Penulis : SISCA
Tahun 1999, aku merantau ke Jakarta. Di kota metropolitan ini aku bekerja sebagai guru Sekolah Dasar (SD). Aku merasa senang bekerja di Jakarta, karena gaji yang kuterima cukup besar. Sebelumnya, aku memang sudah bekerja di kota kelahiranku, Yogyakarta, namun di kotaku itu gaji yang kuterima sangat kecil. Karena sebab itu juga kuputuskan untuk merantau.
Disamping mengajar, aku juga memberi les privat. Meskipun harus bekerja ekstra pada sore hari, bahkan sampai malam, aku merasa senang. Uang dari hasil les privat semakin menambah tebal kantongku. Hal inilah yang membuat aku mencoba terus bertahan di Jakarta.
Aku tidak menyadari kalau kepergianku meninggalkan duka dan kekhawatiran yang mendalam pada kedua orang tuaku yang masih tinggal di Yogya. Setiap hari, mereka mengkhawatirkan keadaanku. Hal ini dapat dimaklumi karena aku adalah bungsu dari tiga bersaudara, ditambah lagi aku satu-satunya anak perempuan dalam keluargaku.
Tahun 2000, saat pulang kampung, aku berkenalan dengan seorang paranormal. Perkenalanku itu lewat perantaraan seorang teman. Menurut temanku, paranormal itu ahli dalam mengobati penyakit kanker. Mengingat ibuku mengidap kanker, aku mengundang paranormal itu untuk datang ke rumah.
Menurut diagnosis si paranormal, kanker yang diderita ibuku bukanlah penyakit yang sewajarnya, malinkan akibat guna-guna. Karena itu pengobatannya tidak bisa hanya satu kali, namun harus bertahap dan rutin. Karena aku sangat menginginkan kesembuhan ibuku, maka aku dan ibuku berjanji untuk ke rumah paranormal itu pada pertemuan berikutnya.
Suatu hari, aku dan ibuku memang datang ke rumah paranormal itu. Ibu lalu diberi air guna mengobati kankernya. Selesai pengobatan ibuku, kami mengobrol ala kadarnya. Ibuku lalu mengutarakan kecemasannya terhadap diriku yang kita tinggal di perantauan. Ibu minta kepada si paranormal untuk "memagari" diriku supaya terlindung dari segala macam marahabaya.
"Coba, aku lihat cincin yang kamu pakai itu," kata si paranormal sambil menunjuk cincin yang kupakai.
Cincin itu kuserahkan. Kemudian, paranormal itu mengetuk-ketuk batu cincin sambil komat-kamit. Aku tidak tahu untuk apa dia melakukan hal itu.
"Kalau nanti kamu sudah bersuami, cincin itu jangan kamu pakai, terutama kalau kamu sedang berhubungan badan," kata si paranormal setelah menyerahkan cincin itu padaku.
"Mengapa, Pak?" tanyaku, heran bercampur penasaran.
"Kamu pasti akan merasa tidak nyaman dan kesakitan!" kata paranormal itu.
Aku tidak tahu maksud paranormal itu karena aku belum menikah. Tapi, aku tidak bertanya lebih lanjut. Pikirku, mungkin aku baru tahu kalau sudah menikah.
Karena desakan Ibuku, dalam kesempatan ini juga tubuhku diisi kekuatan gaib oleh si paranormal. Maksudnya yang terutama agar aku cepat mencapatkan jodoh, karena Ibu memang sangat ingin menimang cucu dariku. Meski agak keberatan, namun aku tidak bisa menolak keinginan Ibu. Karena itu aku menurut saja.
Sesampainya di Jakarta, aku tidak merasakan perubahan apa-apa dalam diriku. Namun, orang-rang di sekelilingku sepertinya melihat ada perbedaan dengan diriku. Ada yang mengatakan kalau aku terlihat lebih muda, lebih menarik, bahkan ada yang mengatakan kalau aku menimbulkan gairah tersendiri bagi pria.
Sebenarnya, aku merasa heran dengan cara teman-teman memandangiku. Namun, aku tidak begitu mempedulikannya. Hanya saja, aku terkejut ketika salah seorang temanku yang tahu ilmu kebatinan mengatakan kalau ada yang tidak beres dengan diriku.
Katanya, ada pancaran sinar yang membuat orang terpesona jika melihat diriku. Temanku ini berusaha untuk mencari asal pancaran sinar itu. Menurutnya, pancaran sinar itu berasal dari cincin yang kupakai. Namun aku tidak begitu mempercayainya.
Seiring dengan itu, dalam kehidupanku pun terjadi perubahan yang luar biasa, meskipun saat itu aku belum menyadarinya. Hidupku terasa lebih mudah. Ya, aku mudah mendapatkan uang, mendapatkan teman, dan aku juga selalu mudah mewujudkan semua keinginanku.
Rasanya, jalan hidupku menjadi lebih enak. Berbeda dengan saat aku belum ke rumah paranormal itu. Aku harus kerja keras untuk mendapatkan uang. Namun setelah cincin itu diisi, uang seakan datang sendiri. Bahkan beberapa orang tua murid sering memberi uang kepadaku, entah apa tujuannya. Murid-murid lesku bertambah. Aku juga diminta untuk memimpin sebuah lembaga les privat yang gajinya menggiurkan.
Tanpa kusadari, seiring dengan semakin tebalnya kocekku, aku pun berubah. Aku menjadi sombong. Aku juga menjadi menusia pendusta. Aku merasa sangat senang jika ada orang menderita. Kekacauan demi kekacauan aku ciptakan.
Entah kenapa, aku tidak tahu. Tiba-tiba ada dorongan kuat yang membuat diriku seperti itu. Aku senang mengadu domba antarteman. Aku senang memperuncing masalah jika ada perselisihan paham di kalangan rekan kerjaku. Aku juga menjadi pemalas.
Untuk menutupi belang diriku, aku sering berbohong. Kebohongan demi kebohongan aku ciptakan agar orang bersimpati kepadaku. Usahaku berhasil. Aku selalu menang dalam setiap pertempuran.
Ketika keadaan sudah sangat genting di tempat aku bekerja, aku mulai merasakan kegelisahan yang luar biasa. Aku merasa sudah banyak berbuat salah. Oleh karena itu, aku merasa lebih baik untuk hengkang.
Kebetulan, aku diterima di sebuah yayasan pendidikan yang cukup ternama. Padahal, tes masuk ke yayasan itu sangat sulit dan melalui banyak tahap. Namun, aku dengan mudah melaluinya. Aku merasa ada yang mempermudah jalanku. Jadilah, aku sebagai pendidik di salah satu cabang yayasan tersebut.
Disini, aku juga mendapat banyak kemudahan. Uang yang kuterima semakin banyak. Sayang, aku terlena. Kebiasaanku untuk berbohong menutupi kesalahan demi kesalahan karena kemalasanku mengerjakan tugas dan mengajar, semakin kerap kulakukan.
Satu tahun masa percobaan kujalani dengan mulus. Aku bernafas lega. Tapi, aku masih harus menjalani masa percobaan satu tahun lagi. Tahun kedua masa percobaan, aku mulai mengalami banyak masalah. Dari masalah murid, orang tua murid, rekan kerja, samoau pimpinan sekolah. Masalah-masalah itu silih berganti menghinggapiku. Aku menjadi kacau. Hidupku terasa tidak karuan. Aku merasa asing dengan diriku sendiri.
Desember 2002, hidupku semakin dibayangi kegelisahan. Aku diberi surat peringatan oleh Kepala Sekolah karena kinerjaku yang buruk. Aku menjadi gelisah dan kebingungan. Aku merasa kalau orang-orang sudah mulai mencium kebohonganku.
Di tengah kebingunganku, aku bertemu dengan seorang pria bernama Pras. Dia adalah tetanggaku di perumahan BA. Aku memang memiliki rumah kreditan di kompleks ini. Kebetulan, Pras juga memiliki rumah di perumahan yang sama, dan rumahnya bersebelahan dengaku. Kami bertemu ketika akad kredit di bank.
Karena ada masalah dengan pembuatan tower air, Pras menghubungiku lewat HP. Maklum, aku belum menempati rumah yang kukredit dan masih mengontrak rumah.
Urusan tower air ini membuatku kerap berhubungan dengan Mas Pras. Kebetulan kami sama-sama jomblo. Hubungan dengan Mas Pras menjadi akrab gara-gara urusan tower air itu. Bahkan, kepada Mas Pras, akhirnya kuungkapkan kegelisahanku yaitu kemungkinan akan kehilangan pekerjaan.
Mas Pras menunjukkan simpatinya dengan mengajakku ke rumah saudaranya di daerah Rangkas Bitung, Banten. Menurutnya, saudaranya itu orang pintar. Namanya Mas Seno.
Entah kenapa, aku mengikuti nasehat Mas Pras. Kami pergi ke rumah Mas Seno. Di sana, aku mengutarakan masalahku. Anehnya, saat berada di rumah Mas Seno, aku merasakan kegelisahan yang luar biasa. Aku juga merasa sangat benci kepada Mas Seno. Padahal, baru kali ini aku bertemu dengannya.
"Kamu perlu menjalani puasa selama satu minggu. Kamu tidak boleh makan dan minum sampai pukul 18.00. Pada pukul 18.00 kamu hanya boleh makan buah-buahan. Ingat buah-buahan yang tumbuhnya menggantung bukan merambat. Pukul 18.30, kamu tidak boleh makan lagi sampai pukul 18.00 hari berikutnya," kata Mas Seno.
"Kapan dimulainya?" tanyaku.
"Hari ini juga!" tegas Mas Seno.
Sebenarnya, aku merasa enggan menjalankan perintah itu. Namun, Mas Pras memotivasi diriku. Akhirnya, aku menjalani puasa itu. Dua minggu sesudahnya, aku ke rumah Mas Seno lagi bersama Mas Pras.
"Wah, kamu harus mengulangi lagi puasamu. Puasamu tidak diterima. Itu karena kamu masih suka berpikiran kotor. Kamu harus benar-benar membersihkan dirimu," kata Mas Seno.
Aku tidak tahu yang dimaksudkan Mas Seno. Aku merasa jengkel sekali. Hanya atas dorongan Mas Pras, aku kembali menjalani puasa itu. Kali ini, aku benar-benar berusaha untuk membersihkan diri.
Ketika menjalani puasa, aku mengalami banyak kejadian yang luar biasa. Aku sering didatangi wajah-wajah menakutkan padahal aku merasa tidak sedang bermimpi. Setiap kali memejamkan mata, wajah-wajah itu terasa begitu dekat di hadapanku.
Anehnya lagi, di pintu kelas tempat aku mengajar, aku juga melihat ada wajah yang menakutkan di dalam bayangan kaca. Wajah itu seakan-akan mengawasiku. Kemudian, wajah itu selalu hadir kemana pun aku pergi. Aku merasa takut dan ngeri.
Kuungkapkan keanehan ini kepada Mas Seno. Tapi, Mas Seno tidak banyak bicara. Dua hanya minta supaya aku datang setiap hari Minggu ke rumahnya. Selain itu, aku juga diminta untuk berdoa pada malam Senin dan malam Jum'at antara pukul 00.05 sampai 01.05.
Aku harus berdoa sesuai dengan keyakinanku. Ritual harus di lakukan di luar rumah dan langsung di bawah langit. Artinya, kepalaku harus berada di bawah langit, tidak boleh terhalang oleh apapun. Selain itu, aku juga harus menghadap ke timur.
Ditemani Mas Pras, aku menjalani ritual itu. Untuk hal ini, aku tidur dirumah Mas Pras yang kebetulan tinggal bersama paman dan bibinya. Di tempat aku mengontrak tidak memungkinkan bagiku untuk menjalankan ritual ini.
Hari pertama aku menjalani ritual tersebut, aku melihat ada bola api yang seakan-akan turun dari langit menuju ke arahku. Aku merasa ngeri. Tapi, belum sampai ke arahku, cahaya itu sudah meledak di atas rumah bibinya Mas Pras.
Hari kedua, aku merasa didatangi seorang yang bertubuh tinggi besar. Aku merasa sangat ngeri. Aku mencoba menghubungi Mas Pras lewat telepati. Aku mendengar Mas Pras menyuruhku untuk tetap tenang. Aku berusaha untuk tenang meskipun aku sangat takut karena makhluk itu tingginya melebihi rumah bertingkat dan bayangannya menutupi rumah.
Di tengah kekalutanku, tiba-tiba makhluk itu seperti mengempis perlahan-lahan. Rasanya ada yang menekan makhluk. Akhirnya, makhluk itu menjadi sangat kecil dihadapanku lalu lenyap. Aku bernapas lega.
Hari ketiga, ketika memejamkan mata, aku melihat pria berwajah tampan terikat tanpa menggunakan busana. Aku sungguh kasihan melihat pria itu. Dia menatapku dan meratap minta pertolongan dariku.
Aku merasa sangat akrab dengan pria itu. Aku merasa sangat iba terlebih saat dia merintih-rintih minta pertolongan sambil memanggil-manggil namaku. Aku mencoba menghubungi Mas Seno lewat telepati. Mas Seno menyuruhku untuk membiarkannya.
Hari keempat, aku melihat pria itu merintih-rintih. Dia tidak hanya terikat tapi ada nyala api di bawah tubuhnya. Yang mengerikan adalah wajahnya. Wajah pria itu tidak setampan dulu. Wajahnya berubah sangat mengerikan. Dia merintih-rintih memanggilku dan minta pertolongaku. Aku sungguh-sungguh merasa iba padanya.
Hari berikutnya, kulihat tubuh pria itu tinggal tulang belulang dan hangus terbakar. Rambutnya yang dulu lebat dan bagus, kini berubah menjadi merah. Dia tidak lagi memanggil-manggil. Kulihat, dia sungguh-sungguh tidak berdaya. Namun, dari matanya ada pancaran pemberontakan. Ada rasa kasihan yang mendalam dalam hatiku. Tapi, sesuai nasihat Mas Seno, aku harus membiarkannya.
Hari selanjutnya, kulihat pria itu berubah menjadi lempengan daging dan tulang kering. Tubuhnya yang tinggal tulang belulang itu berada di dalam botol. Dia benar-benar tidak berdaya.
Selama menjalani ritual itu, aku rajin mengunjungi Mas Seno. Setiap hari Minggu, aku pergi ke Rangkas. Hingga suatu hari, aku dan Mas Pras diminta untuk masuk ke kamar khususnya. Kami duduk berdampingan. Setelah membaca doa, aku dan Mas Pras diberi gelas berisi air. Kami diminta untuk minum air dalam gelas itu bergantian.
Setelah aku menjalani perintah Mas Seno, dia minta supaya aku datang pada malam Jum'at Kliwon. Aku diminta membawa kembang tujuh rupa. Aku akan dimandikan.
Aku datang pada hari yang ditentukan. Benar, aku dimandikan. air kembang. Saat dimandikan, aku dipukul dengan sapu gerang yang lidinya berasal dari pohon aren. Setelah mandi, aku merasakan bandanku menjadi ringan dan segala permasalahan lenyap. Pada malam itu, aku diajak untuk berbincang-bincang dengan beberapa orang yang hadir di rumah Mas Seno.
"Setelah sekian lama menolong orang, pekerjaan yang kurasa paling sulit adalah menggarap Sisca ini," kata Mas Seno.
"Lho, memangnya ada apa dengaku?" tanyaku, heran dan penasaran .
"Saat pertama melihatmu, aku tahu ada yang tidak beres dengan dirimu. Kakimu berbulu lebat. Selain itu, wajahmu kadang merah, ungu, dan biru. Kalau kamu tertawa terlihat mengerikan," kata Mas Seno.
"Iya, Mas. Kalau Sisca tertawa aku juga merasa kalau bukan dia yang tertawa. Wajah Sisca berubah mengerikan," kata Mas Pras.
Aku ingat Mas Pras selalu mengatakan itu setiap kali aku tertawa terbahak-bahak. Bahkan, Mas Pras juga sering melihat wajahku berubah menjadi hitam dan mengerikan. Aku hanya tertawa karena menganggap hal itu sebagai lelucon.
"Sebenarnya, di alam sana, kamu sudah dikawani oleh genderuwo. Pria yang kamu lihat selama kamu berpuasa dan berdoa secara khusus sudah menganggap kamu sebagai isterinya. Di alam sana pun, para leluhur dari genderuwo itu sudah menganggap kamu sebagai bagian dari keluarganya," kata Mas Seno menjelaskan.
"Dari mana genderuwo itu, Mas?" tanyaku keheranan.
"Genderuwo itu ada di dalam cincinmu," kata Mas Seno.
Aku terperangah. Aku menjadi sadar. Aku ingat kalau selama ini merasa mempunyai orang yang selalu menjagaku. Aku juga selalu merasa sudah memiliki pendamping. Dalam bayanganku selalu muncul pria tampan.
Kalau malam, aku merasa ada yang membelai dan memelukku. Dalam benakku ada terlintas sebuah nama yaitu Budi Prasetya. Entah dari mana nama itu, aku tidak tahu.
Menurut Mas Seno, genderuwo itu selalu bergelayut di pungguku. Pantas saja, selama ini, badanku menjadi bungkuk karena pungguku terasa sangat sakit. Aku sudah mencoba untuk pijat dan melakukan terapi tapi sakit pungguku tidak kujung sembuh.
Setelah dimandikan oleh Mas Seno, pungguku menjadi sangat ringan dan aku tidak tampak bungkuk lagi.
"Untuk bisa memisahkan kamu dari genderuwo, kamu harus terlebih dahulu memiliki suami. Hal itu bisa menjadi alasan untuk melepaskan kamu dari pengaruh genderuwo itu. Karena itu, aku bilang pada genderuwo itu dan kerabatnya kalau kamu sudah menjadi pasangan dari Pras. Aku membela kamu karena Pras adalah saudaraku. Kerabat genderuwo itu tidak terima. Mereka menyerangku. Untunglah, kerabatmu di alam sana membantuku terutama nenekmu," kata Mas Seno menjelaskan.
"Nenek?" tanyaku.
"Iya, sebelum kamu datang ke sini, nenekmu sudah disini. Nenekmulah yang minta kepadaku untuk menolongmu," kata Mas Seno.
Mas Seno menyebutkan nama panggilan akrab nenekku. Aku terkejut. Aku belum pernah bercerita tentang nenekku kepadanya. Aku juga belum pernah memberitahu nama panggilan akrab nenekku. Tapi, Mas Seno sudah tahu.
"Cinta genderuwo itu kepadamu sudah cinta mati. Baginya, kamu adalah isterinya, karena itu aku dianggap sebagai pengganggu. Perlu kerja keras untuk memisahkan dia dari dirimu. Aku sudah minta dengan baik-baik.
Tapi, genderuwo itu tetap bersikeras. Karena itu, aku menggunakan kekerasan. Genderuwo itu terpaksa kuikat karena dia melawan. Karena masih melawan, aku membakarnya. Karena masih melawan juga, aku memasukkannya ke dalam botol.
Sekarang, dia berada di sebuah goa yang tak mungkin ditembus oleh siapapun karena penjagaannya berlapis. Dia tidak akan mungkin mengganggu kamu lagi. Aku harus terus bekerja keras karena kerabatnya juga menyerangku. Maka, aku minta bantuan kepada kerabatmu. Wah, benar-benar melelahkan," kata Mas Seno menjelaskan.
Akhirnya, untuk mempermudah jalan memisahkan aku dengan genderuwo itu, aku dinikahkan dengan Mas Pras. Di alam gaib sana, aku sudah resmi menjadi isteri Mas Pras. Memang, hubunganku dengan Mas Pras menjadi sangat dekat karena peristiwa ini.
Aku sangat berterima kasih kepada Mas Seno dan Mas Pras. Aku terlepas dari belenggu yang tidak kusadari. Beberapa tahun terakhir, aku memang merasa hidup enak. Semua yang kuinginkan bisa tercapai.
Namun, aku juga sering merasa kalau hidupku kacau. Aku sering tidak bisa mengendalikan diriku. Berbohong, mengadu domba, memperuncing permasalahan, dan entah kekacauan apa lagi yang telah kubuat.
Menurut Mas Seno, yang kulami itu adalah imbas dari si genderuwo. Dia tidak ingin hidupku mapan. Kalau aku mapan, maka aku bisa menjalankan ibadah dengan tenang. Jika demikian, dia tidak bisa mempengaruhiku lagi. Maka, hidupku selalu dibuat kacau meskipun disisi lain dia juga berusaha membahagiakan diriku. Genderuwo itu membiarkan aku hidup berfoya-foya. Itulah kebahagian bagiku yang diberikan olehnya, meskipun sebenarnya hal ini yang menjerumuskan diriku.
Kontrakku di yayasan pendidikan favorit itu tidak diperpanjang. Aku merasa sangat kecewa. Namun di sisi lain, aku bahagia karena mendapat sumai. Meskipun baru mengenal beberapa bulan, aku akhirnya menikah dengan Mas Pras. Aku menikah dengan Mas Pras pada bulan Juni 2003 silam.
Selama sekian waktu dia hidup sebagai seorang wanita dari bangsa manusia, yang menjadi isteri dari sosok makhluk halus berwujud genderuwo. Bagaimana kisah mistis ini bisa terjadi? Apa pula yang menjadi sebab sampai dia harus rela menjadi isteri genderuwo...?
Tahun 1999, aku merantau ke Jakarta. Di kota metropolitan ini aku bekerja sebagai guru Sekolah Dasar (SD). Aku merasa senang bekerja di Jakarta, karena gaji yang kuterima cukup besar. Sebelumnya, aku memang sudah bekerja di kota kelahiranku, Yogyakarta, namun di kotaku itu gaji yang kuterima sangat kecil. Karena sebab itu juga kuputuskan untuk merantau.
Disamping mengajar, aku juga memberi les privat. Meskipun harus bekerja ekstra pada sore hari, bahkan sampai malam, aku merasa senang. Uang dari hasil les privat semakin menambah tebal kantongku. Hal inilah yang membuat aku mencoba terus bertahan di Jakarta.
Aku tidak menyadari kalau kepergianku meninggalkan duka dan kekhawatiran yang mendalam pada kedua orang tuaku yang masih tinggal di Yogya. Setiap hari, mereka mengkhawatirkan keadaanku. Hal ini dapat dimaklumi karena aku adalah bungsu dari tiga bersaudara, ditambah lagi aku satu-satunya anak perempuan dalam keluargaku.
Tahun 2000, saat pulang kampung, aku berkenalan dengan seorang paranormal. Perkenalanku itu lewat perantaraan seorang teman. Menurut temanku, paranormal itu ahli dalam mengobati penyakit kanker. Mengingat ibuku mengidap kanker, aku mengundang paranormal itu untuk datang ke rumah.
Menurut diagnosis si paranormal, kanker yang diderita ibuku bukanlah penyakit yang sewajarnya, malinkan akibat guna-guna. Karena itu pengobatannya tidak bisa hanya satu kali, namun harus bertahap dan rutin. Karena aku sangat menginginkan kesembuhan ibuku, maka aku dan ibuku berjanji untuk ke rumah paranormal itu pada pertemuan berikutnya.
Suatu hari, aku dan ibuku memang datang ke rumah paranormal itu. Ibu lalu diberi air guna mengobati kankernya. Selesai pengobatan ibuku, kami mengobrol ala kadarnya. Ibuku lalu mengutarakan kecemasannya terhadap diriku yang kita tinggal di perantauan. Ibu minta kepada si paranormal untuk "memagari" diriku supaya terlindung dari segala macam marahabaya.
"Coba, aku lihat cincin yang kamu pakai itu," kata si paranormal sambil menunjuk cincin yang kupakai.
Cincin itu kuserahkan. Kemudian, paranormal itu mengetuk-ketuk batu cincin sambil komat-kamit. Aku tidak tahu untuk apa dia melakukan hal itu.
"Kalau nanti kamu sudah bersuami, cincin itu jangan kamu pakai, terutama kalau kamu sedang berhubungan badan," kata si paranormal setelah menyerahkan cincin itu padaku.
"Mengapa, Pak?" tanyaku, heran bercampur penasaran.
"Kamu pasti akan merasa tidak nyaman dan kesakitan!" kata paranormal itu.
Aku tidak tahu maksud paranormal itu karena aku belum menikah. Tapi, aku tidak bertanya lebih lanjut. Pikirku, mungkin aku baru tahu kalau sudah menikah.
Karena desakan Ibuku, dalam kesempatan ini juga tubuhku diisi kekuatan gaib oleh si paranormal. Maksudnya yang terutama agar aku cepat mencapatkan jodoh, karena Ibu memang sangat ingin menimang cucu dariku. Meski agak keberatan, namun aku tidak bisa menolak keinginan Ibu. Karena itu aku menurut saja.
Sesampainya di Jakarta, aku tidak merasakan perubahan apa-apa dalam diriku. Namun, orang-rang di sekelilingku sepertinya melihat ada perbedaan dengan diriku. Ada yang mengatakan kalau aku terlihat lebih muda, lebih menarik, bahkan ada yang mengatakan kalau aku menimbulkan gairah tersendiri bagi pria.
Sebenarnya, aku merasa heran dengan cara teman-teman memandangiku. Namun, aku tidak begitu mempedulikannya. Hanya saja, aku terkejut ketika salah seorang temanku yang tahu ilmu kebatinan mengatakan kalau ada yang tidak beres dengan diriku.
Katanya, ada pancaran sinar yang membuat orang terpesona jika melihat diriku. Temanku ini berusaha untuk mencari asal pancaran sinar itu. Menurutnya, pancaran sinar itu berasal dari cincin yang kupakai. Namun aku tidak begitu mempercayainya.
Seiring dengan itu, dalam kehidupanku pun terjadi perubahan yang luar biasa, meskipun saat itu aku belum menyadarinya. Hidupku terasa lebih mudah. Ya, aku mudah mendapatkan uang, mendapatkan teman, dan aku juga selalu mudah mewujudkan semua keinginanku.
Rasanya, jalan hidupku menjadi lebih enak. Berbeda dengan saat aku belum ke rumah paranormal itu. Aku harus kerja keras untuk mendapatkan uang. Namun setelah cincin itu diisi, uang seakan datang sendiri. Bahkan beberapa orang tua murid sering memberi uang kepadaku, entah apa tujuannya. Murid-murid lesku bertambah. Aku juga diminta untuk memimpin sebuah lembaga les privat yang gajinya menggiurkan.
Tanpa kusadari, seiring dengan semakin tebalnya kocekku, aku pun berubah. Aku menjadi sombong. Aku juga menjadi menusia pendusta. Aku merasa sangat senang jika ada orang menderita. Kekacauan demi kekacauan aku ciptakan.
Entah kenapa, aku tidak tahu. Tiba-tiba ada dorongan kuat yang membuat diriku seperti itu. Aku senang mengadu domba antarteman. Aku senang memperuncing masalah jika ada perselisihan paham di kalangan rekan kerjaku. Aku juga menjadi pemalas.
Untuk menutupi belang diriku, aku sering berbohong. Kebohongan demi kebohongan aku ciptakan agar orang bersimpati kepadaku. Usahaku berhasil. Aku selalu menang dalam setiap pertempuran.
Ketika keadaan sudah sangat genting di tempat aku bekerja, aku mulai merasakan kegelisahan yang luar biasa. Aku merasa sudah banyak berbuat salah. Oleh karena itu, aku merasa lebih baik untuk hengkang.
Kebetulan, aku diterima di sebuah yayasan pendidikan yang cukup ternama. Padahal, tes masuk ke yayasan itu sangat sulit dan melalui banyak tahap. Namun, aku dengan mudah melaluinya. Aku merasa ada yang mempermudah jalanku. Jadilah, aku sebagai pendidik di salah satu cabang yayasan tersebut.
Disini, aku juga mendapat banyak kemudahan. Uang yang kuterima semakin banyak. Sayang, aku terlena. Kebiasaanku untuk berbohong menutupi kesalahan demi kesalahan karena kemalasanku mengerjakan tugas dan mengajar, semakin kerap kulakukan.
Satu tahun masa percobaan kujalani dengan mulus. Aku bernafas lega. Tapi, aku masih harus menjalani masa percobaan satu tahun lagi. Tahun kedua masa percobaan, aku mulai mengalami banyak masalah. Dari masalah murid, orang tua murid, rekan kerja, samoau pimpinan sekolah. Masalah-masalah itu silih berganti menghinggapiku. Aku menjadi kacau. Hidupku terasa tidak karuan. Aku merasa asing dengan diriku sendiri.
Desember 2002, hidupku semakin dibayangi kegelisahan. Aku diberi surat peringatan oleh Kepala Sekolah karena kinerjaku yang buruk. Aku menjadi gelisah dan kebingungan. Aku merasa kalau orang-orang sudah mulai mencium kebohonganku.
Di tengah kebingunganku, aku bertemu dengan seorang pria bernama Pras. Dia adalah tetanggaku di perumahan BA. Aku memang memiliki rumah kreditan di kompleks ini. Kebetulan, Pras juga memiliki rumah di perumahan yang sama, dan rumahnya bersebelahan dengaku. Kami bertemu ketika akad kredit di bank.
Karena ada masalah dengan pembuatan tower air, Pras menghubungiku lewat HP. Maklum, aku belum menempati rumah yang kukredit dan masih mengontrak rumah.
Urusan tower air ini membuatku kerap berhubungan dengan Mas Pras. Kebetulan kami sama-sama jomblo. Hubungan dengan Mas Pras menjadi akrab gara-gara urusan tower air itu. Bahkan, kepada Mas Pras, akhirnya kuungkapkan kegelisahanku yaitu kemungkinan akan kehilangan pekerjaan.
Mas Pras menunjukkan simpatinya dengan mengajakku ke rumah saudaranya di daerah Rangkas Bitung, Banten. Menurutnya, saudaranya itu orang pintar. Namanya Mas Seno.
Entah kenapa, aku mengikuti nasehat Mas Pras. Kami pergi ke rumah Mas Seno. Di sana, aku mengutarakan masalahku. Anehnya, saat berada di rumah Mas Seno, aku merasakan kegelisahan yang luar biasa. Aku juga merasa sangat benci kepada Mas Seno. Padahal, baru kali ini aku bertemu dengannya.
"Kamu perlu menjalani puasa selama satu minggu. Kamu tidak boleh makan dan minum sampai pukul 18.00. Pada pukul 18.00 kamu hanya boleh makan buah-buahan. Ingat buah-buahan yang tumbuhnya menggantung bukan merambat. Pukul 18.30, kamu tidak boleh makan lagi sampai pukul 18.00 hari berikutnya," kata Mas Seno.
"Kapan dimulainya?" tanyaku.
"Hari ini juga!" tegas Mas Seno.
Sebenarnya, aku merasa enggan menjalankan perintah itu. Namun, Mas Pras memotivasi diriku. Akhirnya, aku menjalani puasa itu. Dua minggu sesudahnya, aku ke rumah Mas Seno lagi bersama Mas Pras.
"Wah, kamu harus mengulangi lagi puasamu. Puasamu tidak diterima. Itu karena kamu masih suka berpikiran kotor. Kamu harus benar-benar membersihkan dirimu," kata Mas Seno.
Aku tidak tahu yang dimaksudkan Mas Seno. Aku merasa jengkel sekali. Hanya atas dorongan Mas Pras, aku kembali menjalani puasa itu. Kali ini, aku benar-benar berusaha untuk membersihkan diri.
Ketika menjalani puasa, aku mengalami banyak kejadian yang luar biasa. Aku sering didatangi wajah-wajah menakutkan padahal aku merasa tidak sedang bermimpi. Setiap kali memejamkan mata, wajah-wajah itu terasa begitu dekat di hadapanku.
Anehnya lagi, di pintu kelas tempat aku mengajar, aku juga melihat ada wajah yang menakutkan di dalam bayangan kaca. Wajah itu seakan-akan mengawasiku. Kemudian, wajah itu selalu hadir kemana pun aku pergi. Aku merasa takut dan ngeri.
Kuungkapkan keanehan ini kepada Mas Seno. Tapi, Mas Seno tidak banyak bicara. Dua hanya minta supaya aku datang setiap hari Minggu ke rumahnya. Selain itu, aku juga diminta untuk berdoa pada malam Senin dan malam Jum'at antara pukul 00.05 sampai 01.05.
Aku harus berdoa sesuai dengan keyakinanku. Ritual harus di lakukan di luar rumah dan langsung di bawah langit. Artinya, kepalaku harus berada di bawah langit, tidak boleh terhalang oleh apapun. Selain itu, aku juga harus menghadap ke timur.
Ditemani Mas Pras, aku menjalani ritual itu. Untuk hal ini, aku tidur dirumah Mas Pras yang kebetulan tinggal bersama paman dan bibinya. Di tempat aku mengontrak tidak memungkinkan bagiku untuk menjalankan ritual ini.
Hari pertama aku menjalani ritual tersebut, aku melihat ada bola api yang seakan-akan turun dari langit menuju ke arahku. Aku merasa ngeri. Tapi, belum sampai ke arahku, cahaya itu sudah meledak di atas rumah bibinya Mas Pras.
Hari kedua, aku merasa didatangi seorang yang bertubuh tinggi besar. Aku merasa sangat ngeri. Aku mencoba menghubungi Mas Pras lewat telepati. Aku mendengar Mas Pras menyuruhku untuk tetap tenang. Aku berusaha untuk tenang meskipun aku sangat takut karena makhluk itu tingginya melebihi rumah bertingkat dan bayangannya menutupi rumah.
Di tengah kekalutanku, tiba-tiba makhluk itu seperti mengempis perlahan-lahan. Rasanya ada yang menekan makhluk. Akhirnya, makhluk itu menjadi sangat kecil dihadapanku lalu lenyap. Aku bernapas lega.
Hari ketiga, ketika memejamkan mata, aku melihat pria berwajah tampan terikat tanpa menggunakan busana. Aku sungguh kasihan melihat pria itu. Dia menatapku dan meratap minta pertolongan dariku.
Aku merasa sangat akrab dengan pria itu. Aku merasa sangat iba terlebih saat dia merintih-rintih minta pertolongan sambil memanggil-manggil namaku. Aku mencoba menghubungi Mas Seno lewat telepati. Mas Seno menyuruhku untuk membiarkannya.
Hari keempat, aku melihat pria itu merintih-rintih. Dia tidak hanya terikat tapi ada nyala api di bawah tubuhnya. Yang mengerikan adalah wajahnya. Wajah pria itu tidak setampan dulu. Wajahnya berubah sangat mengerikan. Dia merintih-rintih memanggilku dan minta pertolongaku. Aku sungguh-sungguh merasa iba padanya.
Hari berikutnya, kulihat tubuh pria itu tinggal tulang belulang dan hangus terbakar. Rambutnya yang dulu lebat dan bagus, kini berubah menjadi merah. Dia tidak lagi memanggil-manggil. Kulihat, dia sungguh-sungguh tidak berdaya. Namun, dari matanya ada pancaran pemberontakan. Ada rasa kasihan yang mendalam dalam hatiku. Tapi, sesuai nasihat Mas Seno, aku harus membiarkannya.
Hari selanjutnya, kulihat pria itu berubah menjadi lempengan daging dan tulang kering. Tubuhnya yang tinggal tulang belulang itu berada di dalam botol. Dia benar-benar tidak berdaya.
Selama menjalani ritual itu, aku rajin mengunjungi Mas Seno. Setiap hari Minggu, aku pergi ke Rangkas. Hingga suatu hari, aku dan Mas Pras diminta untuk masuk ke kamar khususnya. Kami duduk berdampingan. Setelah membaca doa, aku dan Mas Pras diberi gelas berisi air. Kami diminta untuk minum air dalam gelas itu bergantian.
Setelah aku menjalani perintah Mas Seno, dia minta supaya aku datang pada malam Jum'at Kliwon. Aku diminta membawa kembang tujuh rupa. Aku akan dimandikan.
Aku datang pada hari yang ditentukan. Benar, aku dimandikan. air kembang. Saat dimandikan, aku dipukul dengan sapu gerang yang lidinya berasal dari pohon aren. Setelah mandi, aku merasakan bandanku menjadi ringan dan segala permasalahan lenyap. Pada malam itu, aku diajak untuk berbincang-bincang dengan beberapa orang yang hadir di rumah Mas Seno.
"Setelah sekian lama menolong orang, pekerjaan yang kurasa paling sulit adalah menggarap Sisca ini," kata Mas Seno.
"Lho, memangnya ada apa dengaku?" tanyaku, heran dan penasaran .
"Saat pertama melihatmu, aku tahu ada yang tidak beres dengan dirimu. Kakimu berbulu lebat. Selain itu, wajahmu kadang merah, ungu, dan biru. Kalau kamu tertawa terlihat mengerikan," kata Mas Seno.
"Iya, Mas. Kalau Sisca tertawa aku juga merasa kalau bukan dia yang tertawa. Wajah Sisca berubah mengerikan," kata Mas Pras.
Aku ingat Mas Pras selalu mengatakan itu setiap kali aku tertawa terbahak-bahak. Bahkan, Mas Pras juga sering melihat wajahku berubah menjadi hitam dan mengerikan. Aku hanya tertawa karena menganggap hal itu sebagai lelucon.
"Sebenarnya, di alam sana, kamu sudah dikawani oleh genderuwo. Pria yang kamu lihat selama kamu berpuasa dan berdoa secara khusus sudah menganggap kamu sebagai isterinya. Di alam sana pun, para leluhur dari genderuwo itu sudah menganggap kamu sebagai bagian dari keluarganya," kata Mas Seno menjelaskan.
"Dari mana genderuwo itu, Mas?" tanyaku keheranan.
"Genderuwo itu ada di dalam cincinmu," kata Mas Seno.
Aku terperangah. Aku menjadi sadar. Aku ingat kalau selama ini merasa mempunyai orang yang selalu menjagaku. Aku juga selalu merasa sudah memiliki pendamping. Dalam bayanganku selalu muncul pria tampan.
Kalau malam, aku merasa ada yang membelai dan memelukku. Dalam benakku ada terlintas sebuah nama yaitu Budi Prasetya. Entah dari mana nama itu, aku tidak tahu.
Menurut Mas Seno, genderuwo itu selalu bergelayut di pungguku. Pantas saja, selama ini, badanku menjadi bungkuk karena pungguku terasa sangat sakit. Aku sudah mencoba untuk pijat dan melakukan terapi tapi sakit pungguku tidak kujung sembuh.
Setelah dimandikan oleh Mas Seno, pungguku menjadi sangat ringan dan aku tidak tampak bungkuk lagi.
"Untuk bisa memisahkan kamu dari genderuwo, kamu harus terlebih dahulu memiliki suami. Hal itu bisa menjadi alasan untuk melepaskan kamu dari pengaruh genderuwo itu. Karena itu, aku bilang pada genderuwo itu dan kerabatnya kalau kamu sudah menjadi pasangan dari Pras. Aku membela kamu karena Pras adalah saudaraku. Kerabat genderuwo itu tidak terima. Mereka menyerangku. Untunglah, kerabatmu di alam sana membantuku terutama nenekmu," kata Mas Seno menjelaskan.
"Nenek?" tanyaku.
"Iya, sebelum kamu datang ke sini, nenekmu sudah disini. Nenekmulah yang minta kepadaku untuk menolongmu," kata Mas Seno.
Mas Seno menyebutkan nama panggilan akrab nenekku. Aku terkejut. Aku belum pernah bercerita tentang nenekku kepadanya. Aku juga belum pernah memberitahu nama panggilan akrab nenekku. Tapi, Mas Seno sudah tahu.
"Cinta genderuwo itu kepadamu sudah cinta mati. Baginya, kamu adalah isterinya, karena itu aku dianggap sebagai pengganggu. Perlu kerja keras untuk memisahkan dia dari dirimu. Aku sudah minta dengan baik-baik.
Tapi, genderuwo itu tetap bersikeras. Karena itu, aku menggunakan kekerasan. Genderuwo itu terpaksa kuikat karena dia melawan. Karena masih melawan, aku membakarnya. Karena masih melawan juga, aku memasukkannya ke dalam botol.
Sekarang, dia berada di sebuah goa yang tak mungkin ditembus oleh siapapun karena penjagaannya berlapis. Dia tidak akan mungkin mengganggu kamu lagi. Aku harus terus bekerja keras karena kerabatnya juga menyerangku. Maka, aku minta bantuan kepada kerabatmu. Wah, benar-benar melelahkan," kata Mas Seno menjelaskan.
Akhirnya, untuk mempermudah jalan memisahkan aku dengan genderuwo itu, aku dinikahkan dengan Mas Pras. Di alam gaib sana, aku sudah resmi menjadi isteri Mas Pras. Memang, hubunganku dengan Mas Pras menjadi sangat dekat karena peristiwa ini.
Aku sangat berterima kasih kepada Mas Seno dan Mas Pras. Aku terlepas dari belenggu yang tidak kusadari. Beberapa tahun terakhir, aku memang merasa hidup enak. Semua yang kuinginkan bisa tercapai.
Namun, aku juga sering merasa kalau hidupku kacau. Aku sering tidak bisa mengendalikan diriku. Berbohong, mengadu domba, memperuncing permasalahan, dan entah kekacauan apa lagi yang telah kubuat.
Menurut Mas Seno, yang kulami itu adalah imbas dari si genderuwo. Dia tidak ingin hidupku mapan. Kalau aku mapan, maka aku bisa menjalankan ibadah dengan tenang. Jika demikian, dia tidak bisa mempengaruhiku lagi. Maka, hidupku selalu dibuat kacau meskipun disisi lain dia juga berusaha membahagiakan diriku. Genderuwo itu membiarkan aku hidup berfoya-foya. Itulah kebahagian bagiku yang diberikan olehnya, meskipun sebenarnya hal ini yang menjerumuskan diriku.
Kontrakku di yayasan pendidikan favorit itu tidak diperpanjang. Aku merasa sangat kecewa. Namun di sisi lain, aku bahagia karena mendapat sumai. Meskipun baru mengenal beberapa bulan, aku akhirnya menikah dengan Mas Pras. Aku menikah dengan Mas Pras pada bulan Juni 2003 silam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar