Penulis : DEWI WULANDARI
Inilah kisah mistis pengalaman menegangkan yang pernah dialami Ibu Masliha. Saat menunggui anaknya yang dirawat di rumah sakit, dia ditemui sosok pemuda tampan yang ternyata sudah menjadi mayat akibat kecelakaan. Pemuda ini mengajaknya tidur di kamar mayat....
Itulah sekilas gambaran kondisi RSUD Balung saat ini. Keadaan tersebut sangat bertolak belakang dengan saat pertama kali rumah sakit tersebut didirikan, persisnya puluhan tahun yang lalu, tepatnya ketika RS itu masih berbentuk Puskesmas. Bahkan, di tahun-tahun pertama Puskesma Balung sempat tidak memiliki penerangan listrik, sebelum akhirnya menggunakan listrik bertenaga diesel.
Meskipun begitu, Puskesma yang menjadi cikal bakal RSUD Balung ini boleh dikata tidak pernah sepi dari pasien. Karena di wilayah Jember bagian selatan, hanya Balung-lah satu-satunya kecamatan yang memiliki Puskesmas.
Selain keadaannya yang memprihatinkan, cerita-cerita menakutkan tentang keberadaan Puskesma Balung bukan hal yang asing bagi warga setempat. Juga bagi para pasien yang pernah menjalani rawat inap di
Tak hanya itu, kereta dorong yang dipakai untuk mengangkat pasien juga kerap berjalan sendiri menuju ke kamar mayat. Ditambah lagi, wujud-wujud yang menakutkan seringkali menghantui para pasien serta tenaga medis yang bekerja di
Salah satu pengalaman menakutkan dialami oleh Masliha, 72 tahun, saat menjaga anaknya yang terserang muntaber dan harus menjalani rawat inap di salah satu kamar Puskesmas Balung, tidak jauh dari kamar mayat. Kepada Misteri, Masliha menuturkan kisah menakutkan yang dialaminya sekitar tahun tujuh puluhan silam. Berikut ini ringkasannya...:
Sebelumnya aku tidak pernah menginjakkan kaki di Puskesmas Balung. Jadi aku tidak tahu ruangan-ruangan yang ada di tempat tersebut. Selama ini, kalau anak-anakku ada yang sakit, suamikulah yang mengantar mereka berobat. Itupun hanya penyakit ringan, yang sudah dapat disembuhkan dengan berobat jalan.
Karena itu, ketika anak bungsuku terkena muntaber, kekhawatiranku tidak dapat disembunyikan. Apalagi melihat tubuhnya yang lemas, dengan wajah yang pucat.
Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, sesudah Maghrib, kami membawanya ke Puskesmas Balung, yang jaraknya hampir 20 Km. dari rumah. Karena saat itu masih belum ada angkutan umum yang mencari penumpang pada malam hari, maka kami meminta bantuan tetangga yang memiliki becak untuk mengantarkan kami ke Puskesmas Balung.
Begitu sampai di Puskesmas, dokter langsung menangani anak bungsu saya. Rupanya keadaan anakku lumayan gawat. Karena kehabisan banyak cairan, dia harus diinfus, dan harus menjalani rawat inap.
"Mardi kau jaga sendiri saja dulu ya, Bune. Aku akan pulang untuk beres-beres rumah, dan menyelesaikan sisa pekerjaan. Besok pagi aku akan ke sini lagi," kata suamiku setelah beberapa saat lamanya berada di dalam kamar yang ditempati anakku.
Kamar itu berukuran kecil. Ditempati dua ranjang dan dua lemari kecil. Ranjang yang satu ditempati anakku, sedang ranjang lainnya ditempati pasien yang lain seusia Mardi, yang juga menderita muntaber. Berbeda dengan Mardi yang aku jaga seorang diri, pasien itu ditunggu kedua orang tua serta kakaknya.
Sepeninggalan suamiku, waktu aku habiskan dengan bercakap-cakap bersama kedua orang tua pasien teman sekamar anakku. Cukup lama kami bertukar kata, membicarakan apa saja untuk membunuh sepi dan mengurangi rasa dingin. Sampai kedua orang itu mohon pamit untuk beristirahat. Menyusul anak sulungnya yang telah terbaring di lantai yang beralaskan tikar, juga mulai tertidur karena kantuk.
Akupun sendiri di luar kamar, menikmati suasana sepi dan gelapnya malam. Karena genset yang menjadi sumber penerangan, menurut penjelasan salah seorang perawat mengalami kerusakan, maka keadaan Puskesmas itu menjadi gelap. Cahaya lampu tempel yang menghiasi setiap ruangan, tidak mampu melawan kegelapan. Sehingga suasana di sepanjang lorong puskesma tampak remang-remang, seperti di lorong kuburan.
Cukup lama aku duduk di lantai sambil bersandar pada pilar di luar kamar. Sebenarnya, mataku sudah sangat mengantuk, dan tubuh minta direbahkan. Tapi, melihat lantai di dalam kamar penuh sesak dengan penjaga pasien lainnya, aku merasa risih untuk merebahkan tubuh, apalagi tidur berdesak-desakan dengan mereka.
"Ibu sedang menunggu anaknya, ya?" tegur seorang pemuda tampan, yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku.
"I...i...iya!" Jawabku pendek dan sedikit agak gugup.
"Lebih baik ibu beristirahat di kamar sebelah
"Mari, Bu. Saya antar ke kamare itu!" pemuda itu menawarkan jasanya.
Entah karena terbawa oleh rasa lelah dan kantuk yang teramat sangat, atau karena terpengaruh oleh suara pemuda itu yang lembut dan sopan, aku menerima tawarannya. Tanpa menaruh curiga sedikitpun, kuikuti langkahnya menuju kamar di bagian paling belakang. Aku ikuti terus, sampai pemuda itu membuka pintu kamar dan memasukinya.
Ya, berbeda dengan kamar-kamar pasien lainnya, di kamar itu sama sekali tidak diberi penerangan. Hal ini membuat mataku untuk beberapa saat lamanya tidak bisa melihat. Baru setelah terbiasa dengan suasana gelap ruangan itu, aku dapat mengetahui keadaan kamar. Meskipun samar-samar, kulihat kamar itu sangat bersih dan terawat. Ukurannya juga lebih luas dari kamar-kamar pasien yang lain.
"Silahkan beristirahat, Bu!" pemuda itu mempersilahkan sambil menunjuk ke salah satu ranjang. Dia sendiri mengangkat tubuh dan tidur di ranjang yang lain.
Tanpa menaruh rasa curiga, dan tanpa bertanya sepatah katapun, aku melakukan hal yang sama seperti dirinya. Hanya saja, aku tidak menutupi sekujur tubuh dengan selimut sebagaimana pemuda itu.
Karena kantuk yang teramat sangat, aku langsung terlelap begitu punggungku menyentuh kasur di ranjang itu. Entah berapa lama aku tertidur, aku tidak ingat. Hanya yang pasti, dalam tidur aku mendapatkan mimpi yang sangat menyeramkan.
Dalam mimpi itu, aku seolah tertidur di tempat yang sama, dan terjaga. Begitu terbangun, yang kudapati hanyalah kegelapan. Akupun mencoba bangkit. Tapi....duk! Kepalaku terantuk benda yang keras. Dalam keadaan bingung dan takut, tanganku meraba-raba. Astaga! Aku terkurung di dalam peti. Ya, di dalam peti jenazah?
Ketakutanku pun semakin menjadi. Dengan menahan perasaan takut yang teramat sangat, tangan dan kaki aku dorongkan dengan sekuat tenaga ke atas. Seketika itu pula pintu peti terbuka, dan aku segera bangkit dengan panik. Aku berdiri sambil memandang keadaan sekeliling. Ternyata aku masih berada di tempat yang sama. Di sebuah kamar yang berisi empat buah ranjang. Hanya saja kalau sebelumnya ranjang-ranjang itu kosong, tidak berpenghuni, kini diatasnya sudah teronggok peti-peti mati yang dingin dan beku.
Peti-peti mati siapa itu? Batinku dengan tubuh gemetar. Kenapa peti-peti itu berada di sini? Kapan dan siapa yang meletakannya? Berbagai pertanyaan memenuhi benakku.
Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu sempat terjawab, dan sebelum rasa takut sempat kuatasi, sudah menyusul lagi peristiwa lain yang lebih menakutkan. Tanpa aku duga, peti-peti yang teronggok diatas ranjang itu tiba-tiba terbuka. Disusul dengan keluarnya sosok tubuh manusia dengan wajah pucat pasi. Akupun tidak kuasa lagi mengendalikan rasa takut. Tanpa sadar, mulutku sudah berteriak sekeras-kerasnya. Mendadak aku pun terjaga dari tidur.
"Astaqfirullah al'azim..." gumamku saat terjaga, dengan keringat dingin yang membasahi sekujur tubuhku.
Saat kupandangi sekelilingku, aku terkesiap sebab aku sungguh-sungguh berada di tempat yang sama dengan yang ada dalam mimpiku. Ya, di sebuah kamar yang berisi empat buah ranjang. Namun, di atas ranjang-ranjang itu tidak ada lagi onggokan peti-peti mati. Hanya di salah satu ranjang saja aku jumpai tubuh manusia yang terutupi selimut putih. Mungkin, tubuh itu pemuda yang semalam mengajakku tidur disini.
Pemuda itu masih terbaring di tempatnya, dengan sekujur tubuh tertutup oleh selimut. Dengan kesadaran yang masih belum sempurna, aku lihat pintu kamar dibuka seseorang dari luar. Disusul dengan masuknya dua orang perawat yang memandangku dengan sorot mata penuh tanda tanya, bahkan setengah ketakutan.
"Ke.....kenapa ibu tidur di sini?" tanya salah seorang perawat itu dengan gugup.
"Ibu masuk lewat mana?" perawat yang lain ikut melontarkan pertanyaan. "Kamar mayat inikan terkunci."
"Kamar mayat?" gumamku tidak mengerti.
"Ya, ini kamar mayat, Bu! Dan barusan, kami baru membuka pintunya yang masih terkunci. Lantas, Ibu masuk dari mana?" tutur si perawat yang pertama kali bertanya padaku.
Seketika jantungku berdegup keras. Sambil berusaha menenangkan perasaan, kuceritakan apa yang kualami, "Semalam saya diajak pemuda itu untuk beristirahat di sinii." Aku menudingkan telunjuk ke arah pemuda yang berbaring di ranjang yang lain.
Mendenar jawabanku, salah seorang perawat berjalan menghampiri ranjang yang ditempati pemuda itu. Kemudian membuka selimut yang menutupi tubuhnya, sambil berkata, "Bu, pemuda ini sudah meninggal kemarin siang akibat kecelakaan. Karena identitasnya masih belum diketahui, maka untuk sementara waktu ditempatkan di kamar mayat ini. Coba ibu lihat sendiri."
Dari jarak kurang dari 2 meter, aku lihat wajah pemuda yang semalam mengajakku beristirahat di kamar mayat ini. Wajah itu tidak lagi bersih dan tampan, sebagaimana yang aku lihat semalam. Namun, wajah itu dihiasi luka serta bercak-bercak darah yang sudah mengering. Begitu melihat wajah tersebut, seketika itu pula aku jatuh pingsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar