oleh Banawa Emperor Family Community pada 27 Desember 2010 pukul 23:16 ·
DONGGALA salah satu kota niaga yang dikenal sebagai kerajaan maritim bernama Banawa tempo dulu yang kini telah berusia sekitar 7 abad. Usia tua itu mengacu pada catatan yang menyebutkan, Donggala abad 14 sudah sering disinggahi kapal niaga untuk perdagangan dan pencarian kayu cendana oleh orang-orang Eropa.
Bahkan bisa jadi, jauh sebelum abad 14, Donggala sudah menjadi salah pusat peradaban cukup penting di Nusantara, mengingat adanya permukiman cikal bakal terbentuknya kota itu sudah cukup lama. Menurut cerita turun-temurun, di sebelah barat terdapat permukiaman tua, tepatnya Ganti (dulu Pudjananti). Dahulu kala, permukiman yang kini jadi kota masih merupakan laut teluk. Konon, air laut sampai di Ganti, sehingga pelabuhan lama berada dalam teluk yang kini jaraknya 2 kilometer lebih dari Pelabuhan Donggala sekarang. Sebagai bukti-bukti arkeologi, menunjukkan di sekitar perkampungan menuju Ganti sangat mudah ditemui pecahan-pecahan kerang berserakan.
Masyarakat Donggala dan Ganti sendiri mempercayai hal itu. Apalagi di Ganti juga ada tempat bernama Langgalopi yang dalam bahasa Bugis Donggala berarti “galangan perahu atau kapal”. Konon, di situlah kapal Sawerigading yang dikenal dalam sure I Lagaligo dari Tanah Luwuk yang dikenal sebagai petualang dan penguasa lautan dengan ratusan armada setiap melakukan pelayaran ke berbagai kawasan, pernah berlabuh dan menyangga kapalnya di tempat itu untuk diperbaiki. Setelah kedatangan Sawerigading di Ganti ia melanjutan pelayaran ke Kerajaan Bangga dan kemudian ke Sigi di Teluk Kaili yang kala itu, Lembah Palu juga masih berupa perairan laut teluk.
Pelayaran tersebut bermaksud menjalin persahabatan dan tak terkecuali bermaksud mencari wanita-wanita cantik untuk dijadikan istri. Tapi selama di Tanah Kaili, Sawerigading gagal mengawini Ngilinayo, ratu Sigi, karena saat meminang tiba-tiba saja terjadi bencana alam dahsyat (gempa bumi), sehingga pembicaraan pinang-meminang berubah jadi saling menyelamatkan diri dan berakhir menjalin persahabatan dan persaudaraan.
Menurut legenda, akibat bencana itulah, kemudiaan perairan teluk yang kini kota Donggala dan Palu, jadi mengering, setelah air laut surut dan sebagian teluk tertimbun tanah. Penduduk di punggung-punggung pegunungan pun mulai turun ke lembah bekas laut itu sebagai pemukiman baru secara turun temurun hingga sekarang.
Benar-tidaknya cerita ini, memang belum dapat dipastikan. Tapi yang jelas bila dihubung-hubungkan beberapa nama tokoh dan tempat yang disebutkan dalam kitab Bugis Kuno, I Lagaligo beberapa bagian menyebut nama Pudjananting sebagai salah satu wilayah Sawerigading dalam melakukan petualangan dimana I Lagaligo putra Sawerigading melakukan perkawinan dengan seorang wanita bernama Karaeng Tompo di Pudjananting. Ada pula disebutkan tentang nama Nyilina iyo yang di di Tanah Kaili atau tepatnya di Kerajaan Sigi dikenal sebagai raja perempuan pertama di kerajaan itu, Cuma saja dalam kitab tersebut, Nyilina Iyo dimaksud adalah seorang laki-laki sebagai raja Sunrariaja.
Kitab bahasa Bugis yang telah diterjemahkan ke Bahasa Belanda oleh R.A. Kern tahun 1936 yang kemudian oleh La Side dan Sagimun M.D diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Gadjah Mada University Press, 1993, sangat menarik diteliti lebih lanjut. Beberapa nama lokasi (tempat) disebutkan di dalam suatu peristiwa, sulit diinterpretasikan atau dicocokkan dengan nama-nama tempat yang ada sekarang, kecuali beberapa daerah lainnya. Sebab mungkin nama-nama tempat dalam peristiwa ratusan tahun silam itu, kemudian berubah nama sesuai perkembangan masyarakatnya.
Salah satu daerah jelajah Sawerigading adalah Pudjananting. Mungkin yang dimaksud itu adalah Pudjananti (sekarang: Ganti), mengingat orang Kaili dalam melafalkan suatu nama berakhiran ng, selalu tidak disebutkan, sehingga Pudjananting itulah disebut Pudjananti. Begitu pula sebutan Sawerigading dalam bahasa Bugis orang Kaili mengeja menjadi Saverigadi dengan menghilangkan ng. Dalam kitab tersebut, bisa memperkuat kebenaran cerita rakyat kalau Sawerigading pernah menambatkan perahunya di Ganti. Kalau memang benar, berarti jauh sebelum itu, di daerah sekitar Donggala sekarang ini telah menjadi permukiman sejak lama.
Pudjananti, merupakan salah satu dari tiga kerajaan tua di Sulteng se-zaman Majapahit dan Singasari, yakni Kerajaan Banggai (Benggawi) dan Sigi. Dalam tulisan almarhumah Andi Mas Ulun Parenrengi (13 Tokoh Sejarah Dalam Pemerintahan Kerajaan Banawa) yang belum diterbitkan, menjelaskan; Pudjananti mengalami masa kejayaan antara 1220-1485. Kemudian menjadi cikal-bakal terbentuknya Kerajaan Banawa Donggala dengan raja pertama, seorang perempuan, bernama I Badan Tassa Batari Bana, (1485-1552). Kedua juga perempuan; I Tassa Banawa (1552-1650), ketiga masih perempuan, I Toraya (1650-1698).
Baru raja keempat pertama dipimpin laki-laki, La Bugia Pue Uva (1698-1758), tapi penggantinya, raja kelima kembali dipimpin perempuan; I Sabida (1758-1800) dan raja keenam merupakan perempuan terakhir dalam pemerintahan Banawa, bernama I Sandudongie (1800-1845). Raja ketujuh La Sabanawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888), raja kedelapan Lamakagili Tomai Doda Pue Nggeu (1888-1902), raja kesembilan Lamarauna Pue Totua (1902-1930), raja kesepuluh La Gaga Pue Tanamea (1930-1932), raja kesebelas La Ruhana Lamarauna (1935-1947), raja keduabelas La Parenrengi Lamarauna (1947-1959). Sedangkan La Malonda Pue Djoli, sebagai pelaksana harian Kerajaan Banawa dikenal sebagai ketua dewan adat Pitunggota (1889-1903).
Konon nama Banawa diambil dari salah satu sebutan kapal walenrenge Sawerigading. Diabadikan sebagai kenangan atas pertalian persaudaraan keturunan dinasti Sawerigading dari putranya I Lagaligo. Sebab dipercaya, raja-raja yang memerintah di Pudjananti merupakan keturunan I Lagaligo, putra Sawerigading.
Semasa hidupnya Mas Ulun yang juga salah satu keturunan raja terakhir Banawa sangat rajin melakukan penjejakan dokumentasi dan penulusuran sejarah Banawa. Dalam tulisannya yang belum sempat diterbitkan [Cuma saja ia tidak menjelaskan sumbernya], menyebutkan silsilah keturunan raja dalam pemerintahan Banawa bertitik awal dari I Lagaligo, sebagai berikut;
I Badan Tassa, putri Patta Manurung (kakak tertua La Umasse Raja Bone II) dari istrinya Peambuni putri Raja Kaili dengan La Mappanganro Le Gantie putra Lagaligo Datuna Luwu-Palopo dari istrinya Karaeng Tompo Daeng Malino Raja Pudjananti keturunan To Manurunge ri Goa (To Mangkasak). Dibuatlah kesepakatan dari raja-raja yang menurunkan darah bangsawan murni kepada kedua mempelai dengan hadiah seluruh wilayah Kerajaan tua Pudjananti dengan nama baru “Kerajaan Banawa.”
Pelabuhan Jadi Rebutan
Pudjananti, dari abad ke abad mulai dikenal sebagai salah satu kerajaan Nusantara, terlebih lagi, ketika beralih menjadi Kerajaan Banawa. Kipranya kian besar dan dikenal lebih luas hingga ke berbagai negara lain. Ketenaran dan peran besar yang disandangnya, berkat bandar niaga Donggala yang mendapat perhatian orang-orang untuk dijadikan salah satu kota jaringan perniagaan. Bahkan kapal pedagang Portugis pernah menyerang bandar ini, untuk dikuasai, sehingga terjadi saling serang antara pihak kerajaan dengan Portugis tahun 1669 di masa pemerintahan raja La Bugia Pue Uva dan dapat mempertahankannya.
Sebelumnya pedagang dari Gujarat (India), Arab dan Cina sudah sering mendatangi kota itu. Mereka membawa barang-barang untuk dijual dan sebaliknya membeli hasil bumi berupa; rotan, damar, kayu cendana, dan repah-rempah. Kemudian pedagang Gujarat tahun 1767 mulai memperkenalkan cara menenun kain sutra yang kini dikenal sarung Donggala yaitu pada masa pemerintahan raja Banawa I Sabida (1758-1800).
Makin ramainya bandar ini, membuat bangsa-bangsa asing berdatangan dengan kepentingan masing-masing. Bahkan jauh sebelum itu telah terjalin jaringan pelayaran dan perdagangan sebagaimana diungkapkan Indonesianis dari Prancis, Ch. Pelras dalam buku Citra Masyarakat Indonesia (PT. Sinar Harapan), menyebutkan sebuah naskah Cina paling tua diterbitkan dalam bentuk terjemahan tentang daerah Nusantara yang disampaikan oleh J.V.Mills dalam Archipel No. 21 (Chinese Navigation) halaman 79 menyebut hanya mengenai Donggala di Sulawesi sesudah tahun 1430.
Jadi jelas sebelumnya sudah menjadi kota penting memiliki daya tarik bagi pedagang, terutama untuk membeli kayu cendana (Santalum album), salah satu jenis kayu bernilai ekonomi tinggi banyak dicari pedagang dari Eropa. Orang Eropa pertama yang tinggal di Sulawesi Selatan bernama Antonio de Paiva dalam tahun 1542-1543 yang bermaksud mendapatkan kayu cendana, menurut Pelars rupanya diperkirakan bisa diperoleh di daerah Donggala. Saat itu di daerah Kaili banyak ditumbuhi pohon cendana akar. Kesaksian terakhir disampaikan oleh seorang peniliti Dr. Boorsman, pernah menemukan beberapa batang pohon cendana di pegunungan yang hampir gundul di sekitar Palu-Donggala. Sayang jenis kayu ini sudah punah, kecuali tinggal beberapa pohon masih dapat ditemui di suaka alam Poboya, Palu Timur.
Dalam perkembangannya, Donggala bukan saja dikenal kota pelabuhan, tapi juga kota pelajar, kota niaga (perdagangan), kota pemerintahan, kota perjuangan dan kota budaya yang sering mendapat kunjungan. Josep Condrad, misalnya seorang pengarang berkebangsaan Inggris kelahiran Polandia, menjadikan Donggala sebagai salah satu tempat penjelajahan Nusantara (1858-1924) dan sempat menjalin persahabatan dengan La Sabanawa I Sangalea Dg Paloera, raja Banawa ke-7 (1845-1888).
Tapi pemerintah Hindia Belanda-lah yang akhirnya menguasai penuh bandar ini setelah sejak lama melakukan penaklukan dengan memaksa raja menandatangani berbagai perjanjian, salah satu cara penaklukan halus. Raja Banawa ke-VI, I Sandudongie, tahun 1824 terpaksa menandatangani kontrak dengan Pemerintah Belanda, demikian pula kerajaan-kerajaan lain mengalami hal yang sama. Berbagai penekanan dan adudomba, dapat memuluskan Belanda membangun Kantor Doane dan berbagai fasilitas perkantoran, demi memperlancar monopli perdagangan dan kekuasaan segala hal.
Maka sejak awal abad 20, kedudukan Belanda makin kuat menjalankan kekuasannya di Donggala hingga kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pada masa kemerdekaan itu, Donggala masih tetap mengandalkan bandar lautnya dalam beberapa dekade sebagai pintu gerbang pendistribusian barang-barang produksi ke berbagai kota di Sulteng.
Jadi Donggala sebagai kota dan pelabuhan adalah ibarat satu jiwa dan raga yang tak terpisahkan. Tapi sayang dalam perjalanan sejarah kota pelabuhan ini mengalami pasang-surut yang tidak lepas dari percaturan politik berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Bukan saja kehadiran pemerintah Belanda terlalu banyak menimbulkan konflik dan adu-domba antarkerabat raja-raja. Pendudukan tentara Jepang dan kehadiran tentara Sekutu/NICA dalam Perang Dunia II, membuat kota yang dibangun ratusan tahun silam kembali kecipratan sengsara dengan hantaman bom sehingga porak-poranda.
Memang fungsi pelabuhan bukan saja jadi nadi perekonomian, tapi juga menjadi area kebudayaan dan politis pergerakan perjuangan kemerdekaan. Sekedar contoh, ketika terjadi penolakan pendudukan Belanda yang diboncengi Sekutu/NICA, barisan Pemuda Indonesia Merdeka (PIM) melakukan penurunan bendera merah-putih-biru milik pemerintah Hindia Belanda di halaman Kantor Doane (Bea dan Cukai), Pelabuhan Donggala, 21 November 1945.
Tahun 1957 pemberontak Permesta membombardir pelabuhan dengan serangan udara pesawat Bomber AUREV B-26, mengakibatkan lima kapal perang RI (Moro, Giliraja, Mutiara, Insumar dan RI Palu) yang sedang berlabuh tenggelam bersama peralatan perang; senjata, truk, tank dan bermacam perbekalan perang, serta menewaskan sejumlah anak buah kapal dan nahkoda kapal Moro.
Rebutan dan penderitaan belum sampai disitu. Kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengalihkan fungsi dan status pelabuhan nasional Donggala ke Pantoloan tahun 1978, redup pula mobilitas perekonomian dalam kota. Bahkan hingga kini di era reformasi, episode “rebutan” masih akan berlanjut entah sampai kapan?
Ketika cerita kejayaan masa silam itu dibuka kembali, seakan hanya sebuah legenda bagi generasi mendatang. Tapi itulah sebuah geliat budaya yang pernah berproses di sebuah pelabuhan. *
Bahkan bisa jadi, jauh sebelum abad 14, Donggala sudah menjadi salah pusat peradaban cukup penting di Nusantara, mengingat adanya permukiman cikal bakal terbentuknya kota itu sudah cukup lama. Menurut cerita turun-temurun, di sebelah barat terdapat permukiaman tua, tepatnya Ganti (dulu Pudjananti). Dahulu kala, permukiman yang kini jadi kota masih merupakan laut teluk. Konon, air laut sampai di Ganti, sehingga pelabuhan lama berada dalam teluk yang kini jaraknya 2 kilometer lebih dari Pelabuhan Donggala sekarang. Sebagai bukti-bukti arkeologi, menunjukkan di sekitar perkampungan menuju Ganti sangat mudah ditemui pecahan-pecahan kerang berserakan.
Masyarakat Donggala dan Ganti sendiri mempercayai hal itu. Apalagi di Ganti juga ada tempat bernama Langgalopi yang dalam bahasa Bugis Donggala berarti “galangan perahu atau kapal”. Konon, di situlah kapal Sawerigading yang dikenal dalam sure I Lagaligo dari Tanah Luwuk yang dikenal sebagai petualang dan penguasa lautan dengan ratusan armada setiap melakukan pelayaran ke berbagai kawasan, pernah berlabuh dan menyangga kapalnya di tempat itu untuk diperbaiki. Setelah kedatangan Sawerigading di Ganti ia melanjutan pelayaran ke Kerajaan Bangga dan kemudian ke Sigi di Teluk Kaili yang kala itu, Lembah Palu juga masih berupa perairan laut teluk.
Pelayaran tersebut bermaksud menjalin persahabatan dan tak terkecuali bermaksud mencari wanita-wanita cantik untuk dijadikan istri. Tapi selama di Tanah Kaili, Sawerigading gagal mengawini Ngilinayo, ratu Sigi, karena saat meminang tiba-tiba saja terjadi bencana alam dahsyat (gempa bumi), sehingga pembicaraan pinang-meminang berubah jadi saling menyelamatkan diri dan berakhir menjalin persahabatan dan persaudaraan.
Menurut legenda, akibat bencana itulah, kemudiaan perairan teluk yang kini kota Donggala dan Palu, jadi mengering, setelah air laut surut dan sebagian teluk tertimbun tanah. Penduduk di punggung-punggung pegunungan pun mulai turun ke lembah bekas laut itu sebagai pemukiman baru secara turun temurun hingga sekarang.
Benar-tidaknya cerita ini, memang belum dapat dipastikan. Tapi yang jelas bila dihubung-hubungkan beberapa nama tokoh dan tempat yang disebutkan dalam kitab Bugis Kuno, I Lagaligo beberapa bagian menyebut nama Pudjananting sebagai salah satu wilayah Sawerigading dalam melakukan petualangan dimana I Lagaligo putra Sawerigading melakukan perkawinan dengan seorang wanita bernama Karaeng Tompo di Pudjananting. Ada pula disebutkan tentang nama Nyilina iyo yang di di Tanah Kaili atau tepatnya di Kerajaan Sigi dikenal sebagai raja perempuan pertama di kerajaan itu, Cuma saja dalam kitab tersebut, Nyilina Iyo dimaksud adalah seorang laki-laki sebagai raja Sunrariaja.
Kitab bahasa Bugis yang telah diterjemahkan ke Bahasa Belanda oleh R.A. Kern tahun 1936 yang kemudian oleh La Side dan Sagimun M.D diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Gadjah Mada University Press, 1993, sangat menarik diteliti lebih lanjut. Beberapa nama lokasi (tempat) disebutkan di dalam suatu peristiwa, sulit diinterpretasikan atau dicocokkan dengan nama-nama tempat yang ada sekarang, kecuali beberapa daerah lainnya. Sebab mungkin nama-nama tempat dalam peristiwa ratusan tahun silam itu, kemudian berubah nama sesuai perkembangan masyarakatnya.
Salah satu daerah jelajah Sawerigading adalah Pudjananting. Mungkin yang dimaksud itu adalah Pudjananti (sekarang: Ganti), mengingat orang Kaili dalam melafalkan suatu nama berakhiran ng, selalu tidak disebutkan, sehingga Pudjananting itulah disebut Pudjananti. Begitu pula sebutan Sawerigading dalam bahasa Bugis orang Kaili mengeja menjadi Saverigadi dengan menghilangkan ng. Dalam kitab tersebut, bisa memperkuat kebenaran cerita rakyat kalau Sawerigading pernah menambatkan perahunya di Ganti. Kalau memang benar, berarti jauh sebelum itu, di daerah sekitar Donggala sekarang ini telah menjadi permukiman sejak lama.
Pudjananti, merupakan salah satu dari tiga kerajaan tua di Sulteng se-zaman Majapahit dan Singasari, yakni Kerajaan Banggai (Benggawi) dan Sigi. Dalam tulisan almarhumah Andi Mas Ulun Parenrengi (13 Tokoh Sejarah Dalam Pemerintahan Kerajaan Banawa) yang belum diterbitkan, menjelaskan; Pudjananti mengalami masa kejayaan antara 1220-1485. Kemudian menjadi cikal-bakal terbentuknya Kerajaan Banawa Donggala dengan raja pertama, seorang perempuan, bernama I Badan Tassa Batari Bana, (1485-1552). Kedua juga perempuan; I Tassa Banawa (1552-1650), ketiga masih perempuan, I Toraya (1650-1698).
Baru raja keempat pertama dipimpin laki-laki, La Bugia Pue Uva (1698-1758), tapi penggantinya, raja kelima kembali dipimpin perempuan; I Sabida (1758-1800) dan raja keenam merupakan perempuan terakhir dalam pemerintahan Banawa, bernama I Sandudongie (1800-1845). Raja ketujuh La Sabanawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888), raja kedelapan Lamakagili Tomai Doda Pue Nggeu (1888-1902), raja kesembilan Lamarauna Pue Totua (1902-1930), raja kesepuluh La Gaga Pue Tanamea (1930-1932), raja kesebelas La Ruhana Lamarauna (1935-1947), raja keduabelas La Parenrengi Lamarauna (1947-1959). Sedangkan La Malonda Pue Djoli, sebagai pelaksana harian Kerajaan Banawa dikenal sebagai ketua dewan adat Pitunggota (1889-1903).
Konon nama Banawa diambil dari salah satu sebutan kapal walenrenge Sawerigading. Diabadikan sebagai kenangan atas pertalian persaudaraan keturunan dinasti Sawerigading dari putranya I Lagaligo. Sebab dipercaya, raja-raja yang memerintah di Pudjananti merupakan keturunan I Lagaligo, putra Sawerigading.
Semasa hidupnya Mas Ulun yang juga salah satu keturunan raja terakhir Banawa sangat rajin melakukan penjejakan dokumentasi dan penulusuran sejarah Banawa. Dalam tulisannya yang belum sempat diterbitkan [Cuma saja ia tidak menjelaskan sumbernya], menyebutkan silsilah keturunan raja dalam pemerintahan Banawa bertitik awal dari I Lagaligo, sebagai berikut;
I Badan Tassa, putri Patta Manurung (kakak tertua La Umasse Raja Bone II) dari istrinya Peambuni putri Raja Kaili dengan La Mappanganro Le Gantie putra Lagaligo Datuna Luwu-Palopo dari istrinya Karaeng Tompo Daeng Malino Raja Pudjananti keturunan To Manurunge ri Goa (To Mangkasak). Dibuatlah kesepakatan dari raja-raja yang menurunkan darah bangsawan murni kepada kedua mempelai dengan hadiah seluruh wilayah Kerajaan tua Pudjananti dengan nama baru “Kerajaan Banawa.”
Pelabuhan Jadi Rebutan
Pudjananti, dari abad ke abad mulai dikenal sebagai salah satu kerajaan Nusantara, terlebih lagi, ketika beralih menjadi Kerajaan Banawa. Kipranya kian besar dan dikenal lebih luas hingga ke berbagai negara lain. Ketenaran dan peran besar yang disandangnya, berkat bandar niaga Donggala yang mendapat perhatian orang-orang untuk dijadikan salah satu kota jaringan perniagaan. Bahkan kapal pedagang Portugis pernah menyerang bandar ini, untuk dikuasai, sehingga terjadi saling serang antara pihak kerajaan dengan Portugis tahun 1669 di masa pemerintahan raja La Bugia Pue Uva dan dapat mempertahankannya.
Sebelumnya pedagang dari Gujarat (India), Arab dan Cina sudah sering mendatangi kota itu. Mereka membawa barang-barang untuk dijual dan sebaliknya membeli hasil bumi berupa; rotan, damar, kayu cendana, dan repah-rempah. Kemudian pedagang Gujarat tahun 1767 mulai memperkenalkan cara menenun kain sutra yang kini dikenal sarung Donggala yaitu pada masa pemerintahan raja Banawa I Sabida (1758-1800).
Makin ramainya bandar ini, membuat bangsa-bangsa asing berdatangan dengan kepentingan masing-masing. Bahkan jauh sebelum itu telah terjalin jaringan pelayaran dan perdagangan sebagaimana diungkapkan Indonesianis dari Prancis, Ch. Pelras dalam buku Citra Masyarakat Indonesia (PT. Sinar Harapan), menyebutkan sebuah naskah Cina paling tua diterbitkan dalam bentuk terjemahan tentang daerah Nusantara yang disampaikan oleh J.V.Mills dalam Archipel No. 21 (Chinese Navigation) halaman 79 menyebut hanya mengenai Donggala di Sulawesi sesudah tahun 1430.
Jadi jelas sebelumnya sudah menjadi kota penting memiliki daya tarik bagi pedagang, terutama untuk membeli kayu cendana (Santalum album), salah satu jenis kayu bernilai ekonomi tinggi banyak dicari pedagang dari Eropa. Orang Eropa pertama yang tinggal di Sulawesi Selatan bernama Antonio de Paiva dalam tahun 1542-1543 yang bermaksud mendapatkan kayu cendana, menurut Pelars rupanya diperkirakan bisa diperoleh di daerah Donggala. Saat itu di daerah Kaili banyak ditumbuhi pohon cendana akar. Kesaksian terakhir disampaikan oleh seorang peniliti Dr. Boorsman, pernah menemukan beberapa batang pohon cendana di pegunungan yang hampir gundul di sekitar Palu-Donggala. Sayang jenis kayu ini sudah punah, kecuali tinggal beberapa pohon masih dapat ditemui di suaka alam Poboya, Palu Timur.
Dalam perkembangannya, Donggala bukan saja dikenal kota pelabuhan, tapi juga kota pelajar, kota niaga (perdagangan), kota pemerintahan, kota perjuangan dan kota budaya yang sering mendapat kunjungan. Josep Condrad, misalnya seorang pengarang berkebangsaan Inggris kelahiran Polandia, menjadikan Donggala sebagai salah satu tempat penjelajahan Nusantara (1858-1924) dan sempat menjalin persahabatan dengan La Sabanawa I Sangalea Dg Paloera, raja Banawa ke-7 (1845-1888).
Tapi pemerintah Hindia Belanda-lah yang akhirnya menguasai penuh bandar ini setelah sejak lama melakukan penaklukan dengan memaksa raja menandatangani berbagai perjanjian, salah satu cara penaklukan halus. Raja Banawa ke-VI, I Sandudongie, tahun 1824 terpaksa menandatangani kontrak dengan Pemerintah Belanda, demikian pula kerajaan-kerajaan lain mengalami hal yang sama. Berbagai penekanan dan adudomba, dapat memuluskan Belanda membangun Kantor Doane dan berbagai fasilitas perkantoran, demi memperlancar monopli perdagangan dan kekuasaan segala hal.
Maka sejak awal abad 20, kedudukan Belanda makin kuat menjalankan kekuasannya di Donggala hingga kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pada masa kemerdekaan itu, Donggala masih tetap mengandalkan bandar lautnya dalam beberapa dekade sebagai pintu gerbang pendistribusian barang-barang produksi ke berbagai kota di Sulteng.
Jadi Donggala sebagai kota dan pelabuhan adalah ibarat satu jiwa dan raga yang tak terpisahkan. Tapi sayang dalam perjalanan sejarah kota pelabuhan ini mengalami pasang-surut yang tidak lepas dari percaturan politik berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Bukan saja kehadiran pemerintah Belanda terlalu banyak menimbulkan konflik dan adu-domba antarkerabat raja-raja. Pendudukan tentara Jepang dan kehadiran tentara Sekutu/NICA dalam Perang Dunia II, membuat kota yang dibangun ratusan tahun silam kembali kecipratan sengsara dengan hantaman bom sehingga porak-poranda.
Memang fungsi pelabuhan bukan saja jadi nadi perekonomian, tapi juga menjadi area kebudayaan dan politis pergerakan perjuangan kemerdekaan. Sekedar contoh, ketika terjadi penolakan pendudukan Belanda yang diboncengi Sekutu/NICA, barisan Pemuda Indonesia Merdeka (PIM) melakukan penurunan bendera merah-putih-biru milik pemerintah Hindia Belanda di halaman Kantor Doane (Bea dan Cukai), Pelabuhan Donggala, 21 November 1945.
Tahun 1957 pemberontak Permesta membombardir pelabuhan dengan serangan udara pesawat Bomber AUREV B-26, mengakibatkan lima kapal perang RI (Moro, Giliraja, Mutiara, Insumar dan RI Palu) yang sedang berlabuh tenggelam bersama peralatan perang; senjata, truk, tank dan bermacam perbekalan perang, serta menewaskan sejumlah anak buah kapal dan nahkoda kapal Moro.
Rebutan dan penderitaan belum sampai disitu. Kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengalihkan fungsi dan status pelabuhan nasional Donggala ke Pantoloan tahun 1978, redup pula mobilitas perekonomian dalam kota. Bahkan hingga kini di era reformasi, episode “rebutan” masih akan berlanjut entah sampai kapan?
Ketika cerita kejayaan masa silam itu dibuka kembali, seakan hanya sebuah legenda bagi generasi mendatang. Tapi itulah sebuah geliat budaya yang pernah berproses di sebuah pelabuhan. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar