Rabu, 16 Januari 2008

AKHIR RIWAYAT PENGAMAL ILMU KEBAL

Penulis : EKO HARTONO


Karena miskin dan sering dihina, dia akhirnya menghamba kepada setan untuk mendapatkan kesaktian. Setelah tubuhnya kebal dari terjangan senjata apapun, dia berubah menjadi seorang yang sangat jahat. Bagaimana akhir kisah mistis hidupnya...?

Arogansi dan kesewenang-wenangan akan membawa kehancuran. Itulah pelajaran penting dalam kehidupan yang sering dilupakan manusia. Sudah sering terjadi dalam sejarah, orang yang sombong, merasa lebih tinggi derajatnya atau kedudukannya dari orang lain, pada akhirnya justru akan jatuh dalam kehinaan yang paling rendah. Bahkan bisa lebih fatal dari itu, yakni kematian yang sia-sia.
Kenyataan ini pula yang menimpa Margono (bukan nama sebenarnya). Riwayat hidupnya mungkin bisa menjadi cermin bagi kita semua, khususnya mereka yang mendalami ilmu kesaktian dengan dalih perlindungan diri agar terhindar dari tindak kejahatan. Karena apa yang tadinya diniatkan untuk kebaikan bila tidak diiringi dengan sikap perilaku benar justru akan menjerumuskan atau menyesatkan.
Misteri memperoleh cerita tentang riwayat hidup Margono dari salah seorang kerabat dekatnya. Kebetulan Misteri sedang berkunjung ke rumah famili di sebuah pelosok desa di luar kota Solo, Jawa Tengah. Ketika itu, Misteri menemukan seorang laki-laki cukup tua dikurung dalam ruangan mirip sel tahanan dengan kedua tangan dan kaki dirantai. Dia menghabiskan sisa hidupnya di kurungan itu. Makan, minum, dan buang air besar di tempat itu. Lelaki renta yang tak berdaya itu tak lain adalah Margono!
Kenapa dia sampai menjalani hidup seperti binatang atau manusia tak berharga begitu?
"Dia sudah tidak waras, suka merusak, dan mengganggu warga setempat. Padahal dulunya dia orang yang sakti. Tubuhnya kebal dari senjata tajam dan mampu membengkokkan sebatang besi!" Ujar Sasmito, kerabat Margono.
"Kalau dia bisa membengkokkan besi, kenapa dia tidak bisa melarikan diri?" Tanya Misteri.
"Karena dia sudah tidak bisa apa-apa. Semua kesaktian yang dimilikinya telah musnah, bahkan otak warasnya ikut musnah pula!"
"Masya Allah! Bagaimana bisa begitu, Pak?"
"Ceritanya panjang...."
Selanjutnya sang kerabat meriwayatkan perjalanan hidup Margono.
Dia dilahirkan dalam keadaan yatim piatu dan di lingkungan keluarga miskin. Margono tumbuh menjadi anak yang minder dan tertutup. Ayahnya sudah meninggal saat dia masih bayi. Sementara ibunya yang janda kemudian kawin lagi.
Margono yang waktu itu masih berusia lima tahun kemudian diasuh oleh kakek dan neneknya. Margono hanya bisa bersekolah hingga SD karena orangtuanya sudah tidak mampu membiayai.
Sehari-harinya, dia membantu kakeknya menggembala ternak dan menggarap ladang. Dalam pergaulan, Margono sering diejek, dilecehkan, dan direndahkan oleh teman-temannya. Maklumlah, karena tubuhnya paling kurus dan hidupnya miskin.
Dia pun tak melawan jika dipukul oleh temannya. Dia sering dijadikan kacung atau suruhan oleh mereka. Margono menyadari dirinya punya kekurangan dan kelemahan.
Suatu hari Margono mendengar informasi dari temannya tentang orang pintar yang berilmu tinggi. Konon, orang pintar itu mengajarkan ilmu kebal, pengasihan, ilmu tenaga dalam, dan lain sebagainya.
Dia jadi tertarik untuk berguru padanya. Dia lalu meminta ijin pada kakeknya untuk pergi menemui orang pintar itu dan belajar ilmu padanya.
"Untuk apa kamu belajar ilmu seperti itu, Mar?" Ujar kakeknya ingin tahun.
"Untuk membekali diri, Mbah. Biar aku tidak terus direndahkan dan diremehkan orang!" Jawab Margono.
"Ingat, Lek, kalau kamu tidak kuat, kamu nanti bisa gila. Ilmu kesaktian mesti dipelajari dengan laku yang berat. Lagi pula kamu belum tahu, apakah ilmu yang diajarkan orang itu tergolong ilmu hitam atau ilmu putih. Kalau ilmu hitam, sebaiknya kamu urungkan niatmu itu. Nanti justru akan merusak dirimu sendiri!"
Margono tak bergeming. Dia tetap pada niatnya. Meski tanpa restu dari kakeknya, Margono pergi menemui orang pintar yang tinggal di daerah lereng pegunungan. Rumah orang pintar yang bernama Mbah Joyo itu hanya berupa gubuk bambu dan agak terpencil.
Dia hidup sederhana, seperti ingin menjauhi dunia ramai. Namun demikian, ternyata tak sedikit orang yang datang menyambanginya. Terutama pada malam Selasa dan Jum'at Kliwon.
Mbah Joyo sering menjadi perantara bagi orang-orang yang ingin menjalankan laku tirakat pesugihan atau semedi di salah satu goa keramat di lereng pegunugnan itu.
Ketika Margono yang masih muda itu datang mengutarakan maksud kedatangannya, Mbah Joyo malah tertawa terkekeh-kekeh.
"Buat apa kamu ingin punya ilmu kesaktian, bocah ingusan?" Tanyanya.
"Biar saya tidak direndahkan dan diremehkan orang, Mbah. Saya ingin kaya dan punya kedudukan, biar dihormati orang lain!" Jawab Margono.
"Syaratnya berat! Aku yakin, kamu tak sanggup!"
"Saya sanggup, Mbah. Apapun resikonya!"
Karena terus memaksa dan ngotot, akhirnya Mbah Joyo menyanggupinya. Dia lalu meminta Margono tinggal beberapa waktu di tempatnya. Margono harus menjalani beberapa laku dan tirakat untuk memasukkan ilmu gaib itu ke dalam tubuhnya.
Sebelum memasukkan unsur gaib itu ke dalam tubuhnya, Mbah Joyo sempat memberikan keterangan pada Margono, "Aku akan memasukkan kekuatan jin kafir dalam tubuhmu yang akan membuat kamu kebal, tidak mampan senjata tajam, dan mampu membengkokkan sebatang besi. Dengan kelebihan ini kamu bisa mewujudkan keinginanmu. Tapi ingat, ilmu ini harus kamu rawat. Setiap malam Jum'at Kliwon diberi sesaji dan tumbal. Apakah kamu bersedia?"
"Bersedia, Mbah!" Jawab Margono, tegas. Dia merasa tak perlu berpikir ulang lagi untuk menyanggupi persyaratan yang diberikan Mbah Joyo, atau berusaha tahu apa efek samping ilmu itu nantinya.
Begitulah. Setelah menjalankan laku tirakat, ritual, dan merapalkan mantera-mantera, akhirnya Margono dinyatakan berhasil menguasai ilmu yang diberikan Mbah Joyo.
Sebelum keluar dari tempat pengemblengannya dan kembali ke dunia ramai, Margono melakukan ritual menyembelih ayam cemani yang seluruh bulu dan tubuhnya berwarna hitam.Penyembelihan itu mungkin mengandung makna sebagai bentuk pengorbanan atau persembahan.
Margono lalu pulang ke kampung halamannya. Tapi betapa kaget ketika sampai di rumah, dia mendapati kenyataan pahit, kakek yang dicintainya meninggal dunia. Kematian kakeknya pun terkesan misterius dan mendadak. Menurut cerita, orangtua itu diketahui sedang menyabit rumput di tegalan. Entah bagaimana kejadiannya orang-orang sudah menemukan dia dalam keadaan tergeletak di bawah pohon dengan sabit masih menancap di lehernya. Ada kemungkinan dia naik ke atas pohon dan jatuh. Saat terjatuh itu tanpa sengaja sabit yang dipegangnya menancap di leher.
Tapi bagi Margono yang melihatnya seolah tak ada yang aneh. Dia teringat dengan ayam cemani yang disembelih dan diminum darahnya pagi tadi. Sepertinya kematian ayam cemani itu menyerupai kematian kakeknya. Mungkin ini isyarat tumbal seperti yang dikatakan Mbah Joyo. Kematian kakeknya tak lain merupakan tumbal yang menjadi persembahannya.
Hati Margono seperti tercabik-cabik rasanya, tapi dia berusaha menekannya. Dia menepis rasa bersalah. Toh, kakeknya sudah cukup tua dan pantas mati, batinnya menenangkan diri.
Selanjutnya Margono menjalani hidupnya yang baru. Kini dia bukan lagi Margono yang lemah, tak berdaya, dan cengeng. Dia berubah menjadi Margono yang pemberani dan tangguh. Jika ada orang yang meremehkan dan merendahkannya, dia tidak akan tinggal diam. Dia akan menantang orang itu berkelahi, bahkan memintanya untuk memakai senjata tajam sementara dirinya hanya tangan kosong.
Suatu ketika, terjadi perselihan antara Margono dengan sekelompok pemuda desa. Margono langsung menantang perang tanding. Tantangan ini langsung ditanggapi oleg gerombolan pemuda itu. Namun, saat mereka menyerangnya dengan pukulan, tendangan, dan sabetan clurit, Margono diam saja. Dia membiarkan tubuhnya jadi bulan-bulanan. Tapi ajaib, kulit Margono tidak tergores atau terluka sedikitpun. Malah tangan orang-orang yang memukulnya menjadi kesakitan.
Melihat Margono tak mempan dibacok dan ditembus senjata tajam, kontan para pemuda itu merendahkan diri di depan Margono dan memohon ampunan. Margono tertawa penuh kemenangan.
Merasa di atas angin, Margono meminta mereka mencium kakinya dan menjilatinya. Jika tidak mau, dia mengancam akan membunuh mereka. Bak anjing yang setia pada majikannya, mereka pun menurut saja menciumi dan menjilati kaki Margono.
Puas telah berhasil merendahkan orang-orang yang pernah merendahkan dan mengejeknya, Margono lalu memeras dan memanfaatkan mereka. Dia merekrut para pemuda berandalan untuk dijadikan anak buahnya. Mereka dipaksa mencuri, merampok, dan merampas harta benda orang lain.
Sepak terjang Margono sebagai bandit sekaligus pemimpin preman langsung mencuat. Dia sering menebar teror di tengah masyarakat. Bersama dengan para anak buahnya, Margono melakukan berbagai tindak kejahatan.
Uang hasil kejahatan digunakan untuk berfoya-foya, minum-minuman keras, dan main perempuan. Margono sendiri seperti tidak takut dengan perilaku kejahatannya yang bisa membawanya berurusan dengan hukum. Bahkan dengan terang-terangan dia pernah menantang petugas keamanan.
"Aku tidak takut sama polisi! Ayo, mana polisi yang berani menangkap ku? Mana polisi yang berani menembakku?!" Ujarnya dengan nada penuh kesombongan.
Suatu ketika ada petugas polisi sektor setempat yang mendengar ucapan Margono dan merasa tertantang. Dia pun diam-diam ingin meringkus Margono. Kebetulan dia mengetahui tempat Margono dan teman-temannya sering bermain judi serta minum-minuman keras.
Dengan penuh rasa percaya diri, petugas itu menggerebek Margono Cs. sambil menodongkan pistolnya. Tapi Margono tampak tenang saja.
"Ayo, tembak aku kalau berani!" Tantangnya.
Terpancing emosi, polisi itu pun langsung menembak kaki Margono sesuai prosedur. Tapi apa yang terjadi? Bukannya merintih kesakitan atau terjatuh, Margono malah tertawa geli. Dia lalu memperlihatkan bekas tembakan peluru yang ternyata hanya merobek kain celana tanpa menggores kulitnya.
Wajah polilsi itu jadi pucat pasi dan gemetar. Selanjutnya kejadian berbalik, polisi itu yang kemudian dihajar beramai-ramai oleh Margono dan anak buahnya. Dia diancam jika sampai mengganggu geng Margono akan dibunuh.
Begitulah. Para petugas pun ngeri berhadapan dengan gerombolan Margono. Mereka tidak pernah punya bukti untuk mengungkap kejahatan Margono agar bisa menangkapnya. Karena dalam menjalankan aksi kejahatannya, Margono begitu licin dan tak terdeksi.
Meski semua orang tahu bahwa pekerjaan Margono suka merampok dan mencuri, dan semua kekayaan dan rumah mewah yang dimilikinya adalah hasil kejahatan, tapi tak ada yang bisa membuktikan dan menangkap basah perbuatannya. Konon, dalam menjalankan aksinya, Margono menggunakan ajian atau ilmu gaib yang tidak memungkinkan terlihat oleh orang biasa.
Telah banyak orang atau kelompok masyarakat yang menjadi korban kesewenang-wenangan dan kejahatan Margono. Hal ini kemudian memunculkan inisiatif dari seorang tokoh masyarakat untuk meminta bantuan orang pintar. Dia menemui seorang Kyai di luar daerah yang berilmu tinggi. Menurutnya, kejahatan Margono yang dilakukan dengan menggunakan kekuatan ilmu hitam hanya bisa dihentikan dengan kekuatan ilmu putih. Hanya saja, yang menjadi masalah bagaimana melawan kemampuan ilmu kebal yang dimiliki Margono.
"Setiap orang punya kelemahan dan kekurangan pada dirinya. Tidak ada orang yang paling sakti dan ampuh di dunia ini. Yang paling tinggi ilmunya hanyalah Allah SWT. Yang dilakukan orang-orang seperti Margono hanyalah mengandalkan salah satu kemampuannya untuk mengesankan bahwa dirinya sangat kuat dan tak terkalahkan!" Demikian keterangan Pak Kyai.
"Jadi apa yang harus kami lakukan, Pak Kyai?"
"Beri saya waktu untuk meneropong secara batin kekuatan tersembunyi yang dimiliki Margono sekaligus titik kelemahannya!"
Pak Kyai itu lalu melakukan ritual khusus di ruang sembahyangnya. Untuk beberapa lama Pak Kyai bertafakur tanpa ada seorang pun boleh mengganggunya. Setelah selesai dengan ritualnya, beliau kembali keluar menemui tamunya.
"Insya Allah, saya tahu kelemahan dari saudara Margono. Ilmu kebal yang dimilikinya akan sirna bila dipukul dengan daun kelor sambil membacakan doa-doa tertentu!" Ujar Pak Kyai.
"Kami pernah mencoba memukul dengan daun kelor, tapi tak mempan?"
"Dipukul pada tengkuknya, karena disanalah letak simpul syaraf yang menghubungkan antara syaraf otak dan syaraf bagian tubuh!"
"Kalau begitu cepat kita lakukan saja, Pak Kyai, sebelum kejahatan Margono semakin merajela!"
"Sebentar! Kita tidak boleh gegabah dalam mengambil tindakan. Saya tahu, Margono orang jahat dan sesat. Tapi sebelum mengambil tindakan keras padanya, kita perlu mengajaknya secara baik-baik untuk kembali pada jalan lurus. Mudah-mudahan, dengan cara halus kita bisa membawanya kembali pada jalan kebenaran!"
Apa yang dikatakan Pak Kyai benar. Kejahatan tidak harus dilawan dengan kekarasan. Maka, diantar oleh tamunya itu Pak Kyai tersebut menemui Margono. Dengan terus terang Pak Kyai mengutarakan maksud kedatangannya.
"Ingat, Nak Margono. Yang namanya perbuatan jahat kelak akan dihisab oleh Allah SWT dan akan mendapatkan ganjarannya. Sebelum segalanya terlambat, lebih baik Nak Margono tertobat dan kembali ke jalan benar. Insya Allah, jika Nak Margono bertobat nasuha segala dosa-dosa yang lalu akan diampuni Allah. Percayalah!" Demikian ajakan Pak Kyai.
Tapi ajakan kebaikan itu ditampik keras oleh Margono. Bahkan dengan kasar dia mengusir Pak Kyai. Dia mendorong tubuh Pak Kyai agar keluar dari rumahnya. Pak Kyai tak melawan. Hal ini membuat Margono semakin beringas. Dia menghajar Pak Kyai di hadapan orang-orang. Pada saat mendapat kesempatan, Pak Kyai tidak tinggal diam. Dia mengambil ranting daun kelor yang telah dipersiapkan dan membacakan doa-doa.
Sambil mengucapkan Astagfirullah dia lalu menyabetkan ranting daun kelor itu ke tengkuk Margono. Laki-laki bejat itu sempat menjerit kesaktian sebelum kemudian ambruk tak sadarkan diri.
Hampir selama dua hari Margono pingsan. Ketika siuman, keadaannya sudah berubah sertaus delapan puluh derajat. Dia menjadi lupa ingatan dan hilang seluruh kekuatan ilmu kesaktian pada dirinya.
Pak Kyai sudah berusaha meruqiahnya agar bisa dikembalikan dalam keadaan normal, tapi beliau tak sanggup. Jiwa Margono sudah terlanjur rusak oleh perbuatan jin kafir.
Begitulah. Margono akhirnya berubah menjadi tidak waras. Oleh kerabatnya dia diperlihara dan dirawat. Tapi karena sering membahayakan orang lain, dia dikurung seperti binatang. Kabar terakhir yang di dengar, dia sudah meninggal dalam keaadaan gantung diri! Naudzubillahi minzalik !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar