Penulis : TARLIN SUKANDAR
Kisah mistis ini dituturkan oleh Cecep Suryana. Seorang petani tanpa sengaja membunuh seekor ular bertubuh emas. Ternyata, si ular adalah putri di kerajaan Siluman Ular yang bernama Nagagini. Akibat kematiannya, para ular ular siluman menebar teror....
Peristiwa ini terjadi di sebuah kampung di daerah Situraja, Kab. Sumedang. Memang sudah puluhan tahun berlalu. Namun, kisah aneh yang diceritakan oleh Cecep Suryana, penduduk Jl. Talun, Kel. Talun Kidul, Sumedang ini sungguh amat menegangkan.
Cecap yang Pegawai Negeri Sipil itu bercerita tentang kejadian super misterius di kampungnya. Dia dan ayah, ibu, serta kakak perempuannya pernah melihat ular yang diduga binatang jadi-jadian. Ular siluman ini, konon mengamuk karena kehilangan pasangannya.
Pengalaman mengerikan dan menakutkan itu sampai kini masih membekas dalam benak Cecep. Berikut ini kisah yang dituturkannya kepada Misteri...:
Tak ada seorang pun yang menyangka kalau desaku akan dilanda malapetaka. Desa yang elok dan aman damai itu menjadi porak-poranda diamuk makhluk jejadian yang amat menakutkan. Makhluk itu berwujud ular. Keberadaan dan ulahnya sungguh mengharu-biru warga di kampungku.
Aku dilahirkan di sebuah desa yang amat asri. Nama desa itu Situraja, Kabupaten Sumedang. Desaku adalah desa yang aman tenteram dan subur.
Kebetulan, Ayahku adalah seorang Kuwu (kepala desa) di desa yang gemah ripah loh jiwani. Selaku Kuwu, Ayahku bagai "Raja Kecil" yang kekuasaannya cukup besar. Apalagi beliau juga kaya raya karena mendapat warisan dari nenekku, ditambah dengan sawah bengkok yang luas, sehingga kekayaannya makin berlimpah.
Ayah yang tampan dan bertubuh tinggi besar itu, setiap hari naik kuda kalau mengontrol kebun dan sawahnya yang sangat luas.
Kuda putihnya yang bernama Si Paser, merupakan binatang kesayangan kami sekeluarga. Dinamai Si Paser, karena larinya sangat kencang bagai anak panah lepas dari busurnya.
Aku juga senang bermain-main dengan Si Paser kalau kebetulan kuda asal Australia itu tidak dibawa oleh ayahku.
Meskipun terlahir sebagai anak orang kaya, namun aku tidak menjadi anak yang manja. Bahkan, aku tergolong anak yang berkelakuan baik sehingga disayang oleh Ayah Bundaku. Sejak kecil aku dididik menjadi anak yang santun. Bundaku yang cantik itu selalu mengajariku bagaimana menjadi anak yang baik, shaleh, serta berbakti kepada kedua orang tua.
Selain memiliki kuda putih yang bernama Si Paser, Ayahku juga memelihara seekor ular sanca yang sangat besar. Ular itu diselamatkan ayahku tiga tahun yang lalu dalam keadaan sekarat karena tertimbun batu yang longsor di sebuah areal berbukit yang disebut warga desa setempat dengan nama Batugulung.
Si Bencoy nama ular itu. Dia menjadi teman bermainku setiap hari. Ular ini sangat jinak. Makananya tikus dan bangkai ayam, atau kadang-kadang ikan yang dikail kakakku, kang Jana, dari sungai Cileuleuy.
Sejak berteman dengan Si Bencoy, aku menjadi senang bermain-main dengan ular. Ular jenis apapun menjadi temanku yang setia. Semula bunda melarangku berteman dengan ular-ular itu, karena takut terjadi sesuatu dengan diriku.
Namun, mungkin karena aku begitu menyayangi Si Bencoy, akhirnya Ibu membiarkanku bermain dengan ular-ular itu. Selain Si Bencoy, aku juga sangat sayang pada ular belang yang ditemukan ayahku di bawah batu besar di kawasan Batugulung. Ular yang kuberi nama Si Belang itu tampak bersahabat dengan Si Bencoy.
Si Belang tak berumur panjang. Binatang melata yang lucu itu mati karena menelan umpan yang telah ditaburi racun tikus. Tanpa sengaja Kang Jana memberikan umpan ini karena dia tahu kalau tikus yang diberikan kepada Si Belang ternyata ada racunnya. Aku sangat sedih kehilangan Si Belang.
Saat aku berusia 12 tahun, desa yang aman itu diterpa prahara. Sawah-sawah penduduk yang sebentar lagi akan dipanen rusak binasa. Padinya menjadi hampa, daunnya yang semula hijau royo-royo berubah menjadi cokelat kering seperti habis diterjang angin berapi. Sawah kedua orang tuaku yang luas pun habis binasa.
Melihat kenyataan ini, tentu saja semua penduduk desa menjadi prhatin. Banyak petani menangis histeris.
Begitu malam menjelang, warga desa cepat-cepat mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Siang hari pun jarang ada penduduk yang pergi ke ladang. Desa yang damai itu dalam sekejap berubah menjadi daerah mati.
Ayahku yang gagah, mendadak menjadi loyo dan tak bergairah. Sepertinya dia amat terpukul berat oleh bencana yang menimpa desanya. Dia tak berdaya mengatasi malapetaka yang dahsyat itu. Ayah memang sudah berusaha meminta tolong kepada orang pintar di kampungku dan kampung tetangga. Namun, orang-orang tua yang dianggap memiliki kemampuan gaib itu tak berdaya. Mereka angkat tangan, tak bisa mengatasi malapeta itu.
Ayah dan semua orang di kampungku berusaha mencari akar penyebab prahara yang menimpa. Karena, tak mungkin kampung kami yang semula aman damai mendadak menjadi daerah mati yang menakutkan, tanpa ada sesuatu yang menjadi penyebabnya. Akhirnya, penyebab bencana itu ketahuan juga.
Menurut informasi, beberapa hari yang lalu, seorang warga desa bernama Ukin, membunuh seekor ular aneh di kebunnya. Waktu itu, Mang Ukin sedang membersihkan rumpun alang-alang. Tiba-tiba dia melihat seekor ular berwarna kuning emas dengan kepala merah membara mendekatinya.
Ular sebear ibu jari kaki dan panjangnya lebih dari satu meter itu, menatap Mang Ukin dengan matanya yang menyala. Tubuhnya yang indah bercahaya keemasan begitu memukau.
Sejenak Mang Ukin terpana. Namun, tiba-tiba bulu kuduknya merinding. Apalagi saat ular aneh itu membuka mulutnya yang bertaring tajam. Mang Ukin yang mendadak ketakutan mengira ular itu akan mematuknya. Sehingga, secara reflek parang yang dia pegang diayunkan ke tubuh ular aneh itu. Sekali tebas tubuh ular itu terpotong menjadi dua bagian.
Tapi, keanehan terjadi. Darah yang keluar dari tubuh ular yang terpotong jadi dua itu berwarna putih. Lebih aneh lagi, tercium bau harum dari darah itu. Entah bau harum bunga, dupa, atau kemenyan, Mang Ukin tidak tahu persis. Pasalnya, setelah membunuh ular aneh Mang Ukin kepalanya mendadak merasa pusing. Matanya berkunang-kungna. Dia limbung dan nyaris jatuh pingsan.
Namun, sebelum tubuhnya jatuh, Mang Ukin berusaha meraih batang pohon petai cina yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ketika itulah mata Mang Ukin menatap binatang yang baru saja dibunuhnya. Tampak tubuh ular aneh itu masih berkelojotan. Tetapi tak lama kemudian si ular tak bergerak. Mati!
Bersamaan dengan itu, bau harum yang diduga berasal dari darah yang keluar dari tubuh ular tersebut mendadak berubah menjadi bau busuk yang menyengat. Kepala Mang Ukin terasa berputar. Kemudian dia muntah-muntah. Dia pun terduduk lemas, tak berdaya.
Setelah tenaganya pulih dan rasa pening hilang, barulah Mang Ukin kemudian menguburkan bangkai ular emas itu dipinggir kebunnya. Namun, sakit kepalanya kembali datang lagi. Akhirnya dia menunda pekerjaannya. Dengan memaksakan diri Mang Ukin pulang ke rumahnya. Padahal, biasanya dia pulang saat menjelang senja.
Setibanya di rumah, Mang lalu menceritakan pengalaman anehnya kepada isterinya. Nyi Isah, isterinya, tampak khawatir mendengar cerita Mang Ukin. Apalagi ketika ida melihat tubuh suaminya menjadi seperti orang kedinginan dan kemudian muntah-muntah.
Memang, malam harinya, Mang Ukin menderita demam yang amat berat. Tubuhnya terus-menerus menggigil, dengan keringat dingin menetes sebesar kacang hijau. Wajahnya yang lelah itupun selalu berubah-ubah, sebentar pucat pasi seperti kapas, namuntak lama kemudian merah seperti udang rebus. Tak ada obat yang mampu menyembuhkan penyakitnya.
Saat demamnya meninggi, Mang Ukin mengigau tak karuan. Kadang-kadang dia menjerit-jerit minta ampunan. Entah kepada siapa. Tak ada seorang pun yang tahu. Namun, saat meminta mpunan ini kedua tangan Mang Ukin menggapai-gapai, seolah ingin meraih sesuatu. Yang tak kalah aneh, dari tubuhnya tericum bau busuk. Yang amat mencengangkan, tubuh Mang Ukin yang tinggi kekar itu dalam dua hari menjadi ciut. Kulitnya seakan berkerut dengan cepat. Dia menjadi lebih tua dari usia sebenarnya. Lelaki berumur sekitar 30-an itu tampak seperti kakek-kakek renta yang tak berdaya.
Melihat keanehan yang terjadi, para tetangga di sekeliling rumah Mang Ukin menyarankan agar dia dibawa ke rumah sakit. Karena Mang Ukin termasuk warga kurang mampu, maka untuk membawanya ke rumah sakit terpaksa harus menunggu persetujuan Ayahku sebagai seorang Kuwu.
Saat itu ayahku bersama Si Paser, kuda kesayangannya, sudah dua hari berangkat ke desa Cipancar, Sumedang Selatan, menengok adiknya, Mang Eman yang sedang sakit. Jadi rencana membawa Mang Ukin ke rumah sakit terpaksa harus ditunda.
Ny. Isah tak mau membawa Mang Ukin ke dokter tanpa persetujuan Kuwu. Apalagi, katanya, biasanya kalau ada salah seorang anggota keluarganya yang sakit, cukup diobati oleh orang pintar dan ternyata bisa sembuh.
Malang tak dapat ditolak, untuk tak dapat diraih. Esok harinya Mang Ukin, petani pendiam itu, meninggal dunia sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Anehnya, sekujur tubuhnya membiru seperti keracunan. Bau busuk juga keluar dari tubuhnya. Dan bau ini tak juga hilang meskipun nyawanya telah melayang.
Ayahku tak sempat melayat jenazahnya. Karena begitu dia datang melayat, Mang Ukin sudah bersatu dengan tanah alias sudah dimakamkan.
Malam hari setelah Mang Ukin dimakamkan, hujan turun dengan deras. Anehnya, baru kali ini hujan deras bercampur es menyiram desa kami. Suara butiran es yang jatuh di atap rumah seluruh warga sebenarnya enak didengar, namun suasana yang mencekam membuat bulu kuduk berdiri meremang.
Aku dilarang ibu membuka pintu rumah untuk melihat hujan es. Padahal, aku ingin sekali melihat es sebesar jagung yang bertebaran di halaman rumahku. Karena, seumur hidupku aku belum pernah mengalami hujan es.
Aku dan Ayah Bundaku, malam itu tak dapat memicingkan mata. Tengah malam kudengar suara ribut di halaman rumahku, seperti banyak orang sedang bercakap-cakap merundingkan sesuatu. Tubuhku merinding.
Ayah dan Ibu saling pandang. Dengan memberanikan diri Ibu coba mengintip dari sela-sela jendela. Suara riuh rendah itu mendadak berhenti. Sunyi menyungkup bumi. Menurut ibu, tak ada apa-apa di halaman rumah. Cuma yang ada kesunyian yang mencekam.
Esok paginya, dari sejumlah warga desa kudengar bahwa mereka juga pada malam hari tadi diganggu suara-suara aneh. Ada yang pintu rumahnya digedor keras-keras namun tak ada pelakunya. Ada yang gentingnya pecah dilempari batu, tapi tak tahu dari mana datangnya. Bahkan, ada yang atap rumahnya bolong seperti ditembus benda keras, namun ketika diperiksa tidak ada apa-apa. Hampir seluruh penduduk dicekam ketakutan.
Gangguan aneh seperti ini berlangsung hampir selama tiga malam terus-menerus. Anehnya,. dua hari kemudian Si Bencoy, sanca kesayangan Ayah mendadak mati. Aku juga heran, karena sehari sebelumnya, ular yang juga kesayanganku itu terlihat sehat, tak ada kelainan apapun. Hanya, kadang-kadang ular sanca ini terlihat mengibas-ngibas ekornya seperti gelisah. Untuk kedu kalinya aku kehilangan ular yang kusayangi setelah Si Belang mati keracunan.
Malam keempat, kembali suara hiruk-pikuk itu terdengar lagi. Malam itu, kalau tak salah malam Jum'at Kliwon. Aku ketakutan. Kupeluk tubuh Ibuku erat-erat. Kepalaku diusapnya dengan penuh kasih sayang. Keningku dikecup. Oh, Bunda yang penuh kasih! Kutatap matanya. Tak ada sinar ketakutan di sana, yang ada hanya pantulan sinar kemesraan dan kasih sayang.
Aku merasa terlindung. Rasa takutku berkurang. Kini giliran Ayahku yang mengintip dari balik jendela. Kulihat tubuhnya yang tinggi besar itu menggigil. Tak lama kemudian dia melambaikan tangannya ke arah Ibuku, yang kemudian juga ikut mengintip. Aku melihat tubuh Ibuku bergoyang, atau persisnya menggigil ketakutan.
Melihat kedua orang tuaku berulah seperti itu, aku jadi penasaran. Aku pun ikut mengintip bersama mereka. Apa yang terjadi?
Dari balik tirai jendela kulihat di luar sana, persisnya dibawah pohon rambutan, ada ratusan atau mungkin ribuan ekor ular berwarna kuning emas dibalut warna merah darah saling membelit sambil mengeluarkan suara aneh. Seperti rintihan berbaur dengan kemarahan.
Di tengah-tengah kumpulan ular itu, ternyata ada seekor ular besar berwarna merah dengan mata menyala. Mungkin, dia adalah raja dari hewan-hewan melata yang menjijikan itu.
Melihat pemandangan yang sama sekali tak lazim itu, tubuhku menggigil ketakutan. Bahkan, karena tak kuat lagi menahan rasa takut, tak lama kemudian aku jatuh pingsan.
Anehnya, ketika siuman aku melihat seorang lelaki tampan berpakaian sutera kuning gemerlapan tersenyum kepadaku. Dia mengaku bernama Ki Sanca Pertala. Tak hanya itu, lelaki yang bagai seorang pangeran dari kerajaan tempo dulu itu juga mengaku kalau kini dirinya sedang mencari isterinya yang hilang. Sang isteri disebutnya bernama Nyai Nagagini.
Setelah melihat kemunculan Ki Sanca Pertala yang menjelma sebagai seorang pangeran tampan itu, entah bagaimana aku kembali tak sadarkan diri. Setelah sadar, aku menceritakan kedatangan orang yang bernama Ki Sanca Pertala ini kepada Ayahku.
Ayah dan Ibu saling pandang demi mendengar ceritaku. Kemudian keduanya mengangguk-anggukan kepala, seolah memahami apa yang terjadi.
Pagi harinya, warga desa beramai-ramai menggali kuburan ular emas yang dibunuh oleh almarhum Mang Ukin. Aneh, tubu ular yang tadinya terpotong dua akibat sabetan parang Mang Ukin itu, ternyata sudah menyatu lagi. Yang tak kalah aneh, bangkai ular itu masih berbau harum, meski sudah lebih seminggu terkubur dalam tanah.
Atas saran seorang sesepuh kampung yang mengerti masalah gaib, Ayah kemudian meletakkan bangkai ular diatas talam atau nampan kuningan, berikut sesaji yang telah disiapkan oleh seorang pawang ular yang sengaja didatangkan khusus dari Karawang.
Kemudian, bangkai ualr siluman yang bernama Nyi Nagagini itu dibawa ke pinggir Sungai Cileuleuy, lalu dengan hati-hati dilarung ke sungai yang airnya sedang deras.
Sejak saat itu, gangguan siluman ular di desaku tak pernah terdengar lagi. Desa kami kembali menjadi desa yang aman dan tenteram.
Meskipun Ayah dan Bundaku telah lama berpulang ke alam baka, namun kisah aneh itu sampai kini masih membekas di benakku. Mungkin karena trauma melihat ribuan ular aneh pada malam itu, maka hingga kini aku paling takut dan jijik bila melihat ular
Kisah mistis ini dituturkan oleh Cecep Suryana. Seorang petani tanpa sengaja membunuh seekor ular bertubuh emas. Ternyata, si ular adalah putri di kerajaan Siluman Ular yang bernama Nagagini. Akibat kematiannya, para ular ular siluman menebar teror....
Peristiwa ini terjadi di sebuah kampung di daerah Situraja, Kab. Sumedang. Memang sudah puluhan tahun berlalu. Namun, kisah aneh yang diceritakan oleh Cecep Suryana, penduduk Jl. Talun, Kel. Talun Kidul, Sumedang ini sungguh amat menegangkan.
Cecap yang Pegawai Negeri Sipil itu bercerita tentang kejadian super misterius di kampungnya. Dia dan ayah, ibu, serta kakak perempuannya pernah melihat ular yang diduga binatang jadi-jadian. Ular siluman ini, konon mengamuk karena kehilangan pasangannya.
Pengalaman mengerikan dan menakutkan itu sampai kini masih membekas dalam benak Cecep. Berikut ini kisah yang dituturkannya kepada Misteri...:
Tak ada seorang pun yang menyangka kalau desaku akan dilanda malapetaka. Desa yang elok dan aman damai itu menjadi porak-poranda diamuk makhluk jejadian yang amat menakutkan. Makhluk itu berwujud ular. Keberadaan dan ulahnya sungguh mengharu-biru warga di kampungku.
Aku dilahirkan di sebuah desa yang amat asri. Nama desa itu Situraja, Kabupaten Sumedang. Desaku adalah desa yang aman tenteram dan subur.
Kebetulan, Ayahku adalah seorang Kuwu (kepala desa) di desa yang gemah ripah loh jiwani. Selaku Kuwu, Ayahku bagai "Raja Kecil" yang kekuasaannya cukup besar. Apalagi beliau juga kaya raya karena mendapat warisan dari nenekku, ditambah dengan sawah bengkok yang luas, sehingga kekayaannya makin berlimpah.
Ayah yang tampan dan bertubuh tinggi besar itu, setiap hari naik kuda kalau mengontrol kebun dan sawahnya yang sangat luas.
Kuda putihnya yang bernama Si Paser, merupakan binatang kesayangan kami sekeluarga. Dinamai Si Paser, karena larinya sangat kencang bagai anak panah lepas dari busurnya.
Aku juga senang bermain-main dengan Si Paser kalau kebetulan kuda asal Australia itu tidak dibawa oleh ayahku.
Meskipun terlahir sebagai anak orang kaya, namun aku tidak menjadi anak yang manja. Bahkan, aku tergolong anak yang berkelakuan baik sehingga disayang oleh Ayah Bundaku. Sejak kecil aku dididik menjadi anak yang santun. Bundaku yang cantik itu selalu mengajariku bagaimana menjadi anak yang baik, shaleh, serta berbakti kepada kedua orang tua.
Selain memiliki kuda putih yang bernama Si Paser, Ayahku juga memelihara seekor ular sanca yang sangat besar. Ular itu diselamatkan ayahku tiga tahun yang lalu dalam keadaan sekarat karena tertimbun batu yang longsor di sebuah areal berbukit yang disebut warga desa setempat dengan nama Batugulung.
Si Bencoy nama ular itu. Dia menjadi teman bermainku setiap hari. Ular ini sangat jinak. Makananya tikus dan bangkai ayam, atau kadang-kadang ikan yang dikail kakakku, kang Jana, dari sungai Cileuleuy.
Sejak berteman dengan Si Bencoy, aku menjadi senang bermain-main dengan ular. Ular jenis apapun menjadi temanku yang setia. Semula bunda melarangku berteman dengan ular-ular itu, karena takut terjadi sesuatu dengan diriku.
Namun, mungkin karena aku begitu menyayangi Si Bencoy, akhirnya Ibu membiarkanku bermain dengan ular-ular itu. Selain Si Bencoy, aku juga sangat sayang pada ular belang yang ditemukan ayahku di bawah batu besar di kawasan Batugulung. Ular yang kuberi nama Si Belang itu tampak bersahabat dengan Si Bencoy.
Si Belang tak berumur panjang. Binatang melata yang lucu itu mati karena menelan umpan yang telah ditaburi racun tikus. Tanpa sengaja Kang Jana memberikan umpan ini karena dia tahu kalau tikus yang diberikan kepada Si Belang ternyata ada racunnya. Aku sangat sedih kehilangan Si Belang.
Saat aku berusia 12 tahun, desa yang aman itu diterpa prahara. Sawah-sawah penduduk yang sebentar lagi akan dipanen rusak binasa. Padinya menjadi hampa, daunnya yang semula hijau royo-royo berubah menjadi cokelat kering seperti habis diterjang angin berapi. Sawah kedua orang tuaku yang luas pun habis binasa.
Melihat kenyataan ini, tentu saja semua penduduk desa menjadi prhatin. Banyak petani menangis histeris.
Begitu malam menjelang, warga desa cepat-cepat mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Siang hari pun jarang ada penduduk yang pergi ke ladang. Desa yang damai itu dalam sekejap berubah menjadi daerah mati.
Ayahku yang gagah, mendadak menjadi loyo dan tak bergairah. Sepertinya dia amat terpukul berat oleh bencana yang menimpa desanya. Dia tak berdaya mengatasi malapetaka yang dahsyat itu. Ayah memang sudah berusaha meminta tolong kepada orang pintar di kampungku dan kampung tetangga. Namun, orang-orang tua yang dianggap memiliki kemampuan gaib itu tak berdaya. Mereka angkat tangan, tak bisa mengatasi malapeta itu.
Ayah dan semua orang di kampungku berusaha mencari akar penyebab prahara yang menimpa. Karena, tak mungkin kampung kami yang semula aman damai mendadak menjadi daerah mati yang menakutkan, tanpa ada sesuatu yang menjadi penyebabnya. Akhirnya, penyebab bencana itu ketahuan juga.
Menurut informasi, beberapa hari yang lalu, seorang warga desa bernama Ukin, membunuh seekor ular aneh di kebunnya. Waktu itu, Mang Ukin sedang membersihkan rumpun alang-alang. Tiba-tiba dia melihat seekor ular berwarna kuning emas dengan kepala merah membara mendekatinya.
Ular sebear ibu jari kaki dan panjangnya lebih dari satu meter itu, menatap Mang Ukin dengan matanya yang menyala. Tubuhnya yang indah bercahaya keemasan begitu memukau.
Sejenak Mang Ukin terpana. Namun, tiba-tiba bulu kuduknya merinding. Apalagi saat ular aneh itu membuka mulutnya yang bertaring tajam. Mang Ukin yang mendadak ketakutan mengira ular itu akan mematuknya. Sehingga, secara reflek parang yang dia pegang diayunkan ke tubuh ular aneh itu. Sekali tebas tubuh ular itu terpotong menjadi dua bagian.
Tapi, keanehan terjadi. Darah yang keluar dari tubuh ular yang terpotong jadi dua itu berwarna putih. Lebih aneh lagi, tercium bau harum dari darah itu. Entah bau harum bunga, dupa, atau kemenyan, Mang Ukin tidak tahu persis. Pasalnya, setelah membunuh ular aneh Mang Ukin kepalanya mendadak merasa pusing. Matanya berkunang-kungna. Dia limbung dan nyaris jatuh pingsan.
Namun, sebelum tubuhnya jatuh, Mang Ukin berusaha meraih batang pohon petai cina yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ketika itulah mata Mang Ukin menatap binatang yang baru saja dibunuhnya. Tampak tubuh ular aneh itu masih berkelojotan. Tetapi tak lama kemudian si ular tak bergerak. Mati!
Bersamaan dengan itu, bau harum yang diduga berasal dari darah yang keluar dari tubuh ular tersebut mendadak berubah menjadi bau busuk yang menyengat. Kepala Mang Ukin terasa berputar. Kemudian dia muntah-muntah. Dia pun terduduk lemas, tak berdaya.
Setelah tenaganya pulih dan rasa pening hilang, barulah Mang Ukin kemudian menguburkan bangkai ular emas itu dipinggir kebunnya. Namun, sakit kepalanya kembali datang lagi. Akhirnya dia menunda pekerjaannya. Dengan memaksakan diri Mang Ukin pulang ke rumahnya. Padahal, biasanya dia pulang saat menjelang senja.
Setibanya di rumah, Mang lalu menceritakan pengalaman anehnya kepada isterinya. Nyi Isah, isterinya, tampak khawatir mendengar cerita Mang Ukin. Apalagi ketika ida melihat tubuh suaminya menjadi seperti orang kedinginan dan kemudian muntah-muntah.
Memang, malam harinya, Mang Ukin menderita demam yang amat berat. Tubuhnya terus-menerus menggigil, dengan keringat dingin menetes sebesar kacang hijau. Wajahnya yang lelah itupun selalu berubah-ubah, sebentar pucat pasi seperti kapas, namuntak lama kemudian merah seperti udang rebus. Tak ada obat yang mampu menyembuhkan penyakitnya.
Saat demamnya meninggi, Mang Ukin mengigau tak karuan. Kadang-kadang dia menjerit-jerit minta ampunan. Entah kepada siapa. Tak ada seorang pun yang tahu. Namun, saat meminta mpunan ini kedua tangan Mang Ukin menggapai-gapai, seolah ingin meraih sesuatu. Yang tak kalah aneh, dari tubuhnya tericum bau busuk. Yang amat mencengangkan, tubuh Mang Ukin yang tinggi kekar itu dalam dua hari menjadi ciut. Kulitnya seakan berkerut dengan cepat. Dia menjadi lebih tua dari usia sebenarnya. Lelaki berumur sekitar 30-an itu tampak seperti kakek-kakek renta yang tak berdaya.
Melihat keanehan yang terjadi, para tetangga di sekeliling rumah Mang Ukin menyarankan agar dia dibawa ke rumah sakit. Karena Mang Ukin termasuk warga kurang mampu, maka untuk membawanya ke rumah sakit terpaksa harus menunggu persetujuan Ayahku sebagai seorang Kuwu.
Saat itu ayahku bersama Si Paser, kuda kesayangannya, sudah dua hari berangkat ke desa Cipancar, Sumedang Selatan, menengok adiknya, Mang Eman yang sedang sakit. Jadi rencana membawa Mang Ukin ke rumah sakit terpaksa harus ditunda.
Ny. Isah tak mau membawa Mang Ukin ke dokter tanpa persetujuan Kuwu. Apalagi, katanya, biasanya kalau ada salah seorang anggota keluarganya yang sakit, cukup diobati oleh orang pintar dan ternyata bisa sembuh.
Malang tak dapat ditolak, untuk tak dapat diraih. Esok harinya Mang Ukin, petani pendiam itu, meninggal dunia sebelum sempat dibawa ke rumah sakit. Anehnya, sekujur tubuhnya membiru seperti keracunan. Bau busuk juga keluar dari tubuhnya. Dan bau ini tak juga hilang meskipun nyawanya telah melayang.
Ayahku tak sempat melayat jenazahnya. Karena begitu dia datang melayat, Mang Ukin sudah bersatu dengan tanah alias sudah dimakamkan.
Malam hari setelah Mang Ukin dimakamkan, hujan turun dengan deras. Anehnya, baru kali ini hujan deras bercampur es menyiram desa kami. Suara butiran es yang jatuh di atap rumah seluruh warga sebenarnya enak didengar, namun suasana yang mencekam membuat bulu kuduk berdiri meremang.
Aku dilarang ibu membuka pintu rumah untuk melihat hujan es. Padahal, aku ingin sekali melihat es sebesar jagung yang bertebaran di halaman rumahku. Karena, seumur hidupku aku belum pernah mengalami hujan es.
Aku dan Ayah Bundaku, malam itu tak dapat memicingkan mata. Tengah malam kudengar suara ribut di halaman rumahku, seperti banyak orang sedang bercakap-cakap merundingkan sesuatu. Tubuhku merinding.
Ayah dan Ibu saling pandang. Dengan memberanikan diri Ibu coba mengintip dari sela-sela jendela. Suara riuh rendah itu mendadak berhenti. Sunyi menyungkup bumi. Menurut ibu, tak ada apa-apa di halaman rumah. Cuma yang ada kesunyian yang mencekam.
Esok paginya, dari sejumlah warga desa kudengar bahwa mereka juga pada malam hari tadi diganggu suara-suara aneh. Ada yang pintu rumahnya digedor keras-keras namun tak ada pelakunya. Ada yang gentingnya pecah dilempari batu, tapi tak tahu dari mana datangnya. Bahkan, ada yang atap rumahnya bolong seperti ditembus benda keras, namun ketika diperiksa tidak ada apa-apa. Hampir seluruh penduduk dicekam ketakutan.
Gangguan aneh seperti ini berlangsung hampir selama tiga malam terus-menerus. Anehnya,. dua hari kemudian Si Bencoy, sanca kesayangan Ayah mendadak mati. Aku juga heran, karena sehari sebelumnya, ular yang juga kesayanganku itu terlihat sehat, tak ada kelainan apapun. Hanya, kadang-kadang ular sanca ini terlihat mengibas-ngibas ekornya seperti gelisah. Untuk kedu kalinya aku kehilangan ular yang kusayangi setelah Si Belang mati keracunan.
Malam keempat, kembali suara hiruk-pikuk itu terdengar lagi. Malam itu, kalau tak salah malam Jum'at Kliwon. Aku ketakutan. Kupeluk tubuh Ibuku erat-erat. Kepalaku diusapnya dengan penuh kasih sayang. Keningku dikecup. Oh, Bunda yang penuh kasih! Kutatap matanya. Tak ada sinar ketakutan di sana, yang ada hanya pantulan sinar kemesraan dan kasih sayang.
Aku merasa terlindung. Rasa takutku berkurang. Kini giliran Ayahku yang mengintip dari balik jendela. Kulihat tubuhnya yang tinggi besar itu menggigil. Tak lama kemudian dia melambaikan tangannya ke arah Ibuku, yang kemudian juga ikut mengintip. Aku melihat tubuh Ibuku bergoyang, atau persisnya menggigil ketakutan.
Melihat kedua orang tuaku berulah seperti itu, aku jadi penasaran. Aku pun ikut mengintip bersama mereka. Apa yang terjadi?
Dari balik tirai jendela kulihat di luar sana, persisnya dibawah pohon rambutan, ada ratusan atau mungkin ribuan ekor ular berwarna kuning emas dibalut warna merah darah saling membelit sambil mengeluarkan suara aneh. Seperti rintihan berbaur dengan kemarahan.
Di tengah-tengah kumpulan ular itu, ternyata ada seekor ular besar berwarna merah dengan mata menyala. Mungkin, dia adalah raja dari hewan-hewan melata yang menjijikan itu.
Melihat pemandangan yang sama sekali tak lazim itu, tubuhku menggigil ketakutan. Bahkan, karena tak kuat lagi menahan rasa takut, tak lama kemudian aku jatuh pingsan.
Anehnya, ketika siuman aku melihat seorang lelaki tampan berpakaian sutera kuning gemerlapan tersenyum kepadaku. Dia mengaku bernama Ki Sanca Pertala. Tak hanya itu, lelaki yang bagai seorang pangeran dari kerajaan tempo dulu itu juga mengaku kalau kini dirinya sedang mencari isterinya yang hilang. Sang isteri disebutnya bernama Nyai Nagagini.
Setelah melihat kemunculan Ki Sanca Pertala yang menjelma sebagai seorang pangeran tampan itu, entah bagaimana aku kembali tak sadarkan diri. Setelah sadar, aku menceritakan kedatangan orang yang bernama Ki Sanca Pertala ini kepada Ayahku.
Ayah dan Ibu saling pandang demi mendengar ceritaku. Kemudian keduanya mengangguk-anggukan kepala, seolah memahami apa yang terjadi.
Pagi harinya, warga desa beramai-ramai menggali kuburan ular emas yang dibunuh oleh almarhum Mang Ukin. Aneh, tubu ular yang tadinya terpotong dua akibat sabetan parang Mang Ukin itu, ternyata sudah menyatu lagi. Yang tak kalah aneh, bangkai ular itu masih berbau harum, meski sudah lebih seminggu terkubur dalam tanah.
Atas saran seorang sesepuh kampung yang mengerti masalah gaib, Ayah kemudian meletakkan bangkai ular diatas talam atau nampan kuningan, berikut sesaji yang telah disiapkan oleh seorang pawang ular yang sengaja didatangkan khusus dari Karawang.
Kemudian, bangkai ualr siluman yang bernama Nyi Nagagini itu dibawa ke pinggir Sungai Cileuleuy, lalu dengan hati-hati dilarung ke sungai yang airnya sedang deras.
Sejak saat itu, gangguan siluman ular di desaku tak pernah terdengar lagi. Desa kami kembali menjadi desa yang aman dan tenteram.
Meskipun Ayah dan Bundaku telah lama berpulang ke alam baka, namun kisah aneh itu sampai kini masih membekas di benakku. Mungkin karena trauma melihat ribuan ular aneh pada malam itu, maka hingga kini aku paling takut dan jijik bila melihat ular
Tidak ada komentar:
Posting Komentar