Penulis : ITONG R. HARIADI
Setelah mengadakan ritual, Husni mendapatkan kaki raja jin. Kaki inilah yang menuntunnya menemukan sekotak harta karun, hingga membuatnya kaya raya. Namun, karena Husni tidak bisa memenuhi janjinya, maka nyawanya sendiri yang harus menjadi tumbal. Bagaimana kisah mistis selengkapnya? Mulyono, salah seorang kerabat dekat Husni, menuturkan rentetan peristiwa mistis itu ….
Malam itu, lebih dari empat jam lamanya Husni duduk bersila di bawah pohon beringin tua yang terletak di bagian barat tempat pemakaman umum (TPU) Desa Ranca Kalong. Asap dupa dan kemenyan yang dibakar masih terlihat mengepul, menyebarkan aroma menyengat ke seantero tempat itu.
Keadaan begitu sunyi. Suara jangkrik dan belalang yang saling bersahutan menambah keseraman suasana. Terlebih dahulu lolongan anjing di kejauhan sesekali terdengar melengking, bagai jerit malaikat kematian.
Gerimis turun renyai-renyai, sementara udara semakin dingin menggigit tulang sum-sum. Namun, seolah tidak lagi merasakan dinginnya udara yang menusuk tulang, mulut Husni terus saja terlihat berkomat-kamit membaca mantera-mantera yang diperolehnya dari Ki Ireng Legono, dukun sakti aliran hitam yang bermukim di Bukit Tengkorak. Bunyi mantera yang dibaca itu sesekali terdengar lirih, namun tak jarang pula terdengar keras. Sesekali pula disertai getaran tubuh Husni yang begitu keras, bagai orang menggigil terserang demam. Dan bersamaan dengan getaran tubuhnya, asap tebal langsung mengepul dari dalam pendupaan yang terletak di hadapan Husni.
Saat jarum jam tepat menunjukkan pukul setengah dua dinihari sesuatu yang aneh mendadak terjadi. Bersamaan dengan mengepulnya asap dan getaran tubuh Husni yang semakin menghebat, maka keluarlah seberkas cahaya kemerahan dari dalam pendupaan itu. Cahaya aneh ini menembus kepulan asap kemenyan yang melayang-layang di udara. Selanjutnya, setelah cahaya kemerahan itu mulai memudar, muncullah sosok mahkluk tinggi besar dengan wajah yang menyeramkan. Makhluk ini berdiri tegak persis di hadapan Husni.
Kedua mata mahkluk itu berwarna merah menyala, sementara dua pasang gigi taring yang berukuran besar tampak menyembul di antara sela-sela mulutnya yang semarah darah itu. Noda-noda merah seperti bekas darah memang terlihat menghiasi sepasang gigi taring itu. Suara geramannya terdengar sangat menyeramkan, bahkan nyaris menghentikan alirah darah di sekujur tubuh Husni.
“Grrrr...! Siapa kau hai manusia? Berani sekali kau mengganggu istirahatku. Apa yang kau inginkan dariku?” tanya mahkluk yang tak lain adalah gendruwo penguasa pohon beringin tua yang ada di areal pemakaman tua itu.
“A...ampun, Mbah. S…sa…sa…saya Hus…Husni, Mbah. S…saya mau minta bantuan, Mbah,” ucap Pak Husni dengan mulut dan tubuh gemetar. Begitu takutnya dia hingga suaranya hamper saja tak bisa melewati kerongkongannya.
“Bantuan apa yang kau butuhkan, hai manusia?” tanya mahkluk itu lagi.
“Saya ingin jadi orang kaya, Mbah. Kata Ki Ireng Legono, Mbah bisa menolong saya untuk menjadi kaya,” jawab laki-laki setengah baya itu.
Gendruwo itu tidak segera menjawab. Mahkluk menyeramkan itu hanya tertawa terbahak-bahak dengan suara yang memekakkan telinga, sambil memamerkan deretan gigi taringnya yang menyeramkan. “Ha...ha...ha...ha...ha...!” suara tawa itu terdengar menggema, dan seakan membuat bumi bergetar.
Melihat hal ini Husni hanya bisa tertunduk sambil berusaha menekan perasaannya. Ketakutan semakin hebat menyelimuti hatinya, hingga keringat dingin tanpa terasa mengalir deras membasahi seluruh tubuhnya. Namun karena keinginannya untuk bisa segera menjadi orang kaya begitu kuat dalam hatinya, lelaki bertubuh sedang ini pun memberanikan diri untuk kembali bertanya pada gendruwo itu.
“Ba...bagaimana, Mbah? Apa betul Mbah bisa membantu saya menjadi orang kaya?” suara Husni terdengar gemetarm seperti juga tubuhnya yang gemetaran seperti terserang demam.
“Itu soal mudah, yang penting kau bisa menyediakan kesukaanku,” jawab sang gendruwo dengan suara yang lebih ramah.
“Apa sajakah itu, Mbah?” tanya Husni lagi.
“Setiap malam Jumat kamu harus selalu menyediakan kemenyan, kembang telon, serta candu. Letakkan benda-benda itu tepat di bawah pohon beringin ini. Ingat, harus kau letakkan tepat pada tengah malam. Kalau kamu bisa memenuhinya semua kesukaanku itu, maka kamu akan aku beri ini….” ucap si gendruwo sembari menunjukkan sebuah potongan kaki berukuran kecil yang terbuat dari emas.
Husni terkejut dan langsung keheranan mendapatkan benda mirip sepotong kaki yang terbuat dari emas itu. Dia merasa ragu, apakah mungkin benda kecil itu akan mampu merubahnya menjadi orang yang kaya raya? Lantas, bagaimana caranya?
“Dengan benda ini kamu akan bisa jadi kaya raya. Karena benda ini akan selalu menuntunmu ke berbagai tempat yang memungkinkan kamu bisa mendapatkan banyak uang,” lanjut si genderuwo seolah mengetahui keraguan dalam hati calon budaknya.
“Benda apa itu, Mbah. Lalu, apakah syaratnya memang cuma itu?” Tanya Husni lagi.
Genderuwo itu kembali menggeram. “Benda itu namanya Kaki Jin. Hanya itu yang bisa kuberi tahu. Ingat, disamping permintaanku tadi, tiap tiga purnama sekali kamu harus menyediakan sepotong kaki kiri manusia sebagai pelengkap syarat yang harus kamu sediakan pada tiap malam Jumat. Kamu bebas mencari kaki siapa saja yang akan kamu persembahkan. Kamu bisa mencurinya dari makam ataupun membunuh orang secara langsung dan mengambil kakinya. Yang penting benda itu harus ada pada waktu yang ditentukan. Karena kalau tidak, maka kakimu sendiri yang akan jadi gantinya,” jelasnya.
Mendengar penjelasan itu Husni terdiam beberapa saat lamanya. Sepertinya dia merasa ragu untuk memenuhi permintaah si genderuwo yang amat menyeramkan baginya. Ya, bagaimana mungkin Husni akan sanggup menyediakan sesajen berupa potongan kaki manusia, sedangkan memotong kaki ayam saja dia selalu ketakutan? Lalu, bagaimana dia bisa memperoleh potongan kaki itu? Hih, menyeramkan sekali!
Di saat yang genting itu Husni berpikir keras untuk mempertimbangkan untung rugi yang akan dihadapinya. Namun, demi terbayang segala kesusahan hidup dan hinaan yang selama ini dia terima bersama anak dan isterinya, akibat dari kemiskinan yang dideritanya, maka bayangan mengerikan itu sepertinya begitu saja sirna.
Ya, semuanya memang terasa begitu pahit. Husni tak ingin anak dan isterinya terus menjadi bahan hinaan. Karena itu dia harus melewati tentangan sepahit apapun asal keinginannya menjadi orang kaya dapat segera terwujud.
Mendadak keraguan dan kengerian itu hilang. Buktinya, tak berapa lama kemudian, mimik wajah Husni yang sebelumnya terlihat tegang, berubah menjadi sedikit tenang, bahkan nampak ceria. Sepertinya dia telah menentukan sikap, dan yang pasti dia telah menerima syarat yang diajukan oleh si gendruwo laknat.
“Baiklah, saya bersedia memenuhi persyaratan itu, Mbah. Yang penting saya bisa segera menjadi orang kaya. Saya sudah tidak kuat lagi menjadi orang miskin, apalagi sekarang hutang saya sudah sangat banyak, dan anak isteri saya sudah tak kuat menderita,” ungkap Husni, setengah menghiba.
“Ha...ha...ha...ha...!” gendruwo itu kembali tertawa terbahak-bahak. Namun kali ini tidak terlalu panjang, karena sejurus kemudian dia menghentikan tawanya dan menyerahkan potongan kaki emas yang dibawanya itu kepada Husni. Dia sepertinya sangat bangga karena sudah berhasil memperdaya seorang anak cucu Adam.
Dengan mata berbinar namun tetap dengan tubuh gemetaran, Husni menerima pemberian kaki emas itu. Begitu benda berukuran sebesar kaki bayi tersebut telah berpindah ke tangannya, Husni langsung menciumi benda itu. Namun kegembiaraannya tak berlangsung lama, karena sang gendruwo kembali berbicara untuk mengingatkan syarat yang harus dipenuhi oleh Husni sebegai konpensasi dari perjanjian gaib yang mereka lakukan.
“Ingat, Husni! Sekalipun kau tak boleh melewatkan janjimu terhadapku. Kalau kau sampai lalai, maka kau sendiri yang jadi taruhannya. Camkan itu baik-baik, Husni!”
“Baik, Mbah! Saya berjanji akan selalu menepatinya!” jawab Husni, penuh keyakinan.
Genderuwo itu kembali tertawa senang. Setelah itu, dalam sekejap mata, dia menghilang bagai ditelan bumi. Kini yang terlihat hanya batang pohon beringin yang menjulang tinggi bagai menembus awang-awang yang terlihat sangat angker.
Setelah genderuwo itu pergi, Husni pun berniat untuk segera pergi dari tempat itu. Namun, sebelum dia sempat berdiri dari tempatnya duduk bersila tadi, tiba-tiba terdengar suara sang gendruwo terdengar kembali. Sepertinya, ada hal lain yang lupa diingatkannya kedapa Husni.
“Simpan baik-baik Kaki Jin itu, bungkus dengan kain putih bersih serta berikan selalu sesaji kembang setaman di sampingnya!” demikian kata suara gaib itu.
“Baik, Mbah!” jawab Husni
Setelah celingukkan ke sana-sini dan merasa yakin tak ada seorang pun yang ikut menyaksikan ritual yang dilakukannya, maka dia pun segera berdiri dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Aneh, keesokkan harinya setelah mendapatkan potongan benda mirip kaki terbuat dari emas yang disebut sebagai Kaki Jin itu, saat Husni sedang menggarap sawah milik Pak Kades, tiba-tiba dia seperti merasa ada yang menyapa dan mengajaknya pergi. Padahal, beberapa orang temannya yang lain ketika sama sama sekali tidak melihat apa-apa. Umumnya, mereka hanya melihat kalau Husni yang semula asyik mencangkul itu tiba-tiba berhenti, kemudian pergi sambil memanggil cangkulnya.
Hal itu masuk akal, karena pada dasarnya seseorang yang mengajak Husni pergi adalah sosok makhluk gaib yang akan menunjukkan tempat di mana Husni bisa mendapatkan harta sebanyak mungkin.
Dan memang benar, Makhluk yang berwujud seorang pemuda tampan itu mengajak Husni pergi ke pinggir hutan. Di sana Husni yang masih membawa cangkul disuruh untuk menggali tempat yang dipijaknya.
Husni pun segera menggali dengan cekatan. Tak berapa lama kemudian terlihatlah sebuah kotak yang ketika diangkat ternyata sebuah peti. Betapa terkejutnya Husni manakala peti itu dibuka, di dalamnya berisi setumpuk perhiasan emas dengan berbagai bentuk. Maka seketika itu juga langsung Husni berteriak, “Aku kaya! Ha…ha…ha…aku kaya!”
***
Waktu terus berjalan. Tepat tujuh bulan sudah Husni yang sebelumnya tergolong orang sangat miskin itu, kini telah berubah menjadi orang kaya raya. Hanya saja kali ini masalah sedang dihadapi oleh orang kaya baru itu. Tepat pada hari di mana dia harus menyediakan sepotong kaki manusia sebagai sesaji untuk gendruwo, dia justru menderita sakit parah yang membuatnya tidak mampu bangun. Karena itulah kegelisahaan selalu tampak pada raut wajahnya.
Malam harinya, kegelisahan itu semakin menghimpit, karena tepat pada tengah malam nanti sesaji itu harus diberikan. Padahal dia sudah punya rencana akan membongkar kuburan Sunardi yang baru meninggal tiga hari yang lalu untuk mengambil kakinya kirinya sebagai sesaji, seperti yang pernah dilakukannya pada kuburan Mbah Tinem tiga bulan lalu. Namun kondisi kesehatannya tidak memungkinkannya untuk bisa bangun. Ya, dia tak mungkin bisa beranjak meninggalkan tempat tidurnya untuk pergi ke areal pemakanan dan membongkar kuburan Sunardi, lali memotong kaki kirinya. Asmanya tiba-tiba kumat. Hisuni harus membungkus tubuhnya rapat-rapat dengan kain selimut. Kalau dia nekad pergi, pasti dia akan mati di tengah jalan akibat kedinginan dan kehabisan nafas.
Kekhawatiran itu pun akhirnya menjadi kenyataan. Tepat saat jam dinding berdentang sebanyak dua belas kali, bersamaan dengan itu tiba-tiba terasa ada hembusan angin kencang menembus jendela kamar tidur Husni. Sesaat kemudian di depannya telah berdiri sang gendruwo penghuni pohon beringin yang tempo hari memberinya benda gaib yang disebut sebagai Kaki Jin. Gendruwo itu telah mengingatkan Husni bahwa saat itu dia akan meminta tumbal yang harus disediakan olah budaknya. Namun karena tumbal itu tidak ada, maka kaki Husni pun harus segera dicabut sesuai dengan janji yang telah mereka sepakati.
Dan…Husni hanya bisa menjerit histeris saat kaki kirinya terlepas dari tubuhnya, akibat ditarik dengan sangat kuat oleh makhluk halus laknat itu. Sesaat kemudian dia langsung pingsan. Namun, karena darah yang keluar begitu banyak, akhirnya nyawa lelaki malang ini tidak tertolong lagi. Husni mati secara mengenaskan. Sebelah kakinya raib entah ke mana. Tak ada seorang pun tahu, termasuk juga Warsinah, isterinya, yang malam itu sempat melihat suaminya tenggelam dalam genangan darah akibat kaki kirinya yang tercabut secara misterius.
Demikianlah kisah yang dituturkan oleh Mulyono. Dia mengaku bisa menggambarkan kisah ini sebab tiga hari sebelum kematian menjemputnya, Husni sempat bercerita padanya tentang ritual sesat yang telah dilakukannya. Kepada Mulyono, Husni mengaku menyesal telah melakukan kesesatan ini, namun dia tak tahu cara untuk lari dari perjanjian gaib yang telah dilakukannya.
Semoga kisah mistis yang dialami oleh Husni dapat kita jadikan pelajaran bahwa mengharap kekayaan dari makhluk halus dunia hitam, pada akhirnya hanya akan menimbulkan kesengsaraan dunia akhirat bagi kita. Karena itu, jangan sekali-kali terjerat dalam urusan yang satu ini.
Setelah mengadakan ritual, Husni mendapatkan kaki raja jin. Kaki inilah yang menuntunnya menemukan sekotak harta karun, hingga membuatnya kaya raya. Namun, karena Husni tidak bisa memenuhi janjinya, maka nyawanya sendiri yang harus menjadi tumbal. Bagaimana kisah mistis selengkapnya? Mulyono, salah seorang kerabat dekat Husni, menuturkan rentetan peristiwa mistis itu ….
Malam itu, lebih dari empat jam lamanya Husni duduk bersila di bawah pohon beringin tua yang terletak di bagian barat tempat pemakaman umum (TPU) Desa Ranca Kalong. Asap dupa dan kemenyan yang dibakar masih terlihat mengepul, menyebarkan aroma menyengat ke seantero tempat itu.
Keadaan begitu sunyi. Suara jangkrik dan belalang yang saling bersahutan menambah keseraman suasana. Terlebih dahulu lolongan anjing di kejauhan sesekali terdengar melengking, bagai jerit malaikat kematian.
Gerimis turun renyai-renyai, sementara udara semakin dingin menggigit tulang sum-sum. Namun, seolah tidak lagi merasakan dinginnya udara yang menusuk tulang, mulut Husni terus saja terlihat berkomat-kamit membaca mantera-mantera yang diperolehnya dari Ki Ireng Legono, dukun sakti aliran hitam yang bermukim di Bukit Tengkorak. Bunyi mantera yang dibaca itu sesekali terdengar lirih, namun tak jarang pula terdengar keras. Sesekali pula disertai getaran tubuh Husni yang begitu keras, bagai orang menggigil terserang demam. Dan bersamaan dengan getaran tubuhnya, asap tebal langsung mengepul dari dalam pendupaan yang terletak di hadapan Husni.
Saat jarum jam tepat menunjukkan pukul setengah dua dinihari sesuatu yang aneh mendadak terjadi. Bersamaan dengan mengepulnya asap dan getaran tubuh Husni yang semakin menghebat, maka keluarlah seberkas cahaya kemerahan dari dalam pendupaan itu. Cahaya aneh ini menembus kepulan asap kemenyan yang melayang-layang di udara. Selanjutnya, setelah cahaya kemerahan itu mulai memudar, muncullah sosok mahkluk tinggi besar dengan wajah yang menyeramkan. Makhluk ini berdiri tegak persis di hadapan Husni.
Kedua mata mahkluk itu berwarna merah menyala, sementara dua pasang gigi taring yang berukuran besar tampak menyembul di antara sela-sela mulutnya yang semarah darah itu. Noda-noda merah seperti bekas darah memang terlihat menghiasi sepasang gigi taring itu. Suara geramannya terdengar sangat menyeramkan, bahkan nyaris menghentikan alirah darah di sekujur tubuh Husni.
“Grrrr...! Siapa kau hai manusia? Berani sekali kau mengganggu istirahatku. Apa yang kau inginkan dariku?” tanya mahkluk yang tak lain adalah gendruwo penguasa pohon beringin tua yang ada di areal pemakaman tua itu.
“A...ampun, Mbah. S…sa…sa…saya Hus…Husni, Mbah. S…saya mau minta bantuan, Mbah,” ucap Pak Husni dengan mulut dan tubuh gemetar. Begitu takutnya dia hingga suaranya hamper saja tak bisa melewati kerongkongannya.
“Bantuan apa yang kau butuhkan, hai manusia?” tanya mahkluk itu lagi.
“Saya ingin jadi orang kaya, Mbah. Kata Ki Ireng Legono, Mbah bisa menolong saya untuk menjadi kaya,” jawab laki-laki setengah baya itu.
Gendruwo itu tidak segera menjawab. Mahkluk menyeramkan itu hanya tertawa terbahak-bahak dengan suara yang memekakkan telinga, sambil memamerkan deretan gigi taringnya yang menyeramkan. “Ha...ha...ha...ha...ha...!” suara tawa itu terdengar menggema, dan seakan membuat bumi bergetar.
Melihat hal ini Husni hanya bisa tertunduk sambil berusaha menekan perasaannya. Ketakutan semakin hebat menyelimuti hatinya, hingga keringat dingin tanpa terasa mengalir deras membasahi seluruh tubuhnya. Namun karena keinginannya untuk bisa segera menjadi orang kaya begitu kuat dalam hatinya, lelaki bertubuh sedang ini pun memberanikan diri untuk kembali bertanya pada gendruwo itu.
“Ba...bagaimana, Mbah? Apa betul Mbah bisa membantu saya menjadi orang kaya?” suara Husni terdengar gemetarm seperti juga tubuhnya yang gemetaran seperti terserang demam.
“Itu soal mudah, yang penting kau bisa menyediakan kesukaanku,” jawab sang gendruwo dengan suara yang lebih ramah.
“Apa sajakah itu, Mbah?” tanya Husni lagi.
“Setiap malam Jumat kamu harus selalu menyediakan kemenyan, kembang telon, serta candu. Letakkan benda-benda itu tepat di bawah pohon beringin ini. Ingat, harus kau letakkan tepat pada tengah malam. Kalau kamu bisa memenuhinya semua kesukaanku itu, maka kamu akan aku beri ini….” ucap si gendruwo sembari menunjukkan sebuah potongan kaki berukuran kecil yang terbuat dari emas.
Husni terkejut dan langsung keheranan mendapatkan benda mirip sepotong kaki yang terbuat dari emas itu. Dia merasa ragu, apakah mungkin benda kecil itu akan mampu merubahnya menjadi orang yang kaya raya? Lantas, bagaimana caranya?
“Dengan benda ini kamu akan bisa jadi kaya raya. Karena benda ini akan selalu menuntunmu ke berbagai tempat yang memungkinkan kamu bisa mendapatkan banyak uang,” lanjut si genderuwo seolah mengetahui keraguan dalam hati calon budaknya.
“Benda apa itu, Mbah. Lalu, apakah syaratnya memang cuma itu?” Tanya Husni lagi.
Genderuwo itu kembali menggeram. “Benda itu namanya Kaki Jin. Hanya itu yang bisa kuberi tahu. Ingat, disamping permintaanku tadi, tiap tiga purnama sekali kamu harus menyediakan sepotong kaki kiri manusia sebagai pelengkap syarat yang harus kamu sediakan pada tiap malam Jumat. Kamu bebas mencari kaki siapa saja yang akan kamu persembahkan. Kamu bisa mencurinya dari makam ataupun membunuh orang secara langsung dan mengambil kakinya. Yang penting benda itu harus ada pada waktu yang ditentukan. Karena kalau tidak, maka kakimu sendiri yang akan jadi gantinya,” jelasnya.
Mendengar penjelasan itu Husni terdiam beberapa saat lamanya. Sepertinya dia merasa ragu untuk memenuhi permintaah si genderuwo yang amat menyeramkan baginya. Ya, bagaimana mungkin Husni akan sanggup menyediakan sesajen berupa potongan kaki manusia, sedangkan memotong kaki ayam saja dia selalu ketakutan? Lalu, bagaimana dia bisa memperoleh potongan kaki itu? Hih, menyeramkan sekali!
Di saat yang genting itu Husni berpikir keras untuk mempertimbangkan untung rugi yang akan dihadapinya. Namun, demi terbayang segala kesusahan hidup dan hinaan yang selama ini dia terima bersama anak dan isterinya, akibat dari kemiskinan yang dideritanya, maka bayangan mengerikan itu sepertinya begitu saja sirna.
Ya, semuanya memang terasa begitu pahit. Husni tak ingin anak dan isterinya terus menjadi bahan hinaan. Karena itu dia harus melewati tentangan sepahit apapun asal keinginannya menjadi orang kaya dapat segera terwujud.
Mendadak keraguan dan kengerian itu hilang. Buktinya, tak berapa lama kemudian, mimik wajah Husni yang sebelumnya terlihat tegang, berubah menjadi sedikit tenang, bahkan nampak ceria. Sepertinya dia telah menentukan sikap, dan yang pasti dia telah menerima syarat yang diajukan oleh si gendruwo laknat.
“Baiklah, saya bersedia memenuhi persyaratan itu, Mbah. Yang penting saya bisa segera menjadi orang kaya. Saya sudah tidak kuat lagi menjadi orang miskin, apalagi sekarang hutang saya sudah sangat banyak, dan anak isteri saya sudah tak kuat menderita,” ungkap Husni, setengah menghiba.
“Ha...ha...ha...ha...!” gendruwo itu kembali tertawa terbahak-bahak. Namun kali ini tidak terlalu panjang, karena sejurus kemudian dia menghentikan tawanya dan menyerahkan potongan kaki emas yang dibawanya itu kepada Husni. Dia sepertinya sangat bangga karena sudah berhasil memperdaya seorang anak cucu Adam.
Dengan mata berbinar namun tetap dengan tubuh gemetaran, Husni menerima pemberian kaki emas itu. Begitu benda berukuran sebesar kaki bayi tersebut telah berpindah ke tangannya, Husni langsung menciumi benda itu. Namun kegembiaraannya tak berlangsung lama, karena sang gendruwo kembali berbicara untuk mengingatkan syarat yang harus dipenuhi oleh Husni sebegai konpensasi dari perjanjian gaib yang mereka lakukan.
“Ingat, Husni! Sekalipun kau tak boleh melewatkan janjimu terhadapku. Kalau kau sampai lalai, maka kau sendiri yang jadi taruhannya. Camkan itu baik-baik, Husni!”
“Baik, Mbah! Saya berjanji akan selalu menepatinya!” jawab Husni, penuh keyakinan.
Genderuwo itu kembali tertawa senang. Setelah itu, dalam sekejap mata, dia menghilang bagai ditelan bumi. Kini yang terlihat hanya batang pohon beringin yang menjulang tinggi bagai menembus awang-awang yang terlihat sangat angker.
Setelah genderuwo itu pergi, Husni pun berniat untuk segera pergi dari tempat itu. Namun, sebelum dia sempat berdiri dari tempatnya duduk bersila tadi, tiba-tiba terdengar suara sang gendruwo terdengar kembali. Sepertinya, ada hal lain yang lupa diingatkannya kedapa Husni.
“Simpan baik-baik Kaki Jin itu, bungkus dengan kain putih bersih serta berikan selalu sesaji kembang setaman di sampingnya!” demikian kata suara gaib itu.
“Baik, Mbah!” jawab Husni
Setelah celingukkan ke sana-sini dan merasa yakin tak ada seorang pun yang ikut menyaksikan ritual yang dilakukannya, maka dia pun segera berdiri dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Aneh, keesokkan harinya setelah mendapatkan potongan benda mirip kaki terbuat dari emas yang disebut sebagai Kaki Jin itu, saat Husni sedang menggarap sawah milik Pak Kades, tiba-tiba dia seperti merasa ada yang menyapa dan mengajaknya pergi. Padahal, beberapa orang temannya yang lain ketika sama sama sekali tidak melihat apa-apa. Umumnya, mereka hanya melihat kalau Husni yang semula asyik mencangkul itu tiba-tiba berhenti, kemudian pergi sambil memanggil cangkulnya.
Hal itu masuk akal, karena pada dasarnya seseorang yang mengajak Husni pergi adalah sosok makhluk gaib yang akan menunjukkan tempat di mana Husni bisa mendapatkan harta sebanyak mungkin.
Dan memang benar, Makhluk yang berwujud seorang pemuda tampan itu mengajak Husni pergi ke pinggir hutan. Di sana Husni yang masih membawa cangkul disuruh untuk menggali tempat yang dipijaknya.
Husni pun segera menggali dengan cekatan. Tak berapa lama kemudian terlihatlah sebuah kotak yang ketika diangkat ternyata sebuah peti. Betapa terkejutnya Husni manakala peti itu dibuka, di dalamnya berisi setumpuk perhiasan emas dengan berbagai bentuk. Maka seketika itu juga langsung Husni berteriak, “Aku kaya! Ha…ha…ha…aku kaya!”
***
Waktu terus berjalan. Tepat tujuh bulan sudah Husni yang sebelumnya tergolong orang sangat miskin itu, kini telah berubah menjadi orang kaya raya. Hanya saja kali ini masalah sedang dihadapi oleh orang kaya baru itu. Tepat pada hari di mana dia harus menyediakan sepotong kaki manusia sebagai sesaji untuk gendruwo, dia justru menderita sakit parah yang membuatnya tidak mampu bangun. Karena itulah kegelisahaan selalu tampak pada raut wajahnya.
Malam harinya, kegelisahan itu semakin menghimpit, karena tepat pada tengah malam nanti sesaji itu harus diberikan. Padahal dia sudah punya rencana akan membongkar kuburan Sunardi yang baru meninggal tiga hari yang lalu untuk mengambil kakinya kirinya sebagai sesaji, seperti yang pernah dilakukannya pada kuburan Mbah Tinem tiga bulan lalu. Namun kondisi kesehatannya tidak memungkinkannya untuk bisa bangun. Ya, dia tak mungkin bisa beranjak meninggalkan tempat tidurnya untuk pergi ke areal pemakanan dan membongkar kuburan Sunardi, lali memotong kaki kirinya. Asmanya tiba-tiba kumat. Hisuni harus membungkus tubuhnya rapat-rapat dengan kain selimut. Kalau dia nekad pergi, pasti dia akan mati di tengah jalan akibat kedinginan dan kehabisan nafas.
Kekhawatiran itu pun akhirnya menjadi kenyataan. Tepat saat jam dinding berdentang sebanyak dua belas kali, bersamaan dengan itu tiba-tiba terasa ada hembusan angin kencang menembus jendela kamar tidur Husni. Sesaat kemudian di depannya telah berdiri sang gendruwo penghuni pohon beringin yang tempo hari memberinya benda gaib yang disebut sebagai Kaki Jin. Gendruwo itu telah mengingatkan Husni bahwa saat itu dia akan meminta tumbal yang harus disediakan olah budaknya. Namun karena tumbal itu tidak ada, maka kaki Husni pun harus segera dicabut sesuai dengan janji yang telah mereka sepakati.
Dan…Husni hanya bisa menjerit histeris saat kaki kirinya terlepas dari tubuhnya, akibat ditarik dengan sangat kuat oleh makhluk halus laknat itu. Sesaat kemudian dia langsung pingsan. Namun, karena darah yang keluar begitu banyak, akhirnya nyawa lelaki malang ini tidak tertolong lagi. Husni mati secara mengenaskan. Sebelah kakinya raib entah ke mana. Tak ada seorang pun tahu, termasuk juga Warsinah, isterinya, yang malam itu sempat melihat suaminya tenggelam dalam genangan darah akibat kaki kirinya yang tercabut secara misterius.
Demikianlah kisah yang dituturkan oleh Mulyono. Dia mengaku bisa menggambarkan kisah ini sebab tiga hari sebelum kematian menjemputnya, Husni sempat bercerita padanya tentang ritual sesat yang telah dilakukannya. Kepada Mulyono, Husni mengaku menyesal telah melakukan kesesatan ini, namun dia tak tahu cara untuk lari dari perjanjian gaib yang telah dilakukannya.
Semoga kisah mistis yang dialami oleh Husni dapat kita jadikan pelajaran bahwa mengharap kekayaan dari makhluk halus dunia hitam, pada akhirnya hanya akan menimbulkan kesengsaraan dunia akhirat bagi kita. Karena itu, jangan sekali-kali terjerat dalam urusan yang satu ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar