Penulis: IVAN SURYANA
Kisah mistis ini mirip sebuah legenda yang diyakini kebenarannya. Sulastri, gadis desa itu ternyata bersuamikan pemuda dari bangsa Siluman Buaya....
Seperti biasanya, setiap pagi dan sore Sumi mencuci pakaian dan peralatan dapur di sungai dekat rumahnya. Kebiasaan ini memang telah menjadi kebiasaan penduduk desa yang terletak di pinggiran kali Cimenceuri.
Sore itu, kebetulan air sungai sedang banjir. Ketika sedang mencuci, pandangan mata Sumi tertuju pada sebuah benda hitam yang agak panjang, yang tampak mengambang di dekat pangkalan tempat penduduk biasa mencuci. Tanpa menaruh curiga, Sumi mendekati benda itu. Ketika dia menyentuhnya, mendadak benda itu bergerak. Tapi bukannya menjauh, benda hitam itu malah terus mendekatinya.
Ternyata, benda itu adalah seekor buaya, tapi masih relatif kecil. Mungkin juga masih bayi. Aneh, Sumi bukannya merasa takut, tapi justeru merasa kasihan pada hewan itu. Tanpa berpikir macam-macam, akhirnya wanita desa berwajah ayu ini membawa bayi buaya itu untuk dipelihara di rumahnya.
Sumi menaruh anak buaya temuannya di dalam paso (baskom terbuat dari tanah) besar. Paso itu dia letakkan di bahwa kolong tempat tidurnya yang sederhana.
"Kamu tinggal saja denganku disini. Aku pasti akan merawatmu," bisik Sumi sambil mengusap-usap anak buaya itu, tanpa rasa jijik atau takut ealau sedikitpun.
Entah kekuatan apa yang mendorong Sumi berbuat begitu baik kepada buaya kecil itu. Bahkan, Sumi dengan telaten memberikan makan pada buaya itu di setiap harinya.
Anehnya, sejak memelihara anak buaya itu, kehidupan Sumi yang telah lama menjanda malah berubah serba kecukupan. Padahal, dulu dia hanya mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Memang, ada yang aneh dengan Sumi. Kadang-kadang, dengan begitu saja dia mendapatkan uang dalam jumlah relatif besar untuk dirinya yang disembunyikan di bawah bantal tempat tidurnya.
"Aneh, dari mana uang ini?" pikir Sumi. Namun, dia tak pernah mampu menjawab pertanyaan ini.
Sementara itu, hari-hari berlalu, anak buaya yang dipiaranya itu semakin tumbuh besar. Sumi selalu memberinya makan dengan anak ayam yang dibelinya. Setelah anak buaya itu semakin besar, maka apa yang terjadi? Paso yang digunakan untuk memelihara buaya itu kini menjadi sempit, bahkan tak mungkin bisa menampung tubuh si buaya yang tumbuh semakin besar.
Sumi kebingungan dengan kenyataan ini. Akan dikemanakan buaya yang semakin besar itu? Jika dibiarkan di rumahnya, dia takut mengganggu ketenangan hidupnya, bahkan mungkin juga para tetangganya. Namun, jika dibawa ke sungai, dia takut akan diketahui penduduk kampung. Mereka pasti beramai-ramai akan membunuh buaya itu.
Di tengah kebingungannnya, suatu malam, ketika Sumi kebingungan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan buayanya, tiba-tiba terdengar bunyi kecipak air disertai suara berisik yang mencurigakan. Sumi yang ketika itu sedang tidur akhirnya terbangun. Dia merasa curiga ada sesuatu yang terjadi dengan buaya kesayangannya. Karena penasaran, Sumi memeriksa keadaan hewan peliharaannya yang sudah dia pindahkan ke dapur, persisnya ke sebuah kolam yang dia buat sendiri.
Begitu mencapai dapur, alangkah terkejutnya Sumi. Dia hampir saja tak percaya melihatnya. Buaya peliharaannya tampak semakin tumbuh besar dari siang sebelumnya, bahkan kolam yang dia buat tak lagi bisa menampungnya. Dan buaya itu tengah bergerak kesana-kemari, sambil membentur-benturkan badannya ke dinding rumah. Untung dinding rumah bagian bawah peninggalan suaminya itu terbuat dari susunan batu bata, meski belum lagi sempat diplester. Kalau tidak, bisa saja rumah itu akan runtuh.
"Apa yang terjadi dengan buaya itu?" tanya Sumi dalam hati. Dia mulai dilanda kecemasan.
Sementara, si buaya terus membentur-benturkan tubuhnya ke dinding. Aneh, bersamaan dengan itu sepertinya ada lempengan-lempengan menyerupai sisik yang tebal di tubuh si buaya yang jatuh berhamburan.
Sumi menyaksikannya dengan cemas. Dia takut buaya itu benar-benar kalap dan menyerangnya. Tentu akan sangat mengerikan. Sumi tak sanggup membayangkannya.
"Sahabatku, mengapa kau marah begini. Kesalahan apa yang telah kuperbuat. Maafkanlah aku kalau aku sudah berbuat salah terhadapmu. Dan aku mohon, hentikanlah kemarahanmu," kata Sumi dengan hampir menangis. Dia sungguh-sungguh takut buaya itu akan merobohkan rumahnya, atau bahkan mungkin akan memangsa tubuhnya.
Namun, apa yang dipikirkan Sumi sama sekali tidak terjadi. Peristiwa selanjutnya malah membuat perempuan yang hampir menginjak usia kepala tiga itu ternganga heran. Dengan dada berdegup kencang dia menyaksikan sesuatu yang sulit dimengerti oleh akal sehatnya.
Ya, lihatlah apa yang terjadi! Beberapa lama setelah membentur-benturkan tubuhnya dan serpihan-serpihan mirip sisik itu berjatuhan, maka perlahan namun pasti hewan melata itu berubah wujud menjadi sosok pemuda belasan tahun yang sangat tampan, dengan sorot matanya yang tajam.
Melihat peristiwa ajaib ini Sumi tersurut beberapa langkah. Dia nyaris tak percaya. Namun, ketika dia menyadari bahwa itu sesuatu yang nyata, dia bermaksud segera pergi meninggalkan tempat itu guna meminta pertolongan.
"Jangan takut padaku, Ibu Sumi!" cegah pemuda jelmaan buaya itu, ketika melihat Sumi akan pergi. Wanita itu segera menahan langkahnya.
"Percayalah padaku. Aku takkan berbuat jahat padamu, malah aku akan menolongmu. Tapi, kau harus berjanji untuk tidak menceritakan kejadian ini pada siapapun, anggap aku ini sebagai anakmu”.
"Baiklah!" jawab Sumi. "Tapi siapa namamu, Nak?"
"Namaku Joko Andelo!" jawab si pemuda.
Ringkas cerita, setelah peristiwa itu, kehidupan Sumi bertambah senang. Hatinya juga selalu bahagia dan terhibur, sebab Joko Andelo terjun ke masyarakat dan disukai banyak orang. Tak hanya wajahnya yang tampan dan gagah. Dia juga ramah kepada siapa saja. Banyak juga gadis desa yang tergila-gila padanya. Salah satunya yang menaruh hati padanya adalah Sulastri, kembang desa tempat Sumi lahir, besar, dan kini tinggal. Ternyata, Joko Andelo juga sangat senang pada Sulastri. Keduanya pun saling jatuh cinta.
Pada hari yang ditentukan, Joko Andelo akhirnya menikah dengan Sulastri dan mereka hidup bersama.
Suatu hari Joko Andelo berkata pada Sulastri, "Sebenarnya Bu Sumi bukanlah ibu kandungku."
"Bukan ibumu?" tanya Sulastri, keheranan. "Lalu siapa ibu kandungmu yang sebenarnya?" Sulastri menatap penuh keingintahuan.
"Ibuku ada di desa seberang. Maukah kau menemui orang tuaku?"
Dengan hati penasaran akhirnya Sulastri menerima ajakan suaminya. Mereka lalu pergi. Mula-mula berjalan menuju seberang sungai Cimanceuri. Dalam perjalanan itu Joko terus menceritakan bahwa di desa tempat tinggalnya sangat menyenangkan, penduduknya ramah, makmur dan sentosa.
Sulastri membayangkan keadaan dimana dia berada di sebuah desa yang amat ramai. Ketika dia sedang bermain di alam hayalnya, tiba-tiba suaminya berada di sebuah muka perkampungan yang sangat asing bagi Sulastri.
"Inilah desa tempat orang tuaku tinggal," ucap Joko pada Sulastri.
Sesaat Sulastri terkejut. Dia hampir tak percaya melihat desa yang tampak begitu makmur. Semua rumah penduduknya bagus, bercat putih bersih.
"Lalu, mana rumah orang tuamu?" tanya Sulastri.
"Sebentar lagi kita tiba!" jawab Joko.
Mereka terus berjalan. Tatapan penduduk semua begitu ramah menyambut kedatangan mereka. Di sana-sini saling menyapa, anak-anak kecil bermain kejar-kejaran. Semuanya kelihatan bahagia.
Joko menuntun isterinya menuju ke sebuah rumah. Begitu masuk, mereka disambut oleh suami isteri yang telah berusia separuh baya. Merekalah ibu dan ayah Joko Andelo.
Sulastri tak tahu apa yang terjadi dengan suaminya. Yang pasti, selama tinggal di rumah mertuanya itu dia merasa betah, jauh lebih menyenangkan daripada tempat tinggalnya. Tetapi dia teringat pada orang tuanya, sehingga Sulastri bermaksud pulang menjenguk mereka. Ketika hendak pulang dan mengajak serta suaminya, Joko tidak mau, karena harus menjaga kedua orang tuanya.
Akhirnya Sulastri memutuskan untuk pulang sendiri. Dia pun berjalan sampai di muka perkampungan, tetapi tiba-tiba dirinya langsung muncul dari hulu sungai Cimanceuri dengan pakaian yang basah kuyup. Betapa terkejutnya dia pada kenyataan ini. Namun, setelah kejadian itu barulah Sulastri tersadar bahwa Joko Andelo, suaminya bukan manusia biasa, melainkan sebangsa siluman.
Setelah pulang, Sulastri bertanya pada Ibu Sumi tentang siapa Joko sebenarnya. Sumi menceritakan asal-usul pertemuannya dengan Joko sampai dia memelihara dan merawat Joko.
Beberapa bulan kemudian, Joko menjemput Sulastri ke rumahnya. Tetapi Sulastri tidak mau ikut, karena dia merasa bahwa alamnya berbeda. Lalu Joko Andelo berpesan pada isterinya, jika Sulastri ingin bertemu dengan dirinya, maka pukul saja beduk, dengan begitu diapun akan datang menemuinya.
Tetapi karena penduduk tempat tinggal Sulastri beragama Islam dan setiap waktu sholat terlebih dahulu memukul beduk, jadi Joko mengunjungi Sulastri sebanyak 5 kali dalam sehari. Maka di sungai Cimanceuri kerap bermunculan buaya. Konon, buaya-buaya itu adalah pengantar Joko ketika pergi dan pulang kembali. Akibatnya, wargapun menjadi resah.
Hingga pada suatu hari, Sulastri melahirkan seorang bayi dan bayi itu diserahkan pada Joko dengan syarat Joko tidak muncul lagi untuk menemuinya.
Begitulah, kini tak ada lagi buaya yang muncul di Kali Cimanceuri sejak ratusan tahun silam peristiwa ini terjadi.
Kisah mistis ini mirip sebuah legenda yang diyakini kebenarannya. Sulastri, gadis desa itu ternyata bersuamikan pemuda dari bangsa Siluman Buaya....
Seperti biasanya, setiap pagi dan sore Sumi mencuci pakaian dan peralatan dapur di sungai dekat rumahnya. Kebiasaan ini memang telah menjadi kebiasaan penduduk desa yang terletak di pinggiran kali Cimenceuri.
Sore itu, kebetulan air sungai sedang banjir. Ketika sedang mencuci, pandangan mata Sumi tertuju pada sebuah benda hitam yang agak panjang, yang tampak mengambang di dekat pangkalan tempat penduduk biasa mencuci. Tanpa menaruh curiga, Sumi mendekati benda itu. Ketika dia menyentuhnya, mendadak benda itu bergerak. Tapi bukannya menjauh, benda hitam itu malah terus mendekatinya.
Ternyata, benda itu adalah seekor buaya, tapi masih relatif kecil. Mungkin juga masih bayi. Aneh, Sumi bukannya merasa takut, tapi justeru merasa kasihan pada hewan itu. Tanpa berpikir macam-macam, akhirnya wanita desa berwajah ayu ini membawa bayi buaya itu untuk dipelihara di rumahnya.
Sumi menaruh anak buaya temuannya di dalam paso (baskom terbuat dari tanah) besar. Paso itu dia letakkan di bahwa kolong tempat tidurnya yang sederhana.
"Kamu tinggal saja denganku disini. Aku pasti akan merawatmu," bisik Sumi sambil mengusap-usap anak buaya itu, tanpa rasa jijik atau takut ealau sedikitpun.
Entah kekuatan apa yang mendorong Sumi berbuat begitu baik kepada buaya kecil itu. Bahkan, Sumi dengan telaten memberikan makan pada buaya itu di setiap harinya.
Anehnya, sejak memelihara anak buaya itu, kehidupan Sumi yang telah lama menjanda malah berubah serba kecukupan. Padahal, dulu dia hanya mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Memang, ada yang aneh dengan Sumi. Kadang-kadang, dengan begitu saja dia mendapatkan uang dalam jumlah relatif besar untuk dirinya yang disembunyikan di bawah bantal tempat tidurnya.
"Aneh, dari mana uang ini?" pikir Sumi. Namun, dia tak pernah mampu menjawab pertanyaan ini.
Sementara itu, hari-hari berlalu, anak buaya yang dipiaranya itu semakin tumbuh besar. Sumi selalu memberinya makan dengan anak ayam yang dibelinya. Setelah anak buaya itu semakin besar, maka apa yang terjadi? Paso yang digunakan untuk memelihara buaya itu kini menjadi sempit, bahkan tak mungkin bisa menampung tubuh si buaya yang tumbuh semakin besar.
Sumi kebingungan dengan kenyataan ini. Akan dikemanakan buaya yang semakin besar itu? Jika dibiarkan di rumahnya, dia takut mengganggu ketenangan hidupnya, bahkan mungkin juga para tetangganya. Namun, jika dibawa ke sungai, dia takut akan diketahui penduduk kampung. Mereka pasti beramai-ramai akan membunuh buaya itu.
Di tengah kebingungannnya, suatu malam, ketika Sumi kebingungan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan buayanya, tiba-tiba terdengar bunyi kecipak air disertai suara berisik yang mencurigakan. Sumi yang ketika itu sedang tidur akhirnya terbangun. Dia merasa curiga ada sesuatu yang terjadi dengan buaya kesayangannya. Karena penasaran, Sumi memeriksa keadaan hewan peliharaannya yang sudah dia pindahkan ke dapur, persisnya ke sebuah kolam yang dia buat sendiri.
Begitu mencapai dapur, alangkah terkejutnya Sumi. Dia hampir saja tak percaya melihatnya. Buaya peliharaannya tampak semakin tumbuh besar dari siang sebelumnya, bahkan kolam yang dia buat tak lagi bisa menampungnya. Dan buaya itu tengah bergerak kesana-kemari, sambil membentur-benturkan badannya ke dinding rumah. Untung dinding rumah bagian bawah peninggalan suaminya itu terbuat dari susunan batu bata, meski belum lagi sempat diplester. Kalau tidak, bisa saja rumah itu akan runtuh.
"Apa yang terjadi dengan buaya itu?" tanya Sumi dalam hati. Dia mulai dilanda kecemasan.
Sementara, si buaya terus membentur-benturkan tubuhnya ke dinding. Aneh, bersamaan dengan itu sepertinya ada lempengan-lempengan menyerupai sisik yang tebal di tubuh si buaya yang jatuh berhamburan.
Sumi menyaksikannya dengan cemas. Dia takut buaya itu benar-benar kalap dan menyerangnya. Tentu akan sangat mengerikan. Sumi tak sanggup membayangkannya.
"Sahabatku, mengapa kau marah begini. Kesalahan apa yang telah kuperbuat. Maafkanlah aku kalau aku sudah berbuat salah terhadapmu. Dan aku mohon, hentikanlah kemarahanmu," kata Sumi dengan hampir menangis. Dia sungguh-sungguh takut buaya itu akan merobohkan rumahnya, atau bahkan mungkin akan memangsa tubuhnya.
Namun, apa yang dipikirkan Sumi sama sekali tidak terjadi. Peristiwa selanjutnya malah membuat perempuan yang hampir menginjak usia kepala tiga itu ternganga heran. Dengan dada berdegup kencang dia menyaksikan sesuatu yang sulit dimengerti oleh akal sehatnya.
Ya, lihatlah apa yang terjadi! Beberapa lama setelah membentur-benturkan tubuhnya dan serpihan-serpihan mirip sisik itu berjatuhan, maka perlahan namun pasti hewan melata itu berubah wujud menjadi sosok pemuda belasan tahun yang sangat tampan, dengan sorot matanya yang tajam.
Melihat peristiwa ajaib ini Sumi tersurut beberapa langkah. Dia nyaris tak percaya. Namun, ketika dia menyadari bahwa itu sesuatu yang nyata, dia bermaksud segera pergi meninggalkan tempat itu guna meminta pertolongan.
"Jangan takut padaku, Ibu Sumi!" cegah pemuda jelmaan buaya itu, ketika melihat Sumi akan pergi. Wanita itu segera menahan langkahnya.
"Percayalah padaku. Aku takkan berbuat jahat padamu, malah aku akan menolongmu. Tapi, kau harus berjanji untuk tidak menceritakan kejadian ini pada siapapun, anggap aku ini sebagai anakmu”.
"Baiklah!" jawab Sumi. "Tapi siapa namamu, Nak?"
"Namaku Joko Andelo!" jawab si pemuda.
Ringkas cerita, setelah peristiwa itu, kehidupan Sumi bertambah senang. Hatinya juga selalu bahagia dan terhibur, sebab Joko Andelo terjun ke masyarakat dan disukai banyak orang. Tak hanya wajahnya yang tampan dan gagah. Dia juga ramah kepada siapa saja. Banyak juga gadis desa yang tergila-gila padanya. Salah satunya yang menaruh hati padanya adalah Sulastri, kembang desa tempat Sumi lahir, besar, dan kini tinggal. Ternyata, Joko Andelo juga sangat senang pada Sulastri. Keduanya pun saling jatuh cinta.
Pada hari yang ditentukan, Joko Andelo akhirnya menikah dengan Sulastri dan mereka hidup bersama.
Suatu hari Joko Andelo berkata pada Sulastri, "Sebenarnya Bu Sumi bukanlah ibu kandungku."
"Bukan ibumu?" tanya Sulastri, keheranan. "Lalu siapa ibu kandungmu yang sebenarnya?" Sulastri menatap penuh keingintahuan.
"Ibuku ada di desa seberang. Maukah kau menemui orang tuaku?"
Dengan hati penasaran akhirnya Sulastri menerima ajakan suaminya. Mereka lalu pergi. Mula-mula berjalan menuju seberang sungai Cimanceuri. Dalam perjalanan itu Joko terus menceritakan bahwa di desa tempat tinggalnya sangat menyenangkan, penduduknya ramah, makmur dan sentosa.
Sulastri membayangkan keadaan dimana dia berada di sebuah desa yang amat ramai. Ketika dia sedang bermain di alam hayalnya, tiba-tiba suaminya berada di sebuah muka perkampungan yang sangat asing bagi Sulastri.
"Inilah desa tempat orang tuaku tinggal," ucap Joko pada Sulastri.
Sesaat Sulastri terkejut. Dia hampir tak percaya melihat desa yang tampak begitu makmur. Semua rumah penduduknya bagus, bercat putih bersih.
"Lalu, mana rumah orang tuamu?" tanya Sulastri.
"Sebentar lagi kita tiba!" jawab Joko.
Mereka terus berjalan. Tatapan penduduk semua begitu ramah menyambut kedatangan mereka. Di sana-sini saling menyapa, anak-anak kecil bermain kejar-kejaran. Semuanya kelihatan bahagia.
Joko menuntun isterinya menuju ke sebuah rumah. Begitu masuk, mereka disambut oleh suami isteri yang telah berusia separuh baya. Merekalah ibu dan ayah Joko Andelo.
Sulastri tak tahu apa yang terjadi dengan suaminya. Yang pasti, selama tinggal di rumah mertuanya itu dia merasa betah, jauh lebih menyenangkan daripada tempat tinggalnya. Tetapi dia teringat pada orang tuanya, sehingga Sulastri bermaksud pulang menjenguk mereka. Ketika hendak pulang dan mengajak serta suaminya, Joko tidak mau, karena harus menjaga kedua orang tuanya.
Akhirnya Sulastri memutuskan untuk pulang sendiri. Dia pun berjalan sampai di muka perkampungan, tetapi tiba-tiba dirinya langsung muncul dari hulu sungai Cimanceuri dengan pakaian yang basah kuyup. Betapa terkejutnya dia pada kenyataan ini. Namun, setelah kejadian itu barulah Sulastri tersadar bahwa Joko Andelo, suaminya bukan manusia biasa, melainkan sebangsa siluman.
Setelah pulang, Sulastri bertanya pada Ibu Sumi tentang siapa Joko sebenarnya. Sumi menceritakan asal-usul pertemuannya dengan Joko sampai dia memelihara dan merawat Joko.
Beberapa bulan kemudian, Joko menjemput Sulastri ke rumahnya. Tetapi Sulastri tidak mau ikut, karena dia merasa bahwa alamnya berbeda. Lalu Joko Andelo berpesan pada isterinya, jika Sulastri ingin bertemu dengan dirinya, maka pukul saja beduk, dengan begitu diapun akan datang menemuinya.
Tetapi karena penduduk tempat tinggal Sulastri beragama Islam dan setiap waktu sholat terlebih dahulu memukul beduk, jadi Joko mengunjungi Sulastri sebanyak 5 kali dalam sehari. Maka di sungai Cimanceuri kerap bermunculan buaya. Konon, buaya-buaya itu adalah pengantar Joko ketika pergi dan pulang kembali. Akibatnya, wargapun menjadi resah.
Hingga pada suatu hari, Sulastri melahirkan seorang bayi dan bayi itu diserahkan pada Joko dengan syarat Joko tidak muncul lagi untuk menemuinya.
Begitulah, kini tak ada lagi buaya yang muncul di Kali Cimanceuri sejak ratusan tahun silam peristiwa ini terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar