Senin, 01 Desember 2008
MENJADI DUKUN SETELAH 11 TAHUN TINGGAL DI KERAJAAN BUNIAN
Sebuah kisah nyata yang sangat fantasis. Sebelas tahun lamanya dia tinggal di kerajaan Bunian dan membina kehidupan rumah tangga di sana. Saat memutuskan kembali pulang ke dunia nyata, dia pun menjelma menjadi seorang dukun yang andal….
Nek Juhai adalah seorang dukun kampung yang sangat terkenal kemampuan ilmunya. Penyakit atau hal apa saja yang disebabkan oleh gangguan non medis, Insya Allah bisa sembuh berkat tangan dingin perempuan yang telah uzur ini.
Kabarnya, ilmu perdukunan diperoleh Nek Juhai dari saudara suaminya yang berasal dari kerajaan Bunian. Memang, semasa muda dia telah menikah dengan bangsa bunian. Dari pernikahannya dengan orang Bunian ini, Nek Juhai memperoleh empat orang anak, dua laki-laki dan dua orang perempuan. Semua anaknya tinggal bersama mertuanya di kerajaan Bunian. Tidak seorangpun anaknya mau tinggal bersamanya. Meski demikian, pada waktu-waktu tertentu, anak cucunya berkumpul di rumahnya. Kedatangan mereka itu tidak dapat dilihat orang biasa, kecuali oleh mereka yang memiliki kemampuan indera ke enam.
Dua bulan sebelum Nek Juhai meninggal dunia, persisnya di akhir tahun 2007 silam, beliau telah mengobati penyakit salah seorang Bibi Penulis. Penyakit yang diderita sang Bibi sudah diobati melalui medis, tapi tidak juga sembuh. Bahkan, beberapa orang dukun atau paranormal yang mengobatinya, juga tidak berhasil.
Suatu hari, ada orang yang mengatakan pada Bibi, bahwa ada seorang dukun yang dapat menyembuhkan penyakit apa saja, termasuk penyakit yang diderita Bibiku. Orang itu memberikan alamatnya.
Karena Bibi ingin sembuh dari penyakit yang sudah hampir selama tujuh itu, maka Bibi meminta Penulis untuk menemaninya pergi berobat ke rumah Nek Juhai. Maka berangkatlah Penulis bersama Bibi ke rumah sang nenek. Tidak sulit untuk menemukan alamatnya. Semua orang di Kecamatan Babalan, Kabupaten Langkat, Sumut, pasti mengenalnya. Nek Juhai tinggal di rumah yang cukup sederhana dan masih sangat asri lingkungannya.
Saat itu, Nek Juhai menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Beberapa orang pasiennya terlihat antri menunggu giliran untuk diobati penyakitnya. Umumnya yang berobat padanya pasien yang tidak dapat disembuhkan melalui pengobatan medis di rumah sakit. Seperti penyakit yang diderita Bibiku, yang memang diduga kuat termasuk penyakit non medis. Hasil tes darah di laboratorium menunjukkan Bibi tidak menderita penyakit. Fungsi darah, lever, ginjal, paru-paru dan jantungnya normal. Anehnya, setiap pukul 12 siang dan pukul 24 malam, rasa sakit menyerang hampir di seluruh bagian tubuhnya.
Bila malam, sebelum penyakit itu datang, Bibi mendengar suara lolongan anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup, hingga sang anjing itu berada di samping rumah. Gonggongannya membuat bibi meraung-raung ketakutan. Perut bibi seketika terasa seperti ditusuk ribuan jarum, dan kepalanya seperti dipalu.
Yang tak kalah aneh, hanya bibi seorang yang mendengar suara lolongan anjing itu, sedangkan orang lain yang berada di sekitarnya tidak mendengarnya.
“Kau diguna-gunai orang, Nak?” Kata Nek Juhai setelah memeriksa keadaan Bibi.
“Siapa yang melakukannya, Nek?” Tanya Bibi.
Nek Juhai menggelengkan wajahnya. Kabarnya, dia memang tidak pernah mau menyebutkan orang yang melakukan serangan ilmu gaib.
“Tak penting kau ketahui siapa orangnya. Yang penting adalah kau bisa sembuh!” Katanya, setengah berbisik.
Nek Juhai kemudian menyiapkan mangkok kaca berisi air putih, bunga rampai dan jeruk purut. Setelah membaca mantera, jeruk purut dia belah menjadi dua bagian sama besar. Salah satu belahan jeruk dia letakkan di telinga kanannya. Aneh, potongan jeruk ini sepertinya dia pergunakan persis tak ubahnya seperti HP. Rupanya, dia berkomunikasi dengan keluarga suaminya yang berada di alam bunian. Misteri hanya mendengar kata-kata yang diucapkan Nek Juhai saja.
Sesaat setelah selesai berhubungan dengan alam gaib, tiba-tiba ada benda berbentuk bundelan di bungkus kain putih jatuh ke dalam mangkok. Sejenak Penulis terperangah melihatnya. Jelas sekali, bundelan kain itu jatuh dari atas, padahal rumah Nek Juhai atapnya terbuat dari seng dan tidak ada orang yang menjatuhkannya.
Perlahan, Nek Juhai membuka bundelan itu dengan sangat berhati-hati. Setelah terbuka, isinya boneka terbuat dari kayu. Seluruh tubuh boneka ditusuk dengan puluhan jarum dari kepala hingga kaki.
“Boneka ini diumpamakan seperti tubuhmu, Nak!” Kata Nek Juhai menjelaskan.
“Pantaslah jika penyakit Bibi kambuh perut dan kepalanya seperti ditusuk seribu jarum,” gumam Penulis dalam hati.
Nek Juhai lalu membungkus boneka kayu itu dan membakarnya hingga hangus.
“Sebaiknya kau menginap beberapa malam di rumah Nenek. Ada pengobatan lanjutan yang harus kau jalani. Besok pagi sebelum berkumandang suara adzan Subuh, kau harus mandi air bunga rampai,” tutur Nek Juhai. Tentu saja Bibi dan Penulis menyetujuinya.
Malam itu, sengaja Penulis mencarai kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Nek Juhai. Untunglah, dia punya waktu untuk bercerita karena setelah pukul 8 malam, dia memang tidak lagi menerima pasien.
“Kata orang-orang, Nenek bersuamikan orang bunian. Bagaimana ceritanya Nenek bisa bersuamikan orang bunian?” Tanya Penulis. Mendengar pertanyaan ini, Nek Juhai hanya tersenyum.
“Kau mau mengetahui kisah Nenek bersuamikan orang bunian?” Nek Juhai malah balik bertanya.
Penulis tersenyum. “Ya, itulah yang saya dengar dari banyak orang. Saya harap Nenek sudi menceritakannya pada saya,” ujar Penulis.
Nek Juhai menarik nafas berat. Sorot matanya yang teduh itu berubah kosong, seperti menerawang jauh. Lalu, pelan-pelan dia bertutur. Beginilah ringkasan kisahnya…:
Saat aku baru berusia 5 tahun, ayahku meninggal dunia. Setelah ayah meninggal, Ibu memutuskan tetap menjadi janda. Untuk menghidupiku, Ibu bekerja mengambil upahan merumput di sawah tetangga.
Memang, setelah kepergian Ayah, hidupku semakin miskin dan penuh dengan penderitaan. Sehari kadang makan hanya sekali. Paman dan bibiku juga hidupnya miskin. Untuk menghidupi keluarganya saja sulit, apalagi untuk membantu aku dan Ibuku.
Setelah lama mengidap penyakit asma, Ibuku akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Perasaan hatiku sangat sedih, bahkan sampai ada niat untuk bunuh diri. Tapi untunglah hal itu tidak aku lakukan.
Selama berhari-hari aku larut dalam kesedihan. Kepergian Ibu rasanya begitu cepat, Kepada siapa lagi aku harus menggantungkan hidupku?
Suatu hari di suatu pagi, saat hujan gerimis, aku pergi berziarah ke kuburan Ibu. Lama aku duduk termenung di tengah hujan gerimis. Waktu itu, tiba-tiba terdengar suara seorang Ibu menegurku.
“Sudahlah, jangan lagi bersedih. Jika Ibumu tahu kau seperti ini, dia pasti sangat bersedih juga di alam sana!” Kata ibu-ibu itu.
Mendengar ada suara, maka aku sangat terkejut dibuatnya.
“Ibu siapa, mengapa Ibu tiba-tiba ada di sini?” Tanyaku merasa heran. Maklum saja, selama ini aku belum pernah melihat sosok perempuan paruh baya ini. Aku begitu terkesima melihat kecantikan wajahnya. Di desaku sepertinya tidak ada perempuan secantik dia.
“Nama Ibu Habibah,” sahutnya dengan ramah.
Dia lalu tersenyum sambil memandang wajahku. Sorot matanya tajam menyejukan perasaan hatiku. Dari busana yang dipakainya Ibu Habibah, jelas isteri orang kaya. Ini terlihat dari perhiasan emas yang menghiasi leher dan pergelangan tangannya, serta cincin dijari manisnya. Aku kian terkagum-kagum melihatnya.
“Semua yang hidup akan merasakan mati. Beberapa hari lalu Ibumu meninggal dunia, suatu saat kita juga akan mengalami peristiwa yang sama. Kau harus tabah dan ikhlas menerimanya,” kata Ibu Habibah menasehatiku.
“Tapi sekarang aku udah tidak punya siapa-siapa lagi. Hidupku sebatang kara di dunia ini. Rasanya lebih baik aku mati saja,” jawabku berkeluh kesah. Air mataku seketika kembali deras mengalir.
“Siapa bilang kau tidak punya siapa-siapa. Jika kau mau kau bisa tinggal bersama Ibu!” Katanya sambil mengusap rambutku. Hangat kurasakan menjalar ke sekujur tubuhku.
Mendengar Ibu Habibah berkata demikian, aku merasa tidak percaya. Apakah aku sedang bermimpi?
“Benarkah Ibu mau memberiku tumpangan hidup?” Tanyaku sambil menyusut air mata.
Ibu Habibah tersenyum menyejukan. “Percayalah, Ibu pasti akan menganggapmu seperti anak Ibu sendiri. Mari ikut Ibu!” Ajaknya. Dia lalu menuntunku keluar dari areal kuburan.
Di depan tanah pemakaman sudah menunggu mobil sedan mewah. Bagai terhipnotis, aku mengikuti saja ajakan Ibu Habibah, yang menyetir sendiri mobil sedannya.
Sekitar seperempat jam mobil yang dikemudikan Ibu Habibah meninggalkan desaku, ada keanehan yang kurasakan. Semula di kiri kanan jalan aku hanya melihat hamparan persaawhan dan rumah-rumah gedek dan semi permanen milik penduduk. Tapi pemandangan yang kulihat kemudian bertukar menjadi perumahan mewah dan jalan beraspal yang sangat licin. Mobil-mobil mewah hilir mudik di jalan raya. Penduduk yang tinggal di sepanjang jalan sepertinya semua keluarga kaya. Mereka tinggal di perumahan elite lengkap dengan fasilitas kemegahannya. Ada kolam renang dan halaman yang asri.
“Bu, kita sekarang berada di mana?” Tanyaku terheran-heran. Maklum saja, selama ini aku memang tidak pernah melihat rumah-rumah mewah seperti yang ada di depan mataku.
“Juhai, ketahuilah, kau kini berada di alam gaib. Bangsamu menyebut kami orang bunian,” kata Ibu Habibah menjelaskan.
Mendengar penjelasan Ibu Habibah, jantungku berdebar-debar ketakutan.
“Juhai, jangan cemas dan merasa takut. Ibu akan melindungimu dan menjaga keselamatanmu. Ibu beragama Islam dan sudah berulangkali pergi menunaikan ibadah Haji ke tanah suci Mekkah. Kita ini sesungguhnya bersaudara dan persaudaraan sesama muslim itu digambarkan oleh baginda Rasulullah SAW seperti bangunan tubuh kita. Jika ada salah satu anggota tubuh kita sakit, maka anggota tubuh yang lain juga ikut merasakannya,” jawab Ibu Habibah dengan tutur kata lemah lembut. Dia seolah-olah dapat membaca kegelisahan hatiku.
Mendengar Ibu Habibah berkata begitu, perasaan hatiku menjadi tenang kembali.
Mobil pun terus bergerak di atas jalan yang amat licin. Tak berapa lama kemudian, mobil berbelok ke sebuah rumah paling mewah di antara perumahan yang berada di sekitarnya.
“Apakah ini rumah Ibu Habibah?” Bisik hatiku, heran dan kagum.
Halaman rumah itu sangat luas dan tertata rapih dengan bunga-bunga yang indah. Ada juga kolam renang yang berair sangat jernih. Menurut hematku, rumah dinas gubernur saja yang pernah kulihat tidak sebagus dan semewah rumah Ibu Habibah.
“Kita sudah sampai. Ini rumah Ibu!” Kata ibu Habibah. Aku bengong seperti seekor rusa masuk kampung.
Ibu Habibah lalu mengajakku turun dan menuntunku masuk ke beranda rumah. Di depan pintu, seorang pemuda menyambut kedatangan kami.
“Ibu membawa siapa?” Tanya pemuda itu yang sepertinya adalah putera Ibu Habibah. Wajahnya sangat tampan. Di kampungku pasti tidak ada remaja setampan dia.
“Dia bernama Juhai. Ibu temukan dia menangis di pusara kedua orangtuanya,” jawabnya. Lalu sambil melirik ke arahku, Ibu Habibah menyambung, “Juhai, ini anak Ibu. Namanya Haikal!”
Aku dan Haikal kemudian saling berjabat tangan. Ketika itu muncul juga seorang anak berusia 10 yang kemudian kuketahui bernama Haidar. Dia adiknya Haikal.
Saat masuk ke dalam rumah, kulihat ruang tamu rumah Ibu Habibah sungguh megah. Semua perabotan rumahtangga di ruangan itu terbuat dari kayu pilihan dan berukir indah. Aku terkagum-kagum melihatnya.
Ibu Habibah lalu mengajakku ke kamar yang diperuntukkan buatku. Interior dalam kamar ini tak ubahnya seperti kamar tidur puteri raja. Ranjangnya terbuat dari kayu jati dan dilapisi emas, meja rias berukir sangat indah dan bingkai kacanya dilapisi emas. Dalam kamar tidur ini terdapat juga toilet yang harum dan bersih.
Aku juga diperlihatkan baju yang disimpan dalam lemari, yang sepertinya juga telah dipersiapkan buatku. Aku terbelalak melihat baju-baju yang semuanya baru dan terbuat dari sutera itu.
Setelah aku berganti pakaian dan tak lagi terlihat seperti gadis kampung, namun telah menjelma bak seorang puteri, aku diminta menghadap di ruang keluarga. Di ruang ini Ibu Habibah duduk bersama seluruh anggota keluarganya. Disebelahnya duduk Pak Abu Bakar, suaminya.
“Ibu sudah bercerita pada Bapak tentang dirimu. Bapak sangat terharu mendengarnya. Tinggallah bersama kami di sini beberapa waktu yang kau kehendaki. Kami akan mengajarimu ilmu pengobatan berbagai penyakit. Di istana ada beberapa orang tabib. Nanti Bapak akan meminta mereka mengajarimu ilmu pengobatan berbagai penyakit.
Ilmu pengobatan itu penting bagimu sebagai bekal hidupmu di duniamu nanti, jika kau memutuskan untuk tinggal di sana.” Papar Ibu Habibah.
“Bapak mohon tinggallah bersama kami beberapa tahun di sini. Bapak dan Ibu telah sepakat mengangkatmu sebagai anak angkat kami. Kami berdua akan menyayangimu seperti menyayangi anak kandung kami sendiri. Kebetulan kami memang tidak dikarunai anak perempuan. Besok kami akan mengadakan acara pengangkatanmu sebagai anak angkat kami agar warga di sini mengetahuinya,” tambah Pak Abu Bakar suami ibu Habibah.
Pak Abu Bakar ini ternyata salah seorang menteri di kerajaan Bunian. Setiap hari, dia keluar masuk istana raja. Ibu Habibah juga masih kerabat raja. Ketika aku dinobatkan sebagai anak angkat, semua pembesar istana datang menghadirinya, termasuk juga rakyat jelata. Yang sangat membanggakan perasaanku, raja dan permaisurinya turut datang memberikan ucapan selamat.
Pak Abu Bakar mengadakan pesta rakyat, berlangsung selama tiga hari tiga malam. Aku benar-benar merasa menjadi puteri di negeri kayangan. Aku dikenalkan pada kelaurga besar Pak Abu Bakar dan Ibu Habibah. Mereka semuanya baik-baik dan sangat ramah.
Begitulah! Hari-hari kulalui dengan tinggal di dunia orang Bunian. Kehidupan disana seperti kehidupan kita di dunia ini. Hanya, di dunia orang Bunian, matahari selalu bersinar cerah, dan udara dingin sepanjang siang dan malam. Disana tidak ada polusi udara, karena pepohonan tumbur subur. Lingkungan hidup tertata rapi.
Tinggal bersama keluarga Pak Abu Bakar, selain bermain, menikmati masa remaja bersama Haikal dan gadis-gadis sebayaku, pagi hari aku juga belajar ilmu pengobatan dari tabib istana yang datang ke rumah.
Di sana juga terdapat tempat rekreasi yang berada di luar kota. Aku bersama Haikal sering mengunjungi tempat rekreasi tersebut, hingga akhirnya tumbuh benih cinta di hati kami berdua. Rupanya, Pak Abu Bakar dan Ibu Habibah mengetahui hal ini. Sampai suatu malam, aku dan Haikal dipanggil untuk menghadap mereka. Duduk di hadapan Ibu Habibah dan Pak Abu Bakar, aku menundukkan wajah sebagai orang yang bersalah. Denyut jantungku berdebar-debar tidak beraturan.
“Haikal, Ayah ingin bertanya kepadamu. Mohon dijawab dengan jujur. Apakah kau mencintai Juhai?” Tanya Pak Abu Bakar tiba-tiba.
“Benar, Ayah! Haikal sangat mencintainya,” jawab Haikal.
“Bagaimana denganmu Juhai? Apakah kau mencintai Haikal?” Tanya Ibu Habibah. Aku hanya mengangguk malu-malu.
“Karena kalian sudah saling mencintai, Ayah dan Ibu akan menikahkan kalian besok pagi,” kata Pak Abu Bakar memutuskan.
Aku terkejut mendengar keputusan Pak Abu Bakar. “Mengapa pernikahan itu dilangsungkan mendadak?” Bisik hatiku.
Pernikahan itu benar-benar terjadi. Saat aku membuka jendela kamar, di halaman rumah sudah siap perlengkapan pesta. Bahkan, kamar tidurku sudah dihias seperti laiknya kamar pengantin. “Kapan mereka melakukannya?” Bisik hatiku terheran-heran.
Singkat cerita, akad nikah telah siap. Saat itu aku teringat pada almarhum Ayah dan Ibu. Aku menangis terharu dan bahagia, lalu memeluk Ibu Habibah yang sebentar lagi akan menjadi mertuaku.
Resepsi pernikahan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Raja dan permaisuri kerajaan Bunian datang bersama semua pembesar istana. Mereka mengucapkan selamat berbahagia dan mendoakan agar perkawinan kami langgeng. Rakyat di kerajaan Bunian larut dalam kegembiraan menikmati makanan dan hiburan selama tujuh hari tujuh malam.
Demikianlah kisah yang kujalani di negeri Bunian. Setelah sepuluh tahun membina rumah tangga, aku dikarunai dua orang putera dan dua orang puteri. Hingga, suatu malam, nenek bermimpi bertemu dengan almarhum ayah dan ibu. Dalam mimpi ini mereka menangis karena kuburnya tidak pernah aku ziarahi. Aku sampai menangis dan berjanji pada mereka akan datang berziarah.
“Juhai, kau mimpi apa?” Tanya Mas Haikal. Kuceritakan mimpi yang barusan kualami.
“Besok kita pergi berziarah. Bawa anak-anak,” kata suamiku. Mendengar suami berkata begitu, aku merasa bahagia.
Ketika kami berziarah di kuburan kedua orangtua, ternyata ada beberapa warga melihat kehadiranku. Mereka tidak percaya. Tapi setelah kuyakinkan, mereka baru percaya bahwa aku adalah Juhai. Rupanya, aku telah menghilang selama 11 tahun lebih.
Berita kepulanganku setelah 11 tahun menghilang dari desa, menghebohkan warga. Bibiku, anak-anak keponakanku, semua menangis dan menyambutku dengan penuh haru. Mereka sampai mengadakan kenduri selamatan dan meminta agar aku tinggal di desa. Berat rasanya untuk menolak permintaan mereka, juga berat meninggalkan suami dan anak-anak yang tinggal di alam berbeda.
“Keluargamu memintamu agar kau tinggal bersama mereka. Sebaiknya kau penuhi keinginan mereka,” kata suamiku menjelang tidur di dalam kamar rumah Bibi. Tentu saja tak ada seorang pun yang bisa melihat kehadiran suami dan anak-anakku kecuali aku sendiri.
“Bagaimana dengan dirimu dan anak-anak kita?” Tanyaku.
“Anak-anak biarlah tinggal bersama neneknya. Karena kehidupan mereka ada di sana bukan disini. Sedangkan aku bisa setiap saat berada di sisimu, dan kau bisa datang menjenguk anak-anak kita setiap saat,” jawab suamiku.
Tapi aku tidak dapat mengambil keputusan saat itu. Kepada keluarga di desa, aku bilang akan bermusyawarah dahulu dengan suami dan mertua. Semoga mereka mengizinkanku tinggal di desa kelahiranku.
Syukur Alhamdulillah, 11 tahun setelah aku pergi meninggalkan desa, kehidupan ekonomi Paman dan Bibi membaik. Mereka sudah bisa membangun rumah gedung. Keponakanku juga bisa sekolah sampai meraih gelar sarjana. Tak hanya itu, jalan-jalan dikampungku juga sudah dibangun aspal. Bahkan, Paman juga berjanji akan membuatkan rumah buatku di tanah pusaka peninggalan almarhum ayahku jika memang aku tinggal menetap di desa\.
Ketika kuutarakan niat kembali ke desa kelahiranku, Ayah dan Ibu mertuaku merestuinya.
“Jika itu sudah menjadi keputusanmu dan suami merestuinya, kami tidak bisa bilang apa-apa kecuali mendukung rencanamu. Di desamu kau bisa mengobati berbagai penyakit yang diderita warga disana,” kata Ayah mertuaku.
“Terima kasih, Pak!” Jawabku sambil sujud di kakinya.
Setelah berpamitan, aku diantar mobil sedan yang dikemudikan suamiku. Ya, aku memilih pulang ke kampung halamanku yang pernah aku tinggalkan belasan tahun lamanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar