Kamis, 31 Januari 2008

CUMBUAN SANG ARWAH

Penulis : ANDI AFRIZAL


Sayup-sayup kudengar tangis pilu yang menyayat hati. Semakin lama semakin mengusikku. Kulangkahkan kaki menuju sumber suara itu. Astagfirullah...siapakah gerangan gadis cantik berambut panjang sebahu itu...?

Tiga tahun menumpang hidup di rumah mertua, memaksaku harus berpikir keras. Berpikir bagaimana caranya agar aku mandiri, tidak selalu hidup di rumah mertua.
Ya, aku ingin segera membawa isteriku pindah, meski itu hanya di rumah kontrakan. Kendati keinginan itu pernah ditolak mentah-mentah oleh mertua, namun tekadku sudah bulat. Bagaimana pun aku tetap ngotot ingin mencari rumah kontrakkan.
Begitulah. Setelah berpikir soal rumah kontrakan, sebulan kemudian aku mendapatkan rumah yang kuinginkan. Rumah itu tidak terlalu bagus, namun cukup besar untuk ukuran keluarga kecil. Apalagi, kami belum memiliki seorang anak pun. Maka, tanpa pertimbangan yang macam-macam, rumah itu jadi kukontrak.
"Sebelum ditempati, kamu mesti mengadakan selamatan dulu, Nak. Itu sudah menjadi tradisi yang tidak boleh dilanggar," pesan mertuaku, wanti-wanti.
Memang tak salah jika mertuaku berpesan seperti itu. Soalnya, sejak aku belum resmi menikahi anaknya, aku dikenalnya sebagai menantu yang suka tak percaya dengan hal-hal di luar nalar. Begitu pula soal pesan selamatan itu.
"Insya Allah, Bu!" hanya itu jawabku waktu itu.
Seiring perkembangan waktu, tibalah saatnya aku mulai menempati rumah milik Pak Warno, yang dikontrakan kepada dengan harga relatif murah. Sepeninggal Pak Warno yang seorang duda, praktis rumah itu kosong. Tak pelak, karena dikosongkan selama lebih hampir dua tahun lamanya, keadaan rumahnya sangat kotor. Selain banyak terdapat sarang laba-laba, juga keadaan temboknya sudah banyak yang kusam dan mengelupas.
Niatku, sebelum aku menempati rumah itu, aku akan membersihkannya sendiri. Daripada memberikan uang kepada tukang untuk membersihkannya, mending kubersihkan sendiri saja. Sekalian ngirit, maksudku.
Begitulah, akhirnya pada hari Minggu aku mulai membersihkannya. Sejak pagi aku sudah berangkat ke sana. Dengan membawa peralatan seadanya, kubuka pintu pagarnya. Suara berderit mengiringi terbukanya pagar besi yang telah karatan. Sesaat aku sempat kaget ketika tiba-tiba saja terasa olehku hembusan angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Halus dan hangat kurasakan....
Aku terus melangkahkan kaki dan mulai membuka pintu rumah. Sama seperti ketika aku membuka pagar depan. Begitu pintu terbuka, suara derit seolah mengiringinya. Sepertinya, suara derit pintu itu berasal dari dari gesekan antar karat yang banyak terdapat di engsel daun pintu. Sejauh itu aku hanya berpikir, "Ya, beginilah kalau rumah dibiarkan lama dan tidak dirawat...."
Setalah berpikir seperti itu, hembusan angin kembali menerpa wajahku. Masih tetap seperti yang pertama. Halus dan hangat, kurasakan. Secara spontan aku langsung geleng-geleng kepala begitu tahu keadaan di dalamnya. Meski ada seperangkat kursi tamu yang lengkap, namun debu tebal yang menempel ibaratnya bisa ditanami jagung. Ah, sudahlah... toh bagaimana pun rumah ini jadi kukontrak. Jadi, apapun resikonya aku harus siap menerimanya.
Pertama aku membersihkan semua mebel dengan kain yang kubasahi dengan air. Setelah itu, barulah aku membersihkan temboknya. Satu persatu foto-foto yang terpampang kuturunkan. Mataku agak tertegun ketika hendak menurunkan sebuah foto seorang gadis dengan rambut panjangnya yang sebahu.
"Wuiiih, cantik sekali anak ini. Siapa, ya...? Apakah anak Pak Warno?" Pertanyaan itu terus mengusikku.
Aku pun terus melanjutkan pekerjaanku. Entah, sudah berapa batang rokok yang kuhisap sambil bersih-bersih. Aku juga tak ingat lagi, sudah berapa gelas akur aku minum, kuteguk untuk mengusir rasa haus yang mencekik tenggorokanku. Namun yang pasti, pada akhirnya aku kelelahan. Bisa jadi saking capeknya, secara tak sadar aku tertidur pulas di sofa ruang tamu yang telah kubersihkan itu.
Di saat tidur, antara sadar dan tidak telingaku mendengar suara seseorang mengetuk pintu. Tak hanya, bersamaan dengan ketukan itu aku juga mendengar suara seorang wanita yang memberi salam, "Assalamu'ailakum...!"
"Waalaikumsalam! Ya, silahkan masuk," ujarku membalas suara perempuan di depan pintu. Aku segera bergegas menuju ke arah suara. Begitu pintu kubuka, nampak seorang gadis belia berdiri di depan pintu.
Sesaat lamanya aku tertegun dibuatnya. Seolah tak percaya dengan pandangan mataku. Gadis itu, ya gadis itu..."Ah, cantik sekali!" Hanya itu yang mampu terucap pelan dari bibirku, yang seolah terasa terkunci.
Setelah kupersilahkan masuk, barulah gadis yang mengaku bernama Maharani itu mau masuk ke rumah. Langkah kakinya pelan namun serasi dan penuh wibawa. Sorot matanya sendu, seolah memancarkan kesedihan yang mendalam. Begitu memasuki ruang tamu, dia langsung menatap foto dirinya yang saat itu masih tergeletak di atas meja lantaran baru kubersihkan. Lama sekali dia menatap foto dirinya. Lalu, senyumnya mengembang sarat arti....
"Maafkan, foto itu terpaksa aku turunkan. Kukira kau tidak akan datang kemari," cetusku, coba menyelami perasaannya.
"Ah, mungkin memang foto ini sudah tak pantas menghiasi ruangan ini," ujarnya, getir.
Entah bagaimana mulanya, setelah agak lama mengobrol spontan tercipta suasana akrab di antara kami. Maharani tak lagi merasa sungkan untuk mengambil minuman di dapur. Dengan cekatan tangannya membuka laci kitchen set. Dari sana, diambilnya sebotol selai strawberry dan beberapa potong roti tawar. Lalu, secara perlahan dia mengoleskan selai itu di atas roti tawar.
Tak bisa kupungkiri. Selama berbincang dengan Maharani, terus terang, pikiranku mendadak jadi piktor (pikiran kotor-pen). Sempat pula kubayangkan, bagaimana enaknya bercumbu dengannya. Kulitnya yang putih bersih nampak terawat, dan kecantikan wajahnya sempat membuat jantungku bergetar, bergetar menahan gejolak nafsu....
"Hayo sedang berpikir apa? Aku tahu lo yang sedang Mas pikirkan," ujar Maharani yang secara spontan membuatku kaget.
Setelah mengatakan hal itu, tiba-tiba dia berdiri dan langsung menghampiriku. Yang lebih membuatku kaget, tanpa sungkan dan basa-basi dia langsung mendaratkan ciuman setelah duduk di pangkuanku. Seakan tidak memberiku kesempatan untuk bernafas, Maharani terus mencumbuku.
Untuk beberapa saat lamanya bibir kami saling berpagut. Lama hal itu kami lakukan. Aku sampai tak sadar ketika dengan halus tangan Maharani mulai membuka kancing baju dan celanaku. Pikiranku langsung bagikan melayang, terbang di awang-awang. Semua yang kurasakan terasa begitu indah. Kuakui, Maharani memang piawai dalam memainkan lidahnya.
Bisa jadi, hal itu pula yang membuatku semakin hanyut. Bahkan, secara jujur kuakui, aku semakin tak mampu mengendalikan diri ketika dengan beraninya Maharani menanggalkan semua kain yang membungkus tubuh mulusnya. Dan, astaga! "Maharani, Sayangku!" hanya itu yang mampu terucap dari bibirku.
Belum hilang rasa heran dan keterkejutanku, Maharani langsung menindih tubuhku. Setelah puas melumat bibirku, kini gilirannya menjilati sekujur tubuhku. Aku semakin tak bisa menguasai diri ketika jilatannya semakin berani. Dan, lagi-lagi aku hanya pasrah ketika dia membawaku ke alam nirwana. Bagai mendaki sebuah gunung yang tak pernah ada puncaknya, aku terus dibimbingnya...
Ketika nyaris mencapai puncak kenikmatan itu, tiba-tiba badanku terjatuh. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku celingukan seperti orang tolol. Aku semakin malu ketika tiba-tiba kudengar suara isteriku, "Mas...Mas, sadar... kenapa sih...?"
Astaghfirullah...! Saat itu aku teramat sangat malu. Bagaimana tidak? Selain isteriku, bapak-ibu mertuaku juga melihatku dalam keadaaan bugil. Masih dengan menahan perasaan malu yang tak tergambarkan, aku mencoba meraih baju dan celanaku. Setelah diberi segelas air putih, barulah secara berangsur-angsur pikiranku kembali normal. Aku pun baru sadar kalau ternyata aku telah diajak bercinta oleh Maharani di alam nun jauh di sana. Ya, mungkin di alam gaib.
Menurut cerita para tetangga kanan-kiri rumah milik almarhum Pak Warno tersebut, Maharani adalah puteri tunggal saudagar kaya pada era tahun 70-an itu. Tanpa sebab yang jelas, gadis itu meninggal. Hal itu pulalah yang membuat isteri Pak Warno sedih hingga akhirnya meninggal. Tak pelak, Pak Warno pun mengalami kesedihan yang sama sama, sehingga memilih hidup sendiri, dan akhirnya pergi meninggalkan rumahnya setelah mengontrakkannya padaku. Karena meninggalnya tak jelas, maka diyakini arwah Maharani sering menampakkan diri. Bahkan, konon kabarnya dia suka menggangu, terutama kaum lelaki. Termasuk diriku? Ah, ada-ada saja...!

CIRIK BARANDANG

Penulis : RUSDI


Inilah kisah mistis tentang ramuan pelet super ampuh yang berasal dari daerah Minangkabau. Seorang gadis yang termakan ramuan ini, hanya dalam waktu 6 jam dijamin langsung minta dinikahi oleh pemuda yang semula dibencinya. Apa rahasia ramuan ini...?

Sama seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, daerah Minangkabau juga menyimpan berbagai macam ilmu gaib. Salah satunya tentang keanekaragaman ilmu pelet, baik berupa jampi-jampi, mantera, atau berupa sarana mistis lainnya. Salah satunya adalah serbuk yang diaduk dengan kopi atau teh manis. Siapa saja, tak peduli pemuda atau gadis, jika termakan ramuan pelet ini akan datang ke rumah orang yang memberikan ramuan tersebut padanya.
Begitu hebatnya serbuk gaib tersebut, sehingga korbannya akan menyerahkan dirinya sambil mengemis, memohon agar dapat diterima cintanya. Bahkan seorang gadis tak segan meminta agar segera dinikahi.
Ilmu pelet dengan media berupa serbuh tersebut di daerah asalnya, Minangkabau, disebut sebagai Cirik Barandang. Seorang gadis atau bujang yang termakan ramuan Cirik Berandang ini dijamin akan mabuk kepayang. Siang hari teringat pada si pembuat ramuan, dan malam harinya akan terbawa dalam mimpi. Bahkan pemuda atau gadis yang memberikan ramuan Cirik Barandang datang dalam mimpi sebagai seorang puteri raja, sang pangeran yang sangat mempesona. Dalam mimpi itu, mereka bukan sekedar bercumbu atau bermesraan. Tapi berhubungan intim hingga mencapai orgasme.
Biasanya, ramuan Cirik Barandang dipergunakan seorang pemuda jika cintanya ditolak mentah-mentah oleh gadis pujaannya. Merasa dihina oleh seorang gadis sombong, bahkan bukan sekedar cinta ditolak, tapi si pemuda juga dicaci maki dengan kata-kata sangat menyakitkan hati.
Karena itu kemudian seorang pemuda datang ke rumah dukun yang mahir membuat ramuan Cirik Barandang. Oleh sang dukun diberikan ramuan racikannya agar ditaburkan dalam teh manis, kopi, jus, atau panganan berupa kue yang akan dimakannya.
Celakanya, ramuan pelet ini tidak hanya digunakan oleh para pemuda yang sakit hati karena ditolak cintanya dan dihina oleh si gadis pujaan. Berdasarkan fakta, para laki-laki tua di Ranah Minang, terutama berlangsung di zaman lampau, banyak juga yang meminta bantuan dukun jika akan menambah isteri berusia gadis belia. Mereka menggunakan Cirik Barandang untuk membuat si gadis mabuk kepayang.
Dengan ramuan Cirik Barandang ini, sang gadis yang semula benci dan menolak mentah-mentah lamaran laki-laki gaek alias bandot tua itu, umumnya akan berubah menjadi tergila-gila, mengemis dan minta dinikahi. Celakanya lagi, karena terbius oleh harta si bandot tua, kebanyakan orang tua gadis justeru bekerja sama untuk ìmengobatiî anak gadisnya agar mau diperisteri, meski bersatatus sebagai isteri kedua, ketiga, atau keempat sekalipun.
Cirik Barandang merupakan sarana pelet yang telah berusia sangat tua, bahkan mungkin sangat langka. Kendati demikian, bukan berarti pemegang ramuan super ampuh ini sepenuhnya punah. Diperkirakan, ada orang-orang tua atau sepuh yang tinggal di pedesaan Minangkabau yang masih menguasai petunjuk pembuatan ramuan pelet ini. Sebagai bukti, beberapa waktu silam Penulis mendapat kesaksian langsung dari satu keluarga, yang anak gadisnya sempat menjadi korban keganasan Cirik Barandang.
Kisah mistis ini dialami oleh seorang gadis cantik dan imut-imut, yang hingga kini masih tercatat sebagai mahasiswa di salah satu universitas swasta di Kota Padang. Ayahnya memang penduduk asli dari Ranah Minang. Ketika lebaran Idul Fitri lalu (sekitar Januari 2006) si gadis ikut mudik bersama kedua orangtuanya, yang kebetulan kampung halamannya terletak di sebuah desa pelosok di Sumbar, tak dinyana gadis malang ini termakan ramuan Cirik Barandang.
Demi menjaga privacy keluarga dimaksud, Penulis sengaja merasahasiakan nama-nama pelaku dalam kisah ini. Jika ada nama pelaku dalam kisah ini sama dengan nama Pembaca Kisah Mistis, di manapun berada, maka itu hanya kebetulan saja. Nah, inilah kisah mistis lengkapnya...:
Sudah sepuluh tahun Sabirin, ayah Bunga, tidak pernah mudik ke kampung halamannya yang terletak di wilayah pelosok Sumbar. Karena rindu yang begitu menggumpan, lebaran tahun lalu, Sabirin bersama seluruh anggota keluarganya pulang kampung.
Acara mudik itu membuat semua anggota keluarga Sabirin begitu bersuka cita. Namun tidak demikian dengan Bunga, anak gadis Sabirin yang tengah tumbuh dewasa. Bagi Bunga, ikut mudik bersama ayahnya merupakan pengalaman sangat tidak menyenangkan. Mengapa?
Diam-diam, Bunga rupanya punya kesan tersendiri terhadap kampung kelahiran ayahnya yang masih kolot memegang petatah-petitih leluhur itu. Setidaknya, pengalaman sepuluh tahun lalu ketika pulang kampung bersama ayah masih terbayang dalam benak gadis kuning langsat ini. Di kampung ayahnya yang kolot itu masih serba pantang. Tidak boleh makan di depan pintu, duduk di atas kursi sementara orang-orang tua di bawah, bahkan pantang bersenandung di malam hari.
Sebagai gadis yang hidup dan dibesarkan di alam yang telah modern, Bunga tidak suka ditegur dan diatur oleh pantangan-pantangan yang baginya omong kosong itu.
Ingat hal tersebut, Bunga sebenarnya malas ikutan mudik. Dia lebih senang tinggal di rumah saja. Tapi karena semuanya ikut, maka dia pun terpaksa ikut juga. Dia tak berani tinggal sendirian di rumah orang tuanya yang besar itu.
"Di kampung ayah, kau tidak boleh berpakaian seperti di kota, Bunga!" Belum-belum ibunya mengingatkan.
"Bunga harus memakai baju kebaya dan memakai jilbab kan, Bu?" Bunga balik bertanya sambil sedikit mencibir.
"Iya! Dan kau harus berkata sopan santun pada setiap orang yang bertemu denganmu," nasihat sang ibu lagi.
"Iya, Bunga mengerti!"
"Ingat, selain itu kau tidak boleh berlaku judes jika ada pemuda setempat menggodamu dan menjahilimu!"
"Memangnya kenapa, Bu?" Bunga balik bertanya. Maklum, hal yang satu ini baru didengarnya. Sewaktu datang pertama kali kampung halaman ayahnya, usia Bunga kala itu memang baru 11 tahun. Jadi, sang ibu tidak merasa perlu menyampaikan pesan ini.
"Jika kau berlaku judes, nanti pemuda itu akan memeletmu. Kau akan tergila-gila padanya dan minta dinikahi. Ingat itu!"
Bunga malah tertawa lucu mendengar nasehat ibunya. "Kalau pemuda itu anak orang kaya apa salahnya, Bu?" candanya sambil menahan tawa.
Sang ibu menarik nafas berat. "Ini serius, Bunga! Pokoknya ibu tidak ingin kau dipelet pemuda di sana!"
"Mengapa ibu begitu cemas sih," balas Bunga. "Kita kan hidup di alam modern, Bu. Ngapain sih kita harus percaya hal-hal semacam itu?"
Ibu Bunga tidak menjawab, tapi hatinya sangat kesal melihat sikap putrinya yang cantik itu. Sebagai ibu, dia merasa wajib untuk mencemaskan Bunga. Karena anak gadisnya itu agak tomboy, maka jika digoda laki-laki dan dia kurang berkenan, maka dia pasti akan membalasnya dengan sikap yang agak keterlaluan. Sudah beberapa kali sang ibu mendengar Bunga membalas lelaki yang menggoda, atau berbuat kurang ajar padanya, dengan makian. Bahkan, Bunga berani menampar wajah laki-laki yang usil menjahilinya.
"Ibu tidak perlu mencemaskan Bunga. Percayalah, Bunga akan mengingat nasehat ibu dan mengindahkan semua nasehat ibu," ujar Bunga seakan coba menenangkan perasaan ibunya. Sang ibu pun menarik nafas lega. Dia berharap Bunga memang akan mematuhi nasehatnya....
***

Hari sudah pukul sembilan pagi, tapi Bunga masih bermalas-malasan di tempat tidur. Udara dingin pegunungan membuatnya malas bangkit dari ranjang. Padahal, bagi warga kampung bangun di pagi hari merupakan suatu keharusan. Terlebih buat anak gadis seperti bunga. Masyarakat menganggap tabu anak gadis tidur hingga siang hari.
Sambil bermalas-malasan di tempat tidur, Bunga mendengar neneknya menceracau karna dia belum juga keluar dari dalam kamar. Suara Upik, saudara sepupunya, yang berusaha membangunkan dirinya tidak membuat Bunga beranjak dari atas ranjang.
Bunga yang bandel itu akhirnya bangun setelah sang nenek bersiap menyiram tubuhnya dengan segayung air. Sambil tertawa-tawa dan berteriak ampun, dia segera lari ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah.
Hari itu memang hari Minggu itu, hari pekan di kampung ayahnya. Upik bermaksud mengajak Bunga pergi ke pasar. Karena itulah Bunga mengenakan pakaian yang paling bagus. Dengan baju kebaya panjang khas Minang, penampilan Bunga terlihat sangat feminim. Berulang kali sang nenek memuji penampilan cucu kesayangannya ini.
Sementara itu, di rumah nenek Bunga ada Malin, anak angkat nenek Bunga. Dia anak yatim piatu. Usianya lima tahun lebih tua dari usia Bunga. Tanpa seorang pun tahu, rupanya sejak pandangan pertama diam-diam Malin jatuh hati pada Bunga.
Suatu hari, persisnya minggu kedua Bunga berada di kampung ayahnya, terjadilah suatu peristiwa. Harinya juga hari Minggu, dan seperti Minggu kemarin Upik juga berniat mengajak Bunga jalan-jalan ke pekan.
Karena hari sudah siang dan Bunga seperti biasa belum bangun, tanpa menaruk curiga nenek Bunga menyuruh Malin untuk membangunkan cucu kesayangannya itu. Tentu saja perasaan Malin sangat girang mendapat tugas ini.
"Bunga, bangun hari sudah siang!" Malin mengingatkan sambil menggedor pintu kamar tidur Bunga yang terkunci dari dalam.
Samar-samar Bunga mendengar suara Malin. Namun, dia hanya menggeliat. Hatinya kesal karena tidurnya yang pulas diusik oleh Malin.
"Bunga, Upik menunggumu di ruang tamu!" Kali ini suara Malin agak keras, dan gedoran di pintu kamar juga semakin keras.
"Iya, aku bangun!" Teriak bunga, kesal.
"Lekasan, Upik sudah sedari tadi menunggumu!" Suara Malin semakin meninggi.
"Binatang kamu! Dengar tidak sih, aku akan segera bangun?!" Emosi Bunga jadi meledak. Bergegas dia membuka pintu kamar tidurnya. "Lin, kalau bangunkan orang pakai otak, ya!" Bentaknya di hadapan Malin.
Pemuda dusun itu tertegun sejenak. Wajahnya merah padam. Hatinya terasa nyeleki sebab gadis yang diam-diam dikaguminya menyebut dirinya sebagai binatang dan tak punya otak. Dua kata-kata itu rasanya begitu menyakitkan. Malin menatap wajah Bunga dengan perasaan sakit hati.
"Apa lihat-lihat?!" Bentak Bunga lagi tidak senang dipelototi Malin seperti itu.
Malin terdiam, tapi tatapannya semakin nanar. Bunga rupanya semakin kesal, sehingga secara refleks tangan kanannya menampar wajah anak muda itu.
Malin terdongak menerima tamparan Bunga yang kebetulan adalah gadis pemilik Ban Hitam. Bukannya menyesal, Bunga yang tomboy malah merasa puas hatinya. Dia tak sadar, emosinya ini telah membuatnya lupa pada nasehat ibunya agar jangan berbuat kasar pada pemuda kampung ayahnya.
Tanpa dinyana, perasaan sakit hati Malin pada Bunga menjadi lengkap sudah. Seumur hidupnya baru pertama kali ini dia dihina dan dicaci maki seorang gadis cantik. Lebih menyakitkan lagi, hal itu dilakukan oleh gadis yang diam-diam sangat dia cintai dan kagumi.
Betapa hancur hati Malin, seperti diiris-iris sembilu, dan seperti kaca terempas di batu. Pecah berkeping-keping tanpa harapan untuk merangkainya kembali.
Kejadian pagi itu, sepanjang hari terus saja muncul dalam pikirannya. Malin benar-benar merasa sangat terhina karena disamakan dengan binatang yang tidak punya otak. Dan tamparan itu, sungguh begitu menyakitkan. Bukan wajahnya. Tapi hatinya yang terdalam. Ya, hati yang penuh cinta dan kekaguman itu berubah penuh dengan kebencian.
Tiba-tiba muncul dalam hati Malin niat untuk membalas perlakukan Bunga. ìAku akan membuatnya bertekuk lutut dan mengemis cinta padaku.î Bisik hati Malin.
Malam harinya, selesai shalat Isya di Masjid, Malin mendatangi rumah Datuk Maruhun. Sang Datuk adalah dukun kampung pemilik ilmu pelet Cirik Barandang. Usinya sudah mencapai 75 tahun. Kendati demikian, jangan heran jika dia masih mempunyai isteri yang sebaya dengan usia cucunya, yakni 25 tahun. Hal ini terjadi tentu saja berkat kehebatan ilmu pelet yang dimilikinya.
Di hadapan Datuk Maruhan, Malin berterus terang menceritakan perlakuan kasar Bunga pada dirinya. Sang Datuk merasa sangat kasihan pada Malin. Dia menyanggupi akan membantu Malin untuk membalaskan sakit hatinya.
"Ini ramuan Cirik Barandang. Ingat, bubuk ini harus kau taburkan dalam gelas minumannya," pesan Datuk Maruhun ketika memberikan bungkusan berupa kain putih kecil.
Di dalam bungkusan kain itu tentu saja terdapat serbuk yang telah dibacakan jampi-jampi ramuan Cirik Barandan.
"Terima kasih, Datuk. Ini untuk sekedar membeli gula!" Malin memberikan uang 30 ribu rupaih pada Datuk Maruhan. Laki-laki gaek itu menerimanya dengan senyum.
Singkat cerita, kesempatan menaburkan ramuan pelet Cirik Barandang diperoleh Malin pada hari ketiga setelah dia menerima ramuan sakti tersebut dari tangan Datuk Maruhan. Ketika itu Bunga sedang membuat jus alpukat dalam gelas, dan tanpa dinyana tiba-tiba sang nenek memanggilnya.
Tanpa rasa curiga. Bunga meninggalkan begitu saja jus buahnya di atas meja. Kesempatan ini segera digunakan oleh Malin. Setelah merasa aman, dia menaburkan serbuk Cirik Barandang dalam gelas minuman itu. Setelah selesai mengerjakannya, Malin pun segera pergi.
Setelah menaburkan ramuan Cirik Barandang, Malin sengaja tidak pulang ke rumah orang tua angkatnya. Keluarga nenek Bunga sibuk mencarinya, tapi tidak tahu dimana Malin berada.
Rupanya, reaksi pelet Cirik Berandang sangat cepat sekali. Hanya dalam tempo 6 jam Bunga menjadi tidak sadarkan diri. Aneh, dia menyebut-nyebut nama Malin, bahkan tanpa sadar menyatakan perasaan cintanya. Perasaan rindu ingin bertemu Malin tidak dapat ditahannya lagi.
Dengan merengek-rengek, Bunga meminta Sabirin, ayahnya, agar mencari Malin. Sabirin merasa agak bingung, sementara Bunga terus meminta agar ayahnya segera mencari Malin. Tapi di mana Malin harus dicari? Anak itu seperti hilang ditelan bumi.
Sementara itu, tidak malam tidak siang, Bunga terus bermimpi bersetebuh dengan Malin. Bunga benar-benar merasa sangat tersiksa oleh rindunya. Hampir sepanjang hari dia menyebut-nyebut nama Malin. Bahkan, saat matanya terpejam tak jarang dia merintih-rintih seperti orang yang tengah kenikmatan dalam olah seks. Sementara itu juga mulutnya tak henti menyebut-nyebut nama Malin dengan suara mendesah penuh gairah.
Sabirin, ibu Bunga dan neneknya akhirnya sadar sesuatu yang gaib telah terjadi pada diri Bunga. Atas saran nenek Bunga, Sabirin akhirnya mendatangi rumah Datuk Maruhan. Di hadapan sang Datuk, Sabirin menceritakan keadaan anak gadis yang rupanya telah menjadi korban pelet dari pemuda bernama Malin.
"Anak gadismu termakan ramuan Cirik Berandang!" Kata Datuk Maruhan memberikan penjelasan.
"Siapa yang memberikannya, Datuk?" Tanya Sabirin.
"Siapa lagi kalau bukan pemuda yang disebut-sebut namanya oleh anak gadismu itu."
"Jadi Malin yang melakukannya?"
Datuk Maruhan mengangguk. "Benar, dia datang padaku dan kuberikan ramuan itu. Dia sakit hati karena anak gadismu telah berbuat keterlaluan padanya," jelas Datuk Maruhan. Dia lalu menceritakan bagaimana perlakukan Bunga terhadap Malin.
Sabirin tercenung beberapa saat lamanya. Dia menyesali perbuatan Bunga yang telah melanggar adat kesopanan itu.
"Maafkan anak gadis saya, Datuk. Saya minta dengan sangat agar Datuk sudi menyembuhkannya!" Pinta Sabirin setengah menghiba.
"Baiklah, ini serbuk penawarnya!" Kata Datuk Maruhan. Setelah dibacakan mantera serbuk penawar itu diberikan pada Sabirin.
"Terima kasih Datuk. Ini untuk membeli tembakau," ujar Sarbini menyalami Datuk Maruhun dengan menyelipkan uang 100 ribu. Datuk Maruhan menerimanya dengan tersenyum gembira.
Beberapa saat setelah meminum serbuk penawar, Bunga kembali pada keadaan semula. Dia tidak lagi menyebut-nyebut nama Malin, bahkan dia sangat membencinya setengah mati.
Sabirin dan seluruh keluarga nenek Bunga berusaha mencari Malin, tapi Malin sudah pergi jauh. Malin bersumpah tidak akan menginjak rumah nenek Bunga lagi.
***

Demikianlah kisah mistis tentang kehebatan ramuan pelet Cirik Barandang. Keampuhan media pelet ini sangat sulit ditandangi. Sayangnya, tak mudah mencari informasi mengenai orang tua yang masih memiliki resep ramuan leluhur yang sangat langka ini. Sosok seperti Datuk Maruhan seperti pada kisah ini termasuk manusia yang sangat langka dan sulit ditemukan.
Tidak diperoleh informasi dari bahan apa sajakah sebenarnya ramuan Cirik Barandang ini dibuat. Namun, diperoleh sedikit petunjuk bahwa salah satu bahannya adalah (maaf) ujung kotoran manusia, dalam hal ini si pembuat Cirik Barandang tersebut.
Semoga, ulasan mengenai Cirik Barandang ini dapat menambah wawasan kita tentang ilmu-ilmu gaib yang bertebaran di sekitar kita. Terutama, hal ini penting diketahui oleh kaum Hawa, agar senantiasa berhati-hati dalam bersikap, terutama ketika mereka berada di suatu tempat atau wilayah yang masih kuat memegang tradisi nenek moyang. Ingat pepatah: "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung."

CINTA ARWAH GADIS KORBAN TABRAK LARI

Penulis : ABDI SUPIYANA


Gara-gara menolong mengevakuasi mayat gadis korban tabrak lari, Rusdi mengalami kejadian mistis yang sangat aneh. Arwah gadis itu datang padanya dan mengaku telah jatuh cinta. Tak hanya itu, si gadis juga mengajaknya bercumbu....

Ketika baru beberapa hari diberhentikan kerja dari sebuah pabrik tekstil di kota Bandung, Rusdi mencoba menjalani profesi baru sebagai sopir angkutan kota. Sedikit pun dia tak menyangka kalau profesi barunya ini bakal mengantarkannya pada sebuah pengalaman yang benar-benar aneh tapi nyata. Kepada Penulis, Rusdi menuturkan kisah mistis romatisnya yang meremangkan bulu kuduk itu...:
Pengalaman aneh yang dilakoni oleh Rusdi itu berawal ketika pada suatu hari, ia menggunakan mobil angkotnya itu untuk mengangkut mayat seorang gadis korban tabrak lari. Memang, ketika itu tak ada sopir angkot atau mobil lainnya yang mau bermurah hati mengantarkan mayat si gadis ke rumah sakit terdekat. Sementara, setelah lama menunggu mobil ambulan dan petugas berwajib belum juga datang untuk mengevakuasi korban tabrak lari itu.
Menurut kesaksian beberapa warga di sekitar lokasi kejadian, gadis itu ditabrak saat menyeberang jalan oleh sebuah mobil Toyota Kijang warna hitam, yang melaju dengan kecepatan tinggi.
"Gadis itu menyeberang tanpa menoleh kiri kanan! Dia seperti melamun!" komentar seorang warga sambil menggelengkan kepala.
"Sayang sekali, kami tak sempat mencatat plat nomor polisi mobil itu!" tambah warga yang lain setengah menggerutu.
Dari warga itu pula Rusdi tahu bahwa korban tidak bisa diketahui identitasnya, karena tak membawa KTP atau kartu pengenal lainnya. Warga di sekitar lokasi kejadian pun tak ada yang mengenali wajah gadis korban tabrak lari itu. Mungkin, dia bukan berasal dari daerah yang dekat dengan lokasi kejadian.
Kondisi mayat gadis itu sungguh mengenaskan. Selain tubuhnya penuh dengan luka gores dan memar, beberapa bagian sendi-sendi tulangnya pun tampak menyembul dan bengkak-bengkak. Dan yang paling mengenaskan lagi, darah tak henti-hentinya menetes dari bagian belakang kepalanya yang retak.
Sungguh menyedihkan sekali keadaan gadis ini. Rusdi sempat melihat wajahnya yang cukup cantik dengan hiasan tahi lalat di atas bibirnya.
"Sayang sekali, kalau saja tahu nama dan alamatnya pasti kuantarkan mayat gadis ini pada keluarganya," batin Rusdi seraya menghidupkan mesin mobil angkotnya.
Meski demikian, karena ambulance yang ditunggu tak kunjung datang, sementara tak ada seorang pun pemilik kendaraan roda empat yang mau mengevakuasi mayat gadis itu, maka Rusdi akhirnya mengambil inisiatif dengan dorongan rasa kemanusiaannya. Ia bersedia mengantar mayat gadis itu ke rumah sakit, meski pasti takkan ada seorang pun yang mau membayarnya. Tak lama kemudian, mobil angkotnya meluncur menuju rumah sakit terdekat.
Namun yang sangat aneh, sejak mobil angkotnya dipakai mengangkut mayat gadis korban tabrak lari itulah Rusdi sering mendapat borongan penumpang ke luar kota. Bahkan di saat sopir lain kesulitan mencari penumpang, mobil angkot yang dikemudikan Rusdi malah selalu ramai dipenuhi penumpang.
Entahlah, mobil angkotnya itu seperti tiba-tiba punya daya tarik gaib yang mampu menyedot perhatian dan minat penumpang.
"Sopir-sopir lain setornya pada nunggak. Tapi sudah seminggu ini setoranmu selalu full ! Rupanya kamu berbakat juga jadi sopir, Rus!" komentar Pak Barkah sambil tersenyum, ketika suatu sore Rusdi menyetor uang pada majikannya yang punya lima angkot itu.
"Alhamdulillah, minggu ini rejeki saya lagi bagus, Pak!" Rusdi pun tersenyum bahagia.
"Biasanya, kalau mobil angkutan dipakai mengangkut mayat korban kecelakaan, maka mobil angkutan itu bakal sial dan sepi penumpang. Begitu menurut kepercayaan yang beredar di kalangan sopir. Tapi ini malah sebaliknya, jangan-jangan arwah gadis korban tabrak lari itu mencintaimu, Rus?" tambah Pak Barkah dengan nada berkelekar.
"Ah, Pak Barkah ini ada-ada saja! Di zaman modern ini mana ada arwah yang jatuh cinta pada manusia?" tukas Rusdi.
Tapi, diam-diam hati Rusdi sebenarnya sempat bergetar juga mendengar canda Pak Barkah barusan. Tanpa seorang tahu, sejak mengantarkan mayat gadis itu, Rusdi sebenarnya merasa sering dibayangi oleh sosok gadis itu yang selalu tersenyum padanya.
Karena hari sudah lewat Maghrib, Rusdi lalu beranjak dari duduknya dan pamit pulang kepada Pak Barkah. Namun, sepulang dari rumah majikannya itu Rusdi tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan jalan-jalan dulu ke pasar malam. Ia sengaja menyempatkan diri nonton show dangdut di panggung hiburan. Sekitar jam sebelas malam Rusdi baru memutuskan untuk pulang ke rumah kontrakannya.
Ketika tiba di rumah kontrakannya, Rusdi merasa heran melihat lampu-lampu listrik di rumah itu tampak sudah terang benderang. Padahal, ketika pagi buta tadi ia pergi untuk memulai aktivitasnya sebagai sopir angkot, ia sudah memastikan semua lampu di dalam rumah mungil itu telah dimatikannya. Lalu, siapa yang telah menyalakan lampu-lampu itu? Apa mungkin ada yang masuk ke dalam rumah? Ya, misalnya si pemilik rumah yang berbaik hati karena melihat Rusdi belum pulang? Bujangan ini merasa heran. Sambil geleng-geleng kepala ia merogoh kunci pintu rumah dari saku celananya.
Begitu melihat keadaan di dalam rumah, lagi-lagi Rusdi merasa heran. Bagaimana tidak heran kalau ia melihat kamar tidurnya sudah dalam keadaan rapi dan bersih. Padahal sewaktu ditinggalkan kamarnya itu dalam keadaan berantakan. Maklum, ia tak pernah sempat merapikan tempat tidur. Biasanya, selepas mandi dan sholat Subuh, ia langsung minggat untuk mencari nafkah.
Yang lebih mengherankan lagi, kain seprai dan sarung bantal tempat tidurnya tampak sudah bersih dan rapi seperti baru saja diseterika. Aroma melati tercium dari arah kamar tidur itu.
Sesaat Rusdi hanya bisa bercenung heran menyaksikan keanehan yang tampak di depan matanya itu. Lebih-lebih di rumah kontrakannya itu ia tinggal sendirian. Lantas, siapa yang telah merapikan tempat tidurnya? Mungkinkah ibu pemilik rumah kontrakannya yang sekali ini ingin berbaik hati padanya? Sekali lagi Rusdi geleng-geleng kepala dan tak menemukan jawab atas pertanyaannya.
Namun yang jelas, tak terlihat tanda-tanda adanya orang masuk ke rumah. Bukankah setiap kali hendak keluar rumah Rusdi selalu mengunci pintu dan jendela kamarnya? Maklum, rumah kecil yang baru satu bulan dikontraknya itu letaknya agak terpencil dari rumah penduduk lainya.
Diam-diam, Rusdi memiliki prasangka lain: "Jangan-jangan semua ini ulah bangsa siluman atau makhluk halus?" Bersamaan dengan munculnya pikiran ini bulu kuduk Rusdi tiba-tiba berdiri meremang.
Anehnya, bersamaan dengan itu pula lamat-lamat Rusdi mendengar suara kecipak dan guyuran air dari arah kamar mandi. Dengan heran dan penasaran Rusdi lalu memberanikan diri melangkah menuju kamar mandi. Letak kamar mandi itu memang menyatu dengan dapur dan hanya dibatasi dinding penyekat yang terbuat dari bilik bambu.
Semakin dekat ke kamar mandi semakin jelas suara kecipat dan guyuran airnya. Seperti suara orang yang tengah mandi? Pikir Rusdi sambil melangkah mengendap mendekati bilik kamar mandi itu.
Ia lalu mencari celah lubang bilik bambu itu. Dan betapa terkejutnya Rusdi manakala dari celah-celah bilik bambu itu, ia bisa melihat seorang gadis tengah asyik mandi. Gadis itu mandi dengan posisi berdiri agak menyamping. Sebentar mata Rusdi menjilati lekuk-lekuk tubuh telanjang si gadis. Tapi sebentar kemudian degup dadanya tiba-tiba mengencang, bulu kuduknya meremang dan lututnya bergetar manakala melihat wajah gadis yang tengah mandi itu.
Sunguh sulit di percaya! Wajah gadis dengan hiasan tahi lalat di atas bibirnya itu mengingatkan Rusdi pada wajah gadis korban tabrak lari yang beberapa hari lalu mayatnya ia bahwa ke rumah sakit.
"Ja...jad...jadi...dia...dia...han...hantuuu...!?" tak sadar Rusdi berteriak saking takut dan terkejutnya.
Tanpa pikir lagi Rusdi lalu melompat berlari ke luar dari rumah. Tapi aneh, langkah kakinya seperti digerakkan oleh suatu kekuatan yang menyeretnya malah masuk ke kamar. Dan di dalam kamar Rusdi hanya bisa ternganga, matanya membelalak ketakutan melihat gadis itu tahu-tahu sudah duduk di sisi tempat tidurnya.
"Kamu tak perlu takut melihatku. Aku datang dengan maksud baik!" ucap gadis itu pelan dengan nada memohon. "Aku sendiri yang telah menyalakan lampu-lampu di rumah ini dan merapikan kamar tidurmu," tambahnya dengan suara lembut.
"Tap...tap...tapi bukankah kamu sudah meninggal?" tanya Rusdi dengan suara gemetar karena ketakutan.
"Yang meninggal itu hanya jasadku. Tetapi arwahku tidak!" tukas gadis itu seperti ingin meyakinkan. Lalu, dia bercerita dengan suara yang terdengar sangat perih:
"Bagiku, lebih baik mati jadi korban tabrak lari, daripada harus hidup menyusui tiga sosok tuyul peliharaan orang tuaku! Kamu tahu? Sudah dua tahun lebih orang tuaku mendapatkan harta dengan cara tidak halal, menyuruh tuyul-tuyul itu mencuri uang dari rumah tetangga. Gilanya, ibuku malah bersedia menjadi ibu asuh tiga sosok tuyul itu. Setiap malam Selasa dan Jum'at dia bersedia menyusui makhluk itu. Sampai suatu hari, ibuku ditemui pingsan karena kekurangan darah di tubuhnya. Sejak itulah aku tahu bahwa orang tuaku memelihara tuyul di rumah. Dan sejak itu pula ayahku memaksa agar aku mau menyusui ketiga tuyul itu. Katanya, aku harus rela melakukan ini sampai utang-utang orang tuaku lunas! Namun aku lebih memilih minggat dari rumah, daripada menuruti perintah gila ayahku itu!"
Rusdi hanya terdiam mendengar ceritanya yang aneh dan menyakitkan itu. Pikirannya benar-benar kacau: Aneh, heran, bingung dan takut. Semuanya seakan menyatu di dalam dada laki-laki yang masih hidup membujang ini.
"Sebenarnya, dalam peristiwa tabrak lari itu adalah aku yang salah. Waktu itu, aku memang sengaja membiarkan tubuhku ditabrak mobil! Tapi sudahlah, semuanya sudah terjadi. Yang penting di malam ke tujuh ini aku ingin berterimah kasih padamu," ucap gadis itu sambil merubah posisi duduknya jadi setengah merebah. Kaki kanannya tampak terangkat menginjak tempat tidur, sementara kaki kirinya dibiarkan tetap dilantai.
Karena posisi si gadis yang demikian, cahaya lampu listrik di kamar itu seperti langsung menerobos belahan atas sepasang kakinya. Lekuk-lekuk indah tubuh gadis itu pun tampak jelas karena terbungkus gaun putih yang transparan.
"Kurasa, selama ini ungkapan terimah kasihku belum cukup. Jujur saja, sejak kamu bermurah hati mau mengantarkan jasadku ke rumah sakit, arwahku sudah tertarik padamu! Malam ini aku ingin mewujudkan rasa cinta dan terima kasihku. Kuharap kamu mengerti maksudku. Biar arwahku tenang mengembara di alam nun jauh di sana," desah si gadis itu dengan senyum dan tatap mata menggoda.
Aneh, senyum dan tatapan mata gadis itu seperti mengundang suatu kekuatan yang bukan hanya mampu menumpulkan kesadaran Rusdi, tetapi juga telah membangkitkan gairah birahi laki-laki yang masih bujangan ini. Untuk beberapa waktu lamanya ia tetap coba berdiri di sudut ruangan. Namun, sorot matanya mulai berubah nanar melihat keindahan yang terpampang di hadapannya.
"Ayolah, tak baik terus menerus berdiri di situ!" desah si gadis lagi sambil melambaikan tangan mengajak Rusdi duduk di sampingnya.
Degup di dada Rusdi kian mengencang, gejolak birahinya makin meronta manakala sudah duduk disamping gadis itu. Apalagi dalam waktu sekejap bibir dan tangan si gadis langsung menggerayangi setiap jengkal tubuhnya.
Beberapa detik kemudian, dua tubuh telanjang berlainan jenis dan alam itu telah menyatu dalam lagu dan gerak cinta yang menghanyutkan. Lama mereka saling memacu hasratnya. Hingga akhirnya keduanya sama-sama tergolek lemas bersimbah keringat.
Esoknya ketika pagi menjelang, saat terbangun Rusdi tak melihat lagi gadis itu terbaring indah di sampingnya. Dia telah pergi. Kemana gadis itu pergi? Pikir Rusdi sambil melihat-lihat keadaan seputar kamarnya.
Sesaat Rusdi merasakan dirinya baru terjaga dari sebuah mimpi indah namun terasa asing baginya. Kemudian ingatannya melayang pada kejadian aneh yang dialaminya semalam.
Buru-buru Rusdi memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dan tempat tidur. Ketika itulah secara tak sengaja Rusdi melihat ada bercak-bercak darah di kain seprei tempat tidurnya.
Darah perawan gadis itukah? Ya Tuhan, kenapa semua ini bisa terjadi dan menimpaku? Batin Rusdi tak habis pikir. Ia semakin tak mengerti dengan kejadian yang telah dialaminya. Haruskah ia bahagia, atau malah mengutuki ketololan dirinya?
Hari itu Rusdi libur mengemudikan mobil angkotnya. Laki-laki ini memutuskan untuk pulang dulu ke kampung halamannya di Garut. Tiba di Garut Rusdi lalu menemui seorang Ajengan dan menceritakan kejadian aneh yang dialaminya itu, sekaligus minta perlindungan dari gangguan dan godaan bangsa makhluk halus.
Bagaimana pun Rusdi merasa risih jika harus berhubungan intim lagi dengan gadis yang bukan mukhrimnya itu. Apalagi gadis bertahi lalat itu juga tidak hidup sealam dengannya. Gadis itu adalah sosok arwah penasaran akibat proses kematiannya yang tak wajar.
Memang aneh dan terasa musykil sisi kehidupan yang dialami Rusdi. Tapi agaknya begitulah bagian lain dari perpaduan kehidupan nyata dan gaib. Penuh teka-teki dan rahasia yang tak mudah diterjemahkan dengan nalar.
"Alhamdulillah, setelah minta petunjuk dan amalan dari Ajengan, saya tak lagi mengalami kejadian menyeramkan sekaligus menjijikan seperti yang saya alami malam itu," kisah Rusdi kepada Misteri.
Ia mengaku telah melacak kebaradaan gadis itu ke rumah sakit. Sayang, pihak rumah sakit tak bisa memberikan banyak keterangan tentang jatidiri gadis itu, dan siapa yang telah menebus mayatnya.
"Setiap usai sholat, saya selalu mengirimi dia doa. Ya, semoga saja arwahnya bisa mendapatkan tempat yang layak di sisi Allah," cetus Rusdi, tulus

BUDAK LELEMBUT LAUT SELATAN

Penulis : AGUS SISWANTO


Kedua orang tua Wardiman mati secara bersamaan dengan sebab yang tak jelas. Nyatanya, mereka pulang ke Laut Selatan untuk melunasi perjanjian. Bagaimana kisah mistis selanjutnya….

Rasa rindunya yang sudah tak terbendung lagi untuk dapat bertemu dengan kedua orang tuanya, meskipun cuma sebatas mimpi, telah menghantarkan Wardi di batas keheningan. Desah nafas melankolik yang paling lemah sekalipun terdengar sangat nyaring. Semua hampa! Kosong! Dan kekosongan itu terasa semakin lama semakin menyempit. Hatinya yang gelisah tak menentu, dapat diumpamakan sebuah panggung teater yang kosong tanpa pemain.
Keterkejutan yang luar biasa melanda Wardi. Entah bagaimana ceritanya, di hadapannya telah berdiri seorang laki-laki tua. Dalam pada itu Wardi ingin menjerit sekuat-kuatnya. Namun apa daya, mulutnya memang terbuka, akan tetapi suaranya seperti tersekat di tenggorokan. Dan suara itu hanya bergaung di dalam dadanya sendiri.
Tidak tahu persis apa yang menyebabkan semua itu terjadi, tiba-tiba saja suhu badan Wardi meninggi. Tetapi apa daya, badannya lunglai dan suhu tubuhnya mendingin. Dua menit, tiga menit, hingga lima menit, Wardi tidak bergerak dan detak nadinya sama sekali tidak terasa. Apakah dia telah mati?
"Siapapun adanya dirimu, kumohon jangan ganggu aku. Pergi...!!" Wardi menjadi semakin panik ketika kakek misterius itu menatapnya dengan pandangan aneh. Tapi hardikannya itu hanya menggema di dalam dadanya.
"Cukup!" Kakek misterius itu menggeram dan suaranya laksana guruh tanda sangkala kiamat telah datang. "Aku bukan yang membunuh kedua orang tuamu, tapi kedua orang tuamu sendirilah yang telah membunuh hidupnya sendiri. Sekarang ikutlah bersamaku. Kita lihat apa yang terjadi dengan kedua orang tuamu!"
Wardi tak tahu apa yang dimaksudkan kakek itu. Dan bukankah dia tak pernah menuduh siapapun atas kematian kedua orang tuanya? Wardi semakin menggigil. Laki-laki tua yang berpakaian serba putih itu mengulurkan tangannya dan siap membimbing Wardi untuk jalan berbarengan bersamanya. Wardi hanya bisa bersikap pasrah. Dia tak kuasa menolak ajakan lelaki misterius itu.
Melihat sikap yang ditunjukkan Wardi, laki-laki yang berjenggot panjang itu tertawa sangat keras. Tawa itu membuat Wardi semakin menggigil ketakutan. Dia merasa tawa itu seolah-olah tawa kemenangan iblis yang telah berhasil menjurumuskan Adam dan Hawa untuk memakan Buah Terlarang, sehingga mereka terusir dari taman sorga.
Sambil terus berjalan entah kemana dirinya dibawa pergi, Wardi perlahan-lahan mulai peka dengan lingkungannya yang baru. Dia mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Hatinya berdebar-debar tanpa sebab yang jelas.
Sesuai pesan laki-laki yang menuntunnya, Wardi terus berpegangan tangan, namun tak berani bertanya walau sepatah katapun. Sesekali dia melihat kakek itu menempelkan jari telunjuknya persis di bibirnya, memberi isyarat supaya dirinya tidaklah bicara sepatah katapun, meski Wardi merasa sangat heran dengan perjalanan yang dilaluinya. Ya, dia merasa tubuhnya begitu ringan, seringan kapas. Tak hanya itu, dia juga menyaksikan tempat di sekelilingnya yang sangat asing. Seumur hidup Wardi tak pernah melihat tempat seperti itu.
Manakala langkah-langkah mereka telah sampai di sebuah perkampungan baru yang suasananya sangat sunyi, Wardi memejamkan matanya. Ya. perasaannya mengatakan ada yang ganjil. Tak lama kemudian dia membuka matanya dan matanya menjadi liar memandang sekelilingnya. Dia kemudian dihadapkan pada kenyataan yang selama ini belum pernah dilihatnya. Entah bagaimana ini bisa terjadi, dia melihat makhluk yang berwarna hijau campur warna biru, tingginya setinggi tumpukan buah kiwi, kepalanya bundar, mempunyai buntut mungil dan tiga jari kaki dan jari tangan. Apakah jenis makhluk itu? Wardi terheran-heran.
Untuk yang kesekian kalinya, Wardi hampir-hampir tak mempercayai akan penglihatannya sendiri. Setelah melihat makhluk aneh berwarna campuran hijau dan biru itu, kini dia dihadapkan pada kenyataan yang lebih seru. Dia melihat rombongan katak yang berjejer, berbaris rapi. Pasukan katak itu seperti tengah memberikan penghormatan kepada laki-laki tua misterius yang mengajak Wardi. Sementara itu, Wardi hanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat, dengan sekujur tubuh menggigil hebat.
Pikiran Wardi semakin berkecamuk tak karuan. Dia merasakan saat ini dirinya tidak lagi berada di bumi yang hanya akan bertemu dengan manusia, tapi seperti di dalam Station of Babylon 5 dalam serial Star Trek yang penuh dengan makhluk-makhluk angkasa luar.
Suasana ganjil benar-benar menyelimutinya. Wardi tak tahu harus bagaimana lagi. Hampir-hampir saja dia tak percaya pada penglihatannya sendiri. Dalam hati dia terus bertanya-tanya, bagaimana ini bisa terjadi? Apalagi ketika dia melihat seekor katak tengah mengayuh kendaraan mirip sepeda kumbang.
Benar-benar edan!
Keganjilan-keganjilan yang ditemuinya menggelitik pikiran dan nuraninya. Biarpun begitu, mulutnya tetap bungkam. Keinginan dan harapannya untuk dapat bertemu dengan kedua orang tuanya mendorongnya untuk bersikap tut wuri handayani. Ya, dia menurut saja!
Benar adanya. Harapannya untuk dapat bertemu dengan kedua orang tuanya akhirnya menjadi kenyataan juga. Dalam pada itu pikirannya menyusuri masa kecil, di saat dirinya bermain pluturan daun jambe bersama kedua orang tuanya.Wardi tersenyum kecut. Tiba-tiba saja lahirlah kembali kekosongan. Mendadak ada sesuatu yang tampak dari sorot mata kedua orangtuanya itu seperti kosong, karena seolah-olah harapan telah hilang. Kekosongan, itu menyiratkan kesedihan dan penderitaan yang sangat panjang.
"Benarkah itu Bapak dan Ibuku...?" Wardi menggumam.
Dia lalu termangu-mangu. Persoalan kodrat telah menggelitik nuraninya. Gejolak jiwa yang berpendar merata yang akan menuju ketidakterbatasan, menjadi kondisi yang teramat menyedihkan. Wardi mempunyai pemikiran bahwa kedua orang tuanya tidak mampu menemukan suatu tempat peristirahatan dalam kondisi kosong. Wardi merasakan keheningan yang teramat liar! Kekosongan itu telah berubah maknanya. Segala sesuatnya berkahir dengan tragis. Teramat menyedihkan!
Kekosongan itu telah berubah makna, bukan lagi sebuah kematian, akan tetapi sebuah penantian kedua orang tuanya. Dan kematian kedua orang tuanya ternyata bukanlah akhir kehidupan. Dugaannya bahwa arwah kedua orang tuanya menemukan kedamaian abadi di sisi Tuhan, meleset jauh. Dan gambaran yang tergelar di hadapannya saat ini adalah realitas.
Semasa hidupnya dulu, orang tua Wardi adalah orang terkaya di Kecamatan Trowulan. Juragan sapi yang sukses, sawahnya ada dimana-mana. Tapi kini, semua telah berubah jauh. Di ruang dan waktu yang telah menjadi momen miliknya, kedua orang tuanya menjadi budak! Budak alam lelembut! Dulu semasa hidupnya orang tuanya yang berkuasa atas setan-setan itu. Kini sebaliknya, penghuni alam lelembut itu yang berkuasa atas orang tuanya.
Mereka tengah memetik buah. Kedua orang tuanya menjadi budak, tukang angon sapi di alam lelembut sampai kiamat datang.
"Segala perbuatan itu harus ada bayarannya," laki-laki tua yang menuntun Wardi tertawa keras sekali.
"Bapak...Ibuuu...!" jerit panjang Wardi ketika melihat kedua orang tuanya menerima cambukan yang bertubi-tubi. Benar-benar tak ada rasa perikeiblisan.
Bersama jerit panjang itu, semuanya menjadi gelap. Pegangan tangan si kakek terlepas. Bersamaan dengan itu juga laki-laki misterius yang berpakaian serba putih yang telah membawanya bertemu dengan kedua orang tuannya yang sekarang telah menjadi budak di Laut Kidul, tiba-tiba lenyap tanpa bekas.
***

Keluarga Wardi benar-benar pasrah, demikian para tetangga yang telah berkumpul di rumahnya, juga yakin kalau Wardi telah meninggal. Orang-orang sudah mulai membaca surat Yasin sebagian lagi mempersiapkan perlengkapan (ubo rampen) upacara pemakaman. Sepuluh menit kemudian, orang-orang yang ada di rumah itu dikejutkan suara erangan dari mulut Wardi. Lelaki anak tunggal Pak Karso dan Bu Karso itu tidak jadi meninggal. Dia kemudian menangis sesunggukan sambil berpelukan pada Lek Sugiman, adik dari ayahnya.
"Bapak…Ibu, Lek! Mereka…mereka!" Geragap Wardi. Dia merasa sulit menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Dan dia merasa hal itu memang tak pantas diceritakan di tengah suasana tetangga yang sedang ramai. Dia tak sanggup membongkar aib itu.
Kuasa Tuhan memang teramat besar. Yang dianggap tidak masuk akal oleh manusia, bisa terjadi demikian mudahnya. Persiapan-persiapan upacara pemakaman kembali dibatalkan. Wardi benar-benar hidup kembali.
Mata Wardi yang sebelumnya terpejam, kini terbuka lebar. Tapi pandangannya serasa hampa. Bayangan kedua orag tuanya yang kini telah menjadi budak di Laut Kidul terus bermain-main di pelupuk matanya. Dia kembali tenggelam dalam pikirannya yang kalut. Barangkali kedua orang tuanya harus di Laut Kidul untuk membayar perjanjian yang telah disepakati antara kedua orang tuanya dengan penguasa Laut Kidul.

Senin, 28 Januari 2008

CINTA YANG TERBAWA MATI

Penulis : MUHAMMAD SYAHRIAL


Kisah mistis ini sungguh-sungguh telah menimpa seorang sahabat saya (Penulis-Red). Demi menjaga privacy mereka, nama-nama tokoh sengaja telah disamarkan....

Kehilangan sesuatu yang kita cintai sungguh merupakan hal yang sangat menyakitkan. Apalagi kehilangan seorang pujaan hati, dambaan kalbu. Sungguh, ini kenyataan yang sangat pahit. Setidaknya, begitulah yang dialami Anita. Sejak kehilangan Andi, hidupnya serasa tak berarti. Hari-harinya penuh dengan kesedihan. Batinnya selalu dilanda gemuruh tak menentu yang membuatnya kembali menangis, menangis, dan menangis.
"Sudahlah, lupakanlah Andi, Nita! Sepanjang waktu pun kau menangis, dia tidak akan bisa kembali bersama kita," bujuk Siska, sahabat setianya yang selalu mencoba menghibur dan memberi harapan-harapan baru.
Siska boleh saja bicara seperti itu, sebab dia memang tidak merasakan apa yang dialami oleh Anita. Kematian Andi baginya merupakan kenyataan pahit yang sangat sulit dipercaya. Bagaimana mungkin dia bisa memperacayainya. Hanya sekitar satu jam sebelum malaikat maut merenggut nyawa Andi, Anita baru saja bersamannya. Bahkan mereka baru saja melakukan hal yang sama sekali terlarang bagi keduanya.
Ya, malam minggu itu sejak sore hingga malam hari mereka menikmatinya berdua saja. Mulanya mereka memadu kasih di tepi pantai sambil membicarakan tentang masa depan yang akan mereka jalani bersama. Entah setan mana yang akhirnya menuntun mereka melangkah ke kamar sebuah losmen sederhana. Di sanalah cinta mereka saling berlabuh. Andi memacu hasrat cintanya, dan Anita hanya bisa mendesah dan menjerit kecil dalam kepasrahan sorgawi. Lalu segalanya berubah begitu cepat. Kenikmatan itu sepertinya hanya sesaat saja mereka reguk. Di saat peluh belum lagi mengering, mereka telah terjerambab ke dalam jurang penyesalan. Anita hanya bisa menangisi sesuatu yang hilang dari dirinya. Miliknya yang paling berharga.
"Maafkan aku, Nita. Tidak seharusnya kita melakukan perbuatan ini, Sayang!" bisik Andi dengan mata nanar dan wajah pucat.
Anita menggeleng pelan sambil menggigit bibirnya yang indah. Dia pun coba membohongi dirinya, "Tidak, Sayang! Aku menangis begini justeru karena aku bahagia."
Mereka pun berpelukan mesra. Dan mereka mencoba untuk tidak menyesalinya.
Malam itu mereka pergi meninggalkan kamar losmen dengan hati yang mencoba sungguh-sungguh bahagia dengan kenistaan yang telah mereka lakukan. Dengan pelukan erat tangan Anita yang duduk di jok belakang, Andi memacu Kawasaki Ninja-nya menembus kegelapan malam. Andi yang senang ngebut tentu tak pernah mau kompromi dengan sepeda motornya. Dia memacu kendaraan itu nyaris seperti lesatan anak panah dari busurnya. Begitu cepat, hingga beberapa kali Anita harus mencubit pinggangnya agar sang kekasih mengurangi laju kendaraannya. Tapi Andi hanya mau mengerti sedikit saja. Hanya sesekali dia mengurangi laju sepeda motor ber-CC besar itu. Setelah itu dia kembali ngebut, hingga hanya sepuluh menit kemudian mereka tiba di rumah Anita.
Waktu itu jarum jam telah menunjukkan pukul 24 WIB lewat beberapa menit. Karena malam sudah cukup larut, Andi terpaksa tidak mampir lagi di rumah Anita. Setelah mengantar gadis kelas 3 SMA itu sampai depan pintu rumahnya, Andi pun segera berpamitan. Anita pun tidak memaksanya untuk singgah karena malam memang sudah hampir larut.
"Hati-hati, jangan ngebut ya, Sayang!" pesan Anita. Aneh, tak seperti biasanya dia berpesan seperti ini, sebab dia telah tahu hobi berat pacarnya itu. Dipesan seribu kali pun Andi pasti akan tetap ngebut.
Entah mengapa, Anita mengucapkan pesan tersebut malam itu. Mungkin hal ini semata-mata karena didorong oleh nalurinya yang memberi tahu bahwa akan terjadi sesuatu pada diri Andi, pacarnya. Dan kenyataannya memang seperti itulah. Satu jam setelah kepergian Andi, Anita yang sedang melamunkan sensasi mesra yang baru saja dilakukannya bersama Andi, tiba-tiba dikejutkan oleh bunyi ponselnya. Dan keterkejutannya kian sempurna ketika dia mendengar kabar dari seseorang nun jauh di sana.
"Andi baru saja tabrakan. Kalau sempat, lekaslah kau ke rumah sakit, Nita!"
Demikianlah kabar yang membuat Anita sekali lagi harus menumpahkan air matanya....
***

Anita jatuh tak sadarkan diri ketika malam itu tiba di rumah sakit dan mendapat berita bahwa Andi telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dia sulit percaya dengan kenyataan yang sepertinya begitu cepat terjadi ini.
Tapi, memang begitulah yang telah telah terjadi. Andi harus mati karena kecerobohannya sendiri. Malam itu di jalanan dia mendapatkan musuh pengendara sepeda motor yang lain, yang mengajaknya balapan. Bagi Andi, pantang didahului oleh siapa pun ketika sedang ngebut. Namun sepeda motor itu tiba-tiba saja menyalipnya. Andi tentu saja panas hatinya. Dia segera mengejar sepeda motor itu. Kejar-kejaran pun terjadi. Dengan sepeda motor yang ber-CC besar Andi tentu saja berhasil menyalip. Namun dia rupanya lengah. Saat jalanan menikung, di sana ada sebuah mesin perata jalan yang tengah terparkir. Andi tak menduga sama sekali. Dia terlambat mengantispasi. Dengan kecepatan 150 Km. perjam sepeda motornya menghantam roda besi mesin itu. Andi terpental beberapa puluh meter. Kawasaki Ninja-nya ringsek dan patah menjadi dua bagian. Sementara itu tubuh Andi yang hanya terbuat dari tulang dan daging itu mengalami keadaan yang lebih parah. Tubuh itu remuk dengan kepala pecah. Andi pun meninggal di tempat kejadian.
Betapa tragis kematian Andi. Kenyataan inilah yang sulit diterima oleh Anita. Namun sesungguhnya bukan semata kepergian Andi yang tragis itu yang terus membuatnya bersedih. Kesedihan Anita juga ditambahi oleh apa yang telah dilakukan oleh Andi malam itu atas dirinya. Ya, tiba-tiba saja Anita menganggap betapa tidak adilnya kehidupan ini. Mengapa kehidupan harus berlalu dari diri Andi ketika cowok itu telah menanamkan noda di tubuhnya?
Sesungguhnya hal itulah yang membuat air mata Anita selalu mengalir deras, sehingga Siska yang paling dekat dengannya pun sulit untuk menghiburnya dari kesedihan.
"Sampai kapan kau akan terus menangisi kepergian Andi, Nita? Relakanlah dia berpulang ke sisiNya. Jangan bebani dia dengan tangismu!" bujuk Siska seperti seorang ibu yang berusaha meminumkan obat kepada anaknya yang masih balita.
Anita hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berusaha menghentikan tangisnya. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, kendati sebenarnya dia sangat ingin menceritakan hal yang sebenarnya kepada Siska. Namun dia takut Siska bukannya bersimpati, apalagi memberikan jalan keluar untuk dirinya, malahan Siska akan membenci dan mencemoohnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan Siska yang alim itu akan berubah benci dan menganggap dirinya sebagai gadis murahan.
***

Karena pukulan batin yang teramat berat, Anita yang selama ini dikenal sebagai primadona di SMA-nya itu akhirnya mengalami banyak perubahan. Hari-harinya tak lagi ceria. Kecantikannya pun mulai pudar. Lihatlah, rambutnya yang dulu indah tergerai kini berubah kusut masai tak terawat lagi. Kulitnya yang halus pun kini mulai tumbuh bintik-bintik merah dan kehitaman karena dia sudah malas mandi. Sehari-hari kerjanya hanya mengurung diri di dalam kamar. Dia bahkan sudah melupakan sekolahnya.
Pada malam 40 hari kematian Andi, Anita tiba-tiba berteriak-teriak histeris dan memohon agar Andi membawanya pergi bersamanya.
"Bawalah aku, Andi…! Aku ikut…aku ikut, Sayang!"
Begitulah kata-kata yang diucapkan Anita dalam rintih, tangis dan jeritannya. Ayah dan ibunya berusaha menenangkannya, termasuk juga kakak dan adiknya, serta pembantu yang bekerja di rumah itu.
"Sadarkah, Nak! Lupakanlah, Andi. Relakanlah dia pergi!" bujuk ayahnya.
Keluarga itu berusaha menenangkan Anita tidak hanya dengan bujuk rayu. Mereka juga berusaha menenangkan dengan kekuatan tenaga sebab Anita selalu memberontak dan ingin berlari menyusul Andi.
"Andi aku ikut! Tunggu aku, Andi!" pekik Anita berulang-ulang.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Malam itu, tanpa seorang pun tahu sebenarnya Anita sungguh-sungguh merasakan kehadiran Andi. Cowok itu datang kepadanya dengan pakaian serba putih. Dan dia selalu melambai-lambaikan tangannya, mengajak Anita pergi bersamanya. Karena itulah kemudian Anita memanggil-manggil Andi, hingga akhirnya mencemaskan seluruh penghuni rumah itu.
Setelah lepas 40 hari kematian Andi, Anita memang selalu merasakan kehadiran Andi di dalam kamarnya. Bayangan lelaki itu kerap muncul dengan pakaian serba putihnya, sehingga Andi nampak sangat tampan dan mempesona. Namun di waktu lain Andi justeru muncul dalam wujud yang menyeramkan. Ya, terkadang dia hadir dalam bayangan sosok tubuh yang hancur dan kepala remuk, sehingga tampaklah cairan otaknya yang meleleh.
Dalam kenyataan lain, akibat melihat penampakan-penampakan seperti itu Anita kerap merengek-rengek minta ikut bersama Andi. Namun di saat yang lain Anita pun kerap menjerit-jerit ketakutan. Keluarganya pun hampir setiap malam selalu sibuk menenangkannya. Mereka juga telah mendatang dokter, psikiater, bahkan dukun untuk coba membujuk Anita agar melupakan Andi. Namun semuanya seperti sia-sia. Bahkan, paranomal yang diminta tolong mengatakan bahwa Anita takkan pernah bisa terlepas dari bayangan arwah Andi. Alasannya? "Mereka satu sama lain telah terikat pada sumpah sehidup semati," kata si paranormal.
Memang, malam itu selepas melakukukan hubungan yang sangat terlarang itu, mereka telah mengikrarkan sumpah untuk saling mencinta sehidup semati. Sumpah ini ternyata telah menjadi semacam ikatan gaib antara Anita dan Andi, sehingga setelah mati pun Andi selalu mendatangi Anita, di saat malam dan di saat gadis itu sunyi dalam kesendirian.
Arwah Andi terus mengunjungi Anita, hingga akhirnya Anita pun tak kuasa menahan kerinduan. Dia menderita sakit. Dalam sakitnya dia selalu menyebut-nyebut nama Andi. Seminggu setelah terbaring sakit, di suatu malam gelap berselimut hujan, Anita menghembuskan nafas terakhirnya. Semua orang menangisi kepergiannya. Namun, Anita telah pergi bersama cinta dan dan kerinduannya. Juga bersama dosa yang hitam.

"BURUNGKU" DISANDERA ISTERIKU

Penulis : KI DADAPTULIS


Bagaimana penis bisa disandera? Bukankah onderdil ini selalu melekat di tempatnya. Kalau disandera, berarti harus dilepas. Bagaimana mungkin bisa terjadi? Kisah mistis ini pernah menimpa seorang pria di Kalimantan. Pelaku peristiwa menuturkannya....

Saya adalah seorang sopir. Penghasilan saya sewaktu bekerja di Jawa kurang memuaskan. Walau saya masih bujangan, kebutuhan hidup saya cukup besar. Apalagi saya masih mempunyai tanggungan empat orang adik yang harus saya biayai sekolahnya.
Ayah sudah meninggal, sedangkan ibu hanyalah seorang buruh tani. Maka ketika ada tawaran bekerja di Sumatera dengan gaji yang cukup tinggi, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.
Empat tahun di Sumatera saya rasakan hasil jerih payah saya. Sawah yang tergadai sewaktu ayah sakit dapat kami tebus. Saya merasa betah bekerja sebagai pengemudi loging truck. Selain hasilnya lumayan, saya tidak pernah berurusan dengan polisi. Jauh berbeda bila dibandingkan ketika bekerja sebagai sopir bus.
Ketika perusahaan membuka areal baru di Kalimantan Tengah, saya termasuk salah satu karyawan yang dengan sukarela pindah ke sana. Menurut perhitungan saya, areal baru penebangan tentu kayunya masih cukup banyak sehingga hasil yang saya peroleh pasti juga cukup besar. Selain itu jarak antara tempat penebangan dengan tempat penampungan kayu masih sangat dekat. Minimal dua belas rit sehari bisa saya angkut, dengan demikian penghasilan akan berlipat ganda.
Saya termasuk anak muda yang pandai bergaul. Buktinya, tidak lama tinggal di camp baru, tepatnya di Kampung Rantau Asem yang berada di hulu sungai Katingan, saya telah banyak kenal sesama anak muda penduduk setempat. Salah satunya adalah Emi, gadis Dayak Ngaju yang menurutku cantik jelita, dengan kulitnya yang khas, kuning langsat.
Emi memang begitu menggodaku. Karena itu, tidak perlu berlama-lama pacaran, saya dan Emi memutuskan untuk segera menikah. Lamaran dilakukan oleh Manager Camp, yang mewakili keluargaku yang tidak dapat hadir. Maklumlah, Ibuku sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jarak jauh, sedangkan adik-adikku semuanya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Seperti kebiasaan adat penduduk setempat pada waktu itu, aku harus menyerahkan barang-barang elektronik seperti radio, tape recorder dan peralatan dapur sebagai mas kawin.
Pesta pernikahan cukup meriah walaupun sangat sederhana menurut ukuran penduduk setempat pada umumnya. Aku sangat bahagia dapat menyunting gadis Dayak Ngaju yang menjadi incaran banyak pemuda di kampungnya.
Setelah menikahi Emi, hari-hariku penuh madu kemesraan. Dari pagi sampai sore aku bekerja mengangkut kayu dari hutan ke Log-pond (tempat penumpakan kayu). Dan malam harinya kuhabiskan waktuku bersama Emi.
Sebagai lelaki muda, aku banyak pengalaman dengan gadis-gadis di kota. Tetapi bila dibandingkan dengan Emi, isteriku, mereka bukanlah tandingannya. Emi menyimpan daya seks yang luar biasa.
Kalau saja aku tidak rajin minum air pasak bumi, mungkin aku sudah terkapar lemas setiap pagi. Bayangkan, hampir setiap malam kami selalu bercinta dan bercinta. Nyaris sepanjang malam.
Waktu berputar begitu cepat. Tidak terasa sudah lima tahun aku menikah dengan Emi. Tetapi sampai saat itu kami belum dikaruniai momonngan. Aku dan Emi tidak mempermasalahkan hal ini.
Kami menikmati saja hari-hari yang ada. Sampai akhirnya datang malapetaka itu. Pada suatu hari datang sepucuk surat dari Jawa. Persisnya dari Ibuku. Tentu saja yang menulis bukan Ibuku, tetapi adik perempuanku yang masih tinggal bersamanya, sebab adikku yang lain mengikuti suaminya masing-masing di lain kota.
Surat berbahasa Jawa itu isinya meminta agar aku segera pulang ke Jawa. Aku akan dinikahkan dengan gadis pilihan Ibu dengan maksud agar dapat mempunyai keturunan.
"Gadis Dayak itu tidak dapat memberimu anak. Sedangkan Ibu sangat ingin untuk menimang cucu darimu," kata Ibu dalam surat itu.
Aku sangat bingung. Ada perang batin yang begitu dahsyat berkecamuk dalam dadaku. Di satu sisi aku sangat mencintai Emi, dan di sisi lain aku juga sangat sayang serta hormat kepada Ibuku. Aku tidak mampu memilih. Itulah sebabnya aku meminta pendapat Pak Slamet, Manager Camp.
"Memang tidak mudah untuk mengambil keputusan dalam kasusmu ini. Yang saya herankan, mengapa Ibumu begitu mudah membuat keputusan untuk mengawinkan kamu dengan gadis pilihannya. Bagaimana seandainya hal seperti itu menimpa dia pada waktu mudanya," kata Pak Slamet.
"Saya sangat mencintai Ibu saya. Tetapi saya juga mencintai Emi. Ibu sangat dekat dengan saya. Walau anaknya lima tetapi saya yang menjadi anak kebanggaannya. Tetapi seharusnya ibu musyawarah dulu dengan saya sebelum mengambil keputusan," kataku menggumam seperti berbicara dengan diri sendiri.
"Emi tahu tentang ini?" tanya Pak Slamet.
"Tidak, Pak. Saya tidak mempunyai keberanian untuk berterus terang kepadanya," jawabku.
"Bagus. Tidak ada perempuan yang mau dimadu. Apalagi dicerai. Sebaiknya Emi jangan tahu."
"Lalu, apakah saya tidak usah pulang?"
"Pulanglah. Kau harus menjadi anak yang berbakti. Berilah Ibumu pengertian. Yang menentukan kita punya anak atau tidak itu adalah Tuhan. Kapan kita punya anak, rizki kita, bahkan ajal kita. Hanya Allah yang berhak menentukan."
"Alasan apa yang harus kusampaikan kepada Emi, Pak?"
"Banyak alasan. Bilang saja ada keluarga yang sakit, meninggal, menikah atau apa saja."
"Kalau dia mau ikut?"
"Bilang saja kamu tidak punya biaya. Lagipula kamu harus buru-buru sebab cutimu cuma seminggu."
"Baiklah. Saya akan coba!"
Aku meninggalkan ruangan Pak Slamet dengan masih diliputi berbagai persoalan.
Sore harinya, ketika sampai di kamarku, Emi menangkap kemurungan wajahku. Kegundahanku tidak dapat kusembunyikan.
"Ada persoalan apa, Mas?" tanya Emi lembut sambil membelai rambutku.
"Aku dapat surat dari Jawa!" jawabku.
"Lho, cuma surat saja kok dibuat sedih."
"Aku disuruh pulang karena ada yang sakit. Aku tidak punya uang."
"Simpanan kita tidak cukup?"
"Cukup kalau untuk aku sendiri."
"Kalau begitu, Mas pulang sendiri saja," kata Emi, sekaligus membuat batinku lega.
Namun, rupanya Emi curiga ada sesuatu yang tidak beres. Begitu aku berangkat, Emi membawa surat itu ke Pak Slamet.
"Surat ini isinya apa, Pak?" tanya Emi.
"Baca saja. Kamu kan bisa membaca," jawab Pak Slamet.
"Saya bisa membacanya, tetapi tidak mengerti maksudnya," jawab Emi.
"Mengapa?"
"Tidak tahu bahasanya. Pakai Bahasa Jawa, ya?"
Pak Slamet pura-pura membaca. Kemudian dia mengatakan kepada Emi bahwa ada keluargaku di Jawa yang sakit. "Kamto disuruh pulang karena ada yang sakit." begitu bohong Pak Slamet.
Emi rupanya tidak puas dengan jawaban Pak Slamet. Kemudian dia meminta tolong kepada salah seorang isteri karyawan yang lain, entah siapa sampai sekarang aku tidak tahu. Di situlah Emi tahu kalau aku akan dikawinkan dengan perempuan lain karena Emi dianggap tidak mampu memberiku keturunan.
Emi memang pemain watak nomor satu. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda cemburu. Keberangkatanku diantar dengan senyum manisnya. Perlu juga saya sampaikan kepada pembaca, bahwa malam sebelum keberangkatanku kami bercinta hampir sepanjang malam, Emi menunjukkan gairahnya yang luar biasa.
Setiba di Banjarmasin saya naik pesawat menuju Surabaya. Di Juanda inilah aku mengetahui kalau "Burung" ku lenyap. Waktu itu aku ingin buang air kecil. Sudah sejak ada di atas pesawat kutahan hajat ini.
Begitu aku berada di kamar kecil dan aku membuka celanaku, aku tidak melihat "burung" kesayanganku itu. Tentu saja aku panik. Kemana gerangan? Aku tak habis pikir.
Agar cepat sampai, aku memilih menyewa taksi ketimbang naik bus menuju Jawa Tengah. Tepatnya di Boyolali.
Begitu tiba di rumah aku menubruk Ibuku meraung menangis di pangkuannya.
"Ono opo, Le. Teko-teko kok nangis (ada apa, nak. datang-datang kok nangis)?" tanya ibuku sampai mengelus-elus rambut kepalaku.
"Anu, Bu...Barang saya hilang, Mbok!" jawabku seperti anak kecil.
"Ya, sudah. Barang hilang tidak usah ditangisi. Bila ada rezeki nanti beli lagi."
"Barang yang hilang ini tidak bisa dibeli, Mbok. Tidak ada yang jual."
"Barang opo to, le. Kok tidak ada yang jual."
"Barang ini lho, Mbok!" jawabku sambil tanpa malu-malu melorotkan celanaku.
Di bawah rimbunnya semak-semak hitam tidak ada barang yang biasa bertengker disitu. Tentu saja Ibuku dan yang hadir menjadi seperti orang linglung. Heran bercampur bingung. Pamanku menyarankan agar aku dibawa ke "orang pintar". Aku pun menurutinya.
Namun, entah sudah berapa orang tua di daerahku yang kami datangi tetapi tidak ada satupun yang dapat memberikan solusi yang memuaskan.
Akhirnya aku pergi ke Klaten. Persisnya ke rumah mantan Kepala Kantor sebuah perusahaan swasta di Banjarmasin. Beliau bukan paranormal atau sejenisnya, tetapi sangat berpengalaman dalam hal-hal seperti itu.
Setelah berbasa-basi sebentar, pamanku menyampaikan maksud kami. Aku menceritakan sedikit gambaran mengapa aku pulang ke Boyolali. Mendengar ceritaku Pak Adi, orang pintar itu tertawa lebar.
"Saya kira apa yang pernah saya dengar itu hanya dongeng atau sekedar lelucon. Ternyata memang benar-benar ada. Kalau begitu jangan khawatir," kata Pak Adi.
"Jangan khawatir bagaimana. Lha wong "burung" hilang kok. Ini serius, Pak!" sergah pamanku.
"Begini. Dik Kamto apakah berniat menceraikan Emi?" tanya Pak Adi.
"Tidak. Saya tidak mungkin menceraikan Emi, Pak. Saya sangat mencintainya!" jawabku, tegas.
"Kalau begitu cepatlah kembali ke Camp Rantau Asem. Kamu akan mendapatkan kembali barangmu yang hilang itu!"
"Apakah betul, Pak?" aku penasaran.
"Saya jamin seratus persen!" tegas Pak Adi.
Tidak ada jalan lain kecuali aku harus segera kembali ke Rantau Asem, Katingan, Kalimantan Tengah. Menyadari keadaan yang aku alami, sampai aku kembali ke tempat kerja tidak ada pembicaraan mengenai pernikahan yang diinginkan oleh Ibuku.
Singkat cerita, aku telah tiba kembali di Rantau Asem tempatku bekerja. Namun sesampainya di sana, ternyata isteriku tidak ada di barakku. Dia pulang ke kampungnya, yang memang tidak begitu jauh dari camp. Aku pun segera menyusulnya ke sana
Emi memang pemain watak yang sempurna. Setiba di rumah mertua aku disambut isteriku dengan hangat. Inilah yang membuatku tidak bisa melupakannya.
"Mas, ketinggalan burung, ya?" tanyanya manja.
"Aku sangat khawatir, Em!" jawabku sambil memeluknya dengan gemas.
"Tidak usah khawatir. Barang mas tersimpan rapi kok. Ada di sini!" kata Emi sambil menunjukkan stoples berisi sesuatu. Astaga! Sulit dipercaya. Ternyata isi toples itu adalah "burungku" yang nampak teronggok tak berdaya. Dengan santai Emi mengambil barang itu lalu menempelkannya ditempatnya. Burungku pun kembali bertengger di sangkarnya semula.
Ajaib, mengherankan, tak masuk akal! Dan entah kata apa lagi yang dapat kuucapkan. Tetapi itulah kenyataannya. Entah ilmu apa yang telah digunakan oleh Emi untuk melakukan tindakan yang sangat ajaib itu. Hingga kini aku tak mengetahuinya. Namun yang pasti, hal seperti ini kerap terjadi dan dilakukan oleh suku Dayak Ngaju.
Walau sampai sekarang aku dan Emi tidak dikaruniai anak, kami tetap bahagia. Kami hidup dalam bulan madu setiap hari. Soal anak, biarlah Tuhan yang akan mengaturnya.

BERSUAMI SILUMAN BUAYA

Penulis: IVAN SURYANA


Kisah mistis ini mirip sebuah legenda yang diyakini kebenarannya. Sulastri, gadis desa itu ternyata bersuamikan pemuda dari bangsa Siluman Buaya....

Seperti biasanya, setiap pagi dan sore Sumi mencuci pakaian dan peralatan dapur di sungai dekat rumahnya. Kebiasaan ini memang telah menjadi kebiasaan penduduk desa yang terletak di pinggiran kali Cimenceuri.
Sore itu, kebetulan air sungai sedang banjir. Ketika sedang mencuci, pandangan mata Sumi tertuju pada sebuah benda hitam yang agak panjang, yang tampak mengambang di dekat pangkalan tempat penduduk biasa mencuci. Tanpa menaruh curiga, Sumi mendekati benda itu. Ketika dia menyentuhnya, mendadak benda itu bergerak. Tapi bukannya menjauh, benda hitam itu malah terus mendekatinya.
Ternyata, benda itu adalah seekor buaya, tapi masih relatif kecil. Mungkin juga masih bayi. Aneh, Sumi bukannya merasa takut, tapi justeru merasa kasihan pada hewan itu. Tanpa berpikir macam-macam, akhirnya wanita desa berwajah ayu ini membawa bayi buaya itu untuk dipelihara di rumahnya.
Sumi menaruh anak buaya temuannya di dalam paso (baskom terbuat dari tanah) besar. Paso itu dia letakkan di bahwa kolong tempat tidurnya yang sederhana.
"Kamu tinggal saja denganku disini. Aku pasti akan merawatmu," bisik Sumi sambil mengusap-usap anak buaya itu, tanpa rasa jijik atau takut ealau sedikitpun.
Entah kekuatan apa yang mendorong Sumi berbuat begitu baik kepada buaya kecil itu. Bahkan, Sumi dengan telaten memberikan makan pada buaya itu di setiap harinya.
Anehnya, sejak memelihara anak buaya itu, kehidupan Sumi yang telah lama menjanda malah berubah serba kecukupan. Padahal, dulu dia hanya mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Memang, ada yang aneh dengan Sumi. Kadang-kadang, dengan begitu saja dia mendapatkan uang dalam jumlah relatif besar untuk dirinya yang disembunyikan di bawah bantal tempat tidurnya.
"Aneh, dari mana uang ini?" pikir Sumi. Namun, dia tak pernah mampu menjawab pertanyaan ini.
Sementara itu, hari-hari berlalu, anak buaya yang dipiaranya itu semakin tumbuh besar. Sumi selalu memberinya makan dengan anak ayam yang dibelinya. Setelah anak buaya itu semakin besar, maka apa yang terjadi? Paso yang digunakan untuk memelihara buaya itu kini menjadi sempit, bahkan tak mungkin bisa menampung tubuh si buaya yang tumbuh semakin besar.
Sumi kebingungan dengan kenyataan ini. Akan dikemanakan buaya yang semakin besar itu? Jika dibiarkan di rumahnya, dia takut mengganggu ketenangan hidupnya, bahkan mungkin juga para tetangganya. Namun, jika dibawa ke sungai, dia takut akan diketahui penduduk kampung. Mereka pasti beramai-ramai akan membunuh buaya itu.
Di tengah kebingungannnya, suatu malam, ketika Sumi kebingungan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan buayanya, tiba-tiba terdengar bunyi kecipak air disertai suara berisik yang mencurigakan. Sumi yang ketika itu sedang tidur akhirnya terbangun. Dia merasa curiga ada sesuatu yang terjadi dengan buaya kesayangannya. Karena penasaran, Sumi memeriksa keadaan hewan peliharaannya yang sudah dia pindahkan ke dapur, persisnya ke sebuah kolam yang dia buat sendiri.
Begitu mencapai dapur, alangkah terkejutnya Sumi. Dia hampir saja tak percaya melihatnya. Buaya peliharaannya tampak semakin tumbuh besar dari siang sebelumnya, bahkan kolam yang dia buat tak lagi bisa menampungnya. Dan buaya itu tengah bergerak kesana-kemari, sambil membentur-benturkan badannya ke dinding rumah. Untung dinding rumah bagian bawah peninggalan suaminya itu terbuat dari susunan batu bata, meski belum lagi sempat diplester. Kalau tidak, bisa saja rumah itu akan runtuh.
"Apa yang terjadi dengan buaya itu?" tanya Sumi dalam hati. Dia mulai dilanda kecemasan.
Sementara, si buaya terus membentur-benturkan tubuhnya ke dinding. Aneh, bersamaan dengan itu sepertinya ada lempengan-lempengan menyerupai sisik yang tebal di tubuh si buaya yang jatuh berhamburan.
Sumi menyaksikannya dengan cemas. Dia takut buaya itu benar-benar kalap dan menyerangnya. Tentu akan sangat mengerikan. Sumi tak sanggup membayangkannya.
"Sahabatku, mengapa kau marah begini. Kesalahan apa yang telah kuperbuat. Maafkanlah aku kalau aku sudah berbuat salah terhadapmu. Dan aku mohon, hentikanlah kemarahanmu," kata Sumi dengan hampir menangis. Dia sungguh-sungguh takut buaya itu akan merobohkan rumahnya, atau bahkan mungkin akan memangsa tubuhnya.
Namun, apa yang dipikirkan Sumi sama sekali tidak terjadi. Peristiwa selanjutnya malah membuat perempuan yang hampir menginjak usia kepala tiga itu ternganga heran. Dengan dada berdegup kencang dia menyaksikan sesuatu yang sulit dimengerti oleh akal sehatnya.
Ya, lihatlah apa yang terjadi! Beberapa lama setelah membentur-benturkan tubuhnya dan serpihan-serpihan mirip sisik itu berjatuhan, maka perlahan namun pasti hewan melata itu berubah wujud menjadi sosok pemuda belasan tahun yang sangat tampan, dengan sorot matanya yang tajam.
Melihat peristiwa ajaib ini Sumi tersurut beberapa langkah. Dia nyaris tak percaya. Namun, ketika dia menyadari bahwa itu sesuatu yang nyata, dia bermaksud segera pergi meninggalkan tempat itu guna meminta pertolongan.
"Jangan takut padaku, Ibu Sumi!" cegah pemuda jelmaan buaya itu, ketika melihat Sumi akan pergi. Wanita itu segera menahan langkahnya.
"Percayalah padaku. Aku takkan berbuat jahat padamu, malah aku akan menolongmu. Tapi, kau harus berjanji untuk tidak menceritakan kejadian ini pada siapapun, anggap aku ini sebagai anakmu”.
"Baiklah!" jawab Sumi. "Tapi siapa namamu, Nak?"
"Namaku Joko Andelo!" jawab si pemuda.
Ringkas cerita, setelah peristiwa itu, kehidupan Sumi bertambah senang. Hatinya juga selalu bahagia dan terhibur, sebab Joko Andelo terjun ke masyarakat dan disukai banyak orang. Tak hanya wajahnya yang tampan dan gagah. Dia juga ramah kepada siapa saja. Banyak juga gadis desa yang tergila-gila padanya. Salah satunya yang menaruh hati padanya adalah Sulastri, kembang desa tempat Sumi lahir, besar, dan kini tinggal. Ternyata, Joko Andelo juga sangat senang pada Sulastri. Keduanya pun saling jatuh cinta.
Pada hari yang ditentukan, Joko Andelo akhirnya menikah dengan Sulastri dan mereka hidup bersama.
Suatu hari Joko Andelo berkata pada Sulastri, "Sebenarnya Bu Sumi bukanlah ibu kandungku."
"Bukan ibumu?" tanya Sulastri, keheranan. "Lalu siapa ibu kandungmu yang sebenarnya?" Sulastri menatap penuh keingintahuan.
"Ibuku ada di desa seberang. Maukah kau menemui orang tuaku?"
Dengan hati penasaran akhirnya Sulastri menerima ajakan suaminya. Mereka lalu pergi. Mula-mula berjalan menuju seberang sungai Cimanceuri. Dalam perjalanan itu Joko terus menceritakan bahwa di desa tempat tinggalnya sangat menyenangkan, penduduknya ramah, makmur dan sentosa.
Sulastri membayangkan keadaan dimana dia berada di sebuah desa yang amat ramai. Ketika dia sedang bermain di alam hayalnya, tiba-tiba suaminya berada di sebuah muka perkampungan yang sangat asing bagi Sulastri.
"Inilah desa tempat orang tuaku tinggal," ucap Joko pada Sulastri.
Sesaat Sulastri terkejut. Dia hampir tak percaya melihat desa yang tampak begitu makmur. Semua rumah penduduknya bagus, bercat putih bersih.
"Lalu, mana rumah orang tuamu?" tanya Sulastri.
"Sebentar lagi kita tiba!" jawab Joko.
Mereka terus berjalan. Tatapan penduduk semua begitu ramah menyambut kedatangan mereka. Di sana-sini saling menyapa, anak-anak kecil bermain kejar-kejaran. Semuanya kelihatan bahagia.
Joko menuntun isterinya menuju ke sebuah rumah. Begitu masuk, mereka disambut oleh suami isteri yang telah berusia separuh baya. Merekalah ibu dan ayah Joko Andelo.
Sulastri tak tahu apa yang terjadi dengan suaminya. Yang pasti, selama tinggal di rumah mertuanya itu dia merasa betah, jauh lebih menyenangkan daripada tempat tinggalnya. Tetapi dia teringat pada orang tuanya, sehingga Sulastri bermaksud pulang menjenguk mereka. Ketika hendak pulang dan mengajak serta suaminya, Joko tidak mau, karena harus menjaga kedua orang tuanya.
Akhirnya Sulastri memutuskan untuk pulang sendiri. Dia pun berjalan sampai di muka perkampungan, tetapi tiba-tiba dirinya langsung muncul dari hulu sungai Cimanceuri dengan pakaian yang basah kuyup. Betapa terkejutnya dia pada kenyataan ini. Namun, setelah kejadian itu barulah Sulastri tersadar bahwa Joko Andelo, suaminya bukan manusia biasa, melainkan sebangsa siluman.
Setelah pulang, Sulastri bertanya pada Ibu Sumi tentang siapa Joko sebenarnya. Sumi menceritakan asal-usul pertemuannya dengan Joko sampai dia memelihara dan merawat Joko.
Beberapa bulan kemudian, Joko menjemput Sulastri ke rumahnya. Tetapi Sulastri tidak mau ikut, karena dia merasa bahwa alamnya berbeda. Lalu Joko Andelo berpesan pada isterinya, jika Sulastri ingin bertemu dengan dirinya, maka pukul saja beduk, dengan begitu diapun akan datang menemuinya.
Tetapi karena penduduk tempat tinggal Sulastri beragama Islam dan setiap waktu sholat terlebih dahulu memukul beduk, jadi Joko mengunjungi Sulastri sebanyak 5 kali dalam sehari. Maka di sungai Cimanceuri kerap bermunculan buaya. Konon, buaya-buaya itu adalah pengantar Joko ketika pergi dan pulang kembali. Akibatnya, wargapun menjadi resah.
Hingga pada suatu hari, Sulastri melahirkan seorang bayi dan bayi itu diserahkan pada Joko dengan syarat Joko tidak muncul lagi untuk menemuinya.
Begitulah, kini tak ada lagi buaya yang muncul di Kali Cimanceuri sejak ratusan tahun silam peristiwa ini terjadi.

BERCINTA DENGAN ROH NENEK PEWARIS ILMU SUSUK WIJAYAKUSUMA

Penulis : EKO HARTONO


Namanya Susuk Aji Wijayakusuma. Konon, ilmu ini bisa menjadikan pemakainya menjadi awet muda dan mampu memikat laki-laki. Seperti halnya kembang Wijayakusuma yang senantiasa mekar di kala bulan purnama tiba....

Setiap kali tiba bulan purnama, hati Pardi serasa disiram air bunga. Aroma keharumannya begitu memabukan jiwa, membuat Pardi serasa menemukan gairah muda yang menggelora. Pada saat seperti itulah dia bisa bertemu dan bercinta dengan gadis muda nan cantik bernama Yani.
Tapi anehnya, gadis yang dikencaninya itu tak pernah dikenal sebelumnya dan tidak diketahui asal-usulnya. Baru beberapa waktu kemudian dia mengetahui kalau ternyata wanita yang bercinta dengannya itu tak lain adalah penjelmaan roh gaib. Lebih gilanya lagi, wanita gaib itu tak lain adalah arwah neneknya sendiri.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ikuti kisah mistis berikut ini:
Waktu itu Pardi baru pulang dari kondangan di tempat saudaranya di desa tetangga. Dengan berjalan kaki, Pardi sendirian menyusuri jalan desa tak beraspal yang sepi dan senyap. Untung malam itu bulan purnama bertengger di atas langit. Sehingga Pardi tidak perlu membawa senter untuk menerangi perjalanannya.
Saat melintas di sebuah bukit kecil dekat persawahan, tiba-tiba Pardi melihat sosok seorang perempuan berambut panjang duduk di atas sebuah batu besar. Tadinya Pardi mengira perempuan itu peri atau kuntilanak. Tapi setelah dilihatnya kaki perempuan itu menginjak tanah, hati Pardi jadi tenang.
Dia lalu mendekati perempuan itu. Ketika sudah sampai di hadapannya tampaklah dengan jelas wajah perempuan itu diterpa cahaya rembulan. Ternyata, dia masih muda dan cantik. Pardi menelan air liurnya, merasa takjub melihat kecantikan si wanita. Dasar Pardi mata keranjang, dia jadi penasaran dan ingin berkenalan dengan gadis itu.
"Siapa namamu? Kenapa malam-malam berada di tempat ini sendirian? Apa kamu tidak takut?" pertanyaan ini meluncur deras dari mulut Pardi.
"Namaku Yani. Aku sedang menikmati indahnya bulan purnama. Aku tidak takut berada di sini sendirian, karena aku sudah sering berada di sini setiap bulan purnama," jawab gadis itu dengan nada menggemaskan.
"Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Sepertinya kamu bukan warga kampung ini. Kamu tinggal dimana?"
"Aku memang bukan warga sini. Aku tinggal di pinggiran hutan bersama si Mboku, namanya Mbok Marijem. Beliau suka mencari tanaman dan akar hutan untuk dijadikan bahan jamu. Sampenyan pasti pernah mendengar namanya."
Pardi diam dan merenung sejenak. Rasanya dia belum pernah mendengar nama Mbok Marijem yang tinggal di pinggiran hutan itu. Tapi biar tidak mengecewakan gadis itu, dia pun mengangguk-angguk. Bagi Pardi tak peduli apakah dirinya kenal atau tidak dengan Mbok Mariyem, yang penting dia bisa berkenalan dan dekat dengan Yani.
"Ya...ya...aku mengenalnya!" jawab Pardi dengan mantap. "Oh ya, boleh aku ikut duduk di sini menemanimu?" katanya lagi.
"Silahkan, Mas. Aku malah senang ada yang menemani. Nama Mas sendiri siapa sih ?" sahut Yani sambil tersenyum penuh arti.
"Namaku Pardi. Omong-omong, nanti kekasih Dik Yani marah melihat aku duduk berdua denganmu?"
"Aku belum punya kekasih kok, Mas."
"Ah, masak gadis secantik kamu belum punya pacar?"
"Sungguh, Mas! Gadis kampung macam aku mana ada yang mau?"
"Ah, siapa bilang? Aku mau kok jadi kekasih Dik Yani!" rayuan gombal Pardi mulai keluar.
"Jangan ah! Nanti isteri Mas Pardi marah?" sahut Yani.
"Aku belum punya isteri kok !" ujar Pardi dengan mantap.
Rupanya Yani percaya dengan ucapan Pardi. Atau pada dasarnya dia gadis yang masih polos dan lugu. Ketika Pardi mencoba duduk merapat, Yani tidak menolak. Hal ini membuat Pardi semakin berani. Dia lalu memegang tangan Yani dan membelai rambutnya. Seperti dua insan remaja yang sedang dimabuk asmara keduanya bercengkerama dan bercanda ria.
Pertemuan pertama pada malam itu sangat berkesan dalam hati Pardi. Dia lalu ingin melanjutkan kembali pertemuannya dengan Yani. Tapi sayangnya, Yani menolak Pardi datang ke rumahnya. Soalnya Yani mengaku nanti akan dimarahi oleh si Mboknya. Yani hanya mau bertemu dengan Pardi di bukit itu pada malam hari.
Pardi pun menuruti permintaan Yani. Lagi pula dia sendiri juga tak mau pertemuannya dengan Yani diketahui orang lain, terlebih ketahuan isterinya.
Maka, pada malam kedua Pardi dan Yani kembali bertemu di bukit ujung desa. Mereka bercengkerama di bawah sorot sinar bulan purnama. Hubungan keduanya yang begitu dekat seperti sepasang kekasih. Bahkan Pardi yang sudah tak kuasa menahan hasratnya mulai berani menggerayangi bagian tubuh Yani yang sensitif.
Pardi membisikan ajakan untuk bermain cinta. Pucuk dicinta ulam tiba, Yani mengiyakan ajakan Pardi. Dia menurut saja ketika tangannya dituntun memasuki gubuk kecil di pinggiran bukit. Keduanya lalu tenggelam dalam permainan cinta yang dahsyat dan bergelora.
Pardi tak menyangka kalau Yani memiliki gairah seks yang menggebu-gebu. Rasanya seluruh persendian Pardi seperti mau copot dan tenaganya seperti terkuras habis saat bercinta dengan Yani. Hampir semalam suntuk mereka mereguk nikmatnya bercinta.
Ketika malam sudah mendekati waktu subuh, Pardi dan Yani cepat-cepat bergegas pulang. Pardi tak ingin hubungan gelapnya dengan Yani diketahui orang.
Yani sendiri tidak bisa setiap malam melakukan kencan rahasia dengan Pardi. Dia hanya mau bertemu dan bercinta dengan Pardi setiap kali bulan purnama tiba, yakni sekitar antara tanggal 14, 15, 16, 17, dan 18 menurut Kalender Jawa.
Meski hanya singkat saja, Pardi merasa cukup puas. Yang penting dia bisa berkencan dan bercinta dengan Yani. Dia seakan mendapatkan sensasi luar biasa saat bercinta dengan Yani, bahkan lebih dari yang dia dapatkan saat bercinta dengan isterinya sendiri. Pardi jadi merindukan dan tak sabar menanti bulan purnama tiba.
Perselingkuhan Pardi dengan Yani ini memang tidak pernah dipergoki oleh siapa pun. Tapi Minah, isterinya, merasa curiga dengan gelagat suaminya yang aneh. Setiap malam suaminya pergi dan pulang ketika hari sudah Subuh. Jika ditanya kemana semalam dan tidur dimana, Pardi menjawab dengan enteng saja kalau dia semalam tidur di rumah teman atau diajak teman mencari kodok.
Minah sebenarnya tak percaya dengan jawaban suaminya. Dia curiga Pardi telah berselingkuh dengan perempuan lain. Sayangnya, Minah tak punya bukti kalau suaminya berhubungan gelap dengan seorang perempuan. Sehingga dia pun tak bisa menuduh sembarangan. Minah hanya bisa menumpahkan kekesalan dan kejengkelannya pada suaminya. Kejengkelan Minah bukan lantaran dia ditinggal tidur sendirian di rumah, tapi karena dia sedang repot mengurus neneknya yang sakit.
Minah merasakan kepergiaan suaminya setiap malam seolah untuk menghindari kewajiban mengurus orang tua itu. Minah kesal karena suaminya tak peduli pada keadaan neneknya.
Sudah hampir setahun ini Minah mengurus Mbok Ijah, neneknya yang tua dan sakit. Tiap kali dia merawat dan menjaga wanita yang sudah berusia di atas delapan puluh tahun itu. Kondisi Mbok Ijah terbilang sudah sekarat. Dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan hanya terbaring di atas ranjang. Makan, minum, kencing, dan berak di tempat. Tubuhnya sudah tinggal kulit pembalut tulang.
Untuk ukuran orang biasa, mungkin sudah jauh hari dia meninggal. Dokter yang pernah memeriksanya pun menyatakan kalau Mbok Ijah sudah tak mungkin disembuhkan. Kondisi organ dalam tubuhnya sudah rusak total. Dia hanya tinggal menunggu takdir menjemputnya.
Tapi anehnya, nafasnya masih terus mengalir dan bertahan hidup untuk beberapa lama. Konon, ini terjadi karena Mbok Ijah memiliki ilmu kesaktian yang belum dilepas dari tubuhnya. Dia menyimpan semacam jimat atau susuk yang pernah berdaya guna di masa mudanya. Simpanan ilmu kesaktian itu yang tampaknya menghalangi perjalanannya kembali ke alam baka.
Dengan kondisi Mbok Ijah yang demikian, tentu saja membuat susah Minah. Hanya dirinya satu-satunya keluarga dekat Mbok Ijah. Sudah berbagai cara dilakukan Minah untuk mengobati neneknya. Mulai dari dokter, dukun, sinshe, sampai tabib. Bahkan Minah meminta bantuan paranormal atau dukun yang bisa membantu melapaskan simpanan ajian neneknya.
Tapi, tak ada satu pun dari mereka yang sanggup mengeluarkan jimat yang tersimpan dalam tubuh nenek itu. Jimat itu tergolong ilmu kesaktian tingkat tinggi. Namanya Susuk Aji Wijayakusuma. Konon, ajian ini bisa menjadikan pemakainya menjadi awet muda dan mampu memikat laki-laki. Seperti halnya kembang Wijayakusuma atau bunga sedap malam yang senantiasa mekar di kala bulan purnama tiba.
Begitu pula dengan Ajian Wijayakusuma yang akan mengalami pembaharuan setiap tiba bulan purnama. Ajian Wijayakusuma akan menampakkan kekuatan aura dan kesempurnaannya pada pertengahan bulan purnama. Pada saat itu Ajian Wijayakusuma akan bekerja dan menjadikan pemakainya terlihat lebih muda.
Seorang peranormal menyarankan agar setiap tiba bulan purnama, Mbok Ijah dijauhkan dari kaum laki-laki, aroma kembang, suara gamelan, dan terpaan cahaya lampu atau bulan. Sebab, semua itu berhubungan erat dengan kehidupan Mbok Ijah di masa lalu sebagai penari Tayub atau Tledek. Dia akan bisa menemukan kembali energi yang membuatnya tetap bertahan hidup bila bersentuhan dengan salah satu dari yang disebutkan itu. Karenanya Mbok Ijah harus dikurung atau diisolasi dalam sebuah ruang kosong dan gelap sebagai simbol kematian untuk memudahkan arwahnya kembali kepadaNya.
Minah menuruti saran itu. Namun ternyata hal itu tak juga berhasil membuat neneknya mati. Bahkan setelah melewati bulan purnama kondisinya kembali segar bugar. Sepertinya si nenek mendapatkan nafas baru yang memperpanjang kehidupannya. Tubuhnya yang sudah lemah, pucat, dan matanya yang cekung mengatup berubah berbinar dan bercahaya. Kelopak matanya kembali membuka dan ada sinar di dalam bola matanya, seolah menyiratkan kehidupan di sana.
Minah pun dibuat bingung dan pusing. Bukannya dia tak senang neneknya masih hidup, tapi Minah merasa kasihan pada keadaannya. Andai saja membunuh tidak berdosa, sudah dicekiknya leher wanita tua itu!
Untuk kesekian kali Minah kembali meminta bantuan orang pintar. Kali ini seorang Kyai yang berilmu agama tinggi, namanya Kyai Anshari. Oleh sang Kyai, Mbok Ijah dibacakan surat Yasin dan doa-doa dari ayat suci Al-Qur'an.
Hampir setiap malam Kyai Anshari beserta murid-muridnya melakukan pembacaan doa di hadapan Mbok Ijah yang dibaringkan di tengah ruangan. Semua keluarganya diminta ikut membaca ayat-ayat suci untuk memudahkan jalan kematian Mbok Ijah.
Dan tampaknya konsisi Mbok Ijah memang sudah sangat kritis dan menjelang dekatnya ajal. Hal itu semakin terlihat saat menjelang tibanya bulan purnama. Kyai Anshari dan murid-muridnya semakin mengintensifkan bacaan do'anya.
Sementara itu Pardi mulai gelisah. Dia sudah tak sabar lagi ingin segera menemui Yani. Malam ini gadis itu tentu sudah menunggunya di dalam gubuk di atas bukit ujung desa. Mereka bisa kembali bercinta seperti bulan purnama lalu.
Dengan dalih mau kencing, Pardi minta diri keluar dari ruangan tempat dilakukannya ritual pembacaan do'a. Dia pura-pura menuju ke sumur. Ketika tak ada orang melihatnya, dia langsung menyelinap pergi. Tapi rupanya dia tidak sadar kalau diam-diam Kyai Anshari mengintainya dari belakang.
Pardi sudah sampai tiba di bukit tempat dia biasa berkencan dengan Yani. Tapi dia tidak melihat Yani berada di sana. Biasanya Yani suka duduk di atas sebuah batu. Pardi sudah mencoba mencarinya dengan mengelilingi bukit, tapi batang hidung Yani tak juga ditemukan.
"Yaniii...Yaniii...!?" serunya memanggil ke segala penjuru arah. Tak ada sahutan, kecuali suaranya sendiri yang menggema di udara.
Tiba-tiba dari balik sebuah pohon muncul Kyai Anshari. Kontan saja Pardi kaget dan heran.
"Pak Kyai? Bagaimana Bapak bisa sampai disini?" tanya Pardi gugup.
"Aku curiga dengan perilakumu, karena itu aku mengikutimu. Aku tahu, kamu sedang mencari seorang gadis bernama Yani. Tapi malam ini dia tidak mungkin bisa datang," jawab Kyai Anshari kalem.
"Bagaimana Pak Kyai bisa tahu hal itu?" protes Pardi.
"Karena sebenarnya yang kamu temui itu bukan manusia. Dia penjelmaan roh Mbok Ijah. Itulah kenapa Mbok Ijah selama ini mampu bertahan hidup. Sebab, dia selalu mendapatkan energi setiap kali berhubungan intim denganmu. Dia menyedot sebagian inti kehidupan yang ada dalam tubuhmu. Tapi sekarang dia tidak akan bisa keluar lagi dari raganya, karena kami telah memagarinya dengan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Dia telah kami kurung dalam pagar gaib!" tutur Kyai menerangkan.
"Bapak jangan mengada-ada! Mana mungkin Mbok Ijah bisa berubah muda dan cantik. Dia kan sudah tua dan sekarat. Ini mustahil!" bantah Pardi, tak percaya mendengar keterangan Kyai Anshari.
"Kalau kamu tak percaya, ayo ikut aku!" sang Kyai lalu menyeret tangan Pardi mengajaknya pulang ke rumah.
Sesampai di rumah masih terlihat orang-orang duduk di ruang tengah sedang membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Tubuh Mbok Ijah juga masih tergolek di atas bale-bale bambu. Kyai Anshari mengajak Pardi mendekati tubuh Mbok Ijah. Dia mengangkat tangannya dan mengusap wajah Mbok Ijah yang keriput.
Ajaib, wajah itu seketika berubah muda dan cantik. Pardi pun terperangah kaget. Walau hanya sekilas perubahan itu terlihat, namun sudah dapat dipastikan bahwa itu adalah wajah Yani, gadis yang selama ini dikencani dan diajaknya bercinta di atas bukit. Karena tak kuat menahan goncangan dalam jiwanya, Pardi jatuh pingsan.
Keesokan harinya, Mbok Ijah menghembuskan nafas yang terakhir. Sementara Pardi masih terbaring lemah dan sakit. Tampaknya dia masih sangat shock dan belum bisa menerima kejadian yang dialaminya. Dia tak pernah menyangka bila yang diajaknya bercinta adalah nenek mertuanya sendiri.
Bila tidak segera mendapat pertolongan, sakit Pardi bisa bertambah parah. Karena dia telah kehilangan banyak energi dalam tubuhnya dan mengalami gangguan psikis. Tapi untunglah, berkat pengobatan dan terapi yang dilakukan Kyai Anshari perlahan namun pasti, Pardi kembali bisa normal dan sehat. Pardi kini telah berubah menjadi orang alim. Dia tak mudah lagi tergoda oleh perempuan.

BERBURU HARTA KARUN TUANKU DATUK TAMBUSAI

Penulis : BOBY RAHMAWANTO


Konon, harta karun berupa lantakan perhiasan emas itu merupakan peninggalan Tuanku Datuk Tambusai. Dedengkot gaib yang menjaganya berwujud sosok kera putih raksasa mirip Hanoman. Siapapun bisa mengangkatnya. Asalkan....

Perekonomian Indonesia terus terpuruk. Moralitas masyarakat pun semakin terancam oleh produk-produk kebudayaan asing yang sama sekali tidak sesuai dengan karakter bangsa. Karena itulah, kita harus senantiasa berhati-hati dalam mensikapi segala macam pengaruh negatif. Hal ini penting kita lakukan demi tegaknya negeri tercinta ini.
Dalam kesempatan kali ini saya akan menceritakan pengalaman yang cukup menegangkan, yang ada hubungannya dengan kesulitan dalam mencari dan mencoba merubah nasib dari keterpurukan ekonomi yang kian parah. Bahkan kejadian yang saya alami ini, saya meyakinnya, pasti bukan hanya saya saja yang mengalaminya. Ya, mungkin puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang yang telah mengalaminya.
Harapan saya, mudah-mudahan apa yang saya alami dan banyak suadara kita yang lain lakoni ini, mungkin bisa diambil hikmah dan pelajaran di dalamnya. Supaya kita di kemudian hari, kita tidak terjebak dalam hal-hal yang musykil dan di luar jangkuan pemikiran kita manusia normal pada umumnya.
Waktu itu, saking didorong rasa ingin tahu dan keinginan untuk membuktikan adanya dunia alam lain, yang konon ceritanya menyimpan berbagai misteri, terutama prihal adanya dana gaib dan harta karun yang terpendam di dalamnya, maka saya nekad melakukan apa yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam pikiran saya. Waktu itu saya mendengar ada sejumlah orang yang telah sanggup atau mampu untuk melakukan ritual transaksi peminjaman atau penarikan dana gaib. Tepatnya menarik harta karun yang terpendam di berbagai lokasi yang diyakini sebagai tempat penyimpanannya. Harta dimaksud disebutkan sebagai barang peninggalan dari kerajaan atau kesultanan zaman dahulu.
Berbekal informasi yang ada, rencana perburuan harta karun itu mulai saya susun bersama dengan beberapa orang teman. Sesuai dengan rencana, ritual perburuan akan kami lakukan di sebuah hutan yang di daerah Riau, Sumatera Barat. Ada bagian dari kawasan hutan ini yang disebut-sebut sebagai letak penyimpanan harta karun dari suatu kesultanan tempo dulu. Bahkan disebutkan kalau bagian hutan ini dulunya merupakan lokasi istana kesultanan dimaksud. Karena begitu angker, maka masyarakat setempat menyebut titik rimba belantara ini sebagai Hutan Larangan.
Menurut cerita masyarakat setempat, yang kemudian diperkuat dengan teropong batin kami dan ahli spiritual lain,, memang pada titik ini terdapat banyak sekali harta terpendam yang merupakan milik kerajaan Tuanku Datuk Tambusai pada zaman silam.
Kami memulai perburuan gila itu persis pada alam tanggal 12 Januari 2006. Setelah kami mempersiapkan semua keperluan ritual, dengan bekal keyakinan dan mohon doa serta perlindungan dari Allah SWT, kami yang beranggotakan 5 orang yang salah-satunya sebagai petunjuk jalan, bergerak menuju lokasi Hutan Larangan.
Anggota rombongan ini persisnya saya berdua dengan adik perguruan saya, dan yang 2 orang lagi bertugas untuk berjaga-jaga di lokasi perburuan, sementara yang seorang adalah penunjuk jalan yang kami bayar. Memang, orang ini disebut-sebut sebagai yang tahu persis di mana titik Hutan Larangan yang konon menyimpan harta karun Tuanku Datuk Tambusai itu.
Kebetulan sekali, waktu itu bertepatan dengan terjadinya huru-hara mencekam yang disebabkan oleh amukan gajah-gajah hutan yang menyerang para penduduk di sekitar hutan, akibat habitat alamiah mereka yang terusik. Akibat kemarahan gajah-gajah ini, penduduk akhirnya bersiasat menjebak mereka. Akhirnya, banyak sekali gajah yang mati karena diracuni oleh warga ketika itu. Karena banyaknya gajah yang mati, beberapa bagian hutan dipenuhi dengan bau busuk bangkai yang memuakkkan. Bahkan, beberapa kali kami menemukan bangkai gajah yang telah membusuk dan dikerubungi belatung-belatung menjijikkan.
Hari itu, perjalanan kami tempuh selama hampir 8 jam. Perjalanan ini persisnya kami mulai dari kota Bagan Batu. Dan beberapa kali kami harus melewati pos penjagaan perkebunan sawit, karena memang lokasi perburuan yang akan kami tuju letaknya di dalam hutan yang dikelilingi oleh perkebunan sawit.
Tepat pukul 23.20 WIB, kami tiba di lokasi perburuan. Tanpa membuang waktu lagi, kami langsung melakukan ritual untuk melakukan proses transaksi penarikan. Ritual ini kami awali dengan meminta izin dari lelembut penguasa Hutan Larangan.
Berbagai doa keselamatan kami panjatkan, agar kami terhindar dari pengaruh negatif kawasan tersebut. Dalam ritual ini tak ketinggalan pula muncul berbagai makhluk gaib yang ada di situ. Mereka berhasil kami jumpai melalui kekuatan batiniah tingkat tinggi. Namun, dari sekian banyak makhluk halus itu suma satu makhluk yang berbentuk seperti monyet putih, atau biasa disebut dengan Hanoman, yang sepertinya ingin menghalangi maksud kedatangan kami.
Namun, syukurlah! Setelah kami melakukan ritual komunikasi dan transaksi penarikan harta tersebut, kami mendapat kesepakatan dengan semua gaib yang ada. Termasuk dengan sosok kera putih mirip Hanoman itu. Intinya, kami diizinkan untuk mengambil keberadaan harta yang terpendam selama ratusan tahun tersebut. Jumlahnya amat fantastis! Mungkin tidak terhitung lagi.
Berdasarkan hasil terawangan gaib kami, ditambah dengan penjelasan lelembut yang menguasainya, diketahui kalau semua harta tersebut kebanyakan berbentuk barang jadi, seperti: perhiasan, dan perabotan yang terbuat dari emas.
Setelah berhasil meneropong keberadaan harta karun yang kami buru, dan kami juga telah berhasil bernegosiasi dengan makhluk halus yang menguasainya, untuk sekedar menghimpun energi, beberapa saat lamanya ritual kami hentikan. Untuk sementara waktu, kami melakukan musyawarah, yang intinya untuk mencari kesepakatan bagaimana baiknya untuk melanjutkan proses penarikan harta tersebut. Karena kami yakin bahwa kalau kita berhubungan dengan yang namanya makhluk gaib, tidak semudah yang dibayangkan. Apalagi hal ini,menyangkut harta karun yang selama ini telah mereka kuasai.
Proses penarikan kami lanjutkan setelah kami peroleh kesepakatan dengan anggota bahwa kami akan meminta bukti terlebih dahulu keberadaan barang tersebut, sekaligus untuk membuktikan bahwa barang tersebut adalah emas asli.
Masalahnya, yang kami takutkan adalah ritual itu akan berakhir percuma. Setelah capek-capek kami keluar tenaga, biaya dan pikiran, tidak tahunya yang kami dapatkan bukan emas. Ya, umumnya hanya berupa Kuningan Sari, seperti yang selama ini sering terjadi.
Untuk itulah, kembali kami melakukan proses negoisasi kepada gaib yang menguasai tempat itu, khususnya harta karun dimaksud. Ya,. dengan kesepakatan kami meminta bukti terlebih dahulu, maka diharapkan ritual bisa berjalan sukses.
Setelah memakan waktu lebih satu jam kami melakukan negosiasi, akhirnya tercapailah kesepakatan. Intinya, kami diizinkan untuk mengambil beberapa macam jenis harta karun yang terpendam.
Tepat pukul 1.30 WIB, kami telah selesai melakukan proses negoisasi. Dari negosiasi gaib itu kami memperoleh kesepakatan untuk penarikan harta karun yang dijanjikan terhadap kami. namun hal itu harus dilakukan esok harinya. Tepatnya pukul 12.00 WIB, atau ba'da sholat Dzuhur.
Malam itu, kami beranjak dari lokasi perburuan untuk kembali lagi besok siangnya. Dalam perjalanan pulang ke tempat peristirahatan kami yang tidak jauh dari lokasi perburuan, semua anggota termasuk saya, tidak banyak mengeluarkan kata-kata. Maklumlah, keadaan kami waktu itu memang sudah sangat letih. Bahkan, sebagian anggota ada yang tertidur di mobil.
Sampai tiba di tempat peristirahatan tidak banyak yang kami lakukan. Setelah sholat malam, kami langsung mencari tempat masing-masing untuk merebahkan badan.
Esok harinya, kami berangkat lagi menuju lokasi perburuan, dengan anggotan yang masih tetap seperti kemarin. Tepat waktu Dzuhur, kami tiba di lokasi dan langsung melakukan shalat Dzuhur berjamaah. Selesai melaksanakan shalat, tanpa membuang waktu lagi, kami langsung melakukan ritual penarikan.
Ternyata, ritual penarikan ini tidaklah mudah. Sialnya lagi, si Hanoman yang menjadi dedengkot gaib penguasa harta karun itu malah ingin melakukan negosiasi ulang. Dia menginginkan penarikan dilakukan tengah malam nanti.
Ringkas cerita, tepat pukul 12.20 malam, kami mulai melakukan proses penarikan. Celakanya, seorang anggota kami yang bertugas menjaga kami dari gangguan binatang gajah tiba-tiba muncul sambil berteriak-teriak ketakutan. Rupanya, dia melahit ada gajah yang berlari marah dari ketinggian sekitar 300 meter di atas bukit.
"Oooiii...! Pergi dulu dari situ. Di depan ada Datuk Gadang yang sedang marah menuju ke arah kalian!" Demikian teriak sang teman dari atas bukit.
Yang dimaksud Datuk Gadang adalah gajah sepuh yang sudah dianggap sebagai ketua suku para gajah itu. Karena itulah, demi mendengar teriakan ini, tidak menunggu lama lagi, kami langsung pergi dari areal penyedotan harta, menuju ke atas bukit. dari sini, kami bisa melihat keberadaan gajah-gajah yang sedang marah tersebut. Mereka menuju ke arah lokasi tempat penarikan.
Selang beberapa saat setelah kami rasa situasi sudah aman, kami melanjutkan proses penarikan. Proses penarikan ini tidak memakan waktu lama. Mungkin hanya sekitar setengah jam. Ya, kami sudah mendapatkan beberapa buah perhiasan.
Memang, menurut petunjuk dari gaib, di situlah lokasi dimana kami akan diberikan beberapa contoh perhiasan yang akan kami buat sebagai bukti keberadaan harta karun tersebut, sekaligus memastikan keasliannya.
Setelah selesai ritual, kami kembali melakukan doa keselamatan dan bersyukur ke hadirat Allah SWT, sebab kami telah selamat dan dilindungi dari pengaruh gaib selama proses transaksi, sampai dengan proses penarikan.
Besoknya, siang tepat pukul 13.40 WIB, kami kembali ke tempat peristirahatan untuk melakukan musyawarah dan menyusun rencana guna melakukan proses selanjutnya.
Setelah kami periksa semua barang, ternyata yang kami dapat adalah memang emas murni. Namun hingga tiba malam berikutnya, kami masih belum mendapat keputusan untuk menentuk langkah apa yang akan kami tempuh guna proses selanjutnya.
Sampai tiba waktunya, tepat pukul 12.00 malam, tanggal 14 Januari 2006, adik saya mendapat kontak batin kembali dari monyet putih mirip Hanoman, makhluk dedengkot penunggu Hutan Larangan. Dikatakan bahwa barang harus segera diangkat dari tempat itu sebelum masuk bulan purnama yang akan datang.
Malam itu juga, saya melakukan kontak batin melalui adik saya. Semua anggota terkejut bukan kepalang, dan langsung mengucapkan Istighfar mohon ampunan kepada Allah SWT. Dari kontak batin itu, penunggu Hutan Larangan mau menyerahkan semua harta karun yang ada disitu dengan satu syarat, yakni: kami harus mengorbankan salah satu dari anggota kami di lokasi keramat itu. Persisnya, sang gaib meminta agar kami membunuh Firman, sebutlah begitu, yang masih adik keponakan dari saya, dan harus melakukannya pada titik lokasi penyimpanan harta. Alasan gaib itu memintanya bukan tidak tanpa landasan, tapi karena memang kondisi Firman pada waktu itu sedang "Darah Manis", istilah untuk menyebutkan bahwa yang bersangkutan akan melangsungkan pernikahan seminggu kemudian.
Tentu saja kami menentang permohonan. Lebih baik tak mendapatkan segram emas pun daripada harus mengorbankan nyawa Firman yang sangat taat beribadah itu.
Demikianlah kisah yang saya lakoni sendiri. Kisah ini mungkin hanya sekelumit kesaksian dari mereka yang memiliki sifat tamak dan ketidakpuasan dari apa yang Allah berikan terhadap umatNya. Untuk itulah, semoga kita bisa memetik hikmah dari ini. Semoga kita tidak tergoda untuk melakukan langkah sesat yang dimurkai Tuhan.