Penulis : KI DADAP TULIS
Kisah mistis ini sungguh menggetarkan perasaan. Bagaimana bisa vagina seseorang dihuni oleh seekor binatang berupa Lintah Hijau? Apakah ini penyakit, atau mungkin kutukan...?
Ketika kakiku menginjak Bumi Lambung Mangkurat, hatiku langsung terpaut erat di sana. Alamnya yang gemerlap indah dan masih perawan, sungguh telah menawan hatiku. Sungai-sungai, hutan, rawa-rawa, dan bukit-bukitnya begitu elok dan membuatku serasa telah menemukan dunia baru.
Aku pun semakin terikat erat dengan Lambung Mangkurat begitu berkenalan dengan Emalia, seorang gadis Dayak Manyan yang telah merampas jiwaku. Aku begitu mencintai gadis ini, bahkan mungkin dialah cinta pertamaku yang sebenarnya. Karena itu aku ingin segera menikah dengan Emalia, tetapi kawan-kawanku melarang atau paling tidak memperingatkan agar aku berpikir ulang untuk mewujudkan niat itu.
"Emalia bukan seorang gadis, dia tidak perawan lagi!" kata Bonar, mengingatkan.
"Walau Emalia seorang janda, apa salahnya? Aku mencintainya," jawabku, tegas
"Masalahnya, dia telah menjanda empat kali. Kalau kau menikah dengannya, dia akan menajdi janda untuk kelima kalinya!" sahut Damai sambil menepuk bahku.
"Jadi, dia telah beberapa kali menikah?" tanyaku keheranan. Terus terang, baru kali ini aku mendengar informasi itu. Walau aku tahu Emilia berstatus sebagai janda, namun kupikir dia baru sekali menikah. Ya, dia cerai mati karena suaminya meninggal akibat suatu penyakit. Demikian yang pernah aku dengar.
"Kau ini selalu ketinggalan kereta. Makanya, sebelum kau memutuskan untuk menikahi Emilia, lebih baik cari dulu informasi agar kamu tidak terjemurus," tambah si Bonar pula.
"Dari mana kalian tahu semua ini?" tanyaku, penasaran.
"Ya, dari mulut ke mulut!" sahut Ripto yang sejak tadi hanya diam saja.
Ah, informasi mengenai status Emilia yang telah menjanda empat kali ini terus terang sangat mengganggu pikiranku. Aku tidak bisa tinggal diam. Emalia harus kuajak bicara mengenai hal ini. Sebab, jangan-jangan Bonar, Damai, dan juga Ripto hanya ingin memanas-manasiku. Ya, bisa saja mereka bercanda untuk menutup perasaan cemburu.. Kalau ini bernar, sungguh canda mereka sangat keterlaluan.
Hari itu, aku sengaja menemui Emilia dan mengajaknya bicara berdua. Biasanya kami berdua hanya berbincang-bincang di teras rumahnya. Tetapi sekarang aku diajak duduk di sebatang kayu ulin yang tergolek di samping rumah. Di tempat itu kami dapat berbicara tanpa diganggu oleh adik-adiknya yang sangat akrab denganku.
"Abang mau tahu tentan kehidupan masa laluku, bukan?" Emalia mulai membuka pembicaraan. Sepertinya dia sudah bisa membaca perasaanku.
"Bagaimana kau tahu?" tanyaku, heran.
"Setiap calon suami selalu ingin tahu masa lalu calon isterinya. Tidak terkecuali Abang. Ini suatu hal yang wajar, dan aku tidak perlu merasa tersinggung karenanya."
"Benar, Ema. Tapi sebelumnya aku mohon maaf. Semua ini terpaksa aku lakukan, karena aku tidak ingin masa lalumu menjadi kendala kehidupan rumah tangga kita nantinya," jawabku coba bersikap bijak.
"Apa yang ingin Abang ketahui?" tanya Emilia sambil menatapku.
Aku hanya diam tergugu. Batinku sungguh tak tega untuk menanyakan hal yang dipergunjingkan oleh teman-temanku semalam. Aku tak ingin melihat wanita cantik itu bersedih.
"Aku taku apa yang sedang berkecamuk di dalam hati Abang!" kata Emilia seperti menebak. "Ya, pasti Abang sudah mendengar cerita tentang aku yang sudah menikah empat kali? Itu, benar Bang. Aku tidak membantahnya. Dan kalau kita berjodoh, abang adalah suamiku yang kelima. Dan perlu Abang ketahui, keempat suamiku meninggal setelah menikahiku. Paling lama hanya tiga bulan. Itupun mereka hanya berhubungan badan denganku sekali saja. Itulah kisah tentang aku, Bang. Sekarang, terserang sikap Abang bagaimana!"
Seperti layaknya terbius, aku tetap diam seribu bahasa. Tenggorokanku seperti tercekat oleh perasaan yang begitu mengharu di dalam hatiku.
"Sekarang, apa yang Abang perlu ketahui lagi tentang diriku?" tanya Emilia seakan coba mencairkan suasana.
"Ema, apakah kamu punya ilmu atau apa yang dapat mencelakai para suamimu?" aku balik bertanya dengan suara yang agak gemetar. Aku sungguh tak mau menyakiti hatinya.
"Ilmu? Saya tidak punya, Bang! Tapi, semua ini mungkin karena tadirku yang buruk," jawabnya dengan nada sedih.
"Apakah di tubuhmu ada tanda atau semacam gambar seperti tato, misalnya?" pancingku.
"Mengapa Abang tanyakan itu?"
"Soalnya, di Jawa ada perempuan yang setiap kali menikah suaminya pasti meninggal. Mereka disebut Bahu Laweyan. Biasanya, di tubuh mereka ada semacam tato atau tanda bawaan sejak lahir," jawabku.
"Tidak. Tidak ada, Bang. Tubuh Ema mulus, kok. Nanti Abang bisa periksa. Atau kalau Abang mau sekarang juga boleh."
"Tidak, tidak usah. Abang percaya, kok!" jawabku agak kikuk.
Dengan pandangan menerawang, Emilia lalu berkata, "Terus terang, saya juga tidak senang dengan keadaan saya yang aneh ini, Bang. Kalau diibaratkan penyakit, Ema juga ingin sembuh. Ema tidak ingin hanya sebentar bersama Abang. Ema sangat mencintai Abang. Demi Tuhan, Ema takut nasib Abang akan sama seperti nasib suami-suami Ema terdahulu!" air mata Emilia mulia mengalir di atas wajahnya yang halus dan inosen itu.
"Apakah dengan suami-sumai terdahulu Ema tidak mencintainya?"
"Hidup manusia memang penuh misteri, Bang. Bahkan Ema menganggap seperti perjudian. Empat kali menikah, ada empat alasan mengapa Ema menganggap bahwa Abang adalah jodoh Ema. Sejak pertama kali melihat Abang, Ema percaya bahwa Abang adalah ayah dari anak-anak Ema nanti. Terus terang, pernikahan Ema sebelumnya adalah karena orang tua semata."
"Baiklah kalau begitu. Abang akan berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya yang terjadi dalam dirimu. Kalau sudah ketemu penyebabnya pastilah ada jalan keluarnya," kataku sambil menyusut air matanya yang telah menganaksungai di atas wajah cantiknya. Untuk menenangkannya, kubiarkan Emilia larut dalam pelukanku.
***
Akhirnya, aku berpamitan pulang ke kampung halamanku di Jawa Tengah. Sebelum berpisah Ema menghadiahiku ciuman di pipi. Lembut dan sejuk. Ah, cinta yang teramat dalam membuatku begitu merasakan ketulusan di dalam hati Emilia. Dan tekadku kian mantap untuk mencari jalan keluar atas apa yang dialami oleh wanita yang sangat aku cintai itu.
Selama di kampung, waktu senggangku kuhabiskan untuk mencari tahu penyakit apa sebenarnya yang bersarang di tubuh calon isteriku itu. Namun hampir semua orang pintar yang kutanya selalu menggelengkan kepalanya. Tidak tahu apa yang ada dalam diri Ema. Alhasil, usahaku mencari tahu itu akhirnya gagal. Dan aku memutuskan untuk kembali ke Lambung Mangkurat. di tempat ini aku bekerja di perusahaan penebangan kayu yang beroperasi di pedalaman Kalimantan Tengah. Tepatnya di Tumbang Samba, beberapa kilometer sebelum Rantau Asem. Sedangkan Ema tinggal di Banjarmasin. Kami bertemu tiga bulan sekali di saat aku ke Kantor Pusat untuk menyampaikan laporan Triwulanan.
Aku tak ingin berputus asa. Setibanya kembali di Kalimantan, aku terus mencari informasi ke oang pintar di sana. Namun, sejumlah sesepuh orang Dayak di sepanjang Sungai Katingen yang sudah kutanyai, tidak ada seorang pun yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan.
Setelah berkeliling tanpa hasil, akhirnya aku nasib mempertemukanku dengan seorang Kyai di daerah Kota Kandangan. Menurut silsilahnya, beliau masih keturunan Kyai yang dulu datang dari Kerajaan Demak membantu Pangeran Samudera. Beliau adalah Kyai Abdullah Syafei.
"Saya heran. Setelah setelah sekian puluh tahun saya tidak mendengar adanya kasus seperti ini, sekarang muncul lagi di Banjarmasin," kata sang Kyai setelah mendengar suluruh rangkaian cerita yang aku tuturkan mengenai Emilia.
"Sebenarnya apa yang tengah dialami oleh calon isteri saya itu, Kyai. Penyakit atau kutukan?" tanyaku setengah mendesak.
"Begini, agar lebih jelas lagi, saya kira calon isterimu ajaklah kesini. Dengan demikian aku dapat memastikan apa yang tengah dialaminya," kata Kyai Abdullah Safei.
"Baiklah, Kyai. Besok Emalia akan saya ajak menghadap Kyai. Lebih cepat lebih baik." kataku menyanggupi.
Setelah berpermitan saya lalu kembali ke Banjarmasin. Setibanya di Banjarmasin, aku temui Emilia dan kuceritakan prihal pertemuanku dengan Kyai Abdullah. Akhirnya, Emalia mau berobat ke Kyai Abdullah di Kandangan.
Hari itu, kami kembali bertatap muka dengan Kyai Abdullah. Setelah berbincang-bincang sejenak, Emalia diminta untuk keluar sebentar. Setelah dia keluar, Kyai memintaku agar segera menikahi Emalia.
"Apakah tidak berbahaya, Kyai?" tanyaku sedikit kuatir.
"Tidak! Hanya kamu yang dapat menyembuhkan calon isterimu itu. Dengan menikahinya secara resmi, kamu telah menjadi suaminya, maka kamu dapat menghilangkan penyebab penyakit calon isterimu itu," jelas Kyai Abdullah.
"Bagaimana mungkin, Kyai?" desakku.
"Ketahuilah, di rahim calon isterimu itu dihuni oleh seekor binatang langka berwujud Lintah Hijau. Binatang itu suka sekali menghisap air mani. Dia akan menempel ke ujung penis yang masuk ke dalam, maaf, lubang vagina," jelas Kyai lagi.
"Kenikmatan yang luar biasa akan dirasakan oleh suami tanpa menyadari adanya bahaya yang mengancam jiwanya. Sewaktu menghisap sperma ludah Lintah Hijau yang sangat beracun itu memasuki tubuh korbannya melalui saluran sperma atau saluran kencing. Akibat pertama yang dialami korban adalah impotensi total. Bekerjanya racun itu sangat hebat dan cepat. Tidak lebih dari empat jam si korban sudah dibuat tidak berdaya. Kemudian menjalar ke seluruh tubuh dan menghancurkan sistem kekebalan tubuh," tambahnya membuat bulu kudukku merinding.
"Bagaimana orang tega melakukan kekejaman seperti itu, Kyai?" tanyaku sambil menekan perasaan.
"Sebenarnya Lintah Hijau itu tadinya dimaksudkan untuk mencegah perselingkuhan. Siapa yang berhubungan dengan isterinya tanpa mengetahui bahwa isterinya dihuni Lintah Hijau, dalam waktu yang sangat singkat akan meninggal."
"Apakah Kyai tahu bagaimana Emalia memiliki itu?"
"Warisan orang tua. Ketika ibunya meninggal Emalia masih kecil. Lintah Hijau akan keluar dari sarangnya begitu yang dihuni meninggal. Maka oleh ayahnya Linta Hijau itu diambil dan dimasukkan ke dalam vagina anaknya. Sayang sekali sebelum sempat memberitahukan keberadan Lintah Hijau dan penangkalnya ayah Emalia menyusul isterinya. Meninggal."
"Apakah Kyai sudah punya penangkalnya?" tanyaku.
"Belum. Baru akan saya buat. Nanti akan kuberkan kepadamu menjelang kalian menikah."
Ringkas cerita, aku dan Emalia sudah menetapkan hari pernikahan. Satu minggu menjelang hari H, aku kembali ke Kandangan untuk mengambil penangkal Lintah Hijau itu. Aku tidak tahu terbuat dari bahan apa. Sepintas seperti fosfor. Ya, bubuk berwarna hijau. Bila di tempat gelap tampak menyala. Wadahnya berupa botol kaca bergaris tengah 5 cm dengan panjang 12 cm.
Akhirnya, kami menikah. Pestanya cukup meriah. Setelah pesta usai kami berdua mendapat kesempatan untuk menikmati malam pertama. Tentu saja aku punya tugas untuk membebaskan isteriku dari Lintah Hijau terkutuk itu.
"Demi kebahagian kita, turuti saja perintahku. Aku tidak mungkin membuatmu menderita," bisikku dengan mesra.
"Terserah Abang saja, asal Abang bahagia!" jawabnya dengan suara bergetar.
Aku mulai bereaksi sesuai petunjuk Kyai Abdullah. Lampu kamar kumatikan. Untuk sekejap aku tidak mampu melihat apapun. Kemudian aku naik ke ranjang. Kubisikan ke telinga isterku agar melapaskan pakaiannya. Ia menurutinya.
Kemudian kaki isteriku sedikit kutekuk, lalu kusuruh dia dalam posisi mengangkang. Dengan cepat botol yang berisi bubuk hijau itu kubuka tutupnya lalu kuletakkan di depan kemaluan isteriku. Di dalam gelap bubuk hijau tampak menyala.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian, kulihat kemaluan isteriku memancarkan warna hijau terang. Dari lubang kemaluannya keluar seekor Lintah berwarna hijau terang. Makhlun aneh itu bergerak perlahan menuju ke botol yang kutaruh di depan kemaluan isteriku. Seorang tersedot oleh bubuk di dalam botol, makhluk itu terus masuk ke dalamnya.
Begitu Lintah itu memasuki botol sampai di tengah, segera kututup botol itu dan kumasukkan ke dalam kantong hitam yang sudah disiapkan oleh Pak Kyai. Lalu, kupeluk isteriku dengan penuh haru.
Semalaman itu kami hanya tidur sambil berpelukan. Tidak ada nafsu. Yang ada hanya cinta kasih dan sayang. Aku sangat bahagia sebab telah membebaskan isteriku dari "penyakit" atau boleh disebut sebagai "kutukan" yang maha dahsyat.
Setelah beberapa hari meminum ramuan dan membersihkan kemaluan air pemberian Kyai Abdullah, barulah kami dapat berhubungan badan. Dan kami hidup bahagia sampai sekarang...
Kisah mistis ini sungguh menggetarkan perasaan. Bagaimana bisa vagina seseorang dihuni oleh seekor binatang berupa Lintah Hijau? Apakah ini penyakit, atau mungkin kutukan...?
Ketika kakiku menginjak Bumi Lambung Mangkurat, hatiku langsung terpaut erat di sana. Alamnya yang gemerlap indah dan masih perawan, sungguh telah menawan hatiku. Sungai-sungai, hutan, rawa-rawa, dan bukit-bukitnya begitu elok dan membuatku serasa telah menemukan dunia baru.
Aku pun semakin terikat erat dengan Lambung Mangkurat begitu berkenalan dengan Emalia, seorang gadis Dayak Manyan yang telah merampas jiwaku. Aku begitu mencintai gadis ini, bahkan mungkin dialah cinta pertamaku yang sebenarnya. Karena itu aku ingin segera menikah dengan Emalia, tetapi kawan-kawanku melarang atau paling tidak memperingatkan agar aku berpikir ulang untuk mewujudkan niat itu.
"Emalia bukan seorang gadis, dia tidak perawan lagi!" kata Bonar, mengingatkan.
"Walau Emalia seorang janda, apa salahnya? Aku mencintainya," jawabku, tegas
"Masalahnya, dia telah menjanda empat kali. Kalau kau menikah dengannya, dia akan menajdi janda untuk kelima kalinya!" sahut Damai sambil menepuk bahku.
"Jadi, dia telah beberapa kali menikah?" tanyaku keheranan. Terus terang, baru kali ini aku mendengar informasi itu. Walau aku tahu Emilia berstatus sebagai janda, namun kupikir dia baru sekali menikah. Ya, dia cerai mati karena suaminya meninggal akibat suatu penyakit. Demikian yang pernah aku dengar.
"Kau ini selalu ketinggalan kereta. Makanya, sebelum kau memutuskan untuk menikahi Emilia, lebih baik cari dulu informasi agar kamu tidak terjemurus," tambah si Bonar pula.
"Dari mana kalian tahu semua ini?" tanyaku, penasaran.
"Ya, dari mulut ke mulut!" sahut Ripto yang sejak tadi hanya diam saja.
Ah, informasi mengenai status Emilia yang telah menjanda empat kali ini terus terang sangat mengganggu pikiranku. Aku tidak bisa tinggal diam. Emalia harus kuajak bicara mengenai hal ini. Sebab, jangan-jangan Bonar, Damai, dan juga Ripto hanya ingin memanas-manasiku. Ya, bisa saja mereka bercanda untuk menutup perasaan cemburu.. Kalau ini bernar, sungguh canda mereka sangat keterlaluan.
Hari itu, aku sengaja menemui Emilia dan mengajaknya bicara berdua. Biasanya kami berdua hanya berbincang-bincang di teras rumahnya. Tetapi sekarang aku diajak duduk di sebatang kayu ulin yang tergolek di samping rumah. Di tempat itu kami dapat berbicara tanpa diganggu oleh adik-adiknya yang sangat akrab denganku.
"Abang mau tahu tentan kehidupan masa laluku, bukan?" Emalia mulai membuka pembicaraan. Sepertinya dia sudah bisa membaca perasaanku.
"Bagaimana kau tahu?" tanyaku, heran.
"Setiap calon suami selalu ingin tahu masa lalu calon isterinya. Tidak terkecuali Abang. Ini suatu hal yang wajar, dan aku tidak perlu merasa tersinggung karenanya."
"Benar, Ema. Tapi sebelumnya aku mohon maaf. Semua ini terpaksa aku lakukan, karena aku tidak ingin masa lalumu menjadi kendala kehidupan rumah tangga kita nantinya," jawabku coba bersikap bijak.
"Apa yang ingin Abang ketahui?" tanya Emilia sambil menatapku.
Aku hanya diam tergugu. Batinku sungguh tak tega untuk menanyakan hal yang dipergunjingkan oleh teman-temanku semalam. Aku tak ingin melihat wanita cantik itu bersedih.
"Aku taku apa yang sedang berkecamuk di dalam hati Abang!" kata Emilia seperti menebak. "Ya, pasti Abang sudah mendengar cerita tentang aku yang sudah menikah empat kali? Itu, benar Bang. Aku tidak membantahnya. Dan kalau kita berjodoh, abang adalah suamiku yang kelima. Dan perlu Abang ketahui, keempat suamiku meninggal setelah menikahiku. Paling lama hanya tiga bulan. Itupun mereka hanya berhubungan badan denganku sekali saja. Itulah kisah tentang aku, Bang. Sekarang, terserang sikap Abang bagaimana!"
Seperti layaknya terbius, aku tetap diam seribu bahasa. Tenggorokanku seperti tercekat oleh perasaan yang begitu mengharu di dalam hatiku.
"Sekarang, apa yang Abang perlu ketahui lagi tentang diriku?" tanya Emilia seakan coba mencairkan suasana.
"Ema, apakah kamu punya ilmu atau apa yang dapat mencelakai para suamimu?" aku balik bertanya dengan suara yang agak gemetar. Aku sungguh tak mau menyakiti hatinya.
"Ilmu? Saya tidak punya, Bang! Tapi, semua ini mungkin karena tadirku yang buruk," jawabnya dengan nada sedih.
"Apakah di tubuhmu ada tanda atau semacam gambar seperti tato, misalnya?" pancingku.
"Mengapa Abang tanyakan itu?"
"Soalnya, di Jawa ada perempuan yang setiap kali menikah suaminya pasti meninggal. Mereka disebut Bahu Laweyan. Biasanya, di tubuh mereka ada semacam tato atau tanda bawaan sejak lahir," jawabku.
"Tidak. Tidak ada, Bang. Tubuh Ema mulus, kok. Nanti Abang bisa periksa. Atau kalau Abang mau sekarang juga boleh."
"Tidak, tidak usah. Abang percaya, kok!" jawabku agak kikuk.
Dengan pandangan menerawang, Emilia lalu berkata, "Terus terang, saya juga tidak senang dengan keadaan saya yang aneh ini, Bang. Kalau diibaratkan penyakit, Ema juga ingin sembuh. Ema tidak ingin hanya sebentar bersama Abang. Ema sangat mencintai Abang. Demi Tuhan, Ema takut nasib Abang akan sama seperti nasib suami-suami Ema terdahulu!" air mata Emilia mulia mengalir di atas wajahnya yang halus dan inosen itu.
"Apakah dengan suami-sumai terdahulu Ema tidak mencintainya?"
"Hidup manusia memang penuh misteri, Bang. Bahkan Ema menganggap seperti perjudian. Empat kali menikah, ada empat alasan mengapa Ema menganggap bahwa Abang adalah jodoh Ema. Sejak pertama kali melihat Abang, Ema percaya bahwa Abang adalah ayah dari anak-anak Ema nanti. Terus terang, pernikahan Ema sebelumnya adalah karena orang tua semata."
"Baiklah kalau begitu. Abang akan berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya yang terjadi dalam dirimu. Kalau sudah ketemu penyebabnya pastilah ada jalan keluarnya," kataku sambil menyusut air matanya yang telah menganaksungai di atas wajah cantiknya. Untuk menenangkannya, kubiarkan Emilia larut dalam pelukanku.
***
Akhirnya, aku berpamitan pulang ke kampung halamanku di Jawa Tengah. Sebelum berpisah Ema menghadiahiku ciuman di pipi. Lembut dan sejuk. Ah, cinta yang teramat dalam membuatku begitu merasakan ketulusan di dalam hati Emilia. Dan tekadku kian mantap untuk mencari jalan keluar atas apa yang dialami oleh wanita yang sangat aku cintai itu.
Selama di kampung, waktu senggangku kuhabiskan untuk mencari tahu penyakit apa sebenarnya yang bersarang di tubuh calon isteriku itu. Namun hampir semua orang pintar yang kutanya selalu menggelengkan kepalanya. Tidak tahu apa yang ada dalam diri Ema. Alhasil, usahaku mencari tahu itu akhirnya gagal. Dan aku memutuskan untuk kembali ke Lambung Mangkurat. di tempat ini aku bekerja di perusahaan penebangan kayu yang beroperasi di pedalaman Kalimantan Tengah. Tepatnya di Tumbang Samba, beberapa kilometer sebelum Rantau Asem. Sedangkan Ema tinggal di Banjarmasin. Kami bertemu tiga bulan sekali di saat aku ke Kantor Pusat untuk menyampaikan laporan Triwulanan.
Aku tak ingin berputus asa. Setibanya kembali di Kalimantan, aku terus mencari informasi ke oang pintar di sana. Namun, sejumlah sesepuh orang Dayak di sepanjang Sungai Katingen yang sudah kutanyai, tidak ada seorang pun yang dapat memberikan jawaban yang memuaskan.
Setelah berkeliling tanpa hasil, akhirnya aku nasib mempertemukanku dengan seorang Kyai di daerah Kota Kandangan. Menurut silsilahnya, beliau masih keturunan Kyai yang dulu datang dari Kerajaan Demak membantu Pangeran Samudera. Beliau adalah Kyai Abdullah Syafei.
"Saya heran. Setelah setelah sekian puluh tahun saya tidak mendengar adanya kasus seperti ini, sekarang muncul lagi di Banjarmasin," kata sang Kyai setelah mendengar suluruh rangkaian cerita yang aku tuturkan mengenai Emilia.
"Sebenarnya apa yang tengah dialami oleh calon isteri saya itu, Kyai. Penyakit atau kutukan?" tanyaku setengah mendesak.
"Begini, agar lebih jelas lagi, saya kira calon isterimu ajaklah kesini. Dengan demikian aku dapat memastikan apa yang tengah dialaminya," kata Kyai Abdullah Safei.
"Baiklah, Kyai. Besok Emalia akan saya ajak menghadap Kyai. Lebih cepat lebih baik." kataku menyanggupi.
Setelah berpermitan saya lalu kembali ke Banjarmasin. Setibanya di Banjarmasin, aku temui Emilia dan kuceritakan prihal pertemuanku dengan Kyai Abdullah. Akhirnya, Emalia mau berobat ke Kyai Abdullah di Kandangan.
Hari itu, kami kembali bertatap muka dengan Kyai Abdullah. Setelah berbincang-bincang sejenak, Emalia diminta untuk keluar sebentar. Setelah dia keluar, Kyai memintaku agar segera menikahi Emalia.
"Apakah tidak berbahaya, Kyai?" tanyaku sedikit kuatir.
"Tidak! Hanya kamu yang dapat menyembuhkan calon isterimu itu. Dengan menikahinya secara resmi, kamu telah menjadi suaminya, maka kamu dapat menghilangkan penyebab penyakit calon isterimu itu," jelas Kyai Abdullah.
"Bagaimana mungkin, Kyai?" desakku.
"Ketahuilah, di rahim calon isterimu itu dihuni oleh seekor binatang langka berwujud Lintah Hijau. Binatang itu suka sekali menghisap air mani. Dia akan menempel ke ujung penis yang masuk ke dalam, maaf, lubang vagina," jelas Kyai lagi.
"Kenikmatan yang luar biasa akan dirasakan oleh suami tanpa menyadari adanya bahaya yang mengancam jiwanya. Sewaktu menghisap sperma ludah Lintah Hijau yang sangat beracun itu memasuki tubuh korbannya melalui saluran sperma atau saluran kencing. Akibat pertama yang dialami korban adalah impotensi total. Bekerjanya racun itu sangat hebat dan cepat. Tidak lebih dari empat jam si korban sudah dibuat tidak berdaya. Kemudian menjalar ke seluruh tubuh dan menghancurkan sistem kekebalan tubuh," tambahnya membuat bulu kudukku merinding.
"Bagaimana orang tega melakukan kekejaman seperti itu, Kyai?" tanyaku sambil menekan perasaan.
"Sebenarnya Lintah Hijau itu tadinya dimaksudkan untuk mencegah perselingkuhan. Siapa yang berhubungan dengan isterinya tanpa mengetahui bahwa isterinya dihuni Lintah Hijau, dalam waktu yang sangat singkat akan meninggal."
"Apakah Kyai tahu bagaimana Emalia memiliki itu?"
"Warisan orang tua. Ketika ibunya meninggal Emalia masih kecil. Lintah Hijau akan keluar dari sarangnya begitu yang dihuni meninggal. Maka oleh ayahnya Linta Hijau itu diambil dan dimasukkan ke dalam vagina anaknya. Sayang sekali sebelum sempat memberitahukan keberadan Lintah Hijau dan penangkalnya ayah Emalia menyusul isterinya. Meninggal."
"Apakah Kyai sudah punya penangkalnya?" tanyaku.
"Belum. Baru akan saya buat. Nanti akan kuberkan kepadamu menjelang kalian menikah."
Ringkas cerita, aku dan Emalia sudah menetapkan hari pernikahan. Satu minggu menjelang hari H, aku kembali ke Kandangan untuk mengambil penangkal Lintah Hijau itu. Aku tidak tahu terbuat dari bahan apa. Sepintas seperti fosfor. Ya, bubuk berwarna hijau. Bila di tempat gelap tampak menyala. Wadahnya berupa botol kaca bergaris tengah 5 cm dengan panjang 12 cm.
Akhirnya, kami menikah. Pestanya cukup meriah. Setelah pesta usai kami berdua mendapat kesempatan untuk menikmati malam pertama. Tentu saja aku punya tugas untuk membebaskan isteriku dari Lintah Hijau terkutuk itu.
"Demi kebahagian kita, turuti saja perintahku. Aku tidak mungkin membuatmu menderita," bisikku dengan mesra.
"Terserah Abang saja, asal Abang bahagia!" jawabnya dengan suara bergetar.
Aku mulai bereaksi sesuai petunjuk Kyai Abdullah. Lampu kamar kumatikan. Untuk sekejap aku tidak mampu melihat apapun. Kemudian aku naik ke ranjang. Kubisikan ke telinga isterku agar melapaskan pakaiannya. Ia menurutinya.
Kemudian kaki isteriku sedikit kutekuk, lalu kusuruh dia dalam posisi mengangkang. Dengan cepat botol yang berisi bubuk hijau itu kubuka tutupnya lalu kuletakkan di depan kemaluan isteriku. Di dalam gelap bubuk hijau tampak menyala.
Tidak sampai sepuluh menit kemudian, kulihat kemaluan isteriku memancarkan warna hijau terang. Dari lubang kemaluannya keluar seekor Lintah berwarna hijau terang. Makhlun aneh itu bergerak perlahan menuju ke botol yang kutaruh di depan kemaluan isteriku. Seorang tersedot oleh bubuk di dalam botol, makhluk itu terus masuk ke dalamnya.
Begitu Lintah itu memasuki botol sampai di tengah, segera kututup botol itu dan kumasukkan ke dalam kantong hitam yang sudah disiapkan oleh Pak Kyai. Lalu, kupeluk isteriku dengan penuh haru.
Semalaman itu kami hanya tidur sambil berpelukan. Tidak ada nafsu. Yang ada hanya cinta kasih dan sayang. Aku sangat bahagia sebab telah membebaskan isteriku dari "penyakit" atau boleh disebut sebagai "kutukan" yang maha dahsyat.
Setelah beberapa hari meminum ramuan dan membersihkan kemaluan air pemberian Kyai Abdullah, barulah kami dapat berhubungan badan. Dan kami hidup bahagia sampai sekarang...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar