saja berteriak ketakutan. Wajahnya memendam rasa takut dan kengerian luar biasa. Warga yang merasa kasihan membawanya ke rumah sakit, namun tetap saja tak ada perubahan. Dia selalu kalap seperti orang gila.
Sampai saat ini Setiowati sering berteriak sendirian seperti orang gila, dan memang kini dia telah gila. Di tengah jalan, di tengah kerumunan orang banyak, maupun di tengah pasar, dia selalu berteriak ketakutan. Namun, kadangkala dia menangis sesenggukan. Ya, dia gila akibat perjanjiannya dengan Siluman Buaya Putih.
Semoga cerita ini bisa diambil hikmahnya. Walau bagaimanapun bersekutu dengan setan, apapun jenisnya, tetap tak membawa keuntungan. Malah kerugian yang kita dapati. Dan yang pasti nerakalah tempatnya.
Selasa, 04 Maret 2008
Ayahku Ternyata Siluman Babi
Tak ada siapa-siapa dalam kamarku. Yang ada hanya seekor babi yang perutnya terburai. Dan, dia adalah ayahku......
Setelah menekuni studi selama enam tahun, hari itu aku pulang ke desa kelahiranku. Sepanjang perjalanan dari Bandung, hatiku dibuai perasaan gembira dan bahagia yang tiada taranya. Betapa tidak, aku kembali dengan mempersembahkan gelar kesarjanaan, jelasnya Insinyur Pertambangan. Alangkah senang dan bahagianya hati ayah, karena segala jerih payahnya tidak sia-sia, begitu benakku. Anak yang dibanggakannya di ka¬langan keluarga dan teman sejawat, telah memperoleh kemenangan dalam stu¬dinya.
Namun, alangkah terkejutnya aku, ketika lepas maghrib tiba di rumah. Nampak banyak sosok-sosok tak jelas diantara warga desa yang memegang tombak, parang, arit, dan tali penjerat. Hatiku berdetak tidak karuan. Ada apa sebenarnya? Demikian pikirku. Beberapa belas meter di depan rumah, langkahku terhenti ketika terdengar suara raung¬an nyaring yang menyayat hati. Setelah kudengar dengan seksama, dapat dipastikan bahwa yang menangis itu adalah ibuku sendiri.
Apa yang telah terjadi, pikiranku semakin cemas. Apakah ibu menangis karena kematian ayah? Aku segera menghambur masuk ke dalam rumah. Tapi dipintu, ibuku sudah menyambutku, memelukku erat sekali sambil menangis meraung-raung. Kubiarkan dulu ibu me¬nangis, agar beban yang menghimpit dadanya bisa sedikit berkurang.
“Mana ayah, bu?” Tanyaku kemudian setelah ibu menghapus air matanya.
“Karena ayahmulah, makanya ibu menangis tadi, An,” sahut ibu.
“Lantas, sebenarnya apa yang terjadi atas diri ayah, Bu?” Desakku semakin penasaran.
Tapi ibu terdiam, kemudian menundukkan kepala. Beberapa sesepuh desa yang kukenal, seperti Mbah Kardi, Mbah Sudirun, Mbah Karta dan lain-lain, termasuk Kepala Desa pak Soleh, juga terdiam diri dan hanya memandangiku. Kelihatannya mereka se¬perti bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Ketika kutanyakan lagi di mana ayah, ibuku berpaling ke arah kamar. Kamar dalam rumah kami, hanya ada dua. Yang dekat dapur, itu adalah kamar ayah dan ibu. Sementara kamar yang satu lagi, dulu adalah kamarku.
Aku segera berlari menuju ke kamar ayah. Tapi ternyata kosong. Lalu aku keluar dan masuk ke kamar sebelahnya, bekas kamarku. Dalam kamar itu sudah tidak ada lagi ranjangku dan lemari pakaian. Dan di sudut kamar yang sudah kosong itu, kulihat seekor babi agak menyandar ke dinding. Perutnya luka, dan darah masih terus menetes. Yang mengherankan, pada sudut matanya tampak ada butiran-butiran air yang jernih.
Aku terbodoh-bodoh menyaksikan binatang tersebut. Kemudian aku membalikkan tubuh, berjalan dengan tergesa untuk menemui para sesepuh desa yang duduk diatas tikar seperti laiknya orang yang akan kenduri.
“Mana ayahku?” Tanyaku setiba di hadapan mereka.
“Apakah tak kau temukan di dalam kamar tadi?” Ujar pak Soleh.
Aku menatap kepala desa dengan perasaan diliputi keheranan.
“Tak ada siapa-siapa di dalam kamar,” kataku memastikan. ”Yang ada hanya seekor babi.”
“Dialah ayahmu, Andi,” ujar Mbah Kardi.
Mendengar keterangan itu kontan aku melongo, dan mata terbeliak. “Apa? Ayahku babi?” Tanyaku perlahan.
“Begitulah kenyataannya, An,” ujar kepala desa. “Kebetulan sekali malam ini kau pulang. Bertepatan dengan kejadian yang telah menggegerkan desa kita.”
“Jadi, ayahku babi?” Ulangku bagaikan tak yakin.
“Ya, ayahmu ternyata siluman babi, dan dia tidak berdaya sekarang. Dia terluka.”
“Ditombok?” Tanyaku.
“Kami tidak menyangka, bahwa babi yang menyusup ke desa kita adalah babi siluman, An. Kami memburunya, mengepung untuk mengusirnya. Tapi binatang itu melawan. Karena itu tidak ada pilihan lain, kecuali menombaknya. Dan kami terkejut sekali setika menyaksikan babi itu tidak lari kemana-mana, melainkan ke dalam rumah kalian. Aneh, bukan? Nah, dari keterangan Mbah Kardi, barulah kami tahu bahwa babi itu adalah ayahmu.”
Aku masih penasaran, namun kenyataan itu tidak dapat dibantah lagi.
“Kami sekarang sedang menunggu pemulihan jasad ayahmu, Andi,” imbuh kepala desa. “Kalau memang benar ayahmu siluman babi atau pemilik ilmu pesugihan babi ngepet, tentu dia akan berubah ujud kembali sebagai manusia menjelang kematiannya.”
Tiba-tiba terdengar lagi pekik ibuku, memanggil-manggil nama suaminya atau ayahku, dari dalam kamar. Bersamaan dengan itu kami menyerbu ke dalam kamar. Kemudian kami semua terdiam diri, memperhatikan dengan seksama apa yang bakal terjadi. Sementara itu ayahku, Subadi, tetap tak beranjak dari posisinya semula, seperti saat pertama kulihat tadi.
Keadaan terasa semakin mencekam ketika Mbah Kardi keluar dan masuk lagi sambil membawa pedupaan yang baranya dari tempurung kelapa. Dupa itu diletakkannya tepat di tengah-tengah pintu kamar. Kami segera menyingkir agak ke tepi, merapat ke dinding kamar.
Ketika kemenyan terbakar dan asapnya menyeruak memenuhi kamar, kami men¬dengar suara tangisan ayahku yang sangat menyayat hati. Mbah Kardi lalu meminta segelas air putih yang ke dalamnya sudah dimasukkan daun waru dan reramuan lainnya. Ibuku segera membawakannya, kemudian diletakkan di depan pedupaan. Sementara Mbah Kardi masih terus ber¬komat-kamit sambil memejamkan mata.
“Nasibmu telah ditentukan, Badi. Nasib yang kau pilih sendiri,” ujar Mbah Kardi kemudian seperti berkata pada diri sendiri. Tak lama, kelihatanlah perubahan sosok tubuh babi itu menjadi Subadi, ayahku. Namun luka di perutnya tidak hilang. Luka itu sangat parah, telah merobek perut dan memutuskan usus.
“Apa tak bisa lukanya disembuhkan, Mbah?” Tanya ibu.
Mbah Kardi menggeleng. “Suamimu malah sudah tidak bisa bicara lagi, Inah,” katanya kemudian.
“Kini apa yang harus kita lakukan?” Tanya ibu lagi.
Mbah Kardi mengangkat pundak. Lalu katanya, “tidak ada yang dapat kita lakukan lagi untuknya.”
Mendengar itu ibuku menangis lagi meraung-raung. “Mas Badi, lihatlah anakmu Andi sudah pulang,” teriaknya.
Ayah menatapku dengan pandangan sayu sekali. Bibirnya bergerak-gerak seperti mengatakan sesuatu. Tapi suaranya tidak pernah kedengaran lagi.
“Aku Andi, ayah,” kataku mempertontonkan diri.
“Aku telah lulus, Ayah. Aku telah jadi sarjana, seperti yang Ayah inginkan.”
Aku ingin ayahku gembira menyambut keberhasilanku. Tapi ia tak dapat mengatakan apapun lagi, selain mengangguk-angguk dengan mulut terkatup rapat.
Tak lama setelah ibu menjerit, ayah menutup mata untuk selama-lamanya. Perasaan malu bahwa ayahku babi siluman, kubuang jauh-jauh ketika aku ingin menyempurnakan penguburannya. Kebetulan, tak ada pula orang-orang desa kami, para sahabat dan handai tolan yang menyindirku. Mereka semuanya menyatakan ikut berduka cita dengan kematian ayah, biarpun ayahku ternyata babi ngepet.
Sesudah selamatan hari ke tujuh, aku mendatangi Mbah Kardi dan kepala desa. Aku meminta maaf atas kejadian yang telah menimpa ayahku. Selain itu, kepada mereka aku mohon doa restu, karena beberapa hari lagi akan pergi untuk memenuhi panggilan tugas di luar Jawa.
(Kisah mistis ini seperti yang dituturkan Andi, nama samaran)
Setelah menekuni studi selama enam tahun, hari itu aku pulang ke desa kelahiranku. Sepanjang perjalanan dari Bandung, hatiku dibuai perasaan gembira dan bahagia yang tiada taranya. Betapa tidak, aku kembali dengan mempersembahkan gelar kesarjanaan, jelasnya Insinyur Pertambangan. Alangkah senang dan bahagianya hati ayah, karena segala jerih payahnya tidak sia-sia, begitu benakku. Anak yang dibanggakannya di ka¬langan keluarga dan teman sejawat, telah memperoleh kemenangan dalam stu¬dinya.
Namun, alangkah terkejutnya aku, ketika lepas maghrib tiba di rumah. Nampak banyak sosok-sosok tak jelas diantara warga desa yang memegang tombak, parang, arit, dan tali penjerat. Hatiku berdetak tidak karuan. Ada apa sebenarnya? Demikian pikirku. Beberapa belas meter di depan rumah, langkahku terhenti ketika terdengar suara raung¬an nyaring yang menyayat hati. Setelah kudengar dengan seksama, dapat dipastikan bahwa yang menangis itu adalah ibuku sendiri.
Apa yang telah terjadi, pikiranku semakin cemas. Apakah ibu menangis karena kematian ayah? Aku segera menghambur masuk ke dalam rumah. Tapi dipintu, ibuku sudah menyambutku, memelukku erat sekali sambil menangis meraung-raung. Kubiarkan dulu ibu me¬nangis, agar beban yang menghimpit dadanya bisa sedikit berkurang.
“Mana ayah, bu?” Tanyaku kemudian setelah ibu menghapus air matanya.
“Karena ayahmulah, makanya ibu menangis tadi, An,” sahut ibu.
“Lantas, sebenarnya apa yang terjadi atas diri ayah, Bu?” Desakku semakin penasaran.
Tapi ibu terdiam, kemudian menundukkan kepala. Beberapa sesepuh desa yang kukenal, seperti Mbah Kardi, Mbah Sudirun, Mbah Karta dan lain-lain, termasuk Kepala Desa pak Soleh, juga terdiam diri dan hanya memandangiku. Kelihatannya mereka se¬perti bingung, tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Ketika kutanyakan lagi di mana ayah, ibuku berpaling ke arah kamar. Kamar dalam rumah kami, hanya ada dua. Yang dekat dapur, itu adalah kamar ayah dan ibu. Sementara kamar yang satu lagi, dulu adalah kamarku.
Aku segera berlari menuju ke kamar ayah. Tapi ternyata kosong. Lalu aku keluar dan masuk ke kamar sebelahnya, bekas kamarku. Dalam kamar itu sudah tidak ada lagi ranjangku dan lemari pakaian. Dan di sudut kamar yang sudah kosong itu, kulihat seekor babi agak menyandar ke dinding. Perutnya luka, dan darah masih terus menetes. Yang mengherankan, pada sudut matanya tampak ada butiran-butiran air yang jernih.
Aku terbodoh-bodoh menyaksikan binatang tersebut. Kemudian aku membalikkan tubuh, berjalan dengan tergesa untuk menemui para sesepuh desa yang duduk diatas tikar seperti laiknya orang yang akan kenduri.
“Mana ayahku?” Tanyaku setiba di hadapan mereka.
“Apakah tak kau temukan di dalam kamar tadi?” Ujar pak Soleh.
Aku menatap kepala desa dengan perasaan diliputi keheranan.
“Tak ada siapa-siapa di dalam kamar,” kataku memastikan. ”Yang ada hanya seekor babi.”
“Dialah ayahmu, Andi,” ujar Mbah Kardi.
Mendengar keterangan itu kontan aku melongo, dan mata terbeliak. “Apa? Ayahku babi?” Tanyaku perlahan.
“Begitulah kenyataannya, An,” ujar kepala desa. “Kebetulan sekali malam ini kau pulang. Bertepatan dengan kejadian yang telah menggegerkan desa kita.”
“Jadi, ayahku babi?” Ulangku bagaikan tak yakin.
“Ya, ayahmu ternyata siluman babi, dan dia tidak berdaya sekarang. Dia terluka.”
“Ditombok?” Tanyaku.
“Kami tidak menyangka, bahwa babi yang menyusup ke desa kita adalah babi siluman, An. Kami memburunya, mengepung untuk mengusirnya. Tapi binatang itu melawan. Karena itu tidak ada pilihan lain, kecuali menombaknya. Dan kami terkejut sekali setika menyaksikan babi itu tidak lari kemana-mana, melainkan ke dalam rumah kalian. Aneh, bukan? Nah, dari keterangan Mbah Kardi, barulah kami tahu bahwa babi itu adalah ayahmu.”
Aku masih penasaran, namun kenyataan itu tidak dapat dibantah lagi.
“Kami sekarang sedang menunggu pemulihan jasad ayahmu, Andi,” imbuh kepala desa. “Kalau memang benar ayahmu siluman babi atau pemilik ilmu pesugihan babi ngepet, tentu dia akan berubah ujud kembali sebagai manusia menjelang kematiannya.”
Tiba-tiba terdengar lagi pekik ibuku, memanggil-manggil nama suaminya atau ayahku, dari dalam kamar. Bersamaan dengan itu kami menyerbu ke dalam kamar. Kemudian kami semua terdiam diri, memperhatikan dengan seksama apa yang bakal terjadi. Sementara itu ayahku, Subadi, tetap tak beranjak dari posisinya semula, seperti saat pertama kulihat tadi.
Keadaan terasa semakin mencekam ketika Mbah Kardi keluar dan masuk lagi sambil membawa pedupaan yang baranya dari tempurung kelapa. Dupa itu diletakkannya tepat di tengah-tengah pintu kamar. Kami segera menyingkir agak ke tepi, merapat ke dinding kamar.
Ketika kemenyan terbakar dan asapnya menyeruak memenuhi kamar, kami men¬dengar suara tangisan ayahku yang sangat menyayat hati. Mbah Kardi lalu meminta segelas air putih yang ke dalamnya sudah dimasukkan daun waru dan reramuan lainnya. Ibuku segera membawakannya, kemudian diletakkan di depan pedupaan. Sementara Mbah Kardi masih terus ber¬komat-kamit sambil memejamkan mata.
“Nasibmu telah ditentukan, Badi. Nasib yang kau pilih sendiri,” ujar Mbah Kardi kemudian seperti berkata pada diri sendiri. Tak lama, kelihatanlah perubahan sosok tubuh babi itu menjadi Subadi, ayahku. Namun luka di perutnya tidak hilang. Luka itu sangat parah, telah merobek perut dan memutuskan usus.
“Apa tak bisa lukanya disembuhkan, Mbah?” Tanya ibu.
Mbah Kardi menggeleng. “Suamimu malah sudah tidak bisa bicara lagi, Inah,” katanya kemudian.
“Kini apa yang harus kita lakukan?” Tanya ibu lagi.
Mbah Kardi mengangkat pundak. Lalu katanya, “tidak ada yang dapat kita lakukan lagi untuknya.”
Mendengar itu ibuku menangis lagi meraung-raung. “Mas Badi, lihatlah anakmu Andi sudah pulang,” teriaknya.
Ayah menatapku dengan pandangan sayu sekali. Bibirnya bergerak-gerak seperti mengatakan sesuatu. Tapi suaranya tidak pernah kedengaran lagi.
“Aku Andi, ayah,” kataku mempertontonkan diri.
“Aku telah lulus, Ayah. Aku telah jadi sarjana, seperti yang Ayah inginkan.”
Aku ingin ayahku gembira menyambut keberhasilanku. Tapi ia tak dapat mengatakan apapun lagi, selain mengangguk-angguk dengan mulut terkatup rapat.
Tak lama setelah ibu menjerit, ayah menutup mata untuk selama-lamanya. Perasaan malu bahwa ayahku babi siluman, kubuang jauh-jauh ketika aku ingin menyempurnakan penguburannya. Kebetulan, tak ada pula orang-orang desa kami, para sahabat dan handai tolan yang menyindirku. Mereka semuanya menyatakan ikut berduka cita dengan kematian ayah, biarpun ayahku ternyata babi ngepet.
Sesudah selamatan hari ke tujuh, aku mendatangi Mbah Kardi dan kepala desa. Aku meminta maaf atas kejadian yang telah menimpa ayahku. Selain itu, kepada mereka aku mohon doa restu, karena beberapa hari lagi akan pergi untuk memenuhi panggilan tugas di luar Jawa.
(Kisah mistis ini seperti yang dituturkan Andi, nama samaran)
Langganan:
Postingan (Atom)