Jumat, 22 Februari 2008

BERTARUNG MELAWAN JIN KUCRIT

Penulis : R. WAHYUDI SANTOSO


Demi mengangkat setumpuk batangan emas, aku bertarung mati-matian dengan sosok jin. Namun, setelah berhasil yang terjadi justru sangat mengecewakan....

Ketika aku sedang menyaksikan tayangan Dunia Lain di Trans TV, sambil menikmati secangkir kopi ginseng, isteriku memberitahu kalau di luar ada tamu yang ingin bertemu denganku. Aku bergegas. Di ruang tamu kulihat Pak Achmad. Dia sedang membuka-buka koran pagi. Setelah basa-basi sebentar, ia langsung kepada pokok persoalan yang ingin disampaikannya. Dan aku menyimaknya baik-baik.
“Kurang lebihnya begitulah kesimpulannya, Pak. Karena Pak Wahyu yang modalin, berapa pun hasilnya nanti, dia siap membagi sama rata,” Pak Achmad menutup penuturannya.
“Yang saya pikirin bukan itunya. Saya heran, atas dasar apa Bu Chaidar begitu percaya dan yakin kalau di rumahnya ada timbunan harta peninggalan almarhum? Apakah Pak Chaidar itu orang kaya? Atau, salah seorang koruptor, barangkali?” tukasku, ragu.
Sahabatku yang bernama lengkap Achmad Ali itu tersenyum. “Soal itu saya juga tidak tahu. Tapi yang jelas, Bu Chaidir yakin seratus persen kalau harta itu memang ada,” katanya.
Kami memang sudah terbiasa ngobrol dibarengi humor, terkadang sindir sana sindir sini, tetapi topik persoalan tetap berlanjut, seperti halnya malam itu. Setelah menyalakan rokok, Pak Achmad Ali kembali bertutur, “Menurut Bu Chaidar, awal mulanya melalui mimpi. Almarhum suami¬nya yang bilang kalau dia sendiri yang menaruh emas tersebut di bawah lantai ruang tamu. Tetapi dia berpesan kalau ‘tanaman’ itu baru bisa diangkat setelah genap waktunya, dan hanya akan menjadi kenyataan kalau yang meng¬angkatnya adalah seseorang yang berhati lurus. Artinya, nggak bisa dilaksanakan oleh sembarang orang.”
“Berapa banyak jumlahnya?” tanyaku, berubah serius.
“Kalau nggak salah, setelah beberapa kali Bu Chaidar mendatangkan orang pintar ke rumahnya, rata-rata mengatakan ada sekitar 40 batang. Itu menurut mereka. Sedangkan menurut hemat saya, sekiranya Pak Wahyu berkenan, nanti kan bisa diperiksa ulang. Selanjutnya saya serahkan sepenuhnya sama Pak Wahyu. Begitu pesan Bu Chaidar.”
Aku manggut-manggut mendengar cerita yang bernada menggiurkan itu. Sebagai seorang yang dikenal memiliki kemampuan mengangkat harta terpendam dengan kekuatan supranatural, tentu saja aku harus menerima tawaran menarik ini.


Seminggu kemudian, Pak Achmad Ali memperkenalkan aku kepada Ibu Chaidar. Setelah berkenalan dan bisa cepat akrab, wanita di ambang usia senja itu mulai menceritakan ulang ihwal mimpi-mimpinya.
“Kenapa saya begitu yakin bahwa benda itu memang ada, karena mimpi itu terus berulang-ulang datang dalam tidur saya,” katanya.
Malam itu juga aku melaksanakan penerawangan, menembus dunia lain melalui ketajaman mata batinku. Hasilnya? Cukup meyakinkan. Apa yang kulihat tak jauh beda dengan apa yang diceritakan Ibu Chaidar. Di bawah lantai ruang tamu rumah wanita yang telah lama hidup menjanda itu memang terlihatan lantakan emas. Setelah merasa yakin, maka kupastikan langsung hari H untuk ritual pengangkatan.
Selasa malam, 9 Desember 2003, semua sarana sudah tersaji rapi. Antara lain, 7 macam buah-buahan, 7 rupa kembang, 7 macam jajan pasar, sebatang cerutu lengkap dengan kinang bantalan, sepiring nasi putih, seekor ikan mas goreng, sebungkus rokok kretek Gudang Garam Merah, kopi manis dan kopi pahit, teh manis dan teh pahit, segelas air putih, dan sebotol minyak khusus yang biasa dipergunakan untuk melaksanakan upacara ritual semacam ini. Minyak tersebut biasa juga disebut “Minyak Jin.” Harganya jutaan rupiah. Sebab, tanpa menggunakan minyak seperti itu, rasanya sangat tipis kemungkinan akan berhasil dengan lancar dan baik.
Sejumlah orang telah berkumpul di ruang tengah, berdzikir membaca Surat Al-Ikhlas secukupnya. Pengertian secukupnya di sini ialah baru boleh berhenti setelah ada petunjuk dari Pak Nurdin, salah seorang rekanku, yang akan disampaikan melalui aku, dan aku harus langsung memberitahukannya kepada mereka yang berdzikir.
Di kamar khusus yang telah kupadamkan lampunya, hanya ada aku dan Pak Nurdin. Aku terus berinteraksi dan sangat melelahkan. Berdasarkan pendeteksian, jin yang menguasai lantakan emas itu bernama Jin Kucrit. Setelah diadakan dialog, si Kucrit ini itu tidak mau menyerahkan begitu saja apa yang kami minta. Dia tetap bertahan sesuai perintah sang majikan, yaitu sebelum genap hitungan enam tahun sejak benda tersebut ditanam oleh almarhum Pak Chaidar, dia tidak akan menyerahkan kepada siapa pun, kendati kami melaksanakan hajat ini atas permohonan isterinya sendiri.
Cukup lama kami bertarung dengan Jin Kucrit. Hampir satu jam. Pak Nurdin terus mengeluarkan jurus-jurus ampuhnya untuk mengalahkan Jin Kucrit. Si jin tetap bertahan. Dari langit-langit kamar kudengar jelas seperti benda berat saling berjatuhan menimpa kepalaku. Braaakk! Gedebukkkk! Prang! Padahal aku tahu, itu hanyalah pendengaranku saja. Tidak nyata.
Kecuali sosok Jin Kucrit yang memperlihatkan penampakkannya secara jelas. Dia berbadan tinggi besar, hampir mencapai sepuluh meter. Rambut godrongnya memang terlihat dikucir seperti gaya reserse masa kini. Mungkin, karena itulah dinamakan Jin Kucrit. Sepasang kupingnya sebesar telinga gajah. Matanya sebesar lampu sepeda motor, sedangkan bagian dada, tangan dan kakinya ditumbuhi bulu-bulu lebat. Sangat menyeramkan!
Aku bersyukur, karena tak lama kemudian Jin Kucrit menyerah, mengaku kalah, dan berjanji akan menyerahkan semua benda tersebut kepada kami. Ternyata benar. Setelah lampu kunyalakan, batangan emas tersebut sudah tersusun rapi di atas hamparan sajadah, berikut dua buah liontin berbentuk bulat. Yang satu bergambar wanita. Satunya lagi bertuliskan Allah dalam bahasa Arab.
Dari dalam bambu pendek yang terpaksa kupecahkan, terdapat pula gulungan kertas. Isinya mengatakan bahwa liontin bergambar wanita diperuntukkan khusus untuk putri tunggal almarhum Chaidir yang bernama Lena. Sementara liontin bertuliskan Allah untuk isteri tersayangnya, yakni Ibu Chaidar sendiri.
Benda-benda tersebut kemudian kuperlihatkan kepada semua yang hadir di situ. Kulihat mereka tersenyum puas menyaksikan keberhasilan kerja kami. Terutama Ibu Chaidar dan Lena. Mereka nyaris tak berkedip mencermati benda-benda berharga tersebut. Heran, gembira, tetapi terkesan tak percaya pada penglihatan mereka sendiri.
“Betul-betul aneh, tapi nyata. Kok bisa ya benda yang ada di dalam tanah di angkat ke atas, tapi keramiknya enggak ada yang pecah satupun. Benar-benar nggak masuk logika. Tadinya aku paling nggak percaya sama yang beginian,” kata Lena.
“Kalau sekarang gimana?” tanyaku.
“Baru percaya seratus persen. Soalnya ngeliat sendiri, dan di rumah sendiri lagi.”
“Liontinnya boleh Lena pakai. Begitu juga yang buat ibu,” sela Pak Nurdin. “Kalau yang lainnya sebaiknya disimpan saja di tempat yang menurut ibu cukup aman. Kalau ibu mau jual, nanti saja kalau sudah pas waktunya, seperti yang tertulis pada surat wasiat yang ditulis almarhum. Di sini disebutkan, apabila dimanfaatkan sebelum genap waktunya enam tahun, taruhannya adalah nyawa!”.
“Batas waktu itu kapan, Pak?” Lena bertanya lagi.
“Kalau enggak salah tanggal 18 Februari 2004!” jawabku.
Akan tetapi, karena yang disebut manusia selalu saja merasa kekurangan dan tak pernah mensyukuri nikmat Allah, awal Januari 2004 Ibu Chaidar bermaksud menjual 5 batang emas itu. Alasannya, selain terhimpit oleh kebutuhan hidup yang semakin meningkat, juga untuk mengembalikan uang minyak dagangannya yang belum ia setor penuh. Tak enak, katanya. “Sudah dibantu, kok malah ngeberatin yang nolong.”
Apa boleh buat. Aku dan Pak Nurdin merestui. Kebetulan pula pada waktu itu kami sedang butuh uang untuk keperluan serupa. Segera aku melaju ke salah satu toko emas kenalanku di Pasar Agung. Hasilnya?
Sangat mengecewakan sekali. Sungguh! Emas batangan tersebut berubah menjadi kuningan sari. Aku jadi penasaran. Kubawa ke toko lainnya. Namun hasilnya sama. “Sama sekali nggak ada kadar emasnya, Bang. Ini murni kuningan sari,” kata si pemilik toko setelah dua tiga kali mengetes kemurnian emas tersebut.
Celaka tiga belas, pikirku. Setelah Rp. 8 juta terbang dari dompet, kemudian mati-matian bertarung melawan Jin Kucrit, hasilnya hanya kuningan sari. Walaupun masih ada harapan akan sempurna dengan sendirinya apabila tiba waktunya kelak, atau melalui bantuan orang pinter yang memiliki ilmu khusus untuk “menyempurnakan” kuningan sari kepada wujud aslinya, itu kan baru sebatas harapan. Bisa menjadi kenyataan bisa tidak.
Semuanya kuserahkan kepada Yang Maha Kuasa. Namun yang pasti, dari kasus ini aku mendapat pelajaran berharga bahwa kita sebagai manusia hendaknya bisa bersabar dalam menanti sesuatu hal. Ya, kalau saja kami menjual lantakan emas tersebut sesuai dengan waktu yang ditetapkan, mungkin emas itu tidak akan berubah menjadi kuningan sari.

Rabu, 20 Februari 2008

KARENA CEMBURU, AKU TEGA MENYATET SAUDARA SEPUPU

Penulis : Herry Santoso


Demi melihat saudara sepupuku menggumuli isteri, aku langsung kalap. Bahkan aku tega membuat perutnya buncit, hingga akhirnya dia mati....

Api cemburu memang telah membakar seluruh sel darah dan perasaanku. Tapi aku sulit mene-rima jika dikatakan kecemburuanku itu tak lebih sebuah “cemburu buta.” Sebab, dengan mata kepalaku sendiri aku melihat Melati (nama samaran), isteriku digumuli oleh laki-laki lain.
Awalnya, aku memang tak pernah percaya bahwa Jo, saudara sepupuku yang telah senasib seperjuangan merantau di negeri Jiran (Malaysia) itu akan mengkhianatiku. Bahkan isyu-isyu yang sempat berhembus di tempat kami bekerja yang menyatakan Jo berselingkuh dengan Melati, kuanggap sebuah fitnah yang amat keji.
Jo terlalu baik padaku. Wajar jika sebagian penghasilanku sebagai buruh bangunan di perantauan selalu kukirim ke Melati lewat dia. Jo lah yang kupercaya untuk “hilir mudik” ke kampung halaman mengantar nafkah untuk anak isteriku itu. Terlebih, Thole, anak kami satu-satunya sudah mulai masuk ke bangku SLTP di kampung. Ya, semua seolah memacu semangatku untuk bekerja lebih keras lagi mengumpulkan Ringgit di negeri Jiran.
Hari-hari indah bersama Melati selalu mengusik mimpi-mimpiku. Ada kerinduan yang amat dalam yang hanya bisa kutahan di perantauan. “Oh, isteriku, mungkinkah isyu itu benar-benar ada dan terjadi atas dirimu?” batinku.
Lama-lama aku memang mulai gelisah. Terlebih Parto, yang juga teman sekerjaku, tadi siang sempat menasihatiku.
“Memang, sebaiknya kamu cepat pulang kampung, Yan. Itupun kalau kamu tidak ingin rumah tanggamu hancur!” ucap Parto pelan sembari mengelus-elus pundakku.
“Apa maksudmu berkata seperti itu, To?” tukasku kaget.
Lama Parto terdiam. Seolah ingin menata kalimat selanjutnya yang dirasa cukup pantas untukku.
“Begini...” lanjut Parto. “Kamu harus hati-hati sama Jo. Meski dia saudara sepupumu, tapi laki-laki sama saja. Melati, isterimu terlalu ringkih untuk menghadapi kenyataan berpisah cukup lama dengan sang suami. Dan, masa tiga tahun memang bukan ukuran pendek untuk menahan rindu....”
“Parto! Aku peringatkan, jika kamu masih ingin menjadi sahabatku, jangan kau ulangi fitnah-fitnah kejimu itu, mengerti?” bentakku. Parto nampak terkejut sekali melihat sikapku.
“Tahukah kamu, Jo itu bukan orang lain. Pantas isterimu di kampung minta cerai gara-gara omonganmu yang tajam seperti itu!” geramku sambil langsung mencengkeram krah baju Parto. Kontan, Parto pucat-pasi menerima kemarahanku. Dia pun minta ampun sebelum ngeloyor pergi.
Tapi, diam-diam aku tak mampu membohongi hatiku. Ada bara dalam jiwa atas isyu-isyu yang beredar di tempat kerjaku itu. Aku tidak tenang, malah tadi pagi ibu jariku terkena pukulan palu yang kuayun sendiri. Terlebih baru kemarin lusa Jo kusuruh mudik mengantar jatah gaji buat Melati. Duh Gusti Allah, rasanya ingin malam ini juga kuseberangi selat Malaka yang ada di kejauhan sana.
Akhirnya secara diam-diam aku mudik. Tekadku telah bulat ingin membuktikan isyu gila yang sempat berhembus ke Malaysia itu. Terpaksa aku naik pesawat terbang untuk mempercepat waktu, tapi tak ayal memasuki terminal terakhir di kotaku tetap menjelang dini hari. Padahal aku memperkirakan selepas Maghrib sudah tiba di rumah.
Entah, dorongan darimana aku ingin menuju kampung halaman malam itu juga, dengan sebuah ojek. Tapi kira-kira 1 Km menjelang rumahku, ojek berhenti. Aku melingkar menembus kebun singkong di belakang rumah dan dengan mengendap-endap menyusup tepat di luar kamar Melati, isteriku!
Untunglah, kamar Melati masih separo papan hingga aku bisa mengintip lewat celah-celah sirap itu. Ternyata Melati belum lelap. Dadaku berdegub kencang melihat tubuh isteriku yang sintal itu mene-lentang di atas ranjang. Ia menerawang ke langit-langit kamar sambil sesekali menghela nafas panjang. Ya, mungkin sedang memikirkan aku, merindukan aku, mungkin.
Thole, anakku tidak tampak di sampingnya. Barangkali sedang menginap di rumah neneknya, sebagaimana kebiasaan Thole sejak kecil.
Malam terus bergulir dan merambat ke dini hari. Melati bangkit dari pembaringaan, keluar kamar. Masuk lagi dan duduk di depan cermin. Dan Masya Allah, dia bersolek di depan cermin! Bahkan melepas CD dan branya. Tak ayal nafasku memburu melihat dua bukit yang ranum dan padat itu. Setelah itu ia keluar lagi, dan ya Tuhan, balik lagi ke kamarnya dan menuntun seorang laki-laki!
Nyaris aku tak mampu menahan diri, tapi aku masih ingin bukti. Kakiku menggigil seketika dan seluruh persendianku seperti copot begitu menyaksikan laki-laki itu langsung menciumi wajah isteriku. Laki-laki itu adalah Jo, adik sepupuku sendiri yang kemarin lusa kusuruh mengantarkan penghasilanku untuk Melati.
Dengan penuh nafsu Jo menciumi wajah, bibir, leher, dan ujung-ujung bukit di dada isteriku. Karuan saja, Melati menggeliat tak tahan diperlakukan seperti itu dan langsung melepas daster transparan yang ia kenakan malam itu.
Degup jantungku kian terpacu. Aku hampir pingsan menyaksikan tubuh isteriku direbahkan di atas kasur seraya membuka kedua kakinya. Dengan profesional Jo memanggul kaki-kaki Melati yang mulus dan jenjang itu, dan seterusnya aku tak mau menceritakannya di sini.
Aku spontan melompat pintu depan rumahku. Dengan bara emosi yang tumpah, kuterjang pintu dan jebol seketika. Kedua insan yang tengah bergumul di kamar itu terkesiap. Jo sedianya mau lari karena panik, tapi dengan kalap kuhantam dadanya yang bidang dengan tinjuku kemudian kuterjang tepat kemaluannya hingga ia roboh tak berkutik di lantai. Melati menjerit-jerit, tapi sebelum aku ambil langkah seribu masih sempat memukul telak ibu dari anakku itu.
Selebihnya aku segera mengambil langkah seribu, menembus ujung pagi yang masih berkabut. Sesampainya di terminal kota aku naik bus ke arah timur. Dalam kendaraan itu aku tanpa tujuan pasti, hanya membawa kehancuran hati. Akhirnya menjelang petang aku tiba di kota Banyuwangi. Aku mulai kebingungan, akankah aku terus menyeberang ke Bali? Lalu ke mana tujuanku nanti?
Kebingungan mulai merajuk ke benakku. Akhirnya aku menginap di sebuah Losmen kelas melati. Dari perbincangan dengan sesama tamu, diam-diam aku menyadap inti perbincangan yaitu soal santet. Kata tamu (yang sama-sama menginap di losmen itu), ada tukang santet ampuh di sebuah desa di Banyuwangi Selatan. Dia mau dimintai jasa untuk menyantet siapapun, asalkan dibayar. Tapi praktek itu sangat rahasia, karena takut dihakimi oleh massa.
Tanpa basa-basi, esoknya aku meluncur ke desa itu. Letaknya cukup terpencil, karena harus naik turun perbukitan dan menyeberangi beberapa sungai. Jarak antara rumah satu dengan yang lain saling berjauhan hingga tak satupun orang yang menyangka bahwa aku butuh jasa dukun santet.
Ringkas cerita, akhirnya aku tiba di rumah dukun santet itu....
“Tolonglah saya, Mbah!” ucapku setengah merengek setelah kami terlibat perbincangan yang cukup panjang. “Saya ini menderita batin, Mbah. Ketika merantau ke Malaysia, isteri saya berselingkuh dengan saudara sepupu saya sendiri.”
“Mungkin itu fitnah!” tukas laki-laki tua itu.
“Tidak, Mbah, saya tahu dengan mata kepala saya sendiri, ketika laki-laki itu bergumul di ranjang dengan isteri saya...” lanjutku tak mampu menahan diri, terisak-isak.
“Laki-laki kok nangis! Tujuanmu kemari untuk menyantet laki-laki yang meniduri isterimu itu, kan?”
“I...iya, Mbah...”
“Kamu yang menanggung segala dosa-dosanya kelak di hadapan Gusti Allah?” tatapnya, melotot. Wajah laki-laki itu bukan saja angker sekaligus agak menjijikan. Betapa tidak, wajahnya yang tirus penuh bopeng. Mungkin dulu bekas terkena cacar air, pikirku. Rambutnya gondrong sebahu, dan dengan jenggot panjang yang jarang-jarang mengingatkanku pada seekor kambing jantan. Hidungnya agak bengkok, dan tatkala terkekeh giginya tampak kotor kekuning-kuningan. Bibirnya menghitam lantaran terbakar asap kretek yang terus mengepul. Tubuhnya kurus dan jangkung, tapi tatapan matanya tajam bak mata elang kelaparan.
Setelah mendengar semua penu-turanku, laki-laki itu masuk ke biliknya. Keluar lagi dengan membawa sebutir telur ayam kampung dan minyak wangi (kalau tidak salah Cap Serimpi). Diolesinya telur itu dengan minyak wangi. Perlahan-lahan namun pasti ia mengelus dan mengelus telur itu sembari memejamkan matanya.
“Nama laki-laki itu siapa, Nak?” tanyanya masih tetap terpejam dan mengelus telur ayam di tangan kirinya.
“Jo, Mbah...” jawabku.
“Hari kelahirannya kamu tahu?” celetuknya.
Aku mengerutkan kening, tapi aku terlonjak karena ingat weton (kelahiran) si Jo.
“Anu, Mbah, Jum’at Pahing, ya-ya, Jum’at Pahing, Mbah!” kataku dengan wajah berbinar.
“Jum’at 6, Pahing 9, jadi 15! Wah, ini matinya lima belas hari lagi, Nak!” ujarnya yang membuat bulu kudukku merinding seketika. Di antara ketakutan, aku berusaha mempercayai ramalan itu.
Hari menjelang malam ketika pak tua itu mengajakku ke suatu tempat. Tempat itu puncak sebuah bukit kecil. Di situ ia mengambil sebuah uborampe untuk menyantet, yaitu paku usuk tujuh buah yang sama-sama sudah karatan, tengkorak manusia, bumbung, dan keris kecil sepanjang satu jengkal. Kemudian balik lagi ke rumahnya, membuat sesaji lengkap; ada bunga telon, kafan, telur ayam kam-pung, minyak wangi dan entah apalagi yang aku tidak mengenalinya.
Pak tua itu lalu membuat boneka dari tepung terigu, mirip adonan roti. Boneka itu diisi mantra-mantra kemudian digeletakkan di atas nampan bersama ubo-rampe tadi. Kemudian dia membakar kemenyan di sebuah anglo pedupaan. Asap dupa mengepul memenuhi ruangan pribadinya yang sempit. Saya disuruh mengamati tujuh butir telur ayam kampung itu. Sekejap kemudian aku terpekik, karena melihat salah satu dari telur itu ada wajah si Jo, saudara sepupuku.
“Mbah! I...itu, di telur itu ada wajah si Jo, Mbah!” seruku.
Laki-laki itu membuka matanya dan mencomot telur bergambar Jo itu. Aneh, mirip komputer saja, pikirku benar-benar penasaran. Telur yang baru dicomot itu dimasukkan ke perut boneka tepung tadi, hingga tampak membuncit (membusung). Boneka itu sebesar paha, yang dilengkapi dengan anggota tubuh, pusar, mata, mulut, dan alat kelamin.
“Ayo sekarang kita keluar rumah!” ajak pak tua.
Aku mengikuti langkahnya, ternyata hanya di tengah halaman. Ia menghadap lurus ke barat dimana kampungku berada.
“Pegang boneka ini kuat-kuat jangan sampai lepas, ya!” perintahnya. Dengan wajah tegang diambilnya tujuh paku berkarat itu dan dengan kejam ditusuknya perut buncit boneka itu. Aneh, boneka itu bergetar. Aku kaget. Bahkan boneka itu mengaduh dan meronta.
Pak tua itu tak peduli. Diambil lagi paku-paku berkarat itu sampai habis, lalu ganti keris kecil dan semua ditusukkan ke perut boneka. Gila, cairan hangat kental muncrat ke wajahku. Baunya anyir, dan kuingat-ingat itu bau darah segar. Aku mual dan bergidik, karena boneka itu mengejang dan berkelenjotan di tanganku.
“Nah, sudah selesai! Kita tunggu lima belas hari lagi dia pasti mati, Nak!” katanya dengan suara dingin. “Terus terang, Mbah paling benci dengan lelaki yang mengganggu isteri orang,” tegasnya.
“I...iya, Mbah!” suaraku serak karena tercekam takut.
Entah mengapa, diam-diam aku merasa ketakutan. Merasa ngeri sendiri jika mengingat-ingat proses gaib tadi. Tapi sudah terlanjur, apa yang akan terjadi, terjadilah.
“Berapa maharnya, Mbah?”
“Tiga juta rupiah saja! Biasanya lima juta, tapi karena saya kasihan padamu, ya cukup itulah, Nak!” kata pak tua itu.
Akhirnya kurogoh lipatan uang di dompetku dan setelah kuhitung sejumlah tiga juta kuserahkan kepadanya. Kontan wajah pak tua itu tampak sumringah yang serta merta memasukkan duit itu ke lipatan sabuknya.
Setelah itu aku pulang ke rumah. Rencanaku aku akan menuntut Jo ke depan yang berwajib, tapi keburu polisi menangkapku. Aku dituduh menganiaya Jo dan isteriku sampai Jo dibawa ke rumah sakit! Aneh, saat kulihat perut Jo buncit. Dia hanya mampu mengerang-erang di ranjang rumah sakit. Kata dokter, membengkaknya perut itu akibat tendangan maut di bawah pusar yang mengakibatkan luka dalam pada usus halus dan usus besarnya.
“Dia harus dioperasi secepatnya kalau ingin nyawanya tertolong,” demikian kata dokter.
Aku hanya mencibir sinis. Dua hari kemudian aku dijebloskan ke sel tahanan. Dalam proses peradilan pihak penegak hukum mengalami kesulitan, karena Jo meninggal setelah lima belas hari dirawat di rumah sakit. Tapi atas kesaksian isteriku, aku dijebloskan ke bui selama 7 tahun. Cuma satu yang meringankanku, tak pernah dihukum dan menyesal telah menganiaya saudara sepupuku itu. Belum lengkap penderitaanku, karena setelah keluar dari penjara aku harus melakukan proses perceraian di Pengadilan Agama.
Ya Tuhanku, masih adakah pintu taubat terbuka untukku? Hanya itu yang bisa kuucapkan setiap kali aku sholat. Thole anakku pun rupanya juga membenciku, dan itu mungkin karena provokasi dari orang-orang luar, termasuk mertuaku.
Bagaimana dengan Melati? Dia pernah menemuiku dan mengatakan sebenarnya dia masih mencintaiku. Dia ingin kembali padaku. Mungkinkah? Hatiku yang paling dalam mengatakan, “Maaf, hal itu tidak mungkin lagi, Melati. Maafkan aku, cintaku telah terkubur bersama dendamku....”
Kini, kupasrahkan hidup dan matiku hanya kepada Tuhan...!
Kisah mistis ini dituturkan oleh Yan

PEREMPUAN BUTA BERSUAMI JIN MUSLIM

Penulis : DEWI WULANDARI


Kisah mistis ini ditulis berdasarkan penuturan Achmad Busyairi, saksi mata kejadian....

Nama Mbok Maunah, penduduk Desa Bonsari Kidul, Kecamatan Yosowilangun, Kabupaten Lumajang, cukup terkenal pada bilangan tahun 1984 - 1990. Terutama oleh masyarakat di daerah setempat, bahkan banyak dikenal oleh penduduk Kabupaten Lumajang umumnya. Wanita dusun ini terkenal karena kemampuan supranatural yang dimilikinya.
Kemampuan supranatural yang membuat namanya sedemikian kondang adalah karena Mbok Maunah dapat mengobati berbagai macam penyakit. Tapi, apakah sebenarnya rahasia yang dimiliki oleh sosok yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan ini? Perempuan buta ini memiliki ilmu yang sedemikian ampuh berkat bantuan jin muslim yang menikahinya.
Achmad Busyairi, saksi hidup yang merekam perjalanan hidup Mbok Maunah menuturkannya kepada Penulis, untuk kemudian diceritakannya kembali kepada pembaca, dengan harapan bisa diambil hikmahnya.
Maunah, perawan tua yang buta kedua matanya sejak kecil itu hidup sebatang kara. Tanpa orang tua dan saudara, membuat hidupnya terlunta-lunta. Berulangkali dia pindah tempat tinggal. Mencari tumpangan pada saudara-saudara jauh yang mau menerima kehadirannya.
Jangankan ada pria yang mau menikahinya, untuk mendekatinya saja mereka umumnya emoh. Hingga usianya menginjak kepala empat, Maunah masih hidup sendiri dan belum pernah menikah. Untuk menyambung hidupnya, Maunah kerap menjadi tukang pijat dan menerima kebaikan dari tetangga dekatnya.
Walaupun hidupnya sangat sengsara, namun Maunah sangat rajin menjalankan sholat. Suatu ketika ia pernah menyebut, dengan sholat dirinya merasa masih pantas hidup di dunia nan fana ini.
Aku (Achmad Busyairi-Pen) kenal dekat dengannya ketika Maunah tinggal di belakang rumah salah seorang tetanggaku yang sebut saja dengan inisial SM. Ia menempati sebuah kamar kecil yang sebelumnya dipakai untuk gudang penyimpanan barang.
Kedekatanku dengan Maunah disebabkan dua hal; pertama kalau ditelusuri dia masih terhitung saudara jauh denganku. Kedua, karena aku meresa iba melihatnya selalu sendiri hampir di setiap waktu.
Dia baru ada yang menemani bila kebetulan ada tetangga kanan kiri yang datang minta dipijat. Kepandaiannya memijat sebenarnya kurang begitu mumpuni. Kalaupun ada tetangga yang memanfaatkan jasanya, disebabkan karena mereka merasa iba dan ingin berbagi sedikit rejeki dengan perempuan buta ini.
Ketika pertama kali kenal dekat dengan Maunah, aku tidak melihat ada sesuatu yang aneh pada dirinya. Cerita-cerita yang keluar dari mulutnyapun tidak jauh dari seputar perjalanan hidup serta penderitaan-penderitaan yang dialaminya.
Baru setelah tiga bulan kemudian, kejanggalan-kejanggalan mulai tampak pada diri perempuan buta itu. Dia kerap bercerita tentang diri laki-laki yang selalu dipanggilanya "Om". Menurut penuturannya, dia sering diajak jalan-jalan oleh Om ke puncak Gunung Semeru, ke Alas Purwo, ke Pantai Parangtritis, juga mandi di Ranu Pane.
"Pekerjaan Om memberi makan burung perkutut milik Mbah Gimbal di Puncak Gunung Semeru. Jadi aku sering diajaknya kesana," tuturnya suatu ketika dengan wajah bercahaya layaknya orang yang sedang jatuh cinta.
Mendengar penuturannya yang aku anggap ngelantur itu, aku semakin bertambah iba. Menurut dugaanku dia terobsesi dicintai oleh seorang laki-laki, sehingga menciptakan sosok imajiner di dalam kehidupannya. Bahkan aku sempat menduga, perempuan buta itu sudah mulai gila. Apalagi ketika pada suatu hari dia menyampaikan rencananya untuk menikah.
Menikah? Tentu saja aku sempat tertawa dalam hati mendengar cerita Mauna ini.
"Sehabis Isya nanti Om datang bersama penghulu. Kamu maukan menjadi wali nikahku?" pinta Maunah yang sekali lagi membuatku menahan senyum.
"Tolonglah, aku sudah tidak punya orang tua dan saudara. Di sini hanya kamu orang yang dekat denganku," katanya setelah mendapatkan diriku tidak berkomentar apa-apa atas perkataannya barusan. Kata-katanya yang terakhir ini terus terang membuatku sangat terenyuh.
"Baiklah. Kalu kau pasrahkan wali nikah kepadaku, aku bersedia," jawabku sekedar untuk menghibur hatinya.
"Terima kasih atas kebaikanmu, Achmad!" ujarnya dengan wajah berseri-seri.
Meski aku masih sangsi dengan rencana pernikahan yang disampaikan Maunah itu, tak urung sebelum Isya aku datang ke tempat tinggalnya yang sempit itu. Ini kulakukan tak lebih agar tidak membuatnya kecewa.
Malam itu, kami menghabiskan waktu dengan membicarakan calon pengantin pria. Entah bagaimana, Maunah begitu yakin dengan sosok yang disebutnya Om itu. Aku yang lebih sering menjadi pendengar sempat merasa geli menyimak penuturan Maunah yang seolah tidak ada habisnya bercerita tentang diri calon suaminya itu. Perasaan geli yang bercampur dengan iba.
Kurang dari setengah jam setelah adzan Isya berkumandang, pintu diketuk dari luar, disusul suara uluk salam yang terdengar berat dan dalam. Aku membalas salam itu sambil beranjak dari tempat duduk dan membuka pintu.
Anehnya, ketika pintu terbuka, aku lihat di luar tidak ada orang. Tentu saja aku jengkel, karena kuanggap ada seseorang yang sengaja usil menggoda kami. Tapi, sebelum rasa jengkel itu sempat hilang, suara yang tadi mengucapkan salam sudah terdengar lagi di dalam ruangan.
"Tutup saja pintunya. Saya sudah berada di dalam," kata suara itu, membuatku terkejut. Aku semakin terkejut ketika mengetahui di dalam ruangan tidak ada siapa-siapa, kecuali Maunah. Lalu, suara siapa sebenarnya yang kudengar barusan itu?
"Duduklah, dan tidak perlu takut. Aku calon suami Maunah. Aku dari bangsa Jin dan beragama Islam. Aku datang kesini bersama penghulu dari bangsa kami, dan meminta bantuanmu untuk bersedia menjadi wali nikah bagi Maunah," kata suara itu menjelaskan jati dirinya juga keperluannya.
Aku yang masih terbawa oleh perasaan takut, hanya mengiyakan semua perkataannya, dengan tubuh gemetar. Ketika prosesi pernikahan berjalan, tubuhku bersimbuh keringat dingin. Kesadaranku seolah hilang dari awal hingga akhir acara. Bahkan ketika pulang ke rumah, kejadian yang aneh itu terbayang terus di pelupuk mataku. Bagaimana mungkin hal yang sangat musykil itu sungguh-sungguh terjadi?
Esok harinya aku jatuh sakit. Mungkin karena terbawa oleh perasaan takut yang teramat sangat. Tapi entah kenapa, aku tidak mempunyai keberanian untuk bercerita kepada siapapun juga tentang pernikahan Maunah dengan bangsa Jin Muslim itu. Aku bahkan sengaja menghindar dengan pergi ke rumah saudara di luar kota, dua minggu lamanya.
Pulang dari luar kota, kabar tentang pernikahan Maunah sudah menjadi rahasia umum. Beberapa tetangga malah sempat memintaku bercerita tentang peristiwa pernikahan itu. Dan yang membuatku mengembangkan senyum, kabarnya kini Maunah setiap hari kebanjiran tamu. Mereka datang untuk berobat. Karena sejak pernikahan itu, Maunah dipercaya memiliki kemampuan supranatural yang dapat menyembuhan segala macam penyakit. Tentu saja kemampuan yang didapatkannya dari Jin Muslim suaminya.
Untuk membuktikannya, kau berkunjung ke tempat tinggal Maunah. Ternyata benar. Sebelum bisa bertemu dengan perempuan buta itu, aku harus antri terlebih dahulu. Tapi aku bersyukur, sifat Maunah tidak berubah meski hidupnya tidak lagi kekurangan. Dia tetap menerimaku dengan ramah, dan menuturkan banyak cerita sebagaimana hari-hari sebelumnya.
Tidak hanya Maunah. Suaminyapun juga baik. Bila tidak sedang ada tamu, jin yang lebih suka dipanggi Om itu, selalu mengajakku bercengkrama. Tentu saja aku hanya bisa mendengar suaranya, sedang wujudnya tak pernah aku lihat. Aku tidak lagi takut sebagaimana saat akad nikah dulu, meski makhluk yang aku ajak berbicara tidak terlihat dengan mata. Aku bahkan merasa senang, karena dari perbincangan kami, banyak pengetahuan yang bisa aku serap, terutama pengetahuan tentang dunia gaib.
Satu hal yang membuatku merasa dihargai, Maunah dan suaminya masih suka meminta saran dan pendapatku bila sedang menghadapi masalah. Sebagaimana yang terjadi pada malam itu.
"Pak SM mau mencalonkan diri dalam pemilihan Kepala Desa bulan depan nanti. Dan dia memintaku untuk membujuk Om agar bersedia membantu Pak SM dalam pelaksanaan pemilihan nanti," tutur Maunah.
"Membantu bagaimana?" tanyaku.
"Membantu mempengaruhi kesadaran para pemilih, agar menjatuhkan pilihan mereka pada Pak SM."
"Wah, itu namanya curang!"
"Aku juga punya pikiran seperti itu," kata Om dengan wujud yang tak terlihat.
"Karena itu, tadi sebelum kamu datang, aku sempat bicara pada Maunah agar menolak permintaan Pak SM. Sebenarnya bisa saja aku melakukan perbuatan curang seperti itu. Tapi aku takut dosa. Kau tahu sendiri, selama ini aku hanya mau membantu tamu-tamu yang niat dan tujuannya baik. Bila niat dan tujuannya jelek, aku tidak pernah bersedia membantu mereka. Malahan Maunah aku suruh menasehati tamu itu. Hal itu aku lakukan tidak lain karena kau takut dosa," panjang lebar Jin Muslim itu berbicara.
"Aku sendiri sebenarnya juga tidak setuju dengan niat Pak SM. Tapi untuk menolak rasanya sulit. Selama ini dia telah banyak menolongku, utamanya memberikan tempat ini untuk aku pakai. Bila aku menolak, dia pasti akan mengusirku dari sini," Maunah berkata setengah mengeluh.
"Tidak usah takut bila Pak SM mengusirmu dari sini. Bumi Allah masih terbentang luas untuk kamu tempati," nasehat suaminya.
Akhirnya Maunah memang menolak permintaan Pak SM, dan kursi kepala desa yang diperebutkan jatuh ke tangan Parman. Sebagaimana dugaan semula, begitu gagal dalam pemilihan kepala desa, Pak SM langsung menyuruh Maunah pergi dari bekas bangunan gudang miliknya itu. Maunah tentu saja tak bisa melawan kehendak sang pemilik tempat.
Setelah meninggalkan tempat tinggalnya yang lama, Maunah ditampung untuk tinggal bersama keluarga Pak Dulalim. Pada saat itu rumah keluarga Pak Dulalim boleh dikatakan sangat berantakan. Rencana untuk memperbaiki rumah terhenti di tengah jalan karena kehabisan biaya.
Tapi beberapa bulan setelah Maunah tinggal bersama mereka, pembangunan rumah diteruskan kembali. Bahkan ketika jadi, rumah itu jauh lebih megah dari rencana sebelumnya. Apakah biaya pembangunan rumah dibantu oleh Maunah dan suaminya, ataukah hasil kerja keras dari pak Dulalim sendiri, aku kurang tahu. Karena sebulan setelah Maunah pindah, aku pergi dan tinggal di lain kota.
Berita terakhir yang aku dengar tentang diri Maunah, dia tinggal bersama saudara jauhnya bernama Asiyah di Jatiroto. Di tempat itu pula perempuan buta yang bersuamikan Jin Muslim itu meninggal dan dimakamkan.

TERBEBAS DARI CENGKRAMAN JIN KAFIR

Penulis : ITONG R. HARIADI


Pengalaman mistis dan menyeramkan ini dialami langsung oleh seorang dai di daerah, yang berkenan disamarkan namanya sebagai Nok Tiyah....

Malam itu Nok Tiyah yang baru pulang mengaji. Ia sedikit merinding ketika melewati pohon waru di pinggir kali. Sembari membaca beberapa ayat suci Al-Qur’an, Nok Tiyah berusaha menenangkan hatinya. Tapi selang beberapa langkah, tiba-tiba di hadapannya ada sebuah asap, yang semakin lama semakin menebal. Dan saat itulah, telah berdiri di hadapan Nok Tiyah, sesosok makhluk yang mengerikan.
Melihat pemandangan tak lazim di hadapannya, Nok Tiyah berusaha menenangkan dirinya dengan kembali membaca ayat suci. Tapi mulut mungilnya seolah terkunci, tak bisa berbuat apa-apa.
“Tenang saja, gadis ayu, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin kenalan denganmu,” ujar makhluk itu sembari tertawa.
Di tengah kebingungan yang melanda, tanpa disadari Nok Tiyah, wajah seram itu berubah wujud menjadi seorang kakek berjenggot panjang. Lelaki tua itu mengenakan jubah panjang berwarna putih. Dia mengatakan bahwa Nok Tiyah bisa memanggilnya dengan sebutan Ki Warudinata, jika gadis itu membutuhkan sesuatu. Setelah mengucapkan kata-kata, kakek berjubah putih tadi menghilang.
Nok Tiyah yang terpaku, kemudian langsung ambruk ke tanah.
Aneh, ejak mengalami peristiwa di pinggir kali itu, Nok Tiyah sering terlihat melamun. Karena itulah ia memutuskan untuk sementara waktu menghentikan kegiatan mengajinya.
Pada suatu hari Nok Tiyah sedang asyik duduk di teras rumahnya. Ia melihat Sarwanti, gadis tetangganya yang lumpuh akibat tertabrak sebuah angkot. Gadis itu sedang berjemur di depan rumahnya. Melihat keadaan tetangganya yang memelas, timbul rasa iba di hati Nok Tiyah. Saat itulah Nok Tiyah teringat akan ucapan mahkluk halus penunggu pohon waru yang siap membantunya kapan saja. Nok Tiyah ingin membuktikan ucapan kakek tua yang mengaku bernama Ki Warudinata.
Nok Tiyah berniat menyembuhkannya. Sambil berkomat-kamit dia memanggil Ki Warudinata untuk membantunya menyembuhkan penyakit yang diderita Sarwanti.
Ketika Nok Tiyah memejamkan mata, Sarwanti merasakan ada sebuah kekuatan aneh seperti sengatan listrik yang mengaliri seluruh tubuhnya. Dengan sigap, Nok Tiyah menempelkan telapak tangannya pada kedua kaki Sarwanti. Setelah setengah jam menempelkan tangannya, Nok Tiyah mengatakan bahwa Sarwanti sudah bisa berdiri. Aneh, ternyata memang benar.
Seiring dengan perkembangan waktu, kejadian yang menimpa Sarwanti segera tersebar ke seluruh penjuru Desa Sukajadi. Tak bisa dibendung lagi, semakin banyak orang yang ingin minta pertolongan Nok Tiyah.
Yang terjadi kemudian, dari hari ke hari, tamu yang datang ke rumah Nok Tiyah seperti air yang mengalir. Dengan semakin banyaknya tamu yang datang, perubahan demi perubahan terjadi. Nok Tiyah telah mampu membangun rumah di sisi halaman rumah orang tuanya yang miskin. Nok Tiyah yang dikenal gadis lugu yang pemalu, kini telah berubah menjadi gadis cantik yang lumayan berada.
“Kalau dibiarkan saja akan jadi petaka bagi Nok Tiyah sendiri. Dia telah terpengaruh oleh jin. Anak kalian akan terus menjadi budaknya. Selamanya Nok Tiyah akan terus percaya kepadanya dan melupakan Allah,” jelas Kiai Maksum kepada kedua orang tua Nok Tiyah yang telah menjelma menjadi dukun parewangan itu.
Mendengar perkataan Kiai maksum, orang tua Nok Tiyah jadi ketakutan, sebab mereka tidak mau anak semata wayangnya menjadi budak setan. Keduanya langsung meminta bantuan pada sang Kyai untuk segera memusnahkan semua ilmu yang dimiliki Nok Tiyah.
Malam itu, setelah sembayang Isya berjamaah, tanpa banyak bicara, Kyai yang berusia setengah abad itu langsung mengajak salah satu santrinya untuk pergi ke rumah orang tua Nok Tiyah. Ketika sampai di halaman rumah Nok Tiyah, betapa terkejutnya sang Kyai. Secara tiba-tiba, Nok Tiyah yang duduk di teras ruang tamu langsung menyerangnya dengan sebilah belati. Untuk dia bisa dibekuk dan langsung diikat di sebuah kursi. Ketika itulah dari tubuh Nok Tiyah keluar asap yang kemudian menjelma menjadi sosok makhluk menyeramkan. Kecuali Kyai Maksum, semua yang hadir segera mundur ketakutan.
"Aku paling tidak suka urusanku dicampuri oleh orang lain!” geram mahkluk menyeramkan itu sambil menyerang sang Kyai.
Mendapat serangan mendadak seperti itu, sang Kyai hanya berkelit sedikit. Bahkan dengan tasbihnya dia menyerang balik. “Allahu Akbar!” pekik Kyai Maksum sambil terus memukulkan tasbihnya ke arah makhluk hitam itu. Persis ketika biji tasbih menyentuh tubuhnya, makhluk halus itu langsung menjerit histeris.
Bersamaan dengan itu Nok Tiyah jatuh pingsan. Setelah siuman, Kyai Maksum mengatakan bahwa Nok Tiyah sekarang bukan lagi sebagai budak jin penunggu pohon waru. Ia harus seperti dulu, kembali menjalankan perintah agama dan giat mengaji.

TIGA MALAM DIBAWA HANTU PABURU PENGHUNI SINGALANG KARIANG

Penulis : ADRIANWAR


Aneka keanehan kerap terjadi di tikungan jalan yang cukup angker ini. Salah satunya adalah keberadaan hantu Pabaru yang senang menculik manusia....

Nama Singalang Kariang, mungkin tak akan asing lagi bagi orang yang pernah melintasi jalan protokol yang menghubungkan Padang-Bukit Tinggi, atau Padang-Batusangkar di daerah Sumatera Barat. Ketajaman tikungan dan ketinggian tanjakan menjadi fenomena bagi sopir-sopir truk dan bus yang melintasi jalan ini. Tapi bukan hanya tajamnya tikungan dan tanjakan saja yang berkesan bagi orang-orang yang pernah melewatinya. Kejadian mistis yang beragam juga bisa dijumpai disana.
Bermacam cerita tentang angkernya lokasi ini seakan tak pernah ada hentinya, terutama dituturkan oleh sopir-sopir. Ada yang mengaku prenah melihat harimau besar penunggu tanjakan, ada juga yang mengaku pernah melihat makhluk tinggi besar yang dipenuhi bulu hitam menyebarang jalan.
Walau lokasi ini sangat terkenal keangkerannya. Buktinya, ada juga pedagang asongan yang menjadikan tempat ini sebagai areal usaha mereka. Singalang Kariang sebagai halte penungguan bus menjadi tempat mereka menjajakan dagangan.
Ada kisah mistis menarik sekaitan dengan aktivitas para pedangang asongan itu. Salah seorang di antara mereka, pernah disekap selama tiga malam oleh Pabaru, hantu yang terkenal di daerah itu. Nah, Penulis menuturkan kisahnya seperti berikut ini....
Kerasnya tuntutan hidup, membuat kami melupakan rasa takut. Beberapa orang di antara kami pedagang asongan, jarang yang berani turun di lokasi Singalang Kariang pada malam hari. Dari tujuh puluh orang yang biasa berjualan dilokasi itu pada siang hari, cuma ada empat orang yang mempunyai keberanian untuk berjualan pada malam hari.
Salah satu dari keempat pengasong itu adalah Dedi Rahmat. Entah datang dari mana keberaniannya, dia seperti tak pernah terpengaruh dengan cerita-cerita yang beradar di Singgalang Kariang.
Dedi Rahmat, sepulang berjualan sering bekerja sebagai Banpol (semacam polisi cepek-Red) ditanjakan Singalang Kariang. Memang, tanpa bantuan dari Banpol, truk-truk yang bermuatan berat sedikit ragu untuk menaiki tanjakan. Dari sejumlah Banpol itu, hanya Dedi Rahmat yang berani bekerja sampai larut malam.
Merasa bekerja sebagai Banpol lebih mendatangkan hasil, Dedi meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai pedagang asongan. Setaip malam dia menjadi "polisi cepek" di areal tanjakan angker itu. Karena keberaniannya ini, para pedagang asongan yang berjualan malam hari menjadi bertambah banyak.
Memang Dedi terkenal sangat pemberani. Ia mengaku telah banyak melihat wujud penghuni Singalang Kariang. Misalnya saja, dia pernah melihat bola api yang melintasi jalur itu. Bahkan dia juga pernah didatangi makhluk tinggi besar yang menyerupai gorila. Pernah pula melihat tiga orang bocah telanjang yang sedang bermain-main ditepi jalan.
Berkat keberanian yang dimilikinya Dedi tak pernah lari dan berniat untuk menghentikan pekerjaannya sebagai Banpol.
***

Jum'at sore. Waktu itu hujan turun sangat lebat. Bus yang melintasi Singalang Kariang tiba-tiba terperosok di tepi jalan. Banyak penumpang mengalami luka-luka, dan tiga orang meninggal dunia. Sedangkan sopir bus dapat selamat tanpa sedikitpun luka. Sopir itu mengatakan kecelakaan itu terjadi disebabkan oleh keterkejutannya ketika melihat bayangan hitam melintas di jalan, hingga secara reflek kakinya menginjak rem dan stir dibantingkan ke kiri, sehingga membentur tembok pengaman. Silaing Kariang semakin seram akibat kejadian itu.
Baru sehari setelah kejadian, dua orang pemuda yang melintasi jalan itu dengan menggunakan kendaraan Kijang Super, pingsan di atas tanjakan. Ketika mereka siuman, mereka menceritakan kalau mereka baru saja menabrak dua orang anak kecil yang melintas di jalan itu.
Mendengar laporan kejadian, orang-orang yang pernah melihat sesuatu di sana sangat membuat pedagang asongan takut.
Malam minggu waktu itu, aku (Penulis) turun di Singalang Kariang kira-kira pukul 22.00 WIB. Kendaraan masih ramai. Maklum malam minggu.
Aku duduk di tembok jalan sambil melihat ramainya jalan. Tapi entah apa yang membuatku sangat ingin berjalan mendekati batu cadas di depan tempatku duduk. Dan saat itu aku melihat seorang berpakaian serba hitam, membawa dua ekor anjing. Aku mendekatinya tapi dia menjauh dariku.
Ketika aku berhenti mendekatinya, dia pun berhenti seakan memberiku waktu untuk terus mendekati. Aku pun berjalan kembali untuk mendekatinya. Dia pun berjalan kembali untuk menjauhiku, begitu seterusnya.
Entah berapa jauh jarak yang aku tempuh untuk mengikutinya. Aku tak tahu pasti. Yang jelas, dalam perjalanan itu aku banyak melewati rumah-rumah mewah bagaikan melintasi sebuah kota besar. Padahal, dalam keadaan normal di tempat itu tidak ada rumah mewah dan tempatnya juga cukup sepi.
Sesampai di sebuah rumah, yang rupanya rumah milik orang yang kuikuti, kulihat orang itu memasukkan anjing-anjingnya ke kandang, Anehnya, dia juga membawa aku masuk ke rumahnya.
Walau kami seperti sudah saling mengenal, namun tak ada percakapan yang terjadi antara aku dengannya. Ketika aku masuk ke rumah itu, aku disuguhi minuman dan makanan. Bahkan kemudian aku diajak bertamu ke rumah-rumah mewah yang dia katakan sebagai tetangganya.
Setelah berkeliling, aku kemudian dipersilahkan tidur di salah satu kamar. Entah berapa lama aku tertidur. Ketika aku terbangun, aku sudah berada di pangkuan pak tua yang menyelamatkan aku. Pak Tua itu telah menemukanku tidur diatas dahan kayu yang tak terlalu besar untuk menahan tubuhku.
Pak Tua yang kemudian kuketahui bernama Pendi Khatik Marajo itu mengatakan, bahwa ia menemukanku ketika hendak mencari daun untuk ramuan obat. Dia melihatku tertidur diatas dahan kayu dengan pulasnya.
Karena telah mengerti apa yang telah terjadi, Pak Pendi segera memajat pohon itu dan membawaku turun. Dengan keahlian yang dimilikinya dia membaca mantra untuk membebaskan aku dari pengaruh setan.
Aku menceritakan apa yang bisa kuingat kepada Pak Pendi tanpa satupun yang tersisa. Pak Pendi memberiku ramuan yang harus kuminum untuk membersihkan perutku dari jamuan setan yang telah termakan olehku.
Kemudian Pak Pendi menceritakan kepadaku kalau yang telah membawaku itu adalah hantu Paburu. Pak Pendi juga mengatakan kalau aku bernasib mujur, karena jarang orang yang telah dibawa berhari-hari dapat ditemukan kembali. Bulu kudukku merinding mendengar cerita Pak Pendi barusan. Rupanya, aku telah dibawa selama tiga hari tiga malam dan telah banyak memakan ramuan-ramuan setan itu.
Semenjak kejadian itu aku berubah total. Aku tak punya keberanian lagi untuk berjualan malam, apalagi bekerja sebagai Banpol di Singgalang Kariang.
Tiga bulan setelah kejadian itu, tepatnya ketika dua hari memasuki bulan suci Ramadhan tahun 2003, Dedi yang terkenal dengan keberaniannya kerasukan setan di lokasi Singalang Kariang itu.
Dedi yang semula sangat pendiam berubah 90 derajat. Dia sangat suka bercerita, tapi ceritanya suka ngawur. Dedi dirawat di rumah sakit. Tapi setelah tak ada perubahan, Dedi dibawa pulang ke rumahnya dan didatangkan orang pintar untuk mengobatinya.
Namun, tak satupun orang pintar yang dapat menyembuhkannya. Menurut orang-orang pintar yang pernah merawatnya, Dedi dirasuki oleh penunggu Singalang Kariang, memang suara Dedi sering berubah-rubah ketika berbicara. Tapi aku menjadi bertanya sendiri dalam hatiku apa benar tubuh manusia bisa dimasuki makhluk lain lebih dari satu makhluk?
Kian hari Dedi kian lupa dengan jati dirinya. Dia sering menyebutkan perkataan yang aneh-aneh, kadang dia berbahasa Inggris dan kadang bahasa Jawa.
Ketika ditinggal sendirian di rumah ketika semua orang pergi mengikuti shalat sunnah Idul Fitri, Dedi berlari keluar rumah sambil membawa sejerigen minyak tanah dan sebungkus korek api. Ia memandikan diri dengan minyak tanah ke sekujur tubuhnya dan menyalakan korek api untuk membakar tubuhnya.
Api segera membakar tubuhnya. Tetangga yang melihat api yang berjalan, segera berupaya memadamkannya ketika tahu kalau Dedi lah yang berada di balik api tersebut. Api dapat dipadamkan dan Dedi tersungkur jatuh dengan badan melepuh.
Dedi dilarikan ke rumah sakit yang berada di kota Bukit Tinggi. Kemacetan jalan karena ramainya kendaraan di jalan dihari lebaran itu membuat aku dan kawan-kawan menangis menahan haru, mendengar suara erangan kesakitan yang keluar dari mulut Dedi.
Kami sangat menyayangkan apa yang telah terjadi pada Dedi. Padahal dia seorang pemberani dan bertanggung jawab. Demi menghidupi keluarganya dia menghapus rasa takut di hatinya.
Hampir satu tahun aku tak berani untuk menceritakan peristiwa yang pernah kualami. Keanngkeran Singalang Kariang yang sebelumnya hanya kuanggap hanya cerita untuk menakut-nakuti saja, tapi semuanya telah aku alami, ditambah lagi aku harus kehilangan Dedi yang mati secara tragis akibat membakar dirinya sendiri.
Aku menuliskan semua ini setelah mengumpulkan keberanianku. Aku merasa semua ini lebih baik diketahui banyak orang untuk menghilangkan kesombongan seperti yang kami alami selama ini.

HANTU CIN PIT PENGUASA JALAN SETAPAK

Penulis : L. RAMLI


Hantu ini kerap muncul dengan wajah murung. Konon, dia mencari keluarganya yang hilang. Bagaimana kisah mistisnya....

Hantu bermata sipit atau lebih dikenal dengan sebutan hantu Cin Pit ini, kalau malam hari suka menamapakkan diri. Warga setempat sering melihatnya, kalau kebetulan lewat menuju jalan setapak, kurang lebih 100 meter dari perumahan warga.
Di sebuah sudut kampung desa Sindang Kasih, Majalengka, beberapa tahun yang lalu, warga sekitar sempat dihebohkan dengan munculnya kabar hantu wanita cantik. Hantu wanita yang belakangan diketahui sebagai penunggu jalan setapak, yang terletak berdampingan dengan aliran sungai sebelah timur desa Sindang Kasih, kabarnya tengah mencari keluarganya yang hilang.
Entah peristiwa pahit apa yang menimpa keluarga sang hantu ini. Setiap malam, dia selalu tampak murung bahkan berkadang suka menangis. Dia duduk "emok" sendirian di jalan setapak itu, hingga keberadaannya sempat membuat warga sekitar ketakutan.
"Sepertinya, sang hantu sengaja menampakkan wujudnya kepada manusia. Seolah dia ingin berbagi kesedihan dengan kami-kami ini," tutur Dirja, seorang warga yang bermukim tak jauh dari area sungai.
Ia menuturkan, sebenarnya sudah sejak lama jalan setapak yang menghubungkan arah ke sungai Sindang ini dikenal angker. Masyarakat setempat menganggap keangkeran jalan itu dikarenakan dulunya ada sebuah sumur, yang sengaja digali bukan untuk mendapatkan sumber air, melainkan digunakan untuk tempat membuang mayat manusia.
Konon, mayat-mayat yang dibuang di sumur itu adalah keturunan Cina. Mereka mati dibunuh warga pribumi, karena diduga bersengkongkol dengan orang-orang komunis (PKI). Termasuk mayat seorang gadis Cina yang juga mati dibunuh dan dikubur di sumur itu. Disatukan dengan mayat keluarganya.
Sekarang sumur itu sudah tidak ada karena diratakan menjadi jalan setapak. Namun akibat dari itu, jalan yang menghubungkan ke sungai Sindang ini kurang berfungsi, khususnya malam hari. Sebab menurut kesaksian, menjelang Maghrib hingga tengah malam, di areal jalan kerap terjadi penampakkan makhluk halus. Dan rata-rata yang sering dilihat para saksi mata adalah wujud perempuan cantik berpakaian ala China, sedang berdiri atau duduk sambil menutupi wajahnya.
"Aku sering menjumpai hantu Cin-Pit ini sedang bergelayut di sebuah batang pohon, lalu turun dan berdiri di tengah-tengah jalan. Mulutnya selalu menyebut-nyebut sebuah nama yang sepertinya sangat dicintainya. Nama siapa lagi kalau bukan dari keluarganya yang mati akibat dibunuh itu," jelas pak Dirja yang mengaku tahu betul tentang peristiwa penguburan mayat orang Cina, yang terjadi sekitar tahun 1968 silam.
Diceritakan Pak Dirja, peristiwa tragis itu terjadi pada saat warga kampung diresahkan oleh sekelompok pemberontak negara (komunis), yang pada bulan Juli 1965 sebelumnya berhasil memporak-porandakan warga Sindang Kasih terutama keluarga para Kyai, yang saat itu dibantai secara keji.
Sebelum penyerangan, rupanya keluarga Tang Soe Kim bersengkongkol dengan orang komunis, lalu memberitahukan keberadaan rumah yang ditempati para Kyai yang diduga sebagai penghasut masa untuk menbenci gerakan mereka.
Karena terungkap keluarga Tang Soe Kim, merupakan penyebab kematian para pemuka agama, diam-diam warga sekitar menaruh benci pada keluarga bermata sipit itu. Tepat di bulan Agustus 1968, rencana warga untuk membunuh keluarga Tang Soe Kim pun berhasil dilaksanakan. Nyaris tidak ada yang tersisa, mereka mati dibunuh secara keji pula di tangan pribumi.
Namun rupanya, peristiwa mengenaskan itu tak diduga bakal berbuntut lain. Roh-roh orang Cina yang telah dikubur di dalam sebuah sumur, ternyata kalau malam hari suka bergentayangan tak jauh dari tempat itu.
Praktis, dalam seminggu sejak berita kematiannya, para warga selalu diteror dan ditakut-takuti. Bahkan banyak warga yang jatuh pingsan ketika secara tak sengaja bertemu sosok makhluk halus di jalan setapak, yang di dalamnya terdapat mayat-mayat orang Cina itu.
Akhirnya sejak kurun itu, praktis tak ada lagi yang berani lewat ke jalan tersebut, khususnya malam hari. Akibat sering terjadinya peristiwa ganjil di jalan setapak itu, akhirnya pada tahun itu juga warga mendatangkan orang pintar untuk menyempurnakan roh-roh orang Cina yang suka bergentayangan, dimana pemunculannya kerap merasahkan warga.
Orang pintar yang sengaja diundang pun menyanggupinya dan segeralah melaksanakan ritual khusus sendirian di waktu tengah malam, dengan menggelar tikar peris letaknya di tengah jalan setapak.
Hasilnya cukup menggembirakan. Hingga tahun 2000, nyaris tak ada warga Sindang Kasih yang bertemu hantu penasaran itu. Cuman, dari tahun 2000 hingg sekarang, konon ada sebagian warga yang sempat menjumpai lagi hantu wanita yang berkeliaran tak jauh dari areal itu. Tapi karena dianggap tidak cukup mengganggu, warga pun membiarkannya.
"Kami yakin hantu wanita yang suka muncul dan maujud masih dari keturunan keluarga Tang Soe Kim, dan terbukti tidak mengganggu kenyamanan kami," tutur Endang, anak sulung pak Dirja yang tarut berbincang bersama penulis.
Dijelaskan olehnya, keberadaan hantu tersebut akan terus bergentayangan untuk mencari keluarganya yang hilang. Sungguh malang nasib hantu wanita ini.

Selasa, 19 Februari 2008

PESUGIHAN RENTENIR

Penulis : ENNY JIP


Siapapun yang berutang kepada rentenir itu sudah pasti tidak akan pernah sanggup membayarnya. Utang yang tak berbayar bakal ditebus dengan nyawanya...!

Siang itu, dua orang pemuda berjalan cepat menuju Desa Margayoso. Walau berasal dari daerah yang berbeda, namun keduanya menimba ilmu yang sama. Karena mendapat kabar buruk mengenai kedua orang tuanya di desa, maka Mustafa pun memutuskan untuk pulang ke Desanya dengan mengajak Fauzi, pemuda yang sholeh dan taat beribadah.
Sudah hampir sebelas tahun di pesantren Al Huda, Jawa Timur, yang dipimpin oleh Kyai Shoheh, Fauzi menjalani puasa sunnah Nabi Daud AS. Dan kebiasaan itulah yang membuat dia memiliki berbagai kelebihan ketimbang santri lainnya. Fauzi mempunyai beberapa ilmu yang kesemuanya dikuasai dengan nyaris sempurna. Di antaranya, ilmu Gendam Dahana Sukma dan Ilmu Meraga Sukma yang bisa menundukkan jin kafir
Mereka sudah hampir tiba di lokasi pekuburan umum yang sangat luas dan letaknya agak terpencil. Ketika jalan setapak di samping pekuburan yang mereka lewati hampir habis, mendadak Fauzi menahan langkah Mustafa.
"Mus, berhenti dulu sebentar. Nampaknya, di dalam sana sedang ada mayat yang baru dikubur," kata Fauzi.
Mustafa melayangkan pandangannya ke arah kuburan. Ia melihat beberapa orang lelaki, tengah menurunkan mayat ke dalam liang lahat.
"Mus, sebaiknya kita ke sana sebentar! " ajak Fauzi.
"Untuk apa?" tanya Mustafa.
"Kita ikut mendoakan si mayat agar arwahnya mendapat ketenangan dan pengampunan di akhirat nanti," ajak Fauzi.
Sebetulnya Mustafa ingin protes. Di benaknya, ia hanya ingin agar secepatnya sampai di rumah guna melihat keadaan ibu, bapak, adik, dan saudara-saudaranya.
Setibanya di sana, ternyata yang sedang dikuburkan adalah mayat seorang petani yang semalam mati secara tak wajar.
"Mati tak wajar bagaimana, Pak?" bisik Fauzi kepada seorang pelayat.
"Seluruh tubuhnya penuh luka seperti diserang binatang buas, bahkan lehernya nyaris putus," jawab si pelayat.
"Kenapa bisa begitu, Pak?" potong Mustafa.
"Menurut kabar, karena ia tak bisa membayar utangnya kepada seorang rentenir terkaya di desa kami. Sudah banyak korban yang jatuh," jawab lelaki itu.
Sebenarnya, Fauzi ingin bertanya banyak tentang kematian orang yang dianggap tak wajar oleh penduduk desa. Namun, karena kasihan pafa Mustafa yang sangat rindu kepada keluarganya, maka sengaja menyembunyikan semua keinginan itu.
***

Setiba di rumah orang tua Mustafa, malamnya mereka bercengkrama dengan suasana hangat bersama ayahnya Mustafa. Saat inilah ayah Mustafa mencerittakan kesulitannya.
"Bapak terlibat utang pada seorang rentenir di desa ini. Tiap saat utang Bapak selalu bertambah. Kerbau dan sawah sudah Bapak jual untuk melunasi. Tapi jangankan biangnya, bunganya saja sudah mencekik leher," cerita Pak Tukiman, ayahnya Mustafa.
Mustafa terpukul sedih. Ia tidak bisa memberikan saran, kecuali satu; "Jika Bapak sudah terjepit, bagaimana jika rumah ini kita jual."
"Percuma! Sebab Bapak sudah terikat perjanjian dengan rentenir itu," sergah bapaknya.
"Perjanjian apa?"
"Jika dalam tiga kali panen Bapak tidak bisa melunasi, maka nyawalah yang jadi tebusannya. Sebab, saat mengucapkan perjanjian peminjam uang untuk yang ketiga kalinya, Bapak harus membubuhkan cap jempol dengan darah," jelas Pak Tukiman. "Anehnya, sejak itu si rentenir itu tak pernah menagih utang-utangnya," sambungnya.
Fauzi yang semula hanya diam langsung saja menengahi. "Pak, bolehkah saya mengajukan usul?" tanyanya.
"Silahkan, Nak!" ujar Pak Tukiman.
"Sebenarnya, masalah ini bisa dipecahkan. Saya pikir, rentenir itu memang sengaja mencari tumbal dengan cara meminjamkan uang pada orang-orang yang sedang terjepit," jawab Fauzi tegas. "Kalau boleh saya tahu, siapa nama rentenir itu, Pak?"
"Gondo Kusumo. Orang desa sini biasa memanggilnya dengan Pak Gondo."
Sesaat Fauzi terdiam. Ia mengerutkan keningnya, dan setelah itu terdengar kata-katanya; "Benar, dia punya peliharaan yang amat ganas yang tiap tahun harus diberinya makan. Dan makanannya adalah nyawa dari yang terlibat utang dengan pemilik iblis itu."
Fauzi menghela nafas berat. "Padi yang fuso juga perbuatannya. Maksudnya, agar panen calon korbannya selalu gagal, dan akhirnya meminjam uang kepadanya," sambungnya.
"Nak Fauzi, kapan kira-kira iblis itu akan datang kemari? Hari apa, bulan apa, dan jam berapa?" berondong Pak Tukiman, dengan tegang.
"Iblis itu akan datang kira-kira seminggu lagi. Tepatnya, di malam Selasa Kliwon," tegas Fauzi. "Tolong carikan saya orang yang belum dikenal oleh Pak Gondo dan bisa mengantarkan saya ke rumahnya," pintanya kemudian.
Hari itu juga keluarga Pak Tukiman sibuk. Semua anggota keluarga berusaha untuk memenuhi permintaan Fauzi yang telah berjanji akan menolongnya. Dan Mustafa sendiri berusaha untuk menenangkan hati Bapaknya yang mulai dicekam rasa cemas dan takut. Bahkan seisi rumah nampak mulai ketakutan.
"Nak Fauzi, kalau boleh bapak tahu untuk apa mau datang ke tempat tinggal rentenir itu?" tanyak pak Tukiman.
"Untuk meminjam uang sebelum iblis itu datang menagih utang sekaligus nyawa Pak Tukiman," jawab Fauzi.
Meski ragu akan kemampuan Fauzi, namun Pak Tukiman tetap mencarikan orang yang akan mengantarkan Fauzi ke rumah rentenir itu. Ia adalah adik kandung Pak Tukiman yang baru datang dari Lampung, dan untuk sementara tinggal di rumah adik Pak Tukiman yang lain di desa itu juga.
Malam itu juga, di rumah Pak Tukiman berkumpul orang-orang yang akan melaksanakan perintah Fauzi. Dan esok siangnya, Fauzi pergi ke rumah Pak Gondo dengan diantar oleh Sukron.
"Siapakah kalian ini? Dan ada keperluan apa datang kemari?" tanya pak Gondo pada kedua tamunya.
"Nama saya Fauzi, Pak. Dan ini paman saya yang baru datang dari Lampung, namanya Sukron. Baru satu bulan kami tinggal di sini, dan kami datang kemari untuk keperluan penting," tutur Fauzi sopan.
"Perlu penting apa?" tanya Pak Gondo seraya mengerutkan kening.
"Saya dengar Pak Gondo suka menolong orang yang sedang dalam kesulitan. Jadi, bisakah saya meminta tolong kepada Bapak? Saya ingin mencoba berdagang di desa ini, tapi tidak punya modal. Bisakah Pak Gondo meminjamkan uang pada saya? Dan jika usaha dagang saya maju, saya akan secepatnya mengembalikan," kata Fauzi.
"Apakah saudara punya agunan?"
"Maksud bapak?"
"Misalnya, sawah, rumah atau kerbau dan sapi."
"Maaf, saya tidak punya apa-apa selain kepercayaan. Saya berani jamin, dalam tempo sepuluh hari ini saya bisa mengembalikan uang pinjaman itu," kata Fauzi mantap.
"Kalau tidak, apa yang akan saudara lakukan?" tanya pak Gondo.
"Nyawa sayalah sebagai taruhannya!" tegas Fauzzi.
"Kau berani membayar utang dengan taruhan nyawamu?" tanya rentenir itu kaget.
"Ya!" Fauzi mengangguk pasti.
Pak Gondo terkesiap. Baru pertama kali ia menghadapi orang yang berani mati dengan cara yang mengerikan. Akhirnya pak Gondo mengangguk dengan hati penuh tawa kemenangan.
''Berapa uang yang saudara Fauzi butuhkan?'' tanya rentenir itu terburu-buru. Dan Fauzi pun menyebut angka sebesar pinjaman ditambah dengan bunga yang menjadi beban Pak Tukiman. Tarohlah Rp. 25 juta.
''Sebesar itu?'' Pak Gondo agak kaget.
''Ya, pinjaman itu sesuai dengan jaminan nyawa saya, pak.'' kata Fauzi.
''Baiklah. Kapan saudara memerlukannya?''
''Sekarang!''
''Sekarang?''
''Ya.''
''Baiklah. Tunggu, saya ambilkan dulu!'' Pak Gondo pun masuk ke dalam kamarnya. Dan tak lama kemudian, ia sudah ke luar dengan membawa tumpukan uang. Sebelum pulang, Fauzi diminta untuk membubuhkan tanda tangan di selembar kain putih dengan darahnya.
Sekembalinya dari rumah Pak Gondo, Pak Tukiman dan keluarganya terheran-heran ketika Fauzi memerintahkan mereka untuk segera pergi dari desa sejauh-jauhnya.
"Kalau bisa, menyeberang ke pulau lain. Bawalah semua uang ini untuk bekal selama di sana. Nanti kalau keadaan sudah aman, silahkan kembali lagi!" ujar Fauzi sambil menyerahkan semua uang pinjamannya.
"Tapi bagaimana kalau iblis itu datang untuk menagih utang dan nyawa saya?" tanya pak Tukiman.
"Dia tidak bisa mencari bapak, karena saya telah menggantikan diri bapak. Saya akan menghadapi iblis itu dengan segenap kemampuan yang saya miliki," kata Fauzi.
Karena didesak, akhirnya pak Tukiman mengalah. Dengan berat hati, mereka pun meninggalkan desa itu untuk pergi sejauh-jauhnya. Dan dengan berbekal uang pemberian Fauzi, keluarga Pak Tukiman berangkat menuju ke Lampung. Hanya Mustafa dan Sukron yang tetap tinggal di desa itu.
Malam itu, dengan ditemani Sukron dan Mustafa, Fauzi menunggu kedatangan iblis penagih uutang. Segala keperluan yang dibutuhkan sudah tersedia. Keris pun sudah terselip di pinggangnya. Untuk menghadapi iblis itu, ia cukup menusukkan keris pusaka atau menyabetkan tasbih yang selalu dikalungkan di lehernya.
Udara malam itu cukup dingin. Tubuh Sukron dan Mustara menggigil di samping Fauzi yang duduk bersila. Sukron bukan kedinginan karena udara dan angin kencang yang tiba-tiba saja merasuk ke dalam rumah. Ia menggigil karena takut.
Ketika malam makin larut, Fauzi terus berkomat-kamit membaca doa. Entah berapa ribu bait doa-doa yang ia lafalkan. Tiba-tiba saja, telinganya menangkap suara langkah kaki yang sangat berat. Berdebam-debam dan membuat atap rumah seakan hendak runtuh, disusul gemerincingnya rantai yang terseret di tanah.
Iblis itu datang. Fauzi pun bersiap-siap dengan menggenggam hulu keris dan untaian tasbih di pinggangnya. Dan tanpa diketahui dari mana munculnya, tiba-tiba, iblis itu sudah berdiri di hadapannya. Nafasnya terdengar memburu bak bunyi lokomotif tua.
Sejak kemunculan iblis itu, Sukron langsung jatuh pingsan di dekat kaki Fauzi. Sementara, Mustafa menggigil ketakutan di sudut ruangan.
Kedua tangan raksasa yang sebesar batang pohon pisang itu terulur kearah leher Fauzi. Dengan gerak reflek, Fauzi berdiri dan mengumandangkan takbir berkali-kali. Seiring dengan itu, keris yang terselip di pinggangnya, dihunus dan langsung ditusukkan ke perut iblis itu berkali-kali. Untuk beberapa saat, Fauzi terlibat dalam pertarungan yang amat dahsyat.
Beberapa kali tubuh Fauzi terbanting keras. Tapi dengan gesitnya ia langsung melenting dan berdiri sambil menghujamkan kerisnya ke seluruh tubuh iblis raksasa itu. Bahkan, beberapa kali sabetan tangan kirinya yang menggenggam tasbih berhasil mengenai tubuh si iblis.
Tak lama kemudian, raksasa itu mengeluarkan suara pekikan yang amat keras, seolah bunyi petir yang bersahut-sahutan. Kemudian dengan suara lolongan yang panjang dan menyayat hati, tubuh iblis itu terpental menjebol dinding rumah dan hancur berantakan.
Fauzi mengusap wajahnya berkali-kali sambil mengucap Hamdallah dan menyarungkan kerisnya. Mustafa dan Sukron baru terbangun pada keesokkan harinya, dan keduanya mendapatkan tubuh Fauzi yang tengah tertidur lelap di atas ranjang Pak Tukiman.
***

Pagi itu seluruh penduduk desa geger. Pasalnya, rentenir yang bernama Gondo Kusuma itu mati mendadak di rumahnya. Bahkan menurut keterangan seorang penduduk yang siang itu ikut melayat, saat diketemukan oleh istri dan anak-anaknya tubuh pak Gondo dalam keadaan hangus terbakar.
Jerit tangis pilu pun terdengar di sekitar rumahnya. Namun tak ada seorang pun yang berani mendatangi rumah itu. Bahkan hanya beberapa orang saja yang mengantar jenazah almarhum Gondo Kusumo ke pemakaman. Dengan matinya lintah darat itu, kini, kehidupan di desa itu pun kembali tenang dan damai.
Pak Tukiman beserta keluarganya akhirnya kembali ke rumahnya. Sejak kejadian itu, mereka menjadi hamba-hamba Allah yang taat beribadah.

Senin, 18 Februari 2008

KEMBALI KE JALAN ILLAHI SETELAH PENGALAMAN DICULIK HANTU KERANDA MAYAT

Penulis : AHMAT


Selama seminggu dia tak sadarkan diri setelah tubuhnya ditemukan di atas kuburan. Pengalaman bertemu hantu itu membuatnya kembali ke jalan Allah....

Banyak orang yang tidak percaya adanya makhluk halus seperti Genderuwo, Kuntilanak, Jin dan sejenisnya. Tapi banyak pula orang yang percaya dan yakin bahwa mereka itu ada. Dan salah satu orang yang percaya adanya makhluk halus itu adalah aku (Penulis)).
Dulunya, aku tidak percaya sama sekali tentang kisah-kisah berbau hantu. Namun hal itu berubah setelah aku sendiri mengalami sebuah peristiwa yang sangat menyeramkan, sekaligus mengerikan. Pengalaman ini pula yang sekaligus memberiku hidayah untuk kembali menjalankan segala perintah Allah SWT. Ya, sejak peristiwa ini aku kembali rajin menjalankan sholat baik wajib maupun sunnat, padahal sebelumnya aku termasuk pemuda yang berandalan. Karena pengalaman ini pula setiap malam aku kian rajin membaca Al Qur'an.
Kisah mistisku ini terjadi di bulan Mei tiga tahun silam. Tepatnya malam Minggu Kliwon, tanggal 23 Mei 2004 yang lalu. Dan sampai sekarang kejadian ini masih membekas jelas di ingatanku. Mungkin ini akan menjadi sebuah pengalaman mistis yang menakutkan sepanjang hidupku.
Sebagai pemuda yang masih lajang, setiap malam Minggu, aku paling suka menonton hiburan dangdutan, yang ditanggap orang yang sedang mengadakan pesta hajatan. Baik itu di kampungku ataupun di kampung-kampung tetangga. Selain sekedar mencari hiburan, siapa tahu ada gadis yang mau denganku untuk kujadikan pacar. Biasanya kami selalu pergi berombongan dengan mengendarai sepeda motor.
Ceritanya, malam itu terpaksa aku pulang sendirian dari menonton acara dangdutan di kampung seberang. Jarak kampungku dengan kampung seberang kurang lebih 2 Km. Jalan penghubung satu-satunya dari kampungku ke kampung seberang harus melalui perkebunan karet.
Entah mengapa kampung itu disebut kampung seberang. Menurut orang-orang tua, di kampungku karena letaknya di seberang sungailah, maka disebut kampung seberang.
Semua teman-temanku malam itu sudah pulang duluan. Sebenarnya salahku sendiri, karena sebelumnya kami sudah sekapat, jam setengah dua belas malam harus sudah berkumpul di satu tempat yang sudah disepakati untuk pulang bersama-sama. Karena keasyikan menonton acara dangdutan, hingga aku lupa pada kesepakatan itu. Mungkin, karena ditunggu-tunggu sampai pukul dua belas aku belum muncul juga, akhirnya teman-temanku memutuskan untuk pulang saja. Semua teman-temanku mengira, aku sudah pulang duluan.
Sialnya, malam itu aku tidak membawa kendaraan sendiri. Sewaktu pergi tadi, aku dibonceng sepeda motor temanku.
Dengan perasaan jengkel, kuputuskan pulang sendirian saja dengan berjalan kaki. Apalagi jarak kampungku tidak begitu jauh. Perasaan takut tak jadi masalah bagiku. Dari kecil aku tak pernah kenal dengan yang namanya takut. Apalagi dengan hantu, aku sama sekali tidak mempercayainya.
Suara jangkrik mengiringi langkahku menyusuri jalanan yang sunyi. Sesekali suara burung hantu terdengar di kejauhan. Pohon-pohon karet berdiri membisu berjajar di kiri-kanan jalan. Untung saat itu bulan sedang purnama, hingga keadaan jalan tidak begitu gelap.
Untuk mengusir kesunyian, sengaja aku bersiul-siul menyanyikan lagu kegemeranku. Anehnya, begitu sampai di tengah-tengah perkebunan karet, entah mengapa tiba-tiba saja badanku merinding. Kulihat jam di tanganku menunjukkan pukull satu malam.
Tiba-tiba sebatang cabang kayu yang cukup besar jatuh tepat di depanku. Suaranya mengejutkanku hingga jantungku hampir copot.
"Satu langkah lagi, habislah aku," batinku.
Karena menghalangi jalan, kucoba untuk menyingkirkan cabang kayu itu kesamping. Belum lagi cabang kayu itu berhasil kusingkirkan, tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Nyaring sekali. Hati kecilku berkata, "jangan-jangan ini Kuntilanak!"
Kuperhatikan sekelilingku tetapi tidak ada apa-apa. Kembali suara tawa cekikikan itu terdengar. Kuperhatikan kembali sekelilingku. Tapi tetap tidak ada apa-apa. Hanya pepohonan karet yang berdiri mematung tertimpa cahaya bulan.
Lagi-lagi suara tawa cekikikan itu terdengar. Kali ini malah lebih keras dan berulang-ulang. "Benar ini pasti Kuntilanak!" kataku dalam hati.
Karena suara tawa itu terus saja terdengar, bukanya takut malah timbul rasa jengkelku. Dengan penuh emosi, aku berteriak menantang.
"Heiii...Kuntilanak! Jangan ganggu aku. Kalau berani jangan sembunyi-sembunyi, tunjukkan wujudmu. Kau pikir aku takut, dasar setan. Keluar kau!"
Begitu aku selesai berteriak, suara tawa itu pun berhenti. Karena dari kecil aku dikenal sebagai anak yang pemberani menghadapi keadaan seperti ini, tidak ada setitik pun rasa takut di benaku. Malah timbul rasa penasaranku. Seperti apa sih Kuntilanak itu. Kutunggu beberapa saat, tapi suara tawa itu tidak terdengar lagi.
Dengan perasaan jengkel kembali aku bermaksud melangkahkan kakiku. Tapi belum sempat kakiku melangkah, tiba-tiba bahuku ada yang menepuk dari belakang, diiringi sapaan suara perempuan. "Baaang!"
Dengan terkejut, buru-buru kuputar badanku menghadap kebelakang.
Seorang perempuan dengan wajah tertunduk berdiri tepat di belakangku. Entah darimana datangnya. Buru-buru aku mundur beberapa langkah ke belakang, sambil terus memperhatikan perempuan itu. Kulihat baju putih panjangnya menutupi kaki dan tangannya.
Dan tiba-tiba saja tercium bau bunga kantil. Belum sempat aku bertanya pada perempuan itu, tiba-tiba dengan berlahan-lahan perempuan itu menengadahkan mukanya. Di keremangan malam, kulihat wajah perempuan itu pucat sekali. Kedua matanya bolong. Dan dari kedua lubang matanya, memancar sinar merah. Rambutnya acak-acakan.
Spontan rasa takut menyergapku. Baru kali ini aku merasakan ketakutan. Jantungku berdebar kencang manakala secara tiba-tiba perempuan itu tertawa cekikikan sambil memperlihatkan taringnya. Lalu kedua tangannya diacungkan padaku, seolah ingin mencekikku. Kembali aku dibuat terkejut. Ternyata jari-jari tangannya tinggal tulang semua.
"Kun...Kun...Kuntilanak!!" teriakku dengan tergagap. Tanpa pikir panjang lagi kuambil langkah seribu.
Melihat aku lari, Kuntilanak itupun ikut berlari mengejarku. Sekilas dapat kulihat tubuhnya melayang-layang terbang, dengan suara cekikikannya yang mengerikan.
Dengan sekuat tenaga kupercepat lariku. Tapi Kuntilanak itu terus saja mengejarku dengan disertai suara tawanya yang menakutkan. Sementara rasa takut yang kurasakan, semakin menjadi-jadi. Baru kali ini aku merasakan takut yang teramat sangat.
Di saat genting itu, tiba-tiba ada cahaya lampu dari depanku. Begitu ada cahaya lampu, suara tawa Kuntilanak itupun hilang. Dengan terengah-engah kuhentikan lariku. Kulihat ke belakang ternyata benar Kuntilanak itu sudah menghilang. Mungkin karena takut dengan cahaya lampu itu, pikirku.
Sambil mengatur nafas, kutunggu cahaya lampu yang kukira lampu sepeda motor itu mendekat. Kupikir mungkin salah seorang temanku yang ingin menjemputku. Tapi semakin dekat cahaya lampu itu ke arahku, ternyata bukan suara sepeda motor yang terdengar. Justru bau kemenyan dan bunga kantil yang menusuk hidung. Kembali rasa takut mulai menjalariku.
Begitu cahaya lampu itu tiba di depanku, aku pun nyaris pingsan dibuatnya. Astaga! Ternyata cahaya itu adalah rombongan hantu pengusung keranda mayat. Mereka berjalan tanpa menginjak tanah. Badanku seolah tidak berdarah lagi. Jantungku berdegup kencang.
Keberanian yang dulu kubangga-banggakan hilang sudah. Dengan amat jelas kulihat satu orang tanpa kepala dengan leher berlumuran darah, membawa lampu berupa bulatan cahaya yang sangat terang.
Empat orang pengusung keranda mayat, mukanya hancur semua. Dengan badan dipenuhi bercak-bercak darah di sana-sini. Sementara orang-orang yang mengiringi di belakang, tubuhnya juga tidak ada yang utuh.
Mataku melotot tidak bisa dikedipkan. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat mengerikan sekali.
Tiba-tiba, rombongan pengusung keranda mayat itu berhenti saat lewat di depanku. Lalu secara serentak makhluk-makhluk mengerikan itu memalingkan wajahnya dan menatap ke arahku.
Rasa takut yang kurasakan semakin menjadi-jadi. Nafasku memburu karena menahan takut. Wajah-wajah makhluk itu sangat mengerikan. Mereka menatapku dengan tajam. Lalu salah seorang datang mendekatiku. Wajah berlumuran darah mengerikan. Salah satu matanya menggantung keluar hampir copot. Isi perutnya terburai keluar. Dengan jalannya yang seperti robot, makhluk itu mendekatiku.
Ingin rasanya aku lari, tapi kedua kakiku tidak dapat digerakkan. Lalu dengan cepat tangan makhluk itu mencengkeram bahuku. Kucoba meronta melepaskan cengkeramannya. Tapi tidak berhasil. Tenaga makhluk itu sangat kuat sekali. Tubuhku diangkatnya dengan mudah. Lalu dengan cepat tubuhku dilemparkan kearah keranda mayat.
Tubuhku melayang menuju keranda. Dengan tiba-tiba pula, penutup keranda itu terbuka sendiri. Lalu dengan telak tubuhku jatuh ke dalam keranda itu. Dengan cepat penutup keranda itupun menutup kembali.
Aku sudah di dalam keranda, meronta-ronta kesana kemari. Dengan sekuat tenaga kucoba membuka penutup keranda itu. Tapi sungguh sangat sulit.
Aku coba berteriak meminta pertolongan. Tapi tak ada satu katapun yang bisa keluar dari mulutku. Bagai tikus terkena perangkap, aku terus saja meronta-ronta kesana-kemari. Sambil terus berusaha membuka penutup keranda, tapi usahaku sia-sia.
Lalu dengan bersamaan, makhluk-makhluk itu tertawa mengerikan. Kemudian mereka mulai lagi berjalan dengan membawaku, yang terus meronta-ronta. Karena dicekam rasa takut yang teramat sangat, ditambah tenagaku yang semakin lemah, akhirnya aku pun jatuh pingsan. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi.
***

Sayup-sayup kudengar suara orang membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Sesekali diiringi suara orang memanggil-manggil namaku. Dengan berlahan-lahan kucoba membuka mataku. Kulihat disamping kananku ada Pak Haji Ismail yang tengah khusuk membaca Al-Qur'an. Sementara di samping kiriku, kulihat Ibuku yang tengah memandangiku dengan kedua matanya yang sembab, menandakan kalau Ibuku habis menangis.
Begitu melihat aku membuka mata, langsung Ibuku memelukku dan menciumi pipiku sambil terus menangis.
"Alhamdulillah Ya Allah, kau sudah sadarkan diri, Anakku. Terima kasih ya Allah," ratap Ibuku berkali-kali.
Ayahku yang duduk di samping Ibuku, segera menenangkan Ibuku yang terus menangis memelukku. Sementara aku hanya diam. Aku bingung, apa sebenarnya yang telah terjadi denganku.
Pak Haji Ismail yang sedari tadi duduk di sampingku membaca Kalam Illahi, dengan senyumnya yang teduh menyuruhku meminum segelas air putih yang sudah disediakan.
"Sudah satu minggu kamu pingsan, Mat! Kamu ditemukan tergeletak pingsan di tengah kuburan." kata Pak Haji menjelaskan.
Mendengar kata kuburan, aku teringat kembali pada kejadian yang menimpaku. Dengan perasaan yang masih diliputi rasa takut, kuceritakan semua kejadian yang kualami dari awal sampai akhir. Semua orang yang hadir di ruangan itu bergidik ngeri mendengarkan ceritaku.
Sejak kejadian itu hingga sekarang, aku kian rajin mendekatkan diri pada Allah SWT. Kukerjakan lagi sholat, setelah sekian lama kutinggalkan. Kubuka lagi kitab suci Al-Qur'an, setelah sekian lama tidak pernah kubaca. Walaupun kejadian itu masih membuatku trauma pada kesunyian, namun aku kian menyadari bahwa memang ada dimensi kehidupan lain yang diciptakan Allah SWT di samping kehidupan manusia yang nyata ini.
Semoga pembaca semua dapat mengambil hikmah dari peristiwa yang kualami ini.

GARA-GARA ULAH ANAK AMBAR USAHA NYARIS HANCUR

Penulis : GOENAWAN WE


Peristiwa ini dikisahkan oleh Bu Arni, kepada Penulis. Gara-gara ulah anak ambar, usaha cateringnya nyaris bangkrut....

Banyak yang tidak percaya bahwa kelahiran anak yang belum waktunya, orang Jawa lebih suka menamakan trekan atau anak ambar, maka di alam gaib mereka akan tumbuh dan berkembang. Meski lain dunia dengan ayah dan ibunya, menurut kepercayaan, anak ambar ini suatu saat pasti akan meminta sesuatu pada orang tuanya. Kadang ulahnya bikin pusing si orang tua, seperti apa yang dialami Bu Arni.
Tahun 1964, Bu Narni mengandung yang pertama kali dari perkawinannya dengan suami terkasih Bapak Yam. Bayi yang sangat didambakan ini, sayangnya pada usia kandungan 3 bulan, harus keluar ke dunia atau keguguran. Bayi ini dikuburkan di halaman belakang. '
Tahun 1980, rumahnya terkena gusuran proyek PBS, dan dipaksa pindah tempat, termasuk kuburan bayi tersebut dipindahkan di makam leluhurnya. Saat dipindahkan ini, malamnya Bu Narni bermimpi ditemui pemuda ABG yang mengaku sebagai putranya. Wajahnya tampan dan berkulit putih.
“Dia minta dibelikan baju dan celana baru. Tapi waktu itu saya tak tahu siapa dia. Setelah saya tanyakan pada sesepuh kebatinan yang kebetulan masih Eyang saya sendiri, dikatakan kalau pemuda itu anak pertama saya yang keguguran,” cerita Bu Arni.
Sesuai permintaan, pakaian dan celana ditaruh di kuburan si anak ambar yang telah diberi cungkup kecil.
Tahun 90-an, pemuda yang sama menemuinya lagi. Dia menangis dan bersujud di pangkuan Bu Narni.
Dalam pertemuan dua dimensi itu, pemuda itu ternyata di alamnya sana belum dikasih nama. Ia minta diberi nama. Oleh Eyangnya, pemuda di alam lain itu diberna nama Bagus Anggoro. Prosesi pemberian nama ini juga harus dilakukan dengan tradisi bancakan atau pemberian nasi gudangan pada anak-anak kecil sekampung.
Cukup lama juga Bagus Anggoro tak menemui ibunya. Kebetulan Bu Arni punya usaha catering. Menginjak tahun 2004, usaha cateringnya mulai mendapat cobaan. Sepi dan tak laku. Berbagai usaha pembenahan namun tetap saja jebol. Bu Arni selallu merugi.
Akhirnya, Bu Arni meminta petunjuk Eyangnya, Wongso Suyuso. Saat Eyang Wongso melakukan ritual dialog, tampak pemuda yang sudah cukup umur datang menghadap dengan wajah kesal dan marah.
“Kamu itu siapa, kok mengganggu anakku Arni?” tanya Eyang Wongso.
“Eyang ini sama saja, masa lupa sama cucunya sendiri. Aku Bagus Anggoro, anak pertama Bu Arni.” Jawabnya.
“Kalau kamu anaknya, kenapa mengganggu ibumu?” tanya Eyang Wongso.
Bagus Anggoro, pemuda dari dimensi lain yang dilahirkan dari garba Bu Arni ini tertunduk. Dia kesal dan lalu menangis, “Ibu tak sayang padaku. Aku kan sudah banyak membantu, tapi kenapa ibu tak pernah memperhatikanku."
Dari dialog itu, ternyata Bagus Anggoro merasa tak diperhatikan orang tuanya. Makanya dia bikin ulah, rejeki yang mengalir dari usaha catering ibunya itu dikacau. Uang itu diambil dan disembunyikan di alamnya sana.
"Lalu apa yang kamu inginkan?" tanya Eyang Wongso.
"Aku minta dibelikan cincin!"
"Untuk apa?"
"Bagus, kan, sudah besar, ya, untuk tunangan."
"Oh, jadi kamu mau kawin, to?”
“Iya!” ujarnya.
Hasil dialog gaib ini segera disampaikan pada Bu Narni dan segera saja dibelikan cincin kawin sepasang. Pada malam yang telah dihitung (hari baik) cincin itu dikuburkan di nisan Bagus Anggoro.
Malam harinya Bagus Anggoro menemui ibunya lewat mimpi. Ia membawa calon istrinya, wanita yang amat cantik.
Setelah itu Bu Arni terbangun dengan peluh bercucuran. Keesokan paginya, ia langsung datang ke rumah Eyang Wongso Suyono, dan menceritakan apa yang telah terjadi semalam.
Menurut Eyang Wongso, anak ambar di alam sana juga tumbuh seperti manusia. Bahkan juga kawin segala. Mereka membentuk komunitas tersendiri, pisah dengan alam jin dan alam arwah. Peristiwa seperti ini memang sangat sulit diterima akal sehat.
Sejak itu, usaha Bu Arni mulai membaik dan tak lagi ada gangguan yang misterius. Fenomena seperti ini masih sering kali terjadi dilingkungan kita.

DUA PUSAKA PENCABUT NYAWA

Penulis : HESTI INDRA


Kisah tentang keris pusaka yang membawa kutukan dan pencabut nyawa bukanlah cerita klise semata. Kisah-kisah mistis berikut ini membuktikannya....

Pedang Luwuk menjadi amat terkenal semasa terjadi perang saudara antara Bre Wirabumi (Blambangan) dengan Ratu Ayu Kenconowungu (Majapahit). Perang yang menghancurkan Majapahit ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan Paregreg.
Ribuan nyawa terbantai karena ambisi kekuasaan dan keegoan para pemimpin ketika. Dan salah satu pusaka yang paling ditakuti pasukan Majapahit kala itu adalah Pedang Luwuk, sebuah pedang yang bentuknya sederhana, hitam legam, dengan ciri khas di bagian yang tajam ada gambar matahari terbelah yang jumlahnya "ganjil" (satu, tiga, atau lima). Keampuhan pedang ini sangat luar biasa.
Dinamakan Pedang Luwuk, karena dibuat oleh seorang Empu yang bernama Ki Luwuk. Dan dalam proses pembuatannya untuk menyepuh digunakan bisa (upas) ular Luwuk yang racunnya terkenal sangat mematikan. Siapa pun akan membiru dan mati dengan sangat menyakitkan.
Bila orang yang menggerakan Pedang Luwuk ini mampu menguasai ilmu Postipnotis, maka sekali watek saja, musuh yang jumlahnya ratusan akan terkena perbawa Pedang Luwuk dan keracunan semua. Dalam perang Paregreg, pasukan Majaphit banyak sekali yang mati karena Pedang Luwuk ini.
Sedangkang Pedang Luwuk yang khusus untuk pejabat tinggi, proses pembuatannya juga agak istimewa dibagian "pamor" matahari terbelahnya setelah disepuh harus ditempelkan pada vagina perawan suci yang baru mendapatkan haid pertama kali. Sehingga pedang khusus ini selain memiliki bisa yang luar biasa, juga punya daya pekasih yang tinggi.
Pemegang Pedang Luwuk khusus ini akan banyak dicintai kaum wanita. Konon, gadis yang habis ditempeli pedang ini, keesokan harinya akan mati, dan atsma-nya berpindah dalam Pedang Luwuk. Ciri khusus Pedang Luwuk yang satu ini, warangkanya pasti terbuat dari perak, ukirannya juga perak murni.
Sekitar tahun 2002 awal bulan Suro, seorang rekan Penulis yang tinggal di Banjarmasin yang memiliki Pedang Luwuk ini menjamaskannya pada tukang jamas pribadinya. Seperti biasa, setiap 1 Suro jamasan Pedang Luwuk ini harus khusus yaitu dimandikan dengan darah ayam cemani jantan.
Kebetulan, bersamaan dengan itu, ada seorang dokter yang juga memiliki Pedang Luwuk sama dengan milik rekan Penulis, Nur Ilham. Diapun juga menyerahkan satu ayam cemani jantan untuk penjamasan.
Pak Ode, si tukang jamas ini merasa merasa sayang menyembelih 2 ekor ayam untuk menjamas 2 pusaka Pedang Luwuk tersebut. Karena itu hanya satu saja yang disembelihnya untuk jamasan 2 pusaka ttersebut.
Sesaat setelah jamasan memang tidak terjadi apa-apa. Namun, satu minggu setelah itu, Pak Ode jatuh sakit dan harus diopname. Padahal dia belum pernah sakit selama ini.
Hanya tiga hari sakit Pak Ode langsung meninggal dunia. Tubuhnya yang semula pucat pasi seperti kehabisan darah, menjadi kebiru-biruan.
Kejadian ini baru diketahui oleh Nur Ilham, saat ia melayat ke rumah Pak Ode. Ilham terkejut sebab ternyata di belakang rumah Pak Ode masih terdapat seekor ayam cemani jantan miliknya. Saat ditanyakan kepada salah seorang putra almarhum, barulah terkuak misteri aneh itu. Ternyata untuk penjamasan mandi darah ayam cemani hanya disembelih satu ekor ayam saja.
Menyimak penjelasan ini, apa mungkin khodam Pedang Luwuk yang bersamayam di pusaka milik Nur Ilham dan dokter itu menjadi murka dan marah lalu menyerang Pak Ode yang dianggap tak jujur?
Sukar sekali dijelaskan dengan fakta yang ada. Namun kata tenaga medis, Pak Ode terkena racun ular berbisa yang mematikan. Ketika datang ke RS sudah dalam keadaan sangat akut, sehingga nyawanya sulit tertolong. Anehnya, Pak Ode tak pernah dipatuk ular sebelum jatuh sakit.
"Dua hari setelah Pedang Luwuk saya jamaskan ditempatnya Pak Ode, malam harinya saya ditemui dua perwujudan seperti munyuk (orang hutan). Mereka tampak marah dan ingin segera pulang. Kalau yang pakai jamang saya, kenal, dia khodam pusaka saya yang sudah sering saya jumpai. Tapi yang lebih besar dan agak liar aku tak kenal. Mungkin khodam pusaka dokter itu," cerita Nur Ilham kepada Misteri.
Nasi sudah menjadi bubur. Keteledoran yang sepele saja harus ditebus dengan nyawa. Itulah kalau main-main dengan alam halus, apalagi penghuni jagad lelembut itu yang memiliki pemberang seperti khodam Pedang Luwuk. Alangkah baiknya bila tak memahami seluk beluk pusaka, lebih baik tak usah menyentuhnya.

TUMBAL PUSAKA KYAI NOGO PASUNG
Kisah tentang keris pusaka yang membawa kutukan dan pencabut nyawa bukanlah cerita klise semata. Seperti Keris Mpu Gandring yang melegenda karena mencabut 7 nyawa ksatria utama. Juga Keris Setan Kober yang menggegerkan intrik kekuasaan Demak Bintoro.
Meski tak sebesar kedua keris pencabut nyawa tersebut, di era millenium ini, masih banyak pusaka yang juga haus darah. Pusaka berornamen seekor naga berlekuk 9 ini mencabut beberapa nyawa tak berdosa. Oleh pemiliknya, pusaka kutukan ini diberi nama Kyai Nogo Pasung.
Bermula dari seorang pedagang tosan aji yang bermukim di Polokarto, Miclas Prijanto. Kebetulan dia ditawari agar memahari sebilah pusaka oleh seseorang yang merasa tak kuat ditempati pusakanya.
Setelah dilihat ternyata pusaka itu ber-ornamen seekor naga berlekuk 9. Pemiliknya minta agar dimahari 3,5 juta rupiah.
Setelah terjadi tawar menawar harga, akhirnya disepakati dan dilepas dengan mas kawin 1.250.000 rupiah. Dan jadilah pusaka itu menjadi milik Michlas Prijanto. Karena dia pedagang, maka segera saja ditawarkan pada para pelanggannya. Memang banyak yang meminatinya untuk dijadikan koleksi maupun diambil tuahnya.
Dan yang paling getol mengejar adalah Pak Madi, penggemar tosan aji dari Semarang. Kala itu dilepas dengan mahar 2 juta rupiah. Anehnya, baru dua bulan pusaka itu dibawa Pak Madi, dikembalikan lagi ke kios Michlas Prijanto. Wajah Pak Madi tampak kurus kering, kelihatannya habis sakit yang cukup kritis.
"Pak Michlas, pusaka ini saya kembalikan. Terserah Bapak, mau mengembalikan mahar saya berapa," kata Pak Madi lirih sambil menyerahkan pusaka Kyai Nogo Pasung.
"Memangnya kenapa tho, Pak Madi?" tanya Michlas ingin tahu.
Tadinya Pak Madi tak mau menceritakan kisah tragis yang menimpa keluarganya. Setelah ketempatan tosan aji ini, hanya dalam kurun waktu 2 bulan, ia kehilangan 2 anaknya yang disayangi, akibat sakit yang aneh dan kecelakaan lalu lintas. Dan dirinya mulai didera sakit-sakitan. Anehnya, setiap malam Jum'at, Pak Madi selalu mimpi melihat seekor naga hanya kepalanya saja, menghisap darah manusia.
Mendengar hal itu, Michlas merasa kasihan. Ia hanya memotong 10 persen dari total pembelian dahulu. Pusaka itu kembali jadi milik Michlas. Dia lalu membawa pusaka Nogo Pasung ke rumahnya. Anehnya, hanya dalam waktu satu bulan saja, istrinya sakit parah dan harus opname di rumah sakit. Sejak ada pusaka itu Michlas pun mengaku selalu kacau pikirannya, bahkan beberapa kali ia terjatuh dari sepeda motornya. Lalu ia mulai mengkait-kaitkannya dengan Nogo Pasung.
Beruntung, dalam waktu tak lama ada orang dari Temanggung yang menanyakan Kyai Nogo Pasung. Orang itu sayangnya hanya berani menawar 1 juta rupiah saja. Karena Michlas ketakutan dengan Kyai Nogo Pasung, segera saja diberikan. Legalah dia sejak pusaka kutukan pergi, keluarganya normal kembali seperti sedia kala.
Tiga bulan berlalu dengan damai. Dan di suatu siang, tiba-tiba orang dari Temanggung yang pernah memahari pusaka Kyai Nogo Pasung datang lagi. Hati Michlas deg-degan tak karuan. Ia menduga pasti pusaka kutukan itu akan dikembalikan lagi. Dugaannya ini memang benar.
Menurut cerita pembeli terakhir ini kepada Michlas, kejadian yang dialaminya jauh lebih tragis lagi. Rumahnya kebakaran dan habislah harta bendanya. Anehnya saat terjadi kebakaran, meski almari tempat menyimpan pusaka ini jadi abu, kotak penyimpanan Kyai Nogo Pasung hanya gosong saja, dan pusaka dan warangkanya utuh.
Hanya dalam tiga bulan menyimpan pusaka ini, tujuh kali dia mengalami musibah serius. Meski tak sampai meminta tumbal korban jiwa. Sang pemilik terakhir mendesak Michlas agar mau mengambil kembali pusakanya ini, atau paling tidak dititipkan untuk dimaharkan ke orang lain.
Michlas si pedagang tosan aji ini benar-benar serba ketakutan dengan pusaka ini. Beruntung saat itu ada Engkong, seorang suhu keturunan Thionghoa yang katanya tinggal di Jakarta (Tebet). "Orang-orang tosan aji hanya tahu nama beliau Engkong saja," cerita Michlas.
Engkong sangat tergiur pada pusaka itu. Michlas segera saja menyerahkan pusaka itu pada Engkong. Dan waktu itu oleh Engkong hanya dimahari 750 ribu rupiah saja. Dengan teliti Engkong mengamati bilah pusaka tersebut. Tampaknya dia sangat memahami getar-getar gaib yang tersimpan di dalam bilah pusaka sangar ini.
Menurut Engkong, tangguh pusaka ini dibuat zaman kerajaan Pajang. Dapurnya biasa disebut Nogo Nowo atau biasa dinamakan Kyai Nogo Pasung. Pembawaannya sangat keras dan kasar. Bila tak mampu mengendalikan perangainya pusaka ini akan membawa bencana, bahkan sampai tumbal nyawa. Hanya cocok digunakan oleh orang yang bergerak dalam bidang kemiliteran. Perbawanya, akan membatasi ruang gerak musuhnya atau lawan politiknya.
Bila dibawa ke medan pertempuran dan dilepas dari warangkanya, akan tampak terlihat seekor naga hitam yang sangat besar seperti mengamuk.
Kebetulan waktu itu Penulis ada dilokasi tempat transaksi pemaharan itu berada. Dan sebelum dibawa Engkong, pusaka Kyai Nogo Pasung dapat diabadikan terlebih dahulu.
Memang, sebaiknya berhati-hati dengan bilah pusaka. Bila tak paham lebih baik tak usah menyentuhnya. Apalagi mengoleksinya.

MENIKAHI PUTERI JIN GUNUNG SEMERU

Penulis : ABDUL MADJID


Dari pernikahan dengan puteri jin Gunung Semeru itu, ia dikaruniai beberapa orang anak. Meski kini mereka hidup di alam terpisah, namun anak-anak itu kerap masih mengunjunginya....

Peristiwa pernikahan antara manusia dan jin masih menjadi kontroversi di kalangan masyarakat. Kontroversi tentang hal itu bukan hanya terjadi pada masyarakat umum, para ulama pun saling beda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa pernikahan mahluk dari dua alam berbeda ini tidak mungkin terjadi, tetapi pendapat lain mengatakan hal itu bisa terjadi jika Allah menghendaki. Sebab, "Tidak ada yang mustahil bagi Allah jika Dia telah menghendaki". Begitu dalil yang dikemukakan oleh mereka yang mempercayai fenomena yang cukup asyik diperdebatkan ini.
Peristiwa yang dituturkan dalam tulisan ini adalah sebuah kisah nyata, yang dialami seorang pemuda bernama Achmad Rais Abdillah, pada tahun 1976. Pemuda itu sekarang telah menjadi seorang Kyai sekaligus mengasuh pondok pesantren Tahfidz Al-Quran Mathlaul Huda di Pekon Ambarawa, Pringsewu, Tanggamus.
Bagaimana peristiwa itu terjadi? Berikut kisah mistisnya....
Diceritakan, pada suatu hari di tahun 1976, matahari masih miring 45 derajat di arah Timur, Rais Abdillah masih santai di rumahnya ketika seorang temannya bernama Hatib datang menjemputnya. Hatib mengajaknya memancing ikan di sungai Brego. Sungai ini berada di Alas Purwo, di kaki Gunung Raung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Tempat mancing itu berjarak sekitar 30 km dari rumah orang tua Rais Abdillah, yakni di Desa Kemuning Sari Kidul, Kec. Jenggawah, Kab. Jember, Jawa Timur. Sejak lama kawasan Alas Purwo dipercaya sangat angker, sehingga jarang sekali orang yang berani masuk ke dalamnya.
Hari itu, Rais Abdillah dan Hatib berangkat ke sungai Brego mengendarai sepeda motor. Sesampai di tempat tujuan keduanya memarkir sepeda motor di tepi sungai, lalu keduanya pun memancing ikan.
Karena asyik mancing, tak terasa waktu bergulir hingga tiba saatnya shalat Dzuhur. Hatib masih saja memancing ketika terdengar suara adzan. Sementara itu, Rais Abdillah buru-buru berwudlu untuk segera shalat. Saat mengambil air wudlu inilah tiba-tiba ia mendengar suara perempuan yang menyapanya, "Permisi, Mas! Aku tersesat, apa boleh aku bertanya?"
Mendengar sapaan itu, Rais spontan menoleh ke arah asal suara. Dilihatnya ada seorang wanita cantik duduk di punggung kuda putih. Pakaian wanita itu berupa baju sutera hijau, yang menutup seluruh tubuhnya dari leher hingga mata kaki. Aneh, dari mana datangnya wanita itu? Pikir Rais.
Sesaat mata Rais Abdillah beradu pandang dengan wanita itu. Dengan terheran-heran Rais melangkah mendekati si gadis. Karena merasa aneh ada wanita cantik di tengah Alas Purwo, Rais pun memberanikan diri bertanya, "Adik ini siapa? Kok berani main di hutan sendirian?"
Yang ditanya tersenyum menawan. "Saya tersesat, Mas. Teman-teman sudah pulang semua, saya ditinggal sendirian. Dan, saya tidak tahu jalan pulang. Mas bisa mengantar saya, kan?" kata gadis itu, penuh harap.
Aneh, seperti dihipnotis Rais Abdillah mengiyakan permintaan gadis itu. "Tapi, adik pulangnya kemana?" tanyanya.
"Ke Gunung Semeru, Mas!" jawabnya singkat.
Rais semestinya bingung mendengar jawaban itu. Namun, karena ada kekuatan gaib yang mempengaruhinya, maka dengan entengnya ia menjawab, "Baiklah kalau begitu, saya naik motor dan kamu naik kuda," demikian kata Rais.
"Kita naik kuda saja. Motornya ditinggal di sini," kata gadis misterius itu dengan suara manja.
Rais termenung sesaat. "Ya sudah, saya duduk di depan, kamu di belakang," kata Rais mengalah.
"Masak begitu? Mas yang di belakang, saya di depan," rajuk si gadis dengan suara manja.
Sekali lagi Rais mengalah. Mereka lalu naik ke punggung kuda meninggalkan Alas Purwo menuju Gunung Semeru. Jarak Alas Purwo dengan Gunung Semeru sekitar 200 Km. Sungguh, sebuah jarak yang lumayan jauh.
Anehnya, lari kuda yang mereka tunggangi itu makin lama makin kencang dan perlahan-lahan bahkan mengangkasa. Rais Abdillah dapat menyaksikan dengan jelas pohon-pohon di Alas Purwo yang berada di bawah mereka. Tapi, saat itu mulutnya seakan-akan terkunci untuk bertanya. Bahkan, dia merasa hal itu wajar saja.

Aroma Cinta
Dalam perjalanan itulah, Rais merasakan aroma wangi dari tubuh wanita itu. Ia lalu menyorongkan wajahnya ke muka untuk melihat wajah si gadis yang duduk di depannya. Rais terperangah. Gadis itu ternyata sangat cantik dan berkulit halus mulus. Sebagai pemuda baru kali ini Rais melihat gadis yang kecantikannya luar biasa. Lalu muncul hasratnya untuk memperisteri si gadis.
"Namamu siapa, Dik?" tanya Rais tanpa basa-basi. Sejak pertemuan di pinggir Sungai Brego tadi keduanya belum mengetahui nama masing-masing.
"Maimunah, Mas!" jawabnya. Suara gadis itu terdengar merdu sekali.
"Kamu mau jadi isteri saya?" Rais kembali bertanya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa bisa nekad begini.
"Saya mau, asal Abah saya mengizinkan," katanya memberi angin, seraya minta Rais Abdillah menyampaikan hal itu kepada ayahnya sesampai mereka di rumah nanti. Maimunah kemudian menuturkan bahwa dirinya punya limabelas saudara perempuan yang semuanya sangat mirip dengannya.
"Jika Abah mengizinkan Mas menikahi saya, maka Abah akan meminta Mas menunjuk diri saya dengan tepat diantara enambelas gadis (termasuk dirinya) yang semuanya serupa," papar Maimunah. "Kalau Mas bisa menebak dengan tepat, maka saya jamin kita pasti akan dinikahkan," tambahnya.
"Lalu bagaimana saya bisa membedakan Adik dengan saudara-saudaramu?" tanya Rais Abdillah.
"Nanti akan ada tanda. Saat Mas disuruh menebak, akan ada seekor samberlilen (sejenis serangga yang biasa digunakan untuk bahan pembuatan Susuk Kecantikan-Red) hinggap di salah satu bahu kami. Nah, itulah saya," katanya.
Singkat cerita, tibalah mereka di kampung halaman Maimunah, yakni sebuah perkampungan bangsa jin di puncak Gunung Semeru. Kehidupan di sana hampir sama dengan kehidupan manusia. Di sana ada pasar, masjid, kios-kios pedagang, dan orang-orang yang hilir mudik.
Sesampai di rumah, mereka disambut ayah Maimunah. Sang ayah mengaku bernama Haji Abdullah. Rais pun diperkenalkan dengan limabelas saudara perempuan Maimunah. Rais terperangah, karena semuanya sangat mirip dengan Maimunah, gadis yang baru saja bersamanya tadi. Saat itu Rais tidak dapat membedakan mana Maimunah dan mana yang bukan.
Setelah istirahat beberapa saat, Haji Abdullah bertanya padanya tentang minatnya mempersunting Maimunah.
"Iya, saya ingin memperistri Maimunah, puteri Bapak," kata Rais.
"Saya tidak keberatan, asal Ananda bisa menebak dengan tepat yang mana Maimunah di antara limabelas saudara-saudaranya itu," kata Haji Abdullah memberi syarat.
"Baiklah, saya siap," timpal Rais Abdillah.
Maka acara menebak pun dimulai. Haji Abdullah memanggil keenambelas puterinya agar berkumpul. Setelah mereka berkumpul Rais dipersilakan menebak. Rais pun mulai berputar-putar di sekitar keenambelas puteri jin itu. Dia kebingungan menebak, karena tanda-tanda yang disebutkan Maimunah belum tampak.
Namun, tak lama kemudian seekor samberlilen masuk ke ruangan itu, berputar-putar sejenak, lalu hinggap di bahu salah seorang gadis puteri Haji Abdullah. Tanpa menunggu lama-lama Rais langsung menunjuk gadis itu sebagai Maimunah.
"Yang itu!" seru Rais Abdillah, yang langsung disambut dengan pelukan oleh Haji Abdullah.
"Tepat, ternyata Ananda punya pandangan makrifat. Belajar dimana ilmu makrifat itu?" kata Haji Abdullah. Setelah itu tuan rumah pun langsung menggelar acara pernikahan puterinya dengan Rais Abdillah. Acara berlangsung dengan tatacara Islam, namun sangat sederhana.

Pulang ke Kampung
Setelah resmi menjadi menantu Haji Abdullah, Rais diminta mertuanya untuk membantu berdagang. Tugasnya adalah menjaga kios milik mertuanya, yakni sebuah kios yang menyediakan semua kebutuhan dapur. Mulai dari beras, kunyit, jahe, merica dan segala bumbu dapur komplit tersedia.
Perkawinannya dengan puteri jin ini membuahkan tiga orang puteri, yang masing-masing diberi nama Hunainah, Dalilah, dan Fatihah.
Waktu terus berjalan. Tak terasa telah sepuluh tahun berlalu, Rais tiba-tiba rindu pada ibunya di kampung. Dia lalu mengutarakan hal itu pada mertuanya. Sang mertua maklum, dia memberi izin Rais pulang sekalian membawa anak dan isterinya.
Tapi sayang, isterinya tidak bersedia ikut Rais ke kampungnya. Alasannya, dia tidak bisa pisah dengan orang tuanya. Rais diminta memilih, tetap tinggal bersamanya atau ingin pulang tapi mereka harus bercerai.
Karena merasa sudah sangat lama tidak bertemu ibunya, Rais pun memilih berpisah dengan isterinya. Terpaksa ia harus pulang sendiri ke kampung halamannya. Namun, perceraian itu tidak membuat mereka bertengkar. Mereka bercerai secara baik-baik. Bahkan, ketika hendak berangkat Rais dibekali oleh mertuanya sekeranjang kunyit. Ia pun dipinjami kuda putih yang pernah ia tunggangi bersama isterinya, Maemunah. Rais Abdillah kemudian dilepas oleh isteri dan anak-anaknya beserta mertua dan adik-adik ipar yang limabelas orang itu. Suasana haru mengantar kepergian Rais Abdillah.
Sebagaimana ketika berangkatnya dulu, ketika pulang inipun kuda yang dia tunggangi tidak menjejak tanah. Kuda jin ini meluncur di angkasa kira-kira dua kali tinggi pohon kelapa. Dalam perjalanan itu pula ia dapat menyaksikan aktivitas penduduk yang dilewatinya. Ia melihat dengan jelas beberapa tetangganya yang tengah ngobrol di pasar, di jalan, bahkan ada yang sedang mengayuh becak. Ketika berjumpa dengan para tetangganya itu, ia ceritakan apa yang dilihatnya tadi, para tetangganya membenarkan.
Yang membuat heran para tetangganya, tempat mereka beraktivitas antara satu dengan yang lainnya berjauhan, terpisah sampai puluhan kilometer. Dan mereka tahunya Rais Abdillah berada di Alas Purwo. "Kok kamu tahu? Padahal saat itu kamu di Alas Purwo?" tanya seorang tetangganya terheran-heran. Rais hanya tersenyum saja.
Mengenai kunyit pemberian mertuanya tadi, oleh Rais dibuangnya satu persatu di sepanjang perjalanan. Ketika mendekati kampungnya kunyit itu hanya tersisa satu. Yang terakhir ini tidak dibuangnya, karena bentuknya unik, yakni menyerupai sebuah gelang. Karena bentuknya itulah, maka Rais pun memakainya sebagai gelang ditangan kiri.
Kuda yang ditungganginya kemudian turun, lalu menepi di Sungai Brego, Alas Purwo, tempat dimana pertama kali Rais bertemu Maimunah. Setelah itu kuda dari Gunung Semeru itu lenyap. Rais lalu pulang ke rumahnya.
Setiba di rumah Rais langsung menjumpai Ibunya. Sang Ibu menyambutnya dengan peluk cium penuh haru. Namun, Rais tidak menceritakan pengalamannya. Namun yang pasti, ketika tiba di hadapan ibunya Rais baru menyadari bahwa kunyit yang tadi dipakainya di tangan ternyata adalah emas. Ia lalu membawa emas itu ke toko emas untuk diperiksa. Hasilnya sangat mengejutkan, emas itu kadarnya 24 karat dengan berat hampir satu kilogram.
Sampai sekarang, anak-anak saya yang dari bangsa jin itu sering mengunjungi saya. Bahkan ada yang sudah menikah," cerita Rais yang kini sudah berusia di atas kepala lima dan menjadi pimpinan sebuah pondok pesantren. Ia menyebut pengalaman ini merupakan sebuah keajaiban Allah SWT yang diberikan kepada dirinya sebagai sebuah karunia yang sangat besar.