Penulis: PRAYOGA GEMILANG
Kisah ini dialami oleh seorang wanita yang sengaja di samarkan dengan nama Nyai Kedasih. Sesuai dengan permintaan si penutur kisah, alamat serta jadidiri yang bersangkutan menjadi rahasia kami....
Walau usianya sudah di ambang 70 tahun, garis-garis kecantikan masih tersirat di wajahnya yang bersih. Rambutnya telah memutih, namun pendengarannya masih sangat baik. Kulitnya yang penuh kerut juga masih terawat dengan baik. Sesekali dia masih bisa melenggak-lenggok tubuhnya yang ringkih untuk menari Jaipong.
Orang-orang yang tinggal di kampung lereng gunung itu mengenalnya dengan nama Nyai Kedasih. Dia tinggal di rumahnya yang sederhana namun berhalaman cukup luas dan asri. Ditemani oleh Encih, wanita 40-an tahun.
Encih, mungkin satu-satunya orang yang masih bisa merekam dengan jelas kehidupan Nyai Kedasih di masa lalu. Maklumlah, sejak kecil Encih memang sudah ikut dengan Nyai Kedasih. Bahkan, Encih sudah diangkat sebagai anak. Dari perkawinannya dengan Atta, Encih memiliki sepasang anak, putra dan putri yang keduanya juga telah menikah dan berputra. Mereka tinggal tak jauh dari rumah itu.
"Saya tidak tahu siapa orang tua saya yang sebenarnya. Sejak kecil saya sudah ikut Emak (Nyai Kedasih). Kemana saja Emak mentas, saya pasti ikut," cerita Encih.
Dari raut wajahnya, memang tak ada kemiripan sama sekali antara kedua wanita ini. Nyai Kedasih berwajah khas wanita priangan, dengan paras sedikit bulat dan berkulit bersih. Tapi Encih kelihatan lebih hitam, wajahnya pun tampak lebih keras. Jadi jelas kedua wanita itu sama sekali tak memiliki pertalian darah.
"Emak mengangkat Encih sebagai anak waktu usianya masih sepuluh tahun. Dia ini anak salah seorang nayaga di Grup Sinar Pasundan, tempat dulu Emak bergabung," tambah Nyai Kedasih.
Hubungan antara Nyai Kedasih dan Encih mungkin hanya sebagian kecil dari sisi menarik perjalanan hidup wanita yang masih memiliki suara merdu saat menyanyikan Tembang Cianjuran itu. Ada hal lain yang jauh lebih menarik, yakni sisi kehidupan Nyai Kedasih dalam hubungannya dengan dunia yang dulu digelitinya. Sinden Jaipong!
"Emak ini dulunya adalah seorang primadona di Grup Sinar Pasundan," bibir tua itu bergetar. Lalu, matanya yang cekung memandang jauh ke depan, dengan sorot menerawang. Dia tengah berusaha mengumpulkan segenap memori masa lalunya. Kepada Misteri, Nyai Kedasih menuturkan kisah hidupnya, seperti yang terekam berikut ini...:
Aku terlahir dari keluarga seniman. Ibuku seorang sinden, dan ayahku seorang penabuh beduk yang cukup andal. Jadi, kloplah darah seni bumi Prahyangan mengalir dalam tubuhku. Wajar saja jika kemudian aku menjadi pandai menari dan menyanyi. Banyak orang yang terpesona melihat tarianku, dan banyak pula yang mengagumi merdunya suaraku.
Namun, bukan hanya kedua modal itu yang membuatku kemudian menjadi primadona. Sebagai seorang sinden, kepandaian menari dan kemerduan suara memang modal mutlak, tapi jauh lebih penting adalah penampilan fisik. Aku merasa sangat beruntung, sebab ketiga modal itu sama-sama ada pada diriku. Bahkan, kecantikanku yang nyaris sempurna, sungguh merupakan karunia Tuhan yang sangat besar bagi diriku.
Banyak pria yang tergila-gila padaku, karena kecantikan dan kemolekan tubuhku. Mereka rela mengorbankan apa saja asal bisa mendekati diriku. Bahkan tak sedikit para juragan kaya, termasuk pejabat ketika itu yang berusaha menyuntingku. Rata-rata mereka ingin menjadikan diriku sebagai isteri muda, atau isteri simpanan.
Sebagai wanita normal, tentu saja aku keberatan menyandang status sebagai isteri muda ataupun isteri simpanan. Apalagi ketika itu aku sedang jatuh cinta pada Sumantri, seorang guru SD yang masih berstatus bujangan.
Dengan kehadiranku, Grup Sinar Pasundan tempat aku biasa nyinden kian terkenal. Hampir di sepanjang musim grup ini tak pernah sepi order manggung. Begitu terkenalnya aku sampai-sampai dalam sekali mentas bisa mendapatkan uang sawer dalam jumlah sangat besar, bahkan terkadang jauh lebih besar dari nilai kontrak panggilan. Bila aku manggung, pria berjubel ingin melihat kecantikan dan lenggak-lenggok tubuhku yang aduhai. Begitu besarnya minat kaum pria atas diriku, sampai-sampai kerap kali terjadi perkelahian di antara mereka. Bahkan tak jarang hingga mengorbankan nyawa.
Ketenaran dan potensiku akhirnya dimanfaatkan oleh kedua orang tuaku, terutama ibuku yang tergolong kemaruk harta. Ibukulah yang selalu mendorong agar aku bisa menangguk keuntungan dari banyaknya pria hidung belang yang ingin menyuntingku. Dalam istilah Sunda, ibu ingin menjadikanku sebagai wanita yang pandai ngeret.
Kehidupan yang bergelimang uang dan pujian akhirnya memang membuatku lupa daratan. Aku pun larut dalam gaya hidup sesuai dengan keinginan ibuku. Banyak pria yang akhirnya patah hati, setelah mengorbankan uang relatif banyak untuk sekedar menyentuh tubuhku.
Karena mabuk akan dunia yang glamour ini, akhirnya akupun melupakan Sumantri, guru miskin itu. Apalagi kemudian Sumantri dipindahtugaskan ke daerah Lampung, sehingga kami pun tak mungkin bisa bersama lagi.
Cinta, rupanya memang menjadi sesuatu yang tidak berarti bagiku. Mungkin hal ini terjadi karena aku bosan dengan ungkapan cinta yang dikatakan oleh begitu banyak lelaki. Aku menganggap semuanya hanya angin lalu, dan aku menganggap cinta itu tak pernah ada.
"Jangan berikan cintamu pada mereka, berikan saja tubuhmu!" Begitu yang selalu diajarkan ibuku. Mungkin sesuatu yang tidak normal, tapi menjadi normal bagi kami ketika itu.
Kenyataannya, memang demikianlah kehidupan para pesinden yang betul-betul dituntut untuk bisa memanfaatkan tubuh dan kecantikannya demi mendapatkan limpahan materi. Bahkan untuk tujuan ini, ibu tak jarang membawaku ke dukun-dukun untuk dipasangi susuk. Entah berapa banyak susuk yang tertanam di tubuhku. Mulai di wajah, bibir, hingga pinggul. Semua dilakukan agar aku senantiasa tampil menarik dan penuh daya pukau.
Namun, hidup bak roda pedati, kadang di atas, kadang di bawah. Begitulah kenyataan yang akhirnya terjadi pada diriku.
Di suatu malam yang dingin, ketika aku tengah bertabur uang dan pujian dalam suatu pementasan, sebuah tragedi berlangsung dengan sangat perih. Segerombolan garong telah membantai ibu dan ayahku, hingga nyawa mereka terenggut. Ketika itu, ibu dan ayahku memang tidak ikut rombongan Grup Sinar Pasundan. Mereka memilih tinggal di rumah kami yang lumayan besar dan mewah untuk ukuran ketika itu. Pas tengah malam, gerombolan garong itu masuk. Mereka merampok harta kami dan membinsakan kedua orang tuaku.
Untunglah waktu itu sebagian uang dari hasil mentas dan ngeret lelaki hidung belang sudah kubelikan sawah dan kebun, sehingga aku tidak benar-benar jatuh miskin. Sementara perhiasan bernilai jutaan rupiah, uang dan barang-barang berharga lainnya habis dijarah para garong.
Kepergian kedua orang tuaku dan ludesnya harta bendaku membuatku sangat terpukul. Kehidupanku pun mulai terasa limbung. Sialnya, di tengah keadaan seperti ini tiba-tiba datang Juragan Jaja Subarja yang menuntutku agar segera menikah dengannya.
"Pokoknya, kita harus segera melaksanakan pernikahan kita, Nyai. Bukankah aku sudah mengatur segalanya dengan almarhum kedua orang tua Nyai!" kata Juragan Jaja Subarja.
Aku benar-benar terkejut mendengar tuntutan itu. Bagaimana mungkin aku sudi menikah dengan bandot tua yang sudah memiliki dua orang isteri itu?
"Saya tidak mengerti bagaimana maksud Juragan!" ujarku.
Lelaki yang terkanal paling kaya di daerah Banjar Patroman ketika itu, tampak sangat kesal dengan jawabanku. Namun dia masih berusaha sabar.
"Begini, Nyai! Seminggu sebelum kedua orang tuamu meninggal dibunuh para garong itu, aku sudah melamarmu kepada mereka. Bahkan aku sudah memenuhi tuntutan yang diajukan oleh ibumu. Dan sesuai petunjuk ayah dan ibumu, rencananya hari Senin depan kita menikah."
Rasanya aku seperti disambar petir mendengar penjelas itu. "Bagaimana mungkin aku harus menikah dengan juragan, sedangkan aku tak pernah tahu dengan urusan itu," sergahku.
"Saya tidak mau tahu soal itu, Nyai! Yang penting lamaran saya sudah diterima, dan kita harus segera menikah. Titik!" suara Juragan Jaja Subarja meninggi.
Namun, akupun tak kalah sengit membalasnya. "Urusan lamar melamar itu adalah urusan ayah dan ibuku. Mereka tak pernah membicarakannya denganku. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa menikah dengan Juragan."
Jaja Subarja menatapku dengan tajam. "Jangan main-main denganku, Nyai! Aku tidak suka dicurangi!" ancamnya.
"Siapa yang mencurangi Juragan. Aku? Huh…aku tidak pernah serendah itu, Juragan!" balasku. Sebagai wanita yang sering menghadapi banyak potongan lelaki, aku memang tidak bisa digertak. Apalagi merasa takut.
Juragan Jaja menggebrak meja. "Kalau kau tidak bersedia menikah denganku baiklah. Tapi kumohon kembalikan lima ratus gram emas dan sepuluh juta rupiah uang yang telah kuberikan kepada ibumu," katanya dengan suara keras.
Hampir saja aku melompat mendengarnya. Bukan karena takut pada suara Jaja Subarja yang keras seperti harimau mengaum itu, tapi aku terkejut pada jumlah barang yang dia sebutkan. 500 gram emas ditambah 10 juta rupiah uang kontan? Sungguh suatu jumlah yang besar saat itu. Bagaimana mungkin aku mengembalikannya? Lagi pula, aku tak pernah tahu menahu dengan harta kekayaan itu.
"Dengar, Juragan! Aku tak pernah tahu menahu dengan harta Juragan itu. Aku tidak pernah melihat apalagi menerimanya walau sepeserpun. Jadi keputusan saya tetap, saya tidak mungkin mau menikah dengan juragan. Titik!" Aku tak kalah sengit membalasnya. Ibuku memang selalu mengajarkan bahwa lelaki tak selamanya harus dihadapi dengan kelembutan.
"Baik, Nyai! Baik!" Subarja bangkit dari tempat duduknya. "Kalau kau tetap bersikukuh dengan pendirianmu, aku relakan semua harta benda milikku itu. Tapi ingat satu hal, Nyai! Kau tidak sudi menjadi isteriku, tapi akupun tidak sudi kau diperisteri oleh lelaki lain. Camkan itu!"
Juragan Subarja pergi meninggalkanku dengan ancaman yang penuh dendam. Namun, aku menganggapnya hanya angin lalu. Bukankah lelaki yang ditolak keinginannya selalu saja berbuat kalap? Ah, mereka memang selalu seperti anak kecil! Pikirku ketika itu.
***
Jaja Subarja rupanya tak main-main dengan ancamannya. Setidaknya hal ini baru kurasakan setelah dua minggu peristiwa pertengkaran itu. Di suatu malam, aku bermimpi ada yang menaburkan garam di atas kepalaku. Rasanya panas luar biasa. Aku menjerit-jerit kepanasan, dan terjaga dari tidurku. Aneh, saat terjaga aku melihat ada ratusan, bahkan mungkin ribuan kutu di atas bantal yang aku tiduri. Tentu saja aku menjerit-jerit ketakutan. Mak Tonah, pembantuku ketika itu datang menolong. Dia pun sama ketakutan seperti diriku demi melihat kutu-kutu itu.
Beberaja jam setelah peristiwa ini, aku merasakan kulit kepalaku terasa panas dan gatal. Aku coba membersihkannya dengan cara keramas, tapi gatal-gatal itu tetap saja tak pernah hilang. Aku menggaruknya. Anehnya, semakin digaruk rasa gatal itu semakin menjadi-jadi. Aku begitu tersiksa karenanya.
Karena gatal-gatal yang luar biasa itu, akhirnya muncul koreng-koreng kecil bernanah di kulit kepalaku. Akibatnya bila malam tiba aku benar-benar tersiksa. Digaruk salah, tidak digaruk pun salah.
Begitu dahsyatnya rasa gatal itu, sehingga aku tak kuat menahan untuk tidak menggaruknya. Aku terus saja menggaruknya, hingga akhirnya kepalaku tidak saja dipenuhi oleh luka-luka kecil bernanah, namun rambutku yang indah pun mulai berguguran. Anehnya, setiap helai rambutku tercerabat, maka di akarnya akan terlihat kutu-kutu yang berlompatan. Menjijikan!
Dalam waktu kurang dari satu bulan, mahkotaku yang indah berubah meranggas, bahkan sangat menjijikan karena dipenuhi dengan koreng-koreng. Akibat dari semua ini, tentu saja aku tak bisa menjalankan aktivitasku sebagai seoranmg sinden. Bahkan, aku lebih senang mengurung diri di dalam kamar. Hal ini kulakukan karena aku benar-benar merasa minder bila harus bertemu dengan orang lain.
Celakanya lagi, akibat kurang tidur dan tersiksa oleh penyakit anehku, tubuhku yang dulu singset dan seksi berubah sangat kurus. Wajahku yang cantik dan segar berubah layu dan pucat. Dan yang lebih menyakitkan lagi, rambut hitam mayangku yang dulu indah kini telah punah seperti hutan yang terbakar. Ringkasnya, aku sama sekali tak menarik lagi. Bahkan mungkin banyak orang yang takut melihatku.
Sejak mengalami penyakit aneh ini, nama Nyai Kedasih pun lambat laun hilang dari dunia kesenian jaipong. Selama itu pula aku terus berusaha menyembuhkan penyakitku, hingga tak terasa waktu dua tahun pun berlalu. Mungkin, tak terhitung berapa banyaknya uang yang aku habiskan untuk menyembuhkan penyakitku. Namun syukurlah, ketika hampir putus asa akhirnya penyakitku dapat disembuhkan setelah aku berobat kepada seorang dukun di daerah Jampang Surade. Sang dukun menyebut guna-guna yang dikirim kepadaku dengan nama Reuncang Tinil. Konon, ilmu teluh ini bisa membuat korbannya botak dan tubuhnya kurus kering, seperti burung Tinil (sejenis bangau yang berkepala botak dan tinggi kurus-Pen).
***
Setelah berhasil sembuh dari penyakit aneh itu, aku memang mulai mengalami kehidupan yang sehat. Kendati demikian, penampilan fisikku tetap saja tak sepenuhnya sempurna. Untuk mengembalikan rambutku agar seperti dulu lagi tentu saja bukan hal yang gampang. Bahkan, untuk mengembalikan kondisi tubuhku saja, sungguh merupakan hal yang tidak mudah. Aku tetap saja kurus kering, dengan rambut yang tumbuh jarang-jarang.
Betapa menyedihkan keadaanku. Untunglah ada Encih, anak angkatku yang selalu menemaniku dalam suka dan duka.
Dua tahun setelah kesembuhanku, aku kembali mengidap penyakit yang tak kalah aneh. Hanya gara-gara kemasukan galagasi (Semacam serangga kecil-Pen) tiba-tiba mataku jadi buta.
Sore itu, aku baru saja membersihkan halaman belakang rumahku. Saat hendak masuk ke dapur, tiba-tiba ada galagasi yang menyambar mataku. Setelah itu, mataku terasa sangat gatal. Karena terus kuucek-ucek, mataku akhirnya jadi merah dan bengkak. Malamnya, mataku malah seperti tertusuk-tusuk jarum. Dan keesokan harinya penglihatanku menjadi kabur. Bahkan, dua hari setelah itu aku benar-benar tak bisa melihat.
Menyadari apa yang terjadi pada diriku sebagai suatu penyakit yang sangat aneh, maka akhirnya aku pun memutuskan untuk kembali ke Jampang Surade. Aku kembali diobati oleh paranormal yang dulu mengobati sakit aneh pada kepalaku. Syukurlah aku kembali sembuh setelah si dukun berhasil mengeluarkan beberapa bijih besi yang telah berkarat dari dalam kelopak mataku.
Setelah dua serangan penyakit aneh pada diriku yang berhasil aku sembuhkan, tanpa aku sadari sebenarnya sesuatu yang bersifat gaib lainnya juga tengah menyerangku. Yang satu ini sama sekali tidak menimbulkan sakit pada tubuhku, melainkan sakit pada mentalku. Betapa tidak, diam-diam aku mulai benci kepada semua pria. Aku merasa tak membutuhkan mereka, bahkan tak merasa bergairah dengan mereka.
Semula hal ini kuanggap biasa saja. Ya, mungkin saja karena aku memang telah bosan dengan mereka, atau memang karena sebab biasa lainnya. Namun lambat laun aku merasa aneh juga, sebab aku berubah sangat dingin. Ini kusadari ketika Sumantri, bekas kekasihku dulu datang kepadaku. Saat itu Sumantri berstatus sebagai seorang duda, karena cerai mati dengan isterinya.
"Aku bermaksud merajut kembali hubungan cinta kita, Dasih!" kata Sumantri.
Tapi, aku menanggapinya dengan dingin. Bahkan, aku sama sekali tak bergairah ketika Sumantri mencium bibirku. Padahal, aku paling terangsang bila berciuman bibir dengan seorang pria.
Hingga menginjak usia 37 tahun aku tetap memilih hidup sendiri. Celakanya, bersamaan itu juga aku berubah menjadi wanita yang malas berdandan. Pokoknya aku sama sekali tak tertarik untuk menggoda pria dengan penampilanku.
Memasuki usia 38 tahun, aku mulai gelisah dengan diriku sendiri. Mengapa aku enggan menikah? Pertanyaan ini mulai menghantuiku. Dengan sawah dan kebun cukup luas yang masih kumiliki, ditambah dengan penampilanku yang masih tetap cantik di usia menjelang kepala 4, sebenarnya bukan hal yang sulit bagiku unjtuk menggaet seorang pria. Namun aneh, aku benar-benar tidak bergairah dengan mereka.
Karena penasaran akhirnya aku kembali ke Jampang Surade untuk mendapatkan terawangan akan diriku yang sebenarnya. Sang dukun yang mengobatiku terkejut dengan hasil terawangannya.
"Rasanya sulit bagi Nyai untuk bisa menikah," kata si Dukun.
"Memangnya ada apa dengan diri saya, Pak?"
"Terus terang, Nyai sebenarnya telah dinikahkan. Hanya saja, Nyai dinikahkan dengan batu nisan!"
Penjelasan sang Dukun membuatku sangat terkejut, dan sulit mempercayainya.
"Bagaimana mungkin hal itu terjadi, Pak?" tanyaku, penasaran.
"Tak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Nyai! Hal yang kau alami merupakan hal yang telah sering kali terjadi. Namanya Gantung Jodoh atau Gantung Waris. Caranya bisa bermacam-macam. Ada yang dinikahkan dengan pohon, dengan binatang, bahkan ada juga yang dinikahkan dengan batu nisan seperti yang dialami Nyai," jelas si Dukun.
"Saya mohon, bebaskanlah teluh itu, Pak!" pintaku, setengah menghiba.
"Sulit sekali, Nyai!" jawab si Dukun. “Teluh itu bisa dibebaskan tapi nyawa Nyai yang menjadi gantinya. Maksudnya, kalau teluh itu saya cabut, maka secara tidak langsung saya juga mencabut nyawa Nyai. Maafkan saya, kali ini saya tidak bisa menolong."
Aku terdiam. Duniaku serasa gelap. Tapi, aku tak bisa begitu saja menerima nasib.
Sekitar sebulan setelah menemui dukun itu, aku memutuskan menikahi Seman, salah seorang bujang sawahku. Pernikahan kami berlangsung sederhana, dan Seman yang masih perjaka usia 20-an itu nampaknya tidak merasa risih dengan pernikahan itu. Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Saat menikmati malam pengantin Seman tiba-tiba kalap. Dia seperti sangat ketakutan. Entah apa yang menyebabkannya. Yang benar-benar aneh, sejak kejadian ini Seman menjadi sinting.
Dua tahun kemudian Seman meninggal karena terjun ke dalam sumur tua di belakang rumahku tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya.
Sejak kejadian ini aku tak pernah bermimpi lagi untuk menikah. Yang kuingat hanya satu, ucapan Juragan Jaja Subarja beberapa tahun silam: "…Kau tidak sudi menjadi isteriku, tapi akupun tidak sudi kau diperisteri oleh lelaki lain."
Ya, aku yakin Subarja-lah yang menjadi dalang dari semua kejadian mistis yang aku alami. Rupanya, lelaki itu benar-benar sakit hatiku padaku, dan ingin membuatku menderita seumur hidup. Semoga saja tuhan mengampuni dosa-dosanya….
***
Nyai Kedasih menyusut air mata yang jatuh di atas wajahnya yang tua. Tapi, ini bukan tangisan sedih atau pun penyesalan. Dia mengaku merasa sangat bersyukur, sebab semua peritiwa itu membuat dirinya lebih bertakwa kepada Tuhan. Padahal, ketika muda dulu dirinya sangat jauh dari menyembah Tuhan.
Meski usianya sudah semakin udzur, namun menurut penuturan Encih, emaknya itu tak pernah menderita sakit. "Sakit kepala saja bahkan tidak pernah!" tegasnya.
Yang terasa unik sekaligus menyentuh, hampir sepanjang tahun Nyai Kedasih selalu berpuasa, kecuali pada hari-hari yang diharamkan menurut ajaran agama Islam. Dengan puasa, nenek yang masih bisa menaiki bukit ini mengaku merasa lebih sehat, baik jiwa maupun raganya.
Sang primadona panggung kini mengisi hari-hari tuanya dengan kedaimaian. Dia tak pernah merasa dendam kepada orang yang telah merekayasa nasibnya hingga selama 40 tahun jodohnya menggantung karena dinikahkan dengan batu nisan.
Semoga kisah ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar