Sungai Opak, Tempat Keramat Untuk Mengalap Berkah
Yogyakarta - Triyono dan Maryono, tewas setelah melakukan tirakat kungkum (berendam) di Sungai Opak, Desa Kebonagung, Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Apa keistimewaan Sungai Opak yang menjadi tempat bersemedi dua pemuda naas itu? Secara fisik Sungai Opak tidak ada bedanya dengan sungai-sungai di jawa lainnya. Airnya tidak terlalu jernih agak kehijau-hijauan dengan lebar sekitar 30 meter. Tepian sungai ini dipenuhi oleh semak belukar dan pohon bambu. Namun siapa sangka, banyak orang menganggap Sungai Opak mempunyai kekuatan tersendiri. Mereka yakin jika melakukan ritual kungkum di sungai ini bisa meraih apa yang diinginkan, baik itu jodoh maupun pekerjaan. "Mereka yang melakukan tiakat kungkum di Sungai Opak yakin bisa mendapatkan berkah. Yang sudah bekerja kariernya menjadi lebih baik dan yang masih nganggur bisa segera mendapat pekerjaan," kata Suharsono, warga setempat, Jumat (30/3/2007). Tirakat kungkum di pertemuan dua sungai memang sering dilakukan masyarakat Jawa. Seperti yang dilakukan oleh Triyono, Maryoko dan orangtuanya. Mereka sering melakukan tirakat kungkum (berendam) tiap malam Jumat atau malam Selasa. Terlebih bila malam-malam Jumat atau Selasa itu bertepatan dengan hari pasaran Kliwon (tanggalan Jawa), dianggap lebih afdhal untuk melakukan tirakat kungkum. Keinginan yang diharapkan pun diyakini bakal terkabul. Di Yogyakarta, ada sejumlah tempat keramat yang biasa digunakan untuk tirakat kungkum. Tempat-tempat itu antara lain, pertemuan Sungai Kontheng dan Sungai Bedhog di Desa Tamantrto Kasihan Bantul, pertemuan Sungai Gajahwong dan Sungai Opak di Wonokromo Pleret, pertemuan Sungai Oya dan Sungai Opak di Srihardono Pundong, serta pertemuan Sungai Code dan Opak di Trimulyo Jetis Bantul dan lain-lain. Di tempat-tempat keramat ini, para pencari berkah rela berendam di dinginnya malam hingga berjam-jam. Meski terkadang nyawa mereka menjadi taruhan, seperti yang dialami Triyono dan Maryoko. (djo/djo)
Dua pemuda tampak khusyuk berdoa saat Surabaya Post memasuki cungkup makam Syekh Asngari atau Sunan Bejagung, Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, petang.
Beberapa detik kemudian keduanya beringsut, lalu menyandarkan tubuhnya ke tiang cungkup. Mungkin mereka merasa terusik dengan kedatangan Surabaya Post.
Sorot mata mereka memancarkan kecurigaan. Benar saja, kedua pemuda itu bahkan enggan menyebut namanya saat Surabaya Post mencoba beramah-tamah. Mereka hanya mengaku berasal dari Desa Sumberejo, Kecamatan Widang.
Menurut mereka, sudah dua hari keduanya berada di makam Sunan Bejagung. "Kami merasa tidak yakin lolos CPNS. Saingannya banyak sedang kami tidak punya uang untuk meminta bantuan orang yang dekat pejabat. Dengan tirakat saya berharap dapat kemudahan mengerjakan soal ujian CPNS," ujar seorang dari mereka.
Kedua pemuda tersebut yakin makam Sunan Bejagung adalah tempat tepat untuk melakukan ritual. Menurut mereka, banyak yang terselesaikan masalahnya setelah melakukan ritual tirakatan di tempat tersebut.
"Saya mendapat saran tetangga, katanya makan Sunan Bejagung memiliki karomah lebih tinggi dibanding makam wali-wali lain di Tuban. Ya, saya mencoba ke mari," ujarnya.
Sementara pengurus makam Sunan Bejagung, Iskandar, mengatakan, sang sunan merupakan salah seorang penyebar Islam yang diyakini sebagai nenek moyang masyarakat Kecamatan Semanding.
Makam ini selalu dipadati peziarah menjelang event-event penting seperti ujian CPNS, pemilu, pilkades dan sebagainya. Bahkan tak jarang, kata Iskandar, pejabat datang agar bisa naik jabatan. "Mereka percaya karomah Syekh Asy'ari bisa membantu memudahkan tercapainya cita-cita," terang Iskandar.
Selain makam Sunan Bejagung atau Syekh Asy'ari, para pendaftar CPNS juga tampak memadati makam-makam wali lainnya seperti makam Ibrahim Ash-Shomarqondy di Desa Kradenan, Kecamatan Palang, makam Syekh Lemah-bang atau Siti Jenar di Kelurahan Gedong Ombo, Kecamatan Semanding, makam Syekh Geseng di Desa Gesing, Kecamatan Semanding, dan beberapa makam wali lainnya.
Bukan hanya itu, tempat-tempat keramat selain makam juga tampak didatangi, kendati tidak seramai di makam-makam wali tersebut.
Taufik (24 tahun), warga Desa Jenu, Kecamatan Jenu yang ditemui di petilasan wali Goa Gembul, Desa Jadi Kecamatan Semanding, misalnya, mengaku lebih sreg ritual di tempat keramat non makam wali. Alasannya, tempat seperti itu biasanya tidak banyak dikunjungi pelaku ritual. "Kalau tirakat di sini bisa lebih tenang," kata Taufik.
Menanggapi fenomena tersebut, Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum Desa Sumurgung Kecamatan Kota Tuban, KH Yahya Romli, SH, mengatakan, ramainya pendaftar CPNS ritual di tempat-tempat keramat sebenarnya bukan hal aneh.
Menurutnya, ziarah ke tempat-tempat keramat memang tidak dilarang, asal tahu batas-batasnya. "Kalau untuk meminta sesuatu, jelas dilarang agama. Itu menunjukkan masyarakat kita masih belum memiliki rasa percaya diri," katanya.
Beberapa detik kemudian keduanya beringsut, lalu menyandarkan tubuhnya ke tiang cungkup. Mungkin mereka merasa terusik dengan kedatangan Surabaya Post.
Sorot mata mereka memancarkan kecurigaan. Benar saja, kedua pemuda itu bahkan enggan menyebut namanya saat Surabaya Post mencoba beramah-tamah. Mereka hanya mengaku berasal dari Desa Sumberejo, Kecamatan Widang.
Menurut mereka, sudah dua hari keduanya berada di makam Sunan Bejagung. "Kami merasa tidak yakin lolos CPNS. Saingannya banyak sedang kami tidak punya uang untuk meminta bantuan orang yang dekat pejabat. Dengan tirakat saya berharap dapat kemudahan mengerjakan soal ujian CPNS," ujar seorang dari mereka.
Kedua pemuda tersebut yakin makam Sunan Bejagung adalah tempat tepat untuk melakukan ritual. Menurut mereka, banyak yang terselesaikan masalahnya setelah melakukan ritual tirakatan di tempat tersebut.
"Saya mendapat saran tetangga, katanya makan Sunan Bejagung memiliki karomah lebih tinggi dibanding makam wali-wali lain di Tuban. Ya, saya mencoba ke mari," ujarnya.
Sementara pengurus makam Sunan Bejagung, Iskandar, mengatakan, sang sunan merupakan salah seorang penyebar Islam yang diyakini sebagai nenek moyang masyarakat Kecamatan Semanding.
Makam ini selalu dipadati peziarah menjelang event-event penting seperti ujian CPNS, pemilu, pilkades dan sebagainya. Bahkan tak jarang, kata Iskandar, pejabat datang agar bisa naik jabatan. "Mereka percaya karomah Syekh Asy'ari bisa membantu memudahkan tercapainya cita-cita," terang Iskandar.
Selain makam Sunan Bejagung atau Syekh Asy'ari, para pendaftar CPNS juga tampak memadati makam-makam wali lainnya seperti makam Ibrahim Ash-Shomarqondy di Desa Kradenan, Kecamatan Palang, makam Syekh Lemah-bang atau Siti Jenar di Kelurahan Gedong Ombo, Kecamatan Semanding, makam Syekh Geseng di Desa Gesing, Kecamatan Semanding, dan beberapa makam wali lainnya.
Bukan hanya itu, tempat-tempat keramat selain makam juga tampak didatangi, kendati tidak seramai di makam-makam wali tersebut.
Taufik (24 tahun), warga Desa Jenu, Kecamatan Jenu yang ditemui di petilasan wali Goa Gembul, Desa Jadi Kecamatan Semanding, misalnya, mengaku lebih sreg ritual di tempat keramat non makam wali. Alasannya, tempat seperti itu biasanya tidak banyak dikunjungi pelaku ritual. "Kalau tirakat di sini bisa lebih tenang," kata Taufik.
Menanggapi fenomena tersebut, Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Ulum Desa Sumurgung Kecamatan Kota Tuban, KH Yahya Romli, SH, mengatakan, ramainya pendaftar CPNS ritual di tempat-tempat keramat sebenarnya bukan hal aneh.
Menurutnya, ziarah ke tempat-tempat keramat memang tidak dilarang, asal tahu batas-batasnya. "Kalau untuk meminta sesuatu, jelas dilarang agama. Itu menunjukkan masyarakat kita masih belum memiliki rasa percaya diri," katanya.
GUNUNG BROMO TEMPAT UPACARA YANG DIKERAMATKAN BAGI PUNDUDUK TENGGER
Pos
Bromo diambil dari seorang Dewa Utama Hindu yang bernama BRAHMA, gunung tersebut masih aktif seperti gunung berapi yang lain. Sebagai tempat wisata Gunung Bromo adalah primadona dari Jawa Timur yang letaknya berada di empat wilayah yaitu Probolinggo, Lumajang Pasuruan Malang.
Gunung Bromo mempunyai ketinggian sekitar 2.392 meter dari permukaan laut. Posisi Gunung Bromo berhadapan dengan lembah dan lautan pasir yang luasnya sekitar 10 km, garis tengahnya sekitar 800 meter (utara – selatan) dan 600 Meter (barat – timur)
Untuk menuju lokasi Bromo perjalanannya begitu sulit berdebu karena harus melalui lautan pasir yang begitu luas. Maka dari itu kendaraan biasa tidak disarankan untuk melewati daerah tersebut. Jadi harus menggunakan kendaraan JEEP atau kuda yang sudah dipersiapkan oleh pengelolah wisata, atau pungunjung bisa berjalan kaki menuju daerah wisata tersebut. Meskipun perjalanannya begitu sulit dan berdebu tapi wisatawan dalam maupun luar negeri tidak merasa lelah ,capek karena yang dilewati pemandangannya begitu indah melihat padang pasir yang begitu luas, dan kanan maupun kiri diapit oleh pegunungan. Kita kalau sudah ada disana kita merasa kecil, disitulah kita seakan akan ada dalam genggamanNYA.
Masyarakat disana Gunung Bromo dianggap sebagai tempat yang suci, maka dari itu setiap tahun sekali ditempati upacara YADNYA KASODO. Pusat ritual tersebut ditempatkan di pure dan dilanjutkan kepuncak Bromo , upacara tersebut dilaksanakan ditengah malam, yang bertepatan pada tanggal 14 -15 dibulan Kasodo menurut kalender jawa yang bertepatan bulan purnama.
Pada sa’at ritual tersebut masyarakat suku tengger memohon kepada TUHAN YANG MAHA ESA kemudahan dalam segala hal, kesembuhan penyakit, panen berlimpah ruah, tolak balak dll bagi yang melempar kekawah Bromo, sementara masyarakat yang lain turun ketebing kawah sambil menangkap sesaji sebagai persembahan dari sang Maha Pencipta.
Gunung Bromo mempunyai ketinggian sekitar 2.392 meter dari permukaan laut. Posisi Gunung Bromo berhadapan dengan lembah dan lautan pasir yang luasnya sekitar 10 km, garis tengahnya sekitar 800 meter (utara – selatan) dan 600 Meter (barat – timur)
Untuk menuju lokasi Bromo perjalanannya begitu sulit berdebu karena harus melalui lautan pasir yang begitu luas. Maka dari itu kendaraan biasa tidak disarankan untuk melewati daerah tersebut. Jadi harus menggunakan kendaraan JEEP atau kuda yang sudah dipersiapkan oleh pengelolah wisata, atau pungunjung bisa berjalan kaki menuju daerah wisata tersebut. Meskipun perjalanannya begitu sulit dan berdebu tapi wisatawan dalam maupun luar negeri tidak merasa lelah ,capek karena yang dilewati pemandangannya begitu indah melihat padang pasir yang begitu luas, dan kanan maupun kiri diapit oleh pegunungan. Kita kalau sudah ada disana kita merasa kecil, disitulah kita seakan akan ada dalam genggamanNYA.
Masyarakat disana Gunung Bromo dianggap sebagai tempat yang suci, maka dari itu setiap tahun sekali ditempati upacara YADNYA KASODO. Pusat ritual tersebut ditempatkan di pure dan dilanjutkan kepuncak Bromo , upacara tersebut dilaksanakan ditengah malam, yang bertepatan pada tanggal 14 -15 dibulan Kasodo menurut kalender jawa yang bertepatan bulan purnama.
Pada sa’at ritual tersebut masyarakat suku tengger memohon kepada TUHAN YANG MAHA ESA kemudahan dalam segala hal, kesembuhan penyakit, panen berlimpah ruah, tolak balak dll bagi yang melempar kekawah Bromo, sementara masyarakat yang lain turun ketebing kawah sambil menangkap sesaji sebagai persembahan dari sang Maha Pencipta.
Pos
Apabila Makam Keramat Membela Diri
Ada kuburan bisa “membela diri” di Tanjung Priok. Ribuan orang yang bernafsu akan menggusur makam keramat terkena tulah. Korban berjatuhan. Luka-luka dan konon korban jiwa tak terelakkan.
Masyarakat dan pengagum sohibul makam tersinggung. Harga diri dan ketakziman pada tokoh yang wafat abad ke 18 itu menggerakkan mereka melakukan perlawanan.
Terlanjur, mereka terlanjur menganggap makam itu keramat, sehingga tidak boleh ada upaya paksa untuk menodai kekeramatannya.
Terlanjur, aparat Satpol PP terlanjur taat pada penguasa, sehingga resiko berhadap-hadapan dengan batu, kayu bahkan clurit dan pedang mereka hadapi. Banyak darah berceceran. Banyak kepala yang bocor dan kulit terluka robek dan lebam.
Banyak mobil dibakar. Yang pasti banyak amarah meluap-luap. Saling menerkam. Saling melempar. Saling memukul dan melukai. Melihat tayangan kerusuhan di televisi itu, terasa begidik. Salah satu pasalnya adalah; kuburan yang dikeramatkan dan putusan pengadilan.
Dari sisi iman, saya percaya bahwa orang rela mati demi keimanannya.
Saya percaya, masih banyak umat Islam yang begitu takzim pada seorang ulama meskipun ketakziman itu berpindah pada kuburannya. Mengingat jasanya yang besar dan kiprahnya bagi kelanggengan dakwah Islam.
Makamnya diziarahi dan do’a dikirimkan. Karena begitu takzimnya, bahkan do’a dan permintaan berbalik arah. Karena anggapan keramatnya, do’a dan permintaan dalam ziarah bukan lagi dipanjatkan untuk kesejahteraan penghuni kubur. Malah mereka yang datang, mereka yang hidup, mereka yang segar bugar, meminta “sesuatu” kepada orang mati. Dan seolah dalam kasus Priok, para pengagum itu bahkan rela mati demi kekeramatan kuburan. Terlanjur, mereka terlanjur menganggapnya keramat.
Bila dicermati, banyak keprihatinan yang menggelikan yang ditunjukkan sekelompok orang Islam di negara kita. Ulama yang masih hidup dan berkhidmat dalam satu lembaga yang memberikan nasehat dari berbagai kerusakan malah disebut (maaf) ”tolol”, ”goblok” hanya karena tidak sejalan dengan fahamnya yang liberal.
Dinasehati bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan, lebih banyak mudharatnya, termasuk kategori tabdzir malah diplintir sebagai fatwa mubadzir dan fatwa pesanan pihak asing. Maka, fatwa ulama menjadi bahan tertawaan, ejekan dan dianggap angin lalu oleh sebab ulama memberi nasehat atas perilaku seronok dan porno seperti dalam kasus tayangan televisi atau film.
Tapi kasus makam keramat Mbah Priok, adalah kebalikannya. Tanpa arwah beliau berfatwa apa-apa pun, orang rela berkelahi untuk menjaga muru’ahnya. Terlanjur, mereka terlanjur menganggapnya keramat. Mengapa? Karena mereka menggangapnya kuburan keramat seperti iman atau aqidah.
Pernah satu kali saya diajak tanpa sengaja ikut berkunjung ke makam Mbah Priok. Hanya saja, saya tidak berkenan masuk sebagaimana lazimnya para peziarah. Bukan karena ”anti” ziarah. Bukan.
Tapi karena ada peraturan nomor lima yang harus dipatuhi oleh para peziarah yang terpampang di muka gerbang makam ulama kelahiran Palembang itu. Peraturan nomor lima itu, saya duga akan menodai keyakinan saya apabila saya patuhi. Peraturan nomor lima itu ”mengahantui” iman saya, sebab berbunyi :
”Dilarang mendo’akan sohibul maqam kecuali meminta do’a kepada shohibul maqam. Di sini maqam wali Allah, jangan meminta do’a sembarangan ...”
Kepada pengurus makam saya meminta penjelasan sekedar klarifikasi. Apa kira-kira maksudnya, jangan-jangan hanya persepsi saya yang keliru. Dengan cukup fasih, pengurus makam yang masih belia itu menjelaskan:
”Yaa ..., kita jangan mendo’akan Mbah Priok. Kita yang harus minta do’a kepadanya”.
”Mengapa begitu?”, saya seolah penasaran.
”Beliau kan wali. Sudah jaminan surga. Tidak pantas dido’akan. Kita lah yang pantas meminta do’a kepadanya sebab kita belum jaminan masuk surga”.
”O, begitu ya. Terima kasih”.
Saya tidak berkenan masuk tetapi tetap melanggar peraturan nomor lima. Saya tetap berdo’a kepada Allah di luar gerbang makam memohonkan kebaikan untuk Mbah Priok semoga ajasa-jasanya menyebarkan Islam di Jakarta bagian utara menjadi catatan amal soleh yang mengantarkannya kelak ke Firdaus.
Saya tidak berkenan meminta apapun kepada arwahnya. Alhamdulillah, saya tidak merasa kualat sampai hari ini. Saya masih sehat dan masih bisa menulis meskipun butir terakhir dari peraturan itu ada berbunyi:
”Demikian. Berhati-hatilah mengenai nazar dan janji-janji kepada pengurus maqam dan patuhilah peraturan-peraturan yang tertera di papan ini (melanggar kualat)”.
Soal kuburan memang soal orang mati. Tetapi justeru banyak orang hidup tergelincir dan terpelanting terpuruk ke dalam kubangan syirik dalam aqidah. Bahkan tragedi di makam Mbah Priok kemarin, sudah menjurus kepada syirik sosial pula berupa anarkhisme dan kesewenang-wenangan. Wajarlah jika Rasulullah sendiri wanti-wanti soal kuburan dan ziarah.
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaknat pelakunya (yakni orang-orang yang suka mengagungkan kuburan). Terkadang beliau menyatakan, “Demikian besar murka Allah kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan mereka agar mendapatkan murka dari Allah Subhanahu wa Ta'ala karena apa yang mereka perbuat termasuk perbuatan maksiat. Yang demikian ini terdapat di dalam kitab-kitab Shahih.
Terkadang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang (dengan keras) perbuatan tersebut, terkadang mengutus seseorang untuk menghancurkannya, terkadang menyebutkan bahwa hal itu termasuk dari perbuatan Yahudi dan Nasrani, terkadang beliau menyatakan, “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai berhala.” Terkadang menyatakan, “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat ied.”
Wajarlah pula dalam riwayat Imam Nasa’i, lain waktu Rasulullah pernah menegaskan soal ini, "... (Dulu) Aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) barangsiapa yang ingin berziarah maka berziarahlah dan jangan mengatakan perkataan yang keji."
Ziarah kubur sebagaimana tuntunan Nabi, bermanfaat untuk mengingat mati. Sebab sesungguhnya, rumah masa depan bagi kita hanya seluas 1 x 1 meter persegi. Itulah kubur dengan kematian sebagai pintunya.
Itulah peristirahatan sementara bukan yang terakhir sebelum sampai pada akhirat menuju pintu surga atau neraka. Karenanya jangan sampai soal kubur malah membuat peziarah semakin tidak mungkin masuk surga sebab jatuh ke jurang syirik yang teramat dalam sebab taqdis pada kuburan yang menyimpang.
Huru-hara, korban luka, darah berceceran, manusia menyiksa manusia karena soal persepsi kuburan keramat dan alasan pengadilan telah terbukti menyengsarakan banyak orang di dunia.
Dari sisi nalar sehat, saya tidak percaya hal itu telah terjadi. Saya tidak percaya aparat yang menikmati gaji dari uang rakyat, mementung rakyatnya sendiri. Saya juga tidak percaya, kelompok masyarakat muslim menyerang tanpa memikirkan hati nurani dan akhlak yang diajarkan agamanya.
Mengenang Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Allahuyarham, patutlah kita bermunajat, ”Allaahummaghfir lahu warhamhu wa ’aafihi wa’fu ’anhu ...”. Cukup. Selebihnya adukan segala persoalan dan permintaan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’aala. Wallaahu a’lam.
Masyarakat dan pengagum sohibul makam tersinggung. Harga diri dan ketakziman pada tokoh yang wafat abad ke 18 itu menggerakkan mereka melakukan perlawanan.
Terlanjur, mereka terlanjur menganggap makam itu keramat, sehingga tidak boleh ada upaya paksa untuk menodai kekeramatannya.
Terlanjur, aparat Satpol PP terlanjur taat pada penguasa, sehingga resiko berhadap-hadapan dengan batu, kayu bahkan clurit dan pedang mereka hadapi. Banyak darah berceceran. Banyak kepala yang bocor dan kulit terluka robek dan lebam.
Banyak mobil dibakar. Yang pasti banyak amarah meluap-luap. Saling menerkam. Saling melempar. Saling memukul dan melukai. Melihat tayangan kerusuhan di televisi itu, terasa begidik. Salah satu pasalnya adalah; kuburan yang dikeramatkan dan putusan pengadilan.
Dari sisi iman, saya percaya bahwa orang rela mati demi keimanannya.
Saya percaya, masih banyak umat Islam yang begitu takzim pada seorang ulama meskipun ketakziman itu berpindah pada kuburannya. Mengingat jasanya yang besar dan kiprahnya bagi kelanggengan dakwah Islam.
Makamnya diziarahi dan do’a dikirimkan. Karena begitu takzimnya, bahkan do’a dan permintaan berbalik arah. Karena anggapan keramatnya, do’a dan permintaan dalam ziarah bukan lagi dipanjatkan untuk kesejahteraan penghuni kubur. Malah mereka yang datang, mereka yang hidup, mereka yang segar bugar, meminta “sesuatu” kepada orang mati. Dan seolah dalam kasus Priok, para pengagum itu bahkan rela mati demi kekeramatan kuburan. Terlanjur, mereka terlanjur menganggapnya keramat.
Bila dicermati, banyak keprihatinan yang menggelikan yang ditunjukkan sekelompok orang Islam di negara kita. Ulama yang masih hidup dan berkhidmat dalam satu lembaga yang memberikan nasehat dari berbagai kerusakan malah disebut (maaf) ”tolol”, ”goblok” hanya karena tidak sejalan dengan fahamnya yang liberal.
Dinasehati bahwa rokok berbahaya bagi kesehatan, lebih banyak mudharatnya, termasuk kategori tabdzir malah diplintir sebagai fatwa mubadzir dan fatwa pesanan pihak asing. Maka, fatwa ulama menjadi bahan tertawaan, ejekan dan dianggap angin lalu oleh sebab ulama memberi nasehat atas perilaku seronok dan porno seperti dalam kasus tayangan televisi atau film.
Tapi kasus makam keramat Mbah Priok, adalah kebalikannya. Tanpa arwah beliau berfatwa apa-apa pun, orang rela berkelahi untuk menjaga muru’ahnya. Terlanjur, mereka terlanjur menganggapnya keramat. Mengapa? Karena mereka menggangapnya kuburan keramat seperti iman atau aqidah.
Pernah satu kali saya diajak tanpa sengaja ikut berkunjung ke makam Mbah Priok. Hanya saja, saya tidak berkenan masuk sebagaimana lazimnya para peziarah. Bukan karena ”anti” ziarah. Bukan.
Tapi karena ada peraturan nomor lima yang harus dipatuhi oleh para peziarah yang terpampang di muka gerbang makam ulama kelahiran Palembang itu. Peraturan nomor lima itu, saya duga akan menodai keyakinan saya apabila saya patuhi. Peraturan nomor lima itu ”mengahantui” iman saya, sebab berbunyi :
”Dilarang mendo’akan sohibul maqam kecuali meminta do’a kepada shohibul maqam. Di sini maqam wali Allah, jangan meminta do’a sembarangan ...”
Kepada pengurus makam saya meminta penjelasan sekedar klarifikasi. Apa kira-kira maksudnya, jangan-jangan hanya persepsi saya yang keliru. Dengan cukup fasih, pengurus makam yang masih belia itu menjelaskan:
”Yaa ..., kita jangan mendo’akan Mbah Priok. Kita yang harus minta do’a kepadanya”.
”Mengapa begitu?”, saya seolah penasaran.
”Beliau kan wali. Sudah jaminan surga. Tidak pantas dido’akan. Kita lah yang pantas meminta do’a kepadanya sebab kita belum jaminan masuk surga”.
”O, begitu ya. Terima kasih”.
Saya tidak berkenan masuk tetapi tetap melanggar peraturan nomor lima. Saya tetap berdo’a kepada Allah di luar gerbang makam memohonkan kebaikan untuk Mbah Priok semoga ajasa-jasanya menyebarkan Islam di Jakarta bagian utara menjadi catatan amal soleh yang mengantarkannya kelak ke Firdaus.
Saya tidak berkenan meminta apapun kepada arwahnya. Alhamdulillah, saya tidak merasa kualat sampai hari ini. Saya masih sehat dan masih bisa menulis meskipun butir terakhir dari peraturan itu ada berbunyi:
”Demikian. Berhati-hatilah mengenai nazar dan janji-janji kepada pengurus maqam dan patuhilah peraturan-peraturan yang tertera di papan ini (melanggar kualat)”.
Soal kuburan memang soal orang mati. Tetapi justeru banyak orang hidup tergelincir dan terpelanting terpuruk ke dalam kubangan syirik dalam aqidah. Bahkan tragedi di makam Mbah Priok kemarin, sudah menjurus kepada syirik sosial pula berupa anarkhisme dan kesewenang-wenangan. Wajarlah jika Rasulullah sendiri wanti-wanti soal kuburan dan ziarah.
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melaknat pelakunya (yakni orang-orang yang suka mengagungkan kuburan). Terkadang beliau menyatakan, “Demikian besar murka Allah kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai masjid.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan mereka agar mendapatkan murka dari Allah Subhanahu wa Ta'ala karena apa yang mereka perbuat termasuk perbuatan maksiat. Yang demikian ini terdapat di dalam kitab-kitab Shahih.
Terkadang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang (dengan keras) perbuatan tersebut, terkadang mengutus seseorang untuk menghancurkannya, terkadang menyebutkan bahwa hal itu termasuk dari perbuatan Yahudi dan Nasrani, terkadang beliau menyatakan, “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai berhala.” Terkadang menyatakan, “Jangan kalian menjadikan kuburanku sebagai tempat ied.”
Wajarlah pula dalam riwayat Imam Nasa’i, lain waktu Rasulullah pernah menegaskan soal ini, "... (Dulu) Aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) barangsiapa yang ingin berziarah maka berziarahlah dan jangan mengatakan perkataan yang keji."
Ziarah kubur sebagaimana tuntunan Nabi, bermanfaat untuk mengingat mati. Sebab sesungguhnya, rumah masa depan bagi kita hanya seluas 1 x 1 meter persegi. Itulah kubur dengan kematian sebagai pintunya.
Itulah peristirahatan sementara bukan yang terakhir sebelum sampai pada akhirat menuju pintu surga atau neraka. Karenanya jangan sampai soal kubur malah membuat peziarah semakin tidak mungkin masuk surga sebab jatuh ke jurang syirik yang teramat dalam sebab taqdis pada kuburan yang menyimpang.
Huru-hara, korban luka, darah berceceran, manusia menyiksa manusia karena soal persepsi kuburan keramat dan alasan pengadilan telah terbukti menyengsarakan banyak orang di dunia.
Dari sisi nalar sehat, saya tidak percaya hal itu telah terjadi. Saya tidak percaya aparat yang menikmati gaji dari uang rakyat, mementung rakyatnya sendiri. Saya juga tidak percaya, kelompok masyarakat muslim menyerang tanpa memikirkan hati nurani dan akhlak yang diajarkan agamanya.
Mengenang Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Allahuyarham, patutlah kita bermunajat, ”Allaahummaghfir lahu warhamhu wa ’aafihi wa’fu ’anhu ...”. Cukup. Selebihnya adukan segala persoalan dan permintaan hanya kepada Allah subhanahu wa ta’aala. Wallaahu a’lam.
Ziarah ke Makam Keramat di Kabupaten Pandeglang Banten
1. Makam Syekh Mansur di Cikadueun
2. Makam Syekh Abdul Jabbar di Karangtanjung
3. Makam Syekh Asnawi di Caringin, Banten
4. Makam Syekh Daud di Labuan
5. Makam Syekh Rako di Gunung Karang
6. Makam Syekh Royani di Kadupinang
7. Makam Syekh Armin di Cibuntu
8. Makam Abuya Dimyati di Cidahu
9. Makam Ki Bustomi di Cisantri
10. Makam Nyimas Gandasari di Panimbang.
Aktivitas ziarah ke makam-makam keramat tersebut biasanya meningkat tajam pada bulan Mulud (Rabiul Awal, bulan lahirnya Nabi Muhammad Saw.), menjelang bulan Ramadan, sehabis Lebaran, pada malam Jumat, dan pada hari-hari libur. Tetapi pada hari-hari biasa pun selalu ada saja orang yang berziarah. []
Latar Belakang
Ziarah makam tergolong tradisi yang sangat tua, barangkali setua kebudayaan manusia itu sendiri. Tradisi ini umumnya berhubungan erat dengan unsur kepercayaan atau keagamaan. Tradisi, menurut Parsudi Suparlan, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin (Jalaluddin, 1996: 180), merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Meredith McGuire (dalam Jalaluddin, 1996: 180), melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama.
Kabupaten Pandeglang, terletak di wilayah provinsi Banten, merupakan kawasan yang sebagian besar masih merupakan pedesaan. Dalam satu tulisannya, Azyumardi Azra menyebutkan, orang-orang Muslim di Banten percaya bahwa Tuhan sangat baik dan tidak akan mengabaikan mereka; tetapi pada saat yang sama, kekuatan-kekuatan jahat dan .......... terus mendatangkan bencana, sehingga mereka terpaksa mengarahkan aktivitas ritual kepada kekuatan-kekuatan jahat tersebut. Dalam kaitan ini pula terjadi pemujaan terhadap orang-orang yang telah mati, yang dipandang potensial untuk membantu mereka dalam menghadapi berbagai kekuatan jahat (Azra, 1999: 66).
Ungkapan yang digunakan Azra dalam kalimat “pemujaan terhadap orang-orang yang mati” mungkin terlalu berlebihan untuk menggambarkan keyakinan masyarakat Banten. Pada kenyataannya, orang-orang Banten akan menolak kalau dikatakan mereka memuja orang-orang yang telah mati. Lebih tepat kalau dikatakan, mereka menggunakan arwah orang-orang yang telah mati itu sebagai perantara (wasilah) untuk menyampaikan doa atau keinginan mereka kepada Tuhan. Arwah itu pun bukan sembarang arwah, melainkan arwah dari orang-orang yang semasa hidupnya dianggap sebagai tokoh, misalnya kiyai, syekh, jawara (orang sakti), atau sultan. Orang-orang Banten percaya bahwa tokoh-tokoh itu mempunyai karomah atau keistimewaan spiritual tertentu. Ketika sudah meninggal, karomah itu dipercaya masih ada dan bisa diperoleh dari makam mereka. Oleh karena itulah, aktivitas ziarah ke makam keramat sering disebut ngalap barokah, yaitu mencari berkah dari keramat yang terdapat pada makam sang tokoh.
Pemujaan terhadap orang-orang yang telah meninggal dahulu memang ada ketika agama Islam belum dianut masyarakat Banten. Kepercayaan semacam itu, yang disebut animisme, secara berangsur-angsur telah terkikis dengan datangnya Islam. Diperlukan penelitian tersendiri apakah tradisi ziarah ke makam keramat, yang menunjukkan adanya keyakinan mengenai keistimewaan roh-roh dari tokoh tertentu, itu merupakan kompromi antara kepercayaan lama dengan ajaran Islam atau bukan. Sebab Islam yang datang ke Banten, dan ke Nusantara secara umum, adalah Islam dengan nuansa sufisme sangat kental. Telah banyak dikemukakan oleh para ahli sejarah, bahwa para penyebar Islam di Jawa hampir seluruhnya adalah pemimpin-pemimpin tarekat (Dhofier, 1982: 144). Di Banten sendiri, pernah dan masih berkembang aliran-aliran tarekat antara lain tarekat Syatariyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. Dalam sufisme, ada ajaran tentang tawassul dengan para guru dan syekh terdahulu, dan ziarah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka tawassul. Jadi, tidak bisa dengan serta merta dikatakan bahwa ziarah ke makam keramat merupakan warisan tradisi pra-Islam.
Di kalangan Islam sendiri, sebetulnya aktivitas ziarah ke makam keramat dan doktrin tawassul masih menimbulkan pertentangan teologis yang belum terselesaikan, antara pihak yang membolehkan (bahkan menyunahkan) dan pihak yang membid’ahkan (bahkan mengharamkan). Pihak yang membolehkan ziarah ke makam keramat umumnya berasal dari kalangan Islam tradisional, sedangkan pihak yang melarang berasal dari kalangan Islam modernis. Tapi terlepas dari pertentangan teologis tersebut, ziarah ke makam keramat merupakan sebuah fakta sosial yang tidak bisa diabaikan, bahkan merupakan suatu tradisi atau bentuk kebudayaan yang menarik untuk diteliti.
Menilik tempatnya, makam yang menjadi tujuan ziarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu makam keluarga dan makam keramat. Pada makam keluarga, misalnya makam orang tua, orang yang berziarah umumnya bertujuan untuk mendoakan arwah yang dikubur agar mendapat keselamatan atau tempat yang baik di sisi Tuhan. Jadi, manfaatnya bukan ditujukan untuk kepentingan orang yang berziarah, melainkan untuk kebaikan roh orang yang diziarahi.
Ziarah ke makam keluarga memiliki makna kultural yang hampir sama dengan halal bihalal, di mana dalam periode tertentu, misalnya setahun sekali, orang merasa perlu menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya untuk mengunjungi saudara-saudara dan tetangganya. Jika halal bihalal adalah silaturahmi kepada orang-orang yang masih hidup, ziarah kubur adalah silaturahmi kepada orang-orang yang sudah mati. Orang yang sewaktu lebaran tidak pulang kampung untuk berhalal bihalal, ia bisa dianggap lupa asal usul. Demikian pula, orang yang dalam periode tertentu tidak melakukan ziarah, khususnya jika ia memiliki orang tua yang sudah meninggal, akan dianggap anak yang tidak berbakti.
Sedangkan pada makam keramat, aktivitas berziarah ke sana tampaknya memiliki tujuan atau motivasi yang beragam. Hal ini mengingat bahwa orang-orang yang berziarah ke makam keramat berasal dari berbagai daerah dan kalangan serta status sosial yang bermacam-macam. Bahkan untuk makam keramat yang besar, penziarah bisa berasal dari daerah yang sangat jauh, luar pulau, sampai luar negara.
Pengertian Ziarah dan Makam Keramat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 1990), ziarah diartikan sebagai “kunjungan ke tempat yang dianggap keramat atau mulia, misalnya makam, dsb.” Dari pengertian ini, tampak bahwa yang dikunjungi dalam kegiatan ziarah bukan sembarang tempat, melainkan tempat yang dianggap keramat, misalnya makam atau kuburan. Selain makam, tempat-tempat yang kerap dianggap keramat antara lain tempat lahir seorang tokoh besar (misalnya tempat lahir Syekh Nawawi Banten di Tanahara), tempat persinggahan (misalnya situs Batu Quran di Cibulakan, Pandeglang), dan tempat-tempat lain yang memiliki nilai sejarah spiritual tinggi.
Pengertian keramat itu sendiri, menurut KBBI, adalah: (1) suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan (tentang orang yang bertakwa); (2) suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak lain (tentang barang atau tempat suci).
Dengan demikian, secara bebas makam keramat dapat diartikan sebagai makam dari orang yang suci atau dianggap suci oleh masyarakatnya, atau makam dari orang yang bertakwa, atau makam dari orang yang semasa hidupnya memunyai kemampuan tertentu di luar kemampuan manusia biasa, khususnya kemampuan dalam bidang spiritual. Oleh karena itu, makam dari orang-orang awam biasanya tidak disebut makam keramat, meskipun barangkali makam orang awam tersebut tetap memiliki nilai kekeramatan tertentu bagi anaknya atau kerabatnya.
Makna Spiritual Ziarah ke Makam Keramat
Ziarah ke makam, baik yang keramat maupun tidak, berkaitan erat dengan unsur keagamaan. Makam, dalam banyak kebudayaan dan kepercayaan di seluruh dunia, menempati ruang spiritual yang istimewa, bahkan menjadi pusat kehidupan keagamaan di samping kuil-kuil pemujaan. Sebagai tempat dikuburkannya jasad orang yang sudah meninggal, makam dipercaya sebagai tempat bersemayamnya roh-roh orang yang meninggal itu. Berziarah ke makam merupakan cara untuk berhubungan kembali secara spiritual dengan roh-roh tersebut.
Ziarah ke makam juga berkaitan dengan kehidupan sosial. Orang yang ingin melakukan sesuatu atau kebutuhan tertentu, seperti membuka lahan pertanian, melangsungkan perkawinan, sampai berperang, merasa belum sah kalau belum meminta restu pada roh-roh nenek moyang. Roh-roh itu dipercaya dapat melindungi mereka, mengabulkan permohonan mereka, bahkan dapat pula menghukum kalau mereka melakukan pelanggaran.
Penghormatan kepada orang-orang yang telah meninggal diwujudkan dalam berbagai cara, misalnya mengadakan upacara kematian dengan ritual dan peralatan yang rumit, pembangunan kuburan secara mewah, di beberapa tempat disertai makanan dan harta untuk bekal perjalanan sang arwah, sampai pendirian kuil-kuil pemujaan.
Menurut Geoffrey Parrinder, yang dikutip oleh Zakiah Daradjat (Daradjat dkk, 1996: 43), pemujaan terhadap orang-orang yang telah meninggal atau telah mati terdapat di semua masyarakat. Karena itu kepercayaan terhadap hidup setelah mati ini bersifat universal dan merupakan salah satu bentuk kuno dalam kepercayaan di kalangan suku-suku primitif. Di Cina, pemujaan dan penyembahan terhadap para leluhur adalah pemujaan yang sangat kuno dan merupakan salah satu unsur yang paling diutamakan dalam agama Cina. Di Yunani, terdapat kepercayaan bahwa arwah leluhur tinggal di makam-makam dan memiliki kekuasaan atas baik dan buruk, sakit, dan mati. Begitu pula di Jepang, Mesir, Babylonia, Eropa, termasuk suku-suku di Indonesia (Daradjat dkk, 1996: 41-42).
Praktik pemujaan terhadap arwah para leluhur, yang di antaranya dilakukan dengan persembahan korban atau pemberian sesajen, memang tidak selalu dilakukan di makam. Dalam kebudayaan tertentu, arwah leluhur itu dipercaya bisa ada di mana-mana, di hutan-hutan, kampung, sawah, pohon, sampai di rumah (Daradjat dkk, 1996: 42), dan praktik pemujaannya pun bisa dilakukan di tempat-tempat tersebut. Meskipun demikian, kedudukan makam tetaplah menempati posisi yang paling penting.
Pada masa sekarang pun sisa-sisa kepercayaan tersebut masih bisa dijumpai di beberapa kebudayaan, khususnya di suku-suku yang kebudayaannya masih primitif. Di Melanesia, terdapat cara menghubungi roh leluhur yaitu setelah selesai penguburan mayat, mereka lalu mengambil suatu kantong dan sebatang bambu yang panjangnya kira-kira lima sampai tujuh meter. Ke dalam kantong tadi ditaruhkan pisang, lalu mulut kantong diikatkan pada ujung bambu, dan kantong tersebut diletakkan tepat di atas kuburan si mati. Kemudian orang tersebut berharap dan meminta kedatangan roh sambil memegang ujung sebelah bambu tadi. Nama orang yang baru saja meninggal dipanggil-panggil (Daradjat dkk, 1996: 44-45). Di Dayak Kalimantan, terdapat kebiasaan menghubungi roh orang yang sudah meninggal dengan cara tidur di atas kuburan-kuburan sambil mengharap-harapkan mendapatkan keberuntungan (Daradjat dkk, 1996: 45).
Kehadiran agama-agama formal, seperti Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, dan Islam, yang masing-masing memiliki tempat pemujaan atau rumah ibadah, tidak melenyapkan fungsi spiritual dari makam. Malah banyak di antara tempat ibadah itu yang didirikan di atas makam, atau makam yang dibangun di dekat tempat ibadah. Sehingga seringkali tidak dapat dibedakan ketika seseorang berada di rumah ibadah, apakah ia hanya melakukan sembahyang di rumah ibadah tersebut ataukah berziarah ke makam, ataukah kedua-duanya.
Sebagai contoh, Nabi Muhammad Saw. dimakamkan di dekat masjid Nabawi Madinah, dan makam raja-raja Banten berada di dalam Masjid Agung Banten. Selain itu, di makam-makam tempat ziarah terutama yang besar dan ramai hampir selalu didirikan masjid, misalnya di makam Sunan Gunung Jati Cirebon dan makam Syekh Mansur Pandeglang. Ini menandakan bahwa tempat ibadah (masjid) dan makam (khususnya makam dari orang tertentu) memiliki fungsi spiritual yang beririsan.
Dalam Islam, aktivitas ziarah ke makam keramat berkaitan erat dengan konsep kewalian atau kesucian. Para nabi, wali, dan orang-orang suci atau orang-orang yang dikenal memiliki ketakwaan tinggi dipercaya memiliki tempat mulia di sisi Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam Alquran surat al-Hujurât [49] ayat 13, yang artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Menurut Muhaimin AG (dalam Supriatno, 2007: xv), Ketakwaan seorang nabi atau wali adalah model tentang orang yang telah menempuh hidup mulia sekaligus model untuk diteladani dan dijadikan panutan bagi orang yang ingin menempuh hidup mulia. Sebagai model, mereka layak dihormati. Penghormatan itu bisa mengambil berbagai bentuk, salah satunya dengan mengunjungi kuburannya tempat sang teladan diperistirahatkan untuk terakhir kalinya. Di sana, orang berdoa dan mendoakannya. Apabila doa mereka dikabulkan oleh Allah, maka tambahan pahala dan kemuliaan (karamah) dari doa itu akan mengalir kepada yang didoakan, dan menambah tumpukan pahala dan kemuliaan yang ada padanya yang sesungguhnya sudah penuh karena ketakwaan dirinya. Seakan tidak tertampung, akumulasi kemuliaan itu lalu meluber kepada penziarah yang sekaligus berdoa tadi. Luberan kemuliaan itulah yang disebut orang sebagai “barakah”. Barakah itu, bagi yang merasakannya, menggejala dalam berbagai bentuk seperti kemudahan usaha, perolehan keuntungan, terbebas dari derita, sembuh dari penyakit, hilangnya stres, ketenangan hidup, dan bentuk-bentuk lain.
Tempat-tempat Ziarah Keramat di Kabupaten Pandeglang
Kabupaten Pandeglang terletak di provinsi Banten. Luas wilayahnya adalah 2.193,58 Km2. Wilayah kabupaten Pandeglang berbatasan dengan kabupaten Lebak di sebelah Timur, kabupaten Serang di sebelah Utara, Selat Sunda di sebelah Barat, dan Samudera Indonesia di sebelah selatan. Pada tahun 2000, jumlah penduduknya mencapai 2.933.900 jiwa.
Mayoritas penduduk Pandeglang menganut agama Islam, dan coraknya dapat digolongkan ke dalam Islam tradisional. Di sini, penghormatan terhadap ulama atau kiyai menempati posisi yang tinggi, termasuk ketika ulama tersebut sudah meninggal dunia. Makamnya akan banyak diziarahi oleh murid-muridnya, masyarakat sekitarnya, bahkan masyarakat dari luar daerah, bergantung pada “kaliber” atau lingkup ketokohan ulama tersebut.
Tradisi keagamaan masyarakat Pandeglang tidak berbeda dengan tradisi keagamaan di provinsi Banten pada umumnya, termasuk dalam hal ziarah ke makam keramat. Di antara makam keramat di daerah Pandeglang yang banyak diziarahi oleh masyarakat, termasuk masyarakat dari luar daerah, antara lain:
Ziarah makam tergolong tradisi yang sangat tua, barangkali setua kebudayaan manusia itu sendiri. Tradisi ini umumnya berhubungan erat dengan unsur kepercayaan atau keagamaan. Tradisi, menurut Parsudi Suparlan, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin (Jalaluddin, 1996: 180), merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Meredith McGuire (dalam Jalaluddin, 1996: 180), melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama.
Kabupaten Pandeglang, terletak di wilayah provinsi Banten, merupakan kawasan yang sebagian besar masih merupakan pedesaan. Dalam satu tulisannya, Azyumardi Azra menyebutkan, orang-orang Muslim di Banten percaya bahwa Tuhan sangat baik dan tidak akan mengabaikan mereka; tetapi pada saat yang sama, kekuatan-kekuatan jahat dan .......... terus mendatangkan bencana, sehingga mereka terpaksa mengarahkan aktivitas ritual kepada kekuatan-kekuatan jahat tersebut. Dalam kaitan ini pula terjadi pemujaan terhadap orang-orang yang telah mati, yang dipandang potensial untuk membantu mereka dalam menghadapi berbagai kekuatan jahat (Azra, 1999: 66).
Ungkapan yang digunakan Azra dalam kalimat “pemujaan terhadap orang-orang yang mati” mungkin terlalu berlebihan untuk menggambarkan keyakinan masyarakat Banten. Pada kenyataannya, orang-orang Banten akan menolak kalau dikatakan mereka memuja orang-orang yang telah mati. Lebih tepat kalau dikatakan, mereka menggunakan arwah orang-orang yang telah mati itu sebagai perantara (wasilah) untuk menyampaikan doa atau keinginan mereka kepada Tuhan. Arwah itu pun bukan sembarang arwah, melainkan arwah dari orang-orang yang semasa hidupnya dianggap sebagai tokoh, misalnya kiyai, syekh, jawara (orang sakti), atau sultan. Orang-orang Banten percaya bahwa tokoh-tokoh itu mempunyai karomah atau keistimewaan spiritual tertentu. Ketika sudah meninggal, karomah itu dipercaya masih ada dan bisa diperoleh dari makam mereka. Oleh karena itulah, aktivitas ziarah ke makam keramat sering disebut ngalap barokah, yaitu mencari berkah dari keramat yang terdapat pada makam sang tokoh.
Pemujaan terhadap orang-orang yang telah meninggal dahulu memang ada ketika agama Islam belum dianut masyarakat Banten. Kepercayaan semacam itu, yang disebut animisme, secara berangsur-angsur telah terkikis dengan datangnya Islam. Diperlukan penelitian tersendiri apakah tradisi ziarah ke makam keramat, yang menunjukkan adanya keyakinan mengenai keistimewaan roh-roh dari tokoh tertentu, itu merupakan kompromi antara kepercayaan lama dengan ajaran Islam atau bukan. Sebab Islam yang datang ke Banten, dan ke Nusantara secara umum, adalah Islam dengan nuansa sufisme sangat kental. Telah banyak dikemukakan oleh para ahli sejarah, bahwa para penyebar Islam di Jawa hampir seluruhnya adalah pemimpin-pemimpin tarekat (Dhofier, 1982: 144). Di Banten sendiri, pernah dan masih berkembang aliran-aliran tarekat antara lain tarekat Syatariyah, Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah. Dalam sufisme, ada ajaran tentang tawassul dengan para guru dan syekh terdahulu, dan ziarah merupakan kegiatan yang dilakukan dalam rangka tawassul. Jadi, tidak bisa dengan serta merta dikatakan bahwa ziarah ke makam keramat merupakan warisan tradisi pra-Islam.
Di kalangan Islam sendiri, sebetulnya aktivitas ziarah ke makam keramat dan doktrin tawassul masih menimbulkan pertentangan teologis yang belum terselesaikan, antara pihak yang membolehkan (bahkan menyunahkan) dan pihak yang membid’ahkan (bahkan mengharamkan). Pihak yang membolehkan ziarah ke makam keramat umumnya berasal dari kalangan Islam tradisional, sedangkan pihak yang melarang berasal dari kalangan Islam modernis. Tapi terlepas dari pertentangan teologis tersebut, ziarah ke makam keramat merupakan sebuah fakta sosial yang tidak bisa diabaikan, bahkan merupakan suatu tradisi atau bentuk kebudayaan yang menarik untuk diteliti.
Menilik tempatnya, makam yang menjadi tujuan ziarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu makam keluarga dan makam keramat. Pada makam keluarga, misalnya makam orang tua, orang yang berziarah umumnya bertujuan untuk mendoakan arwah yang dikubur agar mendapat keselamatan atau tempat yang baik di sisi Tuhan. Jadi, manfaatnya bukan ditujukan untuk kepentingan orang yang berziarah, melainkan untuk kebaikan roh orang yang diziarahi.
Ziarah ke makam keluarga memiliki makna kultural yang hampir sama dengan halal bihalal, di mana dalam periode tertentu, misalnya setahun sekali, orang merasa perlu menyempatkan diri pulang ke kampung halamannya untuk mengunjungi saudara-saudara dan tetangganya. Jika halal bihalal adalah silaturahmi kepada orang-orang yang masih hidup, ziarah kubur adalah silaturahmi kepada orang-orang yang sudah mati. Orang yang sewaktu lebaran tidak pulang kampung untuk berhalal bihalal, ia bisa dianggap lupa asal usul. Demikian pula, orang yang dalam periode tertentu tidak melakukan ziarah, khususnya jika ia memiliki orang tua yang sudah meninggal, akan dianggap anak yang tidak berbakti.
Sedangkan pada makam keramat, aktivitas berziarah ke sana tampaknya memiliki tujuan atau motivasi yang beragam. Hal ini mengingat bahwa orang-orang yang berziarah ke makam keramat berasal dari berbagai daerah dan kalangan serta status sosial yang bermacam-macam. Bahkan untuk makam keramat yang besar, penziarah bisa berasal dari daerah yang sangat jauh, luar pulau, sampai luar negara.
Pengertian Ziarah dan Makam Keramat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 1990), ziarah diartikan sebagai “kunjungan ke tempat yang dianggap keramat atau mulia, misalnya makam, dsb.” Dari pengertian ini, tampak bahwa yang dikunjungi dalam kegiatan ziarah bukan sembarang tempat, melainkan tempat yang dianggap keramat, misalnya makam atau kuburan. Selain makam, tempat-tempat yang kerap dianggap keramat antara lain tempat lahir seorang tokoh besar (misalnya tempat lahir Syekh Nawawi Banten di Tanahara), tempat persinggahan (misalnya situs Batu Quran di Cibulakan, Pandeglang), dan tempat-tempat lain yang memiliki nilai sejarah spiritual tinggi.
Pengertian keramat itu sendiri, menurut KBBI, adalah: (1) suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan (tentang orang yang bertakwa); (2) suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak lain (tentang barang atau tempat suci).
Dengan demikian, secara bebas makam keramat dapat diartikan sebagai makam dari orang yang suci atau dianggap suci oleh masyarakatnya, atau makam dari orang yang bertakwa, atau makam dari orang yang semasa hidupnya memunyai kemampuan tertentu di luar kemampuan manusia biasa, khususnya kemampuan dalam bidang spiritual. Oleh karena itu, makam dari orang-orang awam biasanya tidak disebut makam keramat, meskipun barangkali makam orang awam tersebut tetap memiliki nilai kekeramatan tertentu bagi anaknya atau kerabatnya.
Makna Spiritual Ziarah ke Makam Keramat
Ziarah ke makam, baik yang keramat maupun tidak, berkaitan erat dengan unsur keagamaan. Makam, dalam banyak kebudayaan dan kepercayaan di seluruh dunia, menempati ruang spiritual yang istimewa, bahkan menjadi pusat kehidupan keagamaan di samping kuil-kuil pemujaan. Sebagai tempat dikuburkannya jasad orang yang sudah meninggal, makam dipercaya sebagai tempat bersemayamnya roh-roh orang yang meninggal itu. Berziarah ke makam merupakan cara untuk berhubungan kembali secara spiritual dengan roh-roh tersebut.
Ziarah ke makam juga berkaitan dengan kehidupan sosial. Orang yang ingin melakukan sesuatu atau kebutuhan tertentu, seperti membuka lahan pertanian, melangsungkan perkawinan, sampai berperang, merasa belum sah kalau belum meminta restu pada roh-roh nenek moyang. Roh-roh itu dipercaya dapat melindungi mereka, mengabulkan permohonan mereka, bahkan dapat pula menghukum kalau mereka melakukan pelanggaran.
Penghormatan kepada orang-orang yang telah meninggal diwujudkan dalam berbagai cara, misalnya mengadakan upacara kematian dengan ritual dan peralatan yang rumit, pembangunan kuburan secara mewah, di beberapa tempat disertai makanan dan harta untuk bekal perjalanan sang arwah, sampai pendirian kuil-kuil pemujaan.
Menurut Geoffrey Parrinder, yang dikutip oleh Zakiah Daradjat (Daradjat dkk, 1996: 43), pemujaan terhadap orang-orang yang telah meninggal atau telah mati terdapat di semua masyarakat. Karena itu kepercayaan terhadap hidup setelah mati ini bersifat universal dan merupakan salah satu bentuk kuno dalam kepercayaan di kalangan suku-suku primitif. Di Cina, pemujaan dan penyembahan terhadap para leluhur adalah pemujaan yang sangat kuno dan merupakan salah satu unsur yang paling diutamakan dalam agama Cina. Di Yunani, terdapat kepercayaan bahwa arwah leluhur tinggal di makam-makam dan memiliki kekuasaan atas baik dan buruk, sakit, dan mati. Begitu pula di Jepang, Mesir, Babylonia, Eropa, termasuk suku-suku di Indonesia (Daradjat dkk, 1996: 41-42).
Praktik pemujaan terhadap arwah para leluhur, yang di antaranya dilakukan dengan persembahan korban atau pemberian sesajen, memang tidak selalu dilakukan di makam. Dalam kebudayaan tertentu, arwah leluhur itu dipercaya bisa ada di mana-mana, di hutan-hutan, kampung, sawah, pohon, sampai di rumah (Daradjat dkk, 1996: 42), dan praktik pemujaannya pun bisa dilakukan di tempat-tempat tersebut. Meskipun demikian, kedudukan makam tetaplah menempati posisi yang paling penting.
Pada masa sekarang pun sisa-sisa kepercayaan tersebut masih bisa dijumpai di beberapa kebudayaan, khususnya di suku-suku yang kebudayaannya masih primitif. Di Melanesia, terdapat cara menghubungi roh leluhur yaitu setelah selesai penguburan mayat, mereka lalu mengambil suatu kantong dan sebatang bambu yang panjangnya kira-kira lima sampai tujuh meter. Ke dalam kantong tadi ditaruhkan pisang, lalu mulut kantong diikatkan pada ujung bambu, dan kantong tersebut diletakkan tepat di atas kuburan si mati. Kemudian orang tersebut berharap dan meminta kedatangan roh sambil memegang ujung sebelah bambu tadi. Nama orang yang baru saja meninggal dipanggil-panggil (Daradjat dkk, 1996: 44-45). Di Dayak Kalimantan, terdapat kebiasaan menghubungi roh orang yang sudah meninggal dengan cara tidur di atas kuburan-kuburan sambil mengharap-harapkan mendapatkan keberuntungan (Daradjat dkk, 1996: 45).
Kehadiran agama-agama formal, seperti Hindu, Buddha, Yahudi, Kristen, dan Islam, yang masing-masing memiliki tempat pemujaan atau rumah ibadah, tidak melenyapkan fungsi spiritual dari makam. Malah banyak di antara tempat ibadah itu yang didirikan di atas makam, atau makam yang dibangun di dekat tempat ibadah. Sehingga seringkali tidak dapat dibedakan ketika seseorang berada di rumah ibadah, apakah ia hanya melakukan sembahyang di rumah ibadah tersebut ataukah berziarah ke makam, ataukah kedua-duanya.
Sebagai contoh, Nabi Muhammad Saw. dimakamkan di dekat masjid Nabawi Madinah, dan makam raja-raja Banten berada di dalam Masjid Agung Banten. Selain itu, di makam-makam tempat ziarah terutama yang besar dan ramai hampir selalu didirikan masjid, misalnya di makam Sunan Gunung Jati Cirebon dan makam Syekh Mansur Pandeglang. Ini menandakan bahwa tempat ibadah (masjid) dan makam (khususnya makam dari orang tertentu) memiliki fungsi spiritual yang beririsan.
Dalam Islam, aktivitas ziarah ke makam keramat berkaitan erat dengan konsep kewalian atau kesucian. Para nabi, wali, dan orang-orang suci atau orang-orang yang dikenal memiliki ketakwaan tinggi dipercaya memiliki tempat mulia di sisi Allah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah di dalam Alquran surat al-Hujurât [49] ayat 13, yang artinya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Menurut Muhaimin AG (dalam Supriatno, 2007: xv), Ketakwaan seorang nabi atau wali adalah model tentang orang yang telah menempuh hidup mulia sekaligus model untuk diteladani dan dijadikan panutan bagi orang yang ingin menempuh hidup mulia. Sebagai model, mereka layak dihormati. Penghormatan itu bisa mengambil berbagai bentuk, salah satunya dengan mengunjungi kuburannya tempat sang teladan diperistirahatkan untuk terakhir kalinya. Di sana, orang berdoa dan mendoakannya. Apabila doa mereka dikabulkan oleh Allah, maka tambahan pahala dan kemuliaan (karamah) dari doa itu akan mengalir kepada yang didoakan, dan menambah tumpukan pahala dan kemuliaan yang ada padanya yang sesungguhnya sudah penuh karena ketakwaan dirinya. Seakan tidak tertampung, akumulasi kemuliaan itu lalu meluber kepada penziarah yang sekaligus berdoa tadi. Luberan kemuliaan itulah yang disebut orang sebagai “barakah”. Barakah itu, bagi yang merasakannya, menggejala dalam berbagai bentuk seperti kemudahan usaha, perolehan keuntungan, terbebas dari derita, sembuh dari penyakit, hilangnya stres, ketenangan hidup, dan bentuk-bentuk lain.
Tempat-tempat Ziarah Keramat di Kabupaten Pandeglang
Kabupaten Pandeglang terletak di provinsi Banten. Luas wilayahnya adalah 2.193,58 Km2. Wilayah kabupaten Pandeglang berbatasan dengan kabupaten Lebak di sebelah Timur, kabupaten Serang di sebelah Utara, Selat Sunda di sebelah Barat, dan Samudera Indonesia di sebelah selatan. Pada tahun 2000, jumlah penduduknya mencapai 2.933.900 jiwa.
Mayoritas penduduk Pandeglang menganut agama Islam, dan coraknya dapat digolongkan ke dalam Islam tradisional. Di sini, penghormatan terhadap ulama atau kiyai menempati posisi yang tinggi, termasuk ketika ulama tersebut sudah meninggal dunia. Makamnya akan banyak diziarahi oleh murid-muridnya, masyarakat sekitarnya, bahkan masyarakat dari luar daerah, bergantung pada “kaliber” atau lingkup ketokohan ulama tersebut.
Tradisi keagamaan masyarakat Pandeglang tidak berbeda dengan tradisi keagamaan di provinsi Banten pada umumnya, termasuk dalam hal ziarah ke makam keramat. Di antara makam keramat di daerah Pandeglang yang banyak diziarahi oleh masyarakat, termasuk masyarakat dari luar daerah, antara lain:
1. Makam Syekh Mansur di Cikadueun
2. Makam Syekh Abdul Jabbar di Karangtanjung
3. Makam Syekh Asnawi di Caringin, Banten
4. Makam Syekh Daud di Labuan
5. Makam Syekh Rako di Gunung Karang
6. Makam Syekh Royani di Kadupinang
7. Makam Syekh Armin di Cibuntu
8. Makam Abuya Dimyati di Cidahu
9. Makam Ki Bustomi di Cisantri
10. Makam Nyimas Gandasari di Panimbang.
Aktivitas ziarah ke makam-makam keramat tersebut biasanya meningkat tajam pada bulan Mulud (Rabiul Awal, bulan lahirnya Nabi Muhammad Saw.), menjelang bulan Ramadan, sehabis Lebaran, pada malam Jumat, dan pada hari-hari libur. Tetapi pada hari-hari biasa pun selalu ada saja orang yang berziarah. []
Logged
SELALU...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar