Penulis : DHANY
Di wilayah Kec. Sumber, Kab. Cirebon, beberapa waktu lalu sempat gempar. Penduduk di pantai utara Jawa Barat itu gempar lantaran ada salah seorang warga disana yang mengalami peristiwa sangat mistis....
Selain aneh, peristiwa tersebut sangat menyedihkan sekaligus menyakitkan. Siapapun yang menyaksikannya, pasti menitikkan air mata, dan tak sanggup membayangkan betapa beratnya penderitaan yang dijalaninya.
Seorang isteri juraga rotan, kedapatan mengalami penyakit yang susah untuk dideteksi secara medis. Dokter yang didatangkan bukan saja dari Cirebon, bahkan ada yang sengaja didatangkan dari Bandung maupun Jakarta. Namun, hasilnya sangat tidak memuaskan. Alat vital wanita paruh baya itu tetap mengeluarkan nanah kental tiap tengah malam hingga siang bolong.
Akibatnya, alat vital yang mestinya jadi mahkota kebanggan wanita dan digandrungi pria itu, terpaksa tidak berharga sama sekali. Bau yang keluar benar-benar busuk. Bahkan baunya menyebar dalam radius belasan meter.
Terdorong rasa penasaran yang teramat kuat, suatu malam Penulis secara diam-diam menyambangi rumah megah yang mulai tak terurus itu. Rumah yang berada tidak jauh dari jalan raya itu memang terlihat muram kehilangan nilai artistiknya. Selain cat temboknya sudah mengelupas disana-sini, plafon yang terbuat dari kenwoods juga sudah jebol di beberapa bagian. Di halaman depan maupun halaman serambi, rumput sudah membelukar.
Begitu pula sebagian ranting pohon belimbing bangkok sudah menerobos ke lubang ventilasi jendela. Pernak-perniknya juga sudah terpatah-patah dan banyak yang rontok, juga tidak ada lagi perabotan luks di dalamnya.
Ternyata, selain dikarenakan bangkrutnya bisnis rotan sebagai imbas peraturan pemerintah tentang syarat-syarat ekspor rontan ke luar negeri, sisa modal yang ada tersedot juga buat ikhtiar pengobatan sang isteri. Kini, suami-isteri tanpa keturunan itu hidup dari utang disana-sini, sehingga tak mampu lagi untuk beli cat tembok.
Ketika Penulis tiba di rumah megah namun kumuh itu, si wanita malang sudah dalam proses pemulihan. Nanah kentalnya sudah tidak keluar lagi dan tak tercium bau busuk dari balik pakaian yang dikenakan.
Namun, tubuh Ny. Ratinah, 45 tahun, sangat menyedihkan. Tubuh yang dulu padat berisi itu kini layaknya sosok jerangkong hidup. Ya, hanya menyisakan tulang terbungkus kulit. Kecantikan wajahnya seperti yang tampak pada foto di figura samping buffet, sudah tak tersisa sama sekali. Tulang-tulang pipinya bertonjolan dengan tatapan mata sangat menyedihkan. Wajah itu masih menyimpan sisa-sisa penderitaan teramat pahit selama hampir dua tahun. Sebuah rentang waktu sangat menjemukan serta membuat alas berubah gelap.
Yang patut untuk dijadikan pelajaran, di tengah situasi sulit yang berlarut-larut, Ratinah tetap tabah bahkan sangat pasrah. Tak pernah terlintas sekalipun dalam benaknya untuk menempuh jalan pintas yang sesat.
Sebagai mantan santri dari salah sebuah pesantren puteri terkemuka di Kabupaten Cirebon, Ratinah yakin sekali kalau penderitaan yang dialaminya itu bakal mendapatkan pahala dari Allah SWT yang bakal dipetik di akherat kelak. Sehingga, ketika diminta menceritakan kembali kesengsaraannya sebagai korban santet, Ratinah berkali-kali menolak. Tapi, setelah dipastikan bakal dijaga kerahasiaan identitas diri dan keluarganya serta identigas orang yang berbuat jahat padatnya, Ratinah maupun Imron, 47 tahun, sang suami, berangsur-angsur memahaminya dan bersedia untuk mem-flashback sampai kepada hal-hal kecil yang pernah dialaminya.
"Sedikitpun tak menyangka, di era yang serba modern ini, ternyata masih ada orang yang menggunakan santet untuk mencelakai sesama manusia," Ratinah memulai kisahnya.
Penderitaan yang dialaminya selama hampir dua tahun ini, sangat sulit untuk digambarkan. Dia yakin, semenjak terlahir di alam fana ini sampai umurnya yang sudah kepala empat, belum pernah mengalami penderitaan seberat itu.
Penyakit aneh yang disebabkan serangan santet itu, berawal dari usaha rotan yang dilakoni Imron. Memang, wilayah kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, sudah lebih dari dua dasawarsa dinobatkan sebagai sentra bisnis rotan terbesar di Jawa Barat. Dan Imron adalah salah seorang pengusaha rotan yang cukup diperhitungkan.
Sejak era tahun 1990-an, perusahaan rotan milik Imron sudah merekrut lima karyawan tetap, dan sepuluh karyawan magang. Mereka bekerja mulai pagi hingga menjelang waktu Isya. Modal awal dia peroleh dari perbankan, dan secara bertahap, mengurangi pinjaman modal perbankan itu sampai akhirnya tinggal landas sekitar tahun 1995.
Dengan seratus persen modal sendiri, secara otomatis, laba bersih yang diraup per bulannya jauh lebih besar, karena tidak ada kewajiban buat bayar bunga bank. Seiring itu pula, jumlah karyawan tetap bertambah setiap periodiknya.
Mekanisme usaha yang diterapkan Imron sangat sederhana. Menetapkan status karyawan pun sangat ringkas, dimulai dari karyawan lepas dan karyawan tetap. Karyawan magang yang sudah bekerja dalam rentang waktu tertentu, dianggap punya dedikasi tinggi serta loyalitasnya terhadap perusahaan sangat kental, maka secara otomatis direkrut menjadi karyawan tetap.
Karyawan tetap itupun, bagi yang berdedikasi tinggi dan loyalitasnya kental, akan dinaikan statusnya ke bagian pemasaran. Tiap-tiap kenaikkan status ini berkaitan sekali dengan nilai upah dan tunjangan serta fasilitas lainnya.
Sam, 40 tahun, di mata Imron punya nilai lebih dibanding karyawan tetap lainnya. Pria beranak dua asal Jatibarang, Indramaya ini tercatat sebagai karyawan tetap yang punya masa kerja paling lama.
Disamping itu, Sam punya dedikasi tinggi serta sangat loyal, ditambah pendidikan formalnya yang lumayan bagus yaitu diploma tiga. Dikarenakan sudah memenuhi seluruh komponen yang disyaratkan, sejak 1995, Sam dinaikkan statusnya menjadi karyawan bagian pemasaran bersama-sama dua karyawan bagian pemasaran yang sudah lebih dulu ada yaitu Iwan, 46 tahun, dan Jajang, 42 tahun.
Mulai triwulan pertama, Sam kebagian tugas mengawal pengiriman rotan hingga ke pengepul besar atau perusahaan eksportir di Jakarta. Tugas tersebut terus dirolling secara periodik. Iwan bertugas mengurus surat-surat berkaitan proses ekspor ke Eropa, sedangkan Jajang bertugas juru tagih ke pihak perusahaan eksportir.
"Sampai tahun kedua, saya merasa sangat puas dengan cara kerja Sam dan dua karyawan pemasaran lainnya. Tapi bertepatan dengan meletusnya reformasi dalam upaya menurunkan Soeharto sebagai presiden, sedikit demi sedikit ada suara-suara sumbang yang masuk ke telinga. Suara sumbang itu tertuju kepada kinerja Sam," kenang Imron.
Pada awalnya, suara-suara sumbang itu hanya dianggap sentimen biasa di lingkungan sesama karyawan. Apalagi suara sumbang yang paling santer justru ditiupkan Jajang yang notabene rival Sam.
Jajang mengaku kepada Imron, suatu waktu pernah "menjebak" Imron. Dalam perjalanan ke Jakarta, setibanya di Jatibarang secara disengaja Jajang membelokkan Toyota Kijang yang dikemudikannya memasuki sebuah gang dan berhenti di depan rumah besar yang baru selesai dibangun.
Sambil tetap duduk dibalik kemudi dan hanya sedikit menurunkan kaca jendela kemudi di sampingnya, Jajang menjelaskan kepada Imron kalau rumah besar itu milik Sam. Padahal rumahnya yang dulu berada di pinggir tanggul sungai Cimanuk.
Meski sudah menyaksikan dengan mata sendiri, namun Imron berusaha untuk tetap berbaik sangka. Dalam pikirannya, mungkin Sam mampu membangun rumah sebesar itu berkat kemampuannya mengatur gaji yang diterima dari perusahaan. Atau mungkin, uangnya sebagian didapat dari menjual tanah warisan. Imron tidak pernah tahu apakah Sam punya warisan atau tidak, yang dia tahu Sam adalah karyawan bagian pemasaran yang ulet dan lincah.
Pada saat yang lain, pagi-pagi sekali Iwan sudah mengetuk pintu rumah Imron. Dengan tingkah yang gelisah dan tegang, Iwam menyampaikan laporan kepada bosnya. Sudah dua kali pengiriman, Sam melaporkan kepada Iwan kalau kendaraannya dijarah massa di Jakarta.
Secara kebetulan, dari tahun 1997 hingga 1998, pemberitaan media audiovisual dilaporkan aksi kerusuhan disertai penjarahan oleh ribuan massa di Jakarta. Atas dasar itulah Imron tidak terlalu memikirkan laporan Iwan mengenai Sam. Di mata Imron, sampai saat itu Sam masih dianggap bersih.
Bukan itu saja, setiap saat Iwan mengeluhkan terjadinya ketidak-cocokan antara faktur penerimaan dari petugas checker di perusahaan eksportir di Jakarta dengan data tonase yang tertera dalam surat jalan dari karyawan bagian produksi di perusahaan Imron.
Laporan Iwan kali ini cukup menyita perhatian Imron. Apalagi karyawan bagian produksi yang melakukan penimbangan sebelum dinaikkan ke atas truk bersikeras mencantumkan angka pada surat jalan sesuai dengan tonasenya.
Namun muncul dalam pemikiran Imron, tentang adanya konspirasi atau tepatnya persengkongkolan antara karyawan bagian produksi dengan Iwan dalam upaya menggulingkan Sam.
Kali inipun Sam masih tetap bersih di mata Imron. Tapi ibarat pepatah kuno, sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat pasti jatuh juga. Demikianlah yang terjadi pada diri Sam.
"Di akhir tahun 1999, tanpa diduga, datang seorang tamu mengaku karyawan perusahaan eksportir rotan dari Jakarta," kata Imron.
Karyawan yang namanya dirahasiakan itu, tanpa basa-basi lagi mengajak Imron untuk kerjasama usaha rotan untuk tujuan Amerika Serikat. Harga yang ditawarkannya sedikit lebih tinggi dari harga yang sudah disepakati dalam kontrak kerja sama atau MoU dengan perusahaan eksportir rotan yang sudah bermitra.
Bagi Imron harga yang lebih tinggi bukan sesuatu yang mengejutkan. Sesuai strategi bisnis, hal itu sangat layak dilakukan. Tapi, setelah kerjasama berlangsung, harga yang ditetapkan bisa saja lebih rendah dari harga yang ditetapkan eksportir yang dulu.
Tetapi ketika mendengar ucapan karyawan itu berikutnya, seperti ada tamparan keras pada wajah Imron. Sebab, orang itu menyatakan sudah ada kecocokan dengan kualitas rotan dari perusahaan Imron.
"Dari mana dia tahu kualitas rotan saya, kenal saja belum," kenang Imron.
Berusaha tidak menunjukkan sikap curiga, Imron terus mengorek informasi dari tamunya itu. Ternyata, sudah dua tahun lebih Sam mengirim rotan ke perusahaan ekspotir tersebut, biarpun jumlahnya sangat terbatas. Kecuali pernah dua kali mengirim secara penuh masing-masing satu truk. Penjelasan itu sudah lebih dari cukup bagi Imron untuk menilai Sam.
Setelah tamunya pulang ke Jakarta dengan sangat kecewa, Imron memanggil sopir perusahaan beserta Iwan. Kedua karyawan itu diminta datang ke ruang serambi rumah Imron yang megah itu.
Pada awalnya sopir itu bersikeras menolak tuduhan itu. Tapi, setelah Imron menyebutkan nama perusahaan eksportir berikut alamat gudangnya, sang sopir mengakuinya dengan wajah lemas. Dia merasa telah diperalat oleh Sam dan memohon agar tidak dipecat dari pekerjaannya sebagai sopir perusahaan.
Imron memang tidak memecat sang sopir, dan yang dipecat dengan tidak hormat tidak lain adalah Sam. Tanpa banyak komentar, Sam menerima surat pemecatan berikut uang pesangon yang lumayan besar dari bossnya.
Tahun berikutnya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang tentang Pengaturan Ekspor Rotan ke luar negeri. Yang intinya melarang ekspor rotan berupa bahan mentah. Dengan keluarnya peraturan itu, satu demi satu perusahaan rotan di Kabupaten Cirebon maupun di Kota Cirebon bertumbangan, termasuk perusahaan rotan milik Imron.
Hanya berselang satu tahun setelah resmi perusahaan rotan Imaron mengalami kelesuan, Ratinah juga mengalami serangan penyakit yang sangat aneh. Pada awalnya dipastikan hanya penyakit turun bero atau peranakan turun. Namun upaya melalui sistem pijat oleh beberapa paraji (dukun beranak) tidak membuahkan hasil.
Selanjutnya timbul rasa gatal di sekitar mulut vagina. Selama seminggu, rasa gatal itu terus menyiksa. Serangan gatal itu datang dan pergi mirip hantu.
Terkadang, serangan gatal itu datang di saat dia berada di pasar atau di tengah-tengah pertemuaan dengan anggota keluarganya. Akibatnya Ratinah sering dibuat malu, lantaran dia mesti tergesa-gesa menerobos pintu kamar mandi untuk menggaruk bagian sensitif pada organ kewanitaannya itu.
Serangan gatal itupun sempat hilang selama satu bulan lebih. Hal itu membuat lega batin Ratinah. Namun, satu bulan berikutnya, datang serangan sakit yang sangat ganjil. Bagian dalam alat vitalnya serasa seperti ditusuki ribuan jarum kecil.
Makin lama kondisinya makin memburuk. Bahkan dari alat vital Ratinah mulai keluar nanah kental disertai menyebarnya bau busuk. Setelah itu, setiap hari yang dikerjakan Ratinah hanya berbaring di atas kasur. Nafsu makannya turun secara dratis. Akibatnya, tubuh yang semula montok dan sintal, secara cepat berubah kurus sampai akhirnya tidak ubahnya kerangka yang terbungkus kulit.
Selama sakit aneh itu, sanak keluarga maupun bekas karyawan yang merasa simpati, sangat jarang yang berani memasuki kamar tidurnya. Mereka memilih duduk di ruang tamu, lantaran tak tahan dengan bau busuk dari alat vital Ratinah. Dari ruang tamu pun, bau busuk itu sudah tercium bahkan hingga ke serambi luar rumah.
Hanya seorang diri Ratinah merasakan deraan sakit luar biasa di kamar tidurnya. Berbagai upaya penyembuhan selalu nihil. Baik melalui jalur medis maupun jalur alternatif memanfaatkan kalangan supranaturalis.
Sejumlah paranormal sudah didatangkan. Terapi yang dilakukan paranormal sudah dijalani, namun pada ujungnya menyerah sambil menyarankan supaya mengundang dokter kandungan karena penyakit itu termasuk penyakit dhohir.
Saran para paranormal itu hanya dijawab dengan anggukan kepala. Pasalnya, sebelum paranormal memberi saran, sudah lebih dari lima dokter ahli kandungan lokal maupun dari kota besar yang didatangkan, tapi tidak membuahkan hasil.
Untuk ikhtiar pengobatan yang tanpa hasil itu, ternyata telah meludeskan segalanya. Dua hektare sawah berikut ladang telah dijual. Menyusul perabotan di dalam rumah berikut perhiasan serta tabungan di bank. Ketika sudah tak punya apa-apa lagi, Ratinah maupun Imron memilih untuk berpasrah diri kepada Allah SWT.
Memasuki duapuluh bulan kemudian, ketika Ratinah sudah berada antara hidup dan mati, serta kondisi bangunan rumah yang kumuh tidak terurus, Imron dalam mimpinya bertemu seorang laki-laki renta mengenakan pakaian ala para sunan di era Wali Songo.
Laki-laki dengan raut muka memancarkan aura putih itu, menyarankan untuk laku tirakat di salah sebuah tempat keramat di wilayah Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon.
Tanpa banyak pertimbangan, saran laki-laki yang berpenampilan ala sunan dari mimpinya itu langsung dijalani. Tempat yang dituju itu, ternyata salah sebuah petilasan Ki Kuwu Sangkan sewaktu menjalankan laku tirakat beberapa abad silam.
Satu minggu sudah berlalu, dan Imron belum mendapatkan petunjuk apapun dalam tirakatnya. Tanpa pernah merasa putus asa, laku tirakatnya terus dilanjutkan hingga memasuki hari keempat puluh.
Pada malam keempat puluh satu, antara sadar dan tidak, di depan lutut Imron yang sedang berzikir seperti tersaji adegan drama yang teramat mencekam. Laki-laki yang pernah hadir dalam mimpinya itu, sedang menginjak dada laki-laki berpenampilan jawara. Laki-laki dengan mengenakan blangkon, baju kampret dan celana komprang warna hitam, dalam keadaan terlentang tak berdaya.
Menyaksikan adegan klimaks sebuah pertarungan itu, membuat Imron ternganga tanpa suara. Lantas, laki-laki ala sunan itu menanyakan identitas dan berbagai hal terhadap laki-laki jawara di bawah telapak kaki kanannya itu.
Dengan nada sangat ketakutan serta menderita, laki-laki itu menyebutkan jatidirinya. Ternyata dia makhluk alam gaib dengan digelari Pangeran Santet. Pangeran Santet itupun mengaku kalau selama duapuluh bulan ini terus menyiksa Ratinah dengan menggunakan ilmu Santet Rumput Rawa andalannya.
Pangeran Santet menuturkan proses serangan ilmu santetnya. Dimana rumput berlugut dari tengah rawa di sekitar pesisir Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon secara rutin dimasukkan secara gaib ke dalam rahim Ratinah. Karena itulah, dari alat vital Ratinah keluar nanah kental diiringi bau sangat busuk.
Atas desakan laki-laki ala sunan, sang Pangeran Santet bersedia menarik kembali ilmu santetnya dari raga Ratinah hingga sembuh seperti sediakala. Yang sangat mengejutkan, makhluk halus aliran hitam itu menyebutkan identitas orang yang telah memperalatnya untuk menyiksa Ratinah. Siapa lagi kalau bukan Sam.
Mendengar nama Sam disebut-sebut, tanpa sadar emosi Imron langsung memuncak. Sebelum Imron kalap dan histeris, laki-laki ala sunan itu mengangkat kakinya dari dada Pangeran Santet sekaligus menyuruh makhluk aliran hitam itu supaya pulang kembali ke asalnya.
Sepeninggalnya Pangeran Santet, laki-laki ala sunan itupun menyampaikan petuah bahwa apapun yang dia dengar tidak boleh dijadikan alat untuk membalas dendam.
Siapapun yang menanam pasti dia yang bakal memetik buahnya. Karena petuah itulah, Imron memilih pasrah. Terlebih lagi, secara menakjubkan, penyakit menjijikan itu sudah meninggalkan alat vital isterinya.
Di wilayah Kec. Sumber, Kab. Cirebon, beberapa waktu lalu sempat gempar. Penduduk di pantai utara Jawa Barat itu gempar lantaran ada salah seorang warga disana yang mengalami peristiwa sangat mistis....
Selain aneh, peristiwa tersebut sangat menyedihkan sekaligus menyakitkan. Siapapun yang menyaksikannya, pasti menitikkan air mata, dan tak sanggup membayangkan betapa beratnya penderitaan yang dijalaninya.
Seorang isteri juraga rotan, kedapatan mengalami penyakit yang susah untuk dideteksi secara medis. Dokter yang didatangkan bukan saja dari Cirebon, bahkan ada yang sengaja didatangkan dari Bandung maupun Jakarta. Namun, hasilnya sangat tidak memuaskan. Alat vital wanita paruh baya itu tetap mengeluarkan nanah kental tiap tengah malam hingga siang bolong.
Akibatnya, alat vital yang mestinya jadi mahkota kebanggan wanita dan digandrungi pria itu, terpaksa tidak berharga sama sekali. Bau yang keluar benar-benar busuk. Bahkan baunya menyebar dalam radius belasan meter.
Terdorong rasa penasaran yang teramat kuat, suatu malam Penulis secara diam-diam menyambangi rumah megah yang mulai tak terurus itu. Rumah yang berada tidak jauh dari jalan raya itu memang terlihat muram kehilangan nilai artistiknya. Selain cat temboknya sudah mengelupas disana-sini, plafon yang terbuat dari kenwoods juga sudah jebol di beberapa bagian. Di halaman depan maupun halaman serambi, rumput sudah membelukar.
Begitu pula sebagian ranting pohon belimbing bangkok sudah menerobos ke lubang ventilasi jendela. Pernak-perniknya juga sudah terpatah-patah dan banyak yang rontok, juga tidak ada lagi perabotan luks di dalamnya.
Ternyata, selain dikarenakan bangkrutnya bisnis rotan sebagai imbas peraturan pemerintah tentang syarat-syarat ekspor rontan ke luar negeri, sisa modal yang ada tersedot juga buat ikhtiar pengobatan sang isteri. Kini, suami-isteri tanpa keturunan itu hidup dari utang disana-sini, sehingga tak mampu lagi untuk beli cat tembok.
Ketika Penulis tiba di rumah megah namun kumuh itu, si wanita malang sudah dalam proses pemulihan. Nanah kentalnya sudah tidak keluar lagi dan tak tercium bau busuk dari balik pakaian yang dikenakan.
Namun, tubuh Ny. Ratinah, 45 tahun, sangat menyedihkan. Tubuh yang dulu padat berisi itu kini layaknya sosok jerangkong hidup. Ya, hanya menyisakan tulang terbungkus kulit. Kecantikan wajahnya seperti yang tampak pada foto di figura samping buffet, sudah tak tersisa sama sekali. Tulang-tulang pipinya bertonjolan dengan tatapan mata sangat menyedihkan. Wajah itu masih menyimpan sisa-sisa penderitaan teramat pahit selama hampir dua tahun. Sebuah rentang waktu sangat menjemukan serta membuat alas berubah gelap.
Yang patut untuk dijadikan pelajaran, di tengah situasi sulit yang berlarut-larut, Ratinah tetap tabah bahkan sangat pasrah. Tak pernah terlintas sekalipun dalam benaknya untuk menempuh jalan pintas yang sesat.
Sebagai mantan santri dari salah sebuah pesantren puteri terkemuka di Kabupaten Cirebon, Ratinah yakin sekali kalau penderitaan yang dialaminya itu bakal mendapatkan pahala dari Allah SWT yang bakal dipetik di akherat kelak. Sehingga, ketika diminta menceritakan kembali kesengsaraannya sebagai korban santet, Ratinah berkali-kali menolak. Tapi, setelah dipastikan bakal dijaga kerahasiaan identitas diri dan keluarganya serta identigas orang yang berbuat jahat padatnya, Ratinah maupun Imron, 47 tahun, sang suami, berangsur-angsur memahaminya dan bersedia untuk mem-flashback sampai kepada hal-hal kecil yang pernah dialaminya.
"Sedikitpun tak menyangka, di era yang serba modern ini, ternyata masih ada orang yang menggunakan santet untuk mencelakai sesama manusia," Ratinah memulai kisahnya.
Penderitaan yang dialaminya selama hampir dua tahun ini, sangat sulit untuk digambarkan. Dia yakin, semenjak terlahir di alam fana ini sampai umurnya yang sudah kepala empat, belum pernah mengalami penderitaan seberat itu.
Penyakit aneh yang disebabkan serangan santet itu, berawal dari usaha rotan yang dilakoni Imron. Memang, wilayah kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon, sudah lebih dari dua dasawarsa dinobatkan sebagai sentra bisnis rotan terbesar di Jawa Barat. Dan Imron adalah salah seorang pengusaha rotan yang cukup diperhitungkan.
Sejak era tahun 1990-an, perusahaan rotan milik Imron sudah merekrut lima karyawan tetap, dan sepuluh karyawan magang. Mereka bekerja mulai pagi hingga menjelang waktu Isya. Modal awal dia peroleh dari perbankan, dan secara bertahap, mengurangi pinjaman modal perbankan itu sampai akhirnya tinggal landas sekitar tahun 1995.
Dengan seratus persen modal sendiri, secara otomatis, laba bersih yang diraup per bulannya jauh lebih besar, karena tidak ada kewajiban buat bayar bunga bank. Seiring itu pula, jumlah karyawan tetap bertambah setiap periodiknya.
Mekanisme usaha yang diterapkan Imron sangat sederhana. Menetapkan status karyawan pun sangat ringkas, dimulai dari karyawan lepas dan karyawan tetap. Karyawan magang yang sudah bekerja dalam rentang waktu tertentu, dianggap punya dedikasi tinggi serta loyalitasnya terhadap perusahaan sangat kental, maka secara otomatis direkrut menjadi karyawan tetap.
Karyawan tetap itupun, bagi yang berdedikasi tinggi dan loyalitasnya kental, akan dinaikan statusnya ke bagian pemasaran. Tiap-tiap kenaikkan status ini berkaitan sekali dengan nilai upah dan tunjangan serta fasilitas lainnya.
Sam, 40 tahun, di mata Imron punya nilai lebih dibanding karyawan tetap lainnya. Pria beranak dua asal Jatibarang, Indramaya ini tercatat sebagai karyawan tetap yang punya masa kerja paling lama.
Disamping itu, Sam punya dedikasi tinggi serta sangat loyal, ditambah pendidikan formalnya yang lumayan bagus yaitu diploma tiga. Dikarenakan sudah memenuhi seluruh komponen yang disyaratkan, sejak 1995, Sam dinaikkan statusnya menjadi karyawan bagian pemasaran bersama-sama dua karyawan bagian pemasaran yang sudah lebih dulu ada yaitu Iwan, 46 tahun, dan Jajang, 42 tahun.
Mulai triwulan pertama, Sam kebagian tugas mengawal pengiriman rotan hingga ke pengepul besar atau perusahaan eksportir di Jakarta. Tugas tersebut terus dirolling secara periodik. Iwan bertugas mengurus surat-surat berkaitan proses ekspor ke Eropa, sedangkan Jajang bertugas juru tagih ke pihak perusahaan eksportir.
"Sampai tahun kedua, saya merasa sangat puas dengan cara kerja Sam dan dua karyawan pemasaran lainnya. Tapi bertepatan dengan meletusnya reformasi dalam upaya menurunkan Soeharto sebagai presiden, sedikit demi sedikit ada suara-suara sumbang yang masuk ke telinga. Suara sumbang itu tertuju kepada kinerja Sam," kenang Imron.
Pada awalnya, suara-suara sumbang itu hanya dianggap sentimen biasa di lingkungan sesama karyawan. Apalagi suara sumbang yang paling santer justru ditiupkan Jajang yang notabene rival Sam.
Jajang mengaku kepada Imron, suatu waktu pernah "menjebak" Imron. Dalam perjalanan ke Jakarta, setibanya di Jatibarang secara disengaja Jajang membelokkan Toyota Kijang yang dikemudikannya memasuki sebuah gang dan berhenti di depan rumah besar yang baru selesai dibangun.
Sambil tetap duduk dibalik kemudi dan hanya sedikit menurunkan kaca jendela kemudi di sampingnya, Jajang menjelaskan kepada Imron kalau rumah besar itu milik Sam. Padahal rumahnya yang dulu berada di pinggir tanggul sungai Cimanuk.
Meski sudah menyaksikan dengan mata sendiri, namun Imron berusaha untuk tetap berbaik sangka. Dalam pikirannya, mungkin Sam mampu membangun rumah sebesar itu berkat kemampuannya mengatur gaji yang diterima dari perusahaan. Atau mungkin, uangnya sebagian didapat dari menjual tanah warisan. Imron tidak pernah tahu apakah Sam punya warisan atau tidak, yang dia tahu Sam adalah karyawan bagian pemasaran yang ulet dan lincah.
Pada saat yang lain, pagi-pagi sekali Iwan sudah mengetuk pintu rumah Imron. Dengan tingkah yang gelisah dan tegang, Iwam menyampaikan laporan kepada bosnya. Sudah dua kali pengiriman, Sam melaporkan kepada Iwan kalau kendaraannya dijarah massa di Jakarta.
Secara kebetulan, dari tahun 1997 hingga 1998, pemberitaan media audiovisual dilaporkan aksi kerusuhan disertai penjarahan oleh ribuan massa di Jakarta. Atas dasar itulah Imron tidak terlalu memikirkan laporan Iwan mengenai Sam. Di mata Imron, sampai saat itu Sam masih dianggap bersih.
Bukan itu saja, setiap saat Iwan mengeluhkan terjadinya ketidak-cocokan antara faktur penerimaan dari petugas checker di perusahaan eksportir di Jakarta dengan data tonase yang tertera dalam surat jalan dari karyawan bagian produksi di perusahaan Imron.
Laporan Iwan kali ini cukup menyita perhatian Imron. Apalagi karyawan bagian produksi yang melakukan penimbangan sebelum dinaikkan ke atas truk bersikeras mencantumkan angka pada surat jalan sesuai dengan tonasenya.
Namun muncul dalam pemikiran Imron, tentang adanya konspirasi atau tepatnya persengkongkolan antara karyawan bagian produksi dengan Iwan dalam upaya menggulingkan Sam.
Kali inipun Sam masih tetap bersih di mata Imron. Tapi ibarat pepatah kuno, sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat pasti jatuh juga. Demikianlah yang terjadi pada diri Sam.
"Di akhir tahun 1999, tanpa diduga, datang seorang tamu mengaku karyawan perusahaan eksportir rotan dari Jakarta," kata Imron.
Karyawan yang namanya dirahasiakan itu, tanpa basa-basi lagi mengajak Imron untuk kerjasama usaha rotan untuk tujuan Amerika Serikat. Harga yang ditawarkannya sedikit lebih tinggi dari harga yang sudah disepakati dalam kontrak kerja sama atau MoU dengan perusahaan eksportir rotan yang sudah bermitra.
Bagi Imron harga yang lebih tinggi bukan sesuatu yang mengejutkan. Sesuai strategi bisnis, hal itu sangat layak dilakukan. Tapi, setelah kerjasama berlangsung, harga yang ditetapkan bisa saja lebih rendah dari harga yang ditetapkan eksportir yang dulu.
Tetapi ketika mendengar ucapan karyawan itu berikutnya, seperti ada tamparan keras pada wajah Imron. Sebab, orang itu menyatakan sudah ada kecocokan dengan kualitas rotan dari perusahaan Imron.
"Dari mana dia tahu kualitas rotan saya, kenal saja belum," kenang Imron.
Berusaha tidak menunjukkan sikap curiga, Imron terus mengorek informasi dari tamunya itu. Ternyata, sudah dua tahun lebih Sam mengirim rotan ke perusahaan ekspotir tersebut, biarpun jumlahnya sangat terbatas. Kecuali pernah dua kali mengirim secara penuh masing-masing satu truk. Penjelasan itu sudah lebih dari cukup bagi Imron untuk menilai Sam.
Setelah tamunya pulang ke Jakarta dengan sangat kecewa, Imron memanggil sopir perusahaan beserta Iwan. Kedua karyawan itu diminta datang ke ruang serambi rumah Imron yang megah itu.
Pada awalnya sopir itu bersikeras menolak tuduhan itu. Tapi, setelah Imron menyebutkan nama perusahaan eksportir berikut alamat gudangnya, sang sopir mengakuinya dengan wajah lemas. Dia merasa telah diperalat oleh Sam dan memohon agar tidak dipecat dari pekerjaannya sebagai sopir perusahaan.
Imron memang tidak memecat sang sopir, dan yang dipecat dengan tidak hormat tidak lain adalah Sam. Tanpa banyak komentar, Sam menerima surat pemecatan berikut uang pesangon yang lumayan besar dari bossnya.
Tahun berikutnya, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang tentang Pengaturan Ekspor Rotan ke luar negeri. Yang intinya melarang ekspor rotan berupa bahan mentah. Dengan keluarnya peraturan itu, satu demi satu perusahaan rotan di Kabupaten Cirebon maupun di Kota Cirebon bertumbangan, termasuk perusahaan rotan milik Imron.
Hanya berselang satu tahun setelah resmi perusahaan rotan Imaron mengalami kelesuan, Ratinah juga mengalami serangan penyakit yang sangat aneh. Pada awalnya dipastikan hanya penyakit turun bero atau peranakan turun. Namun upaya melalui sistem pijat oleh beberapa paraji (dukun beranak) tidak membuahkan hasil.
Selanjutnya timbul rasa gatal di sekitar mulut vagina. Selama seminggu, rasa gatal itu terus menyiksa. Serangan gatal itu datang dan pergi mirip hantu.
Terkadang, serangan gatal itu datang di saat dia berada di pasar atau di tengah-tengah pertemuaan dengan anggota keluarganya. Akibatnya Ratinah sering dibuat malu, lantaran dia mesti tergesa-gesa menerobos pintu kamar mandi untuk menggaruk bagian sensitif pada organ kewanitaannya itu.
Serangan gatal itupun sempat hilang selama satu bulan lebih. Hal itu membuat lega batin Ratinah. Namun, satu bulan berikutnya, datang serangan sakit yang sangat ganjil. Bagian dalam alat vitalnya serasa seperti ditusuki ribuan jarum kecil.
Makin lama kondisinya makin memburuk. Bahkan dari alat vital Ratinah mulai keluar nanah kental disertai menyebarnya bau busuk. Setelah itu, setiap hari yang dikerjakan Ratinah hanya berbaring di atas kasur. Nafsu makannya turun secara dratis. Akibatnya, tubuh yang semula montok dan sintal, secara cepat berubah kurus sampai akhirnya tidak ubahnya kerangka yang terbungkus kulit.
Selama sakit aneh itu, sanak keluarga maupun bekas karyawan yang merasa simpati, sangat jarang yang berani memasuki kamar tidurnya. Mereka memilih duduk di ruang tamu, lantaran tak tahan dengan bau busuk dari alat vital Ratinah. Dari ruang tamu pun, bau busuk itu sudah tercium bahkan hingga ke serambi luar rumah.
Hanya seorang diri Ratinah merasakan deraan sakit luar biasa di kamar tidurnya. Berbagai upaya penyembuhan selalu nihil. Baik melalui jalur medis maupun jalur alternatif memanfaatkan kalangan supranaturalis.
Sejumlah paranormal sudah didatangkan. Terapi yang dilakukan paranormal sudah dijalani, namun pada ujungnya menyerah sambil menyarankan supaya mengundang dokter kandungan karena penyakit itu termasuk penyakit dhohir.
Saran para paranormal itu hanya dijawab dengan anggukan kepala. Pasalnya, sebelum paranormal memberi saran, sudah lebih dari lima dokter ahli kandungan lokal maupun dari kota besar yang didatangkan, tapi tidak membuahkan hasil.
Untuk ikhtiar pengobatan yang tanpa hasil itu, ternyata telah meludeskan segalanya. Dua hektare sawah berikut ladang telah dijual. Menyusul perabotan di dalam rumah berikut perhiasan serta tabungan di bank. Ketika sudah tak punya apa-apa lagi, Ratinah maupun Imron memilih untuk berpasrah diri kepada Allah SWT.
Memasuki duapuluh bulan kemudian, ketika Ratinah sudah berada antara hidup dan mati, serta kondisi bangunan rumah yang kumuh tidak terurus, Imron dalam mimpinya bertemu seorang laki-laki renta mengenakan pakaian ala para sunan di era Wali Songo.
Laki-laki dengan raut muka memancarkan aura putih itu, menyarankan untuk laku tirakat di salah sebuah tempat keramat di wilayah Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon.
Tanpa banyak pertimbangan, saran laki-laki yang berpenampilan ala sunan dari mimpinya itu langsung dijalani. Tempat yang dituju itu, ternyata salah sebuah petilasan Ki Kuwu Sangkan sewaktu menjalankan laku tirakat beberapa abad silam.
Satu minggu sudah berlalu, dan Imron belum mendapatkan petunjuk apapun dalam tirakatnya. Tanpa pernah merasa putus asa, laku tirakatnya terus dilanjutkan hingga memasuki hari keempat puluh.
Pada malam keempat puluh satu, antara sadar dan tidak, di depan lutut Imron yang sedang berzikir seperti tersaji adegan drama yang teramat mencekam. Laki-laki yang pernah hadir dalam mimpinya itu, sedang menginjak dada laki-laki berpenampilan jawara. Laki-laki dengan mengenakan blangkon, baju kampret dan celana komprang warna hitam, dalam keadaan terlentang tak berdaya.
Menyaksikan adegan klimaks sebuah pertarungan itu, membuat Imron ternganga tanpa suara. Lantas, laki-laki ala sunan itu menanyakan identitas dan berbagai hal terhadap laki-laki jawara di bawah telapak kaki kanannya itu.
Dengan nada sangat ketakutan serta menderita, laki-laki itu menyebutkan jatidirinya. Ternyata dia makhluk alam gaib dengan digelari Pangeran Santet. Pangeran Santet itupun mengaku kalau selama duapuluh bulan ini terus menyiksa Ratinah dengan menggunakan ilmu Santet Rumput Rawa andalannya.
Pangeran Santet menuturkan proses serangan ilmu santetnya. Dimana rumput berlugut dari tengah rawa di sekitar pesisir Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon secara rutin dimasukkan secara gaib ke dalam rahim Ratinah. Karena itulah, dari alat vital Ratinah keluar nanah kental diiringi bau sangat busuk.
Atas desakan laki-laki ala sunan, sang Pangeran Santet bersedia menarik kembali ilmu santetnya dari raga Ratinah hingga sembuh seperti sediakala. Yang sangat mengejutkan, makhluk halus aliran hitam itu menyebutkan identitas orang yang telah memperalatnya untuk menyiksa Ratinah. Siapa lagi kalau bukan Sam.
Mendengar nama Sam disebut-sebut, tanpa sadar emosi Imron langsung memuncak. Sebelum Imron kalap dan histeris, laki-laki ala sunan itu mengangkat kakinya dari dada Pangeran Santet sekaligus menyuruh makhluk aliran hitam itu supaya pulang kembali ke asalnya.
Sepeninggalnya Pangeran Santet, laki-laki ala sunan itupun menyampaikan petuah bahwa apapun yang dia dengar tidak boleh dijadikan alat untuk membalas dendam.
Siapapun yang menanam pasti dia yang bakal memetik buahnya. Karena petuah itulah, Imron memilih pasrah. Terlebih lagi, secara menakjubkan, penyakit menjijikan itu sudah meninggalkan alat vital isterinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar