Rabu, 20 Februari 2008

KARENA CEMBURU, AKU TEGA MENYATET SAUDARA SEPUPU

Penulis : Herry Santoso


Demi melihat saudara sepupuku menggumuli isteri, aku langsung kalap. Bahkan aku tega membuat perutnya buncit, hingga akhirnya dia mati....

Api cemburu memang telah membakar seluruh sel darah dan perasaanku. Tapi aku sulit mene-rima jika dikatakan kecemburuanku itu tak lebih sebuah “cemburu buta.” Sebab, dengan mata kepalaku sendiri aku melihat Melati (nama samaran), isteriku digumuli oleh laki-laki lain.
Awalnya, aku memang tak pernah percaya bahwa Jo, saudara sepupuku yang telah senasib seperjuangan merantau di negeri Jiran (Malaysia) itu akan mengkhianatiku. Bahkan isyu-isyu yang sempat berhembus di tempat kami bekerja yang menyatakan Jo berselingkuh dengan Melati, kuanggap sebuah fitnah yang amat keji.
Jo terlalu baik padaku. Wajar jika sebagian penghasilanku sebagai buruh bangunan di perantauan selalu kukirim ke Melati lewat dia. Jo lah yang kupercaya untuk “hilir mudik” ke kampung halaman mengantar nafkah untuk anak isteriku itu. Terlebih, Thole, anak kami satu-satunya sudah mulai masuk ke bangku SLTP di kampung. Ya, semua seolah memacu semangatku untuk bekerja lebih keras lagi mengumpulkan Ringgit di negeri Jiran.
Hari-hari indah bersama Melati selalu mengusik mimpi-mimpiku. Ada kerinduan yang amat dalam yang hanya bisa kutahan di perantauan. “Oh, isteriku, mungkinkah isyu itu benar-benar ada dan terjadi atas dirimu?” batinku.
Lama-lama aku memang mulai gelisah. Terlebih Parto, yang juga teman sekerjaku, tadi siang sempat menasihatiku.
“Memang, sebaiknya kamu cepat pulang kampung, Yan. Itupun kalau kamu tidak ingin rumah tanggamu hancur!” ucap Parto pelan sembari mengelus-elus pundakku.
“Apa maksudmu berkata seperti itu, To?” tukasku kaget.
Lama Parto terdiam. Seolah ingin menata kalimat selanjutnya yang dirasa cukup pantas untukku.
“Begini...” lanjut Parto. “Kamu harus hati-hati sama Jo. Meski dia saudara sepupumu, tapi laki-laki sama saja. Melati, isterimu terlalu ringkih untuk menghadapi kenyataan berpisah cukup lama dengan sang suami. Dan, masa tiga tahun memang bukan ukuran pendek untuk menahan rindu....”
“Parto! Aku peringatkan, jika kamu masih ingin menjadi sahabatku, jangan kau ulangi fitnah-fitnah kejimu itu, mengerti?” bentakku. Parto nampak terkejut sekali melihat sikapku.
“Tahukah kamu, Jo itu bukan orang lain. Pantas isterimu di kampung minta cerai gara-gara omonganmu yang tajam seperti itu!” geramku sambil langsung mencengkeram krah baju Parto. Kontan, Parto pucat-pasi menerima kemarahanku. Dia pun minta ampun sebelum ngeloyor pergi.
Tapi, diam-diam aku tak mampu membohongi hatiku. Ada bara dalam jiwa atas isyu-isyu yang beredar di tempat kerjaku itu. Aku tidak tenang, malah tadi pagi ibu jariku terkena pukulan palu yang kuayun sendiri. Terlebih baru kemarin lusa Jo kusuruh mudik mengantar jatah gaji buat Melati. Duh Gusti Allah, rasanya ingin malam ini juga kuseberangi selat Malaka yang ada di kejauhan sana.
Akhirnya secara diam-diam aku mudik. Tekadku telah bulat ingin membuktikan isyu gila yang sempat berhembus ke Malaysia itu. Terpaksa aku naik pesawat terbang untuk mempercepat waktu, tapi tak ayal memasuki terminal terakhir di kotaku tetap menjelang dini hari. Padahal aku memperkirakan selepas Maghrib sudah tiba di rumah.
Entah, dorongan darimana aku ingin menuju kampung halaman malam itu juga, dengan sebuah ojek. Tapi kira-kira 1 Km menjelang rumahku, ojek berhenti. Aku melingkar menembus kebun singkong di belakang rumah dan dengan mengendap-endap menyusup tepat di luar kamar Melati, isteriku!
Untunglah, kamar Melati masih separo papan hingga aku bisa mengintip lewat celah-celah sirap itu. Ternyata Melati belum lelap. Dadaku berdegub kencang melihat tubuh isteriku yang sintal itu mene-lentang di atas ranjang. Ia menerawang ke langit-langit kamar sambil sesekali menghela nafas panjang. Ya, mungkin sedang memikirkan aku, merindukan aku, mungkin.
Thole, anakku tidak tampak di sampingnya. Barangkali sedang menginap di rumah neneknya, sebagaimana kebiasaan Thole sejak kecil.
Malam terus bergulir dan merambat ke dini hari. Melati bangkit dari pembaringaan, keluar kamar. Masuk lagi dan duduk di depan cermin. Dan Masya Allah, dia bersolek di depan cermin! Bahkan melepas CD dan branya. Tak ayal nafasku memburu melihat dua bukit yang ranum dan padat itu. Setelah itu ia keluar lagi, dan ya Tuhan, balik lagi ke kamarnya dan menuntun seorang laki-laki!
Nyaris aku tak mampu menahan diri, tapi aku masih ingin bukti. Kakiku menggigil seketika dan seluruh persendianku seperti copot begitu menyaksikan laki-laki itu langsung menciumi wajah isteriku. Laki-laki itu adalah Jo, adik sepupuku sendiri yang kemarin lusa kusuruh mengantarkan penghasilanku untuk Melati.
Dengan penuh nafsu Jo menciumi wajah, bibir, leher, dan ujung-ujung bukit di dada isteriku. Karuan saja, Melati menggeliat tak tahan diperlakukan seperti itu dan langsung melepas daster transparan yang ia kenakan malam itu.
Degup jantungku kian terpacu. Aku hampir pingsan menyaksikan tubuh isteriku direbahkan di atas kasur seraya membuka kedua kakinya. Dengan profesional Jo memanggul kaki-kaki Melati yang mulus dan jenjang itu, dan seterusnya aku tak mau menceritakannya di sini.
Aku spontan melompat pintu depan rumahku. Dengan bara emosi yang tumpah, kuterjang pintu dan jebol seketika. Kedua insan yang tengah bergumul di kamar itu terkesiap. Jo sedianya mau lari karena panik, tapi dengan kalap kuhantam dadanya yang bidang dengan tinjuku kemudian kuterjang tepat kemaluannya hingga ia roboh tak berkutik di lantai. Melati menjerit-jerit, tapi sebelum aku ambil langkah seribu masih sempat memukul telak ibu dari anakku itu.
Selebihnya aku segera mengambil langkah seribu, menembus ujung pagi yang masih berkabut. Sesampainya di terminal kota aku naik bus ke arah timur. Dalam kendaraan itu aku tanpa tujuan pasti, hanya membawa kehancuran hati. Akhirnya menjelang petang aku tiba di kota Banyuwangi. Aku mulai kebingungan, akankah aku terus menyeberang ke Bali? Lalu ke mana tujuanku nanti?
Kebingungan mulai merajuk ke benakku. Akhirnya aku menginap di sebuah Losmen kelas melati. Dari perbincangan dengan sesama tamu, diam-diam aku menyadap inti perbincangan yaitu soal santet. Kata tamu (yang sama-sama menginap di losmen itu), ada tukang santet ampuh di sebuah desa di Banyuwangi Selatan. Dia mau dimintai jasa untuk menyantet siapapun, asalkan dibayar. Tapi praktek itu sangat rahasia, karena takut dihakimi oleh massa.
Tanpa basa-basi, esoknya aku meluncur ke desa itu. Letaknya cukup terpencil, karena harus naik turun perbukitan dan menyeberangi beberapa sungai. Jarak antara rumah satu dengan yang lain saling berjauhan hingga tak satupun orang yang menyangka bahwa aku butuh jasa dukun santet.
Ringkas cerita, akhirnya aku tiba di rumah dukun santet itu....
“Tolonglah saya, Mbah!” ucapku setengah merengek setelah kami terlibat perbincangan yang cukup panjang. “Saya ini menderita batin, Mbah. Ketika merantau ke Malaysia, isteri saya berselingkuh dengan saudara sepupu saya sendiri.”
“Mungkin itu fitnah!” tukas laki-laki tua itu.
“Tidak, Mbah, saya tahu dengan mata kepala saya sendiri, ketika laki-laki itu bergumul di ranjang dengan isteri saya...” lanjutku tak mampu menahan diri, terisak-isak.
“Laki-laki kok nangis! Tujuanmu kemari untuk menyantet laki-laki yang meniduri isterimu itu, kan?”
“I...iya, Mbah...”
“Kamu yang menanggung segala dosa-dosanya kelak di hadapan Gusti Allah?” tatapnya, melotot. Wajah laki-laki itu bukan saja angker sekaligus agak menjijikan. Betapa tidak, wajahnya yang tirus penuh bopeng. Mungkin dulu bekas terkena cacar air, pikirku. Rambutnya gondrong sebahu, dan dengan jenggot panjang yang jarang-jarang mengingatkanku pada seekor kambing jantan. Hidungnya agak bengkok, dan tatkala terkekeh giginya tampak kotor kekuning-kuningan. Bibirnya menghitam lantaran terbakar asap kretek yang terus mengepul. Tubuhnya kurus dan jangkung, tapi tatapan matanya tajam bak mata elang kelaparan.
Setelah mendengar semua penu-turanku, laki-laki itu masuk ke biliknya. Keluar lagi dengan membawa sebutir telur ayam kampung dan minyak wangi (kalau tidak salah Cap Serimpi). Diolesinya telur itu dengan minyak wangi. Perlahan-lahan namun pasti ia mengelus dan mengelus telur itu sembari memejamkan matanya.
“Nama laki-laki itu siapa, Nak?” tanyanya masih tetap terpejam dan mengelus telur ayam di tangan kirinya.
“Jo, Mbah...” jawabku.
“Hari kelahirannya kamu tahu?” celetuknya.
Aku mengerutkan kening, tapi aku terlonjak karena ingat weton (kelahiran) si Jo.
“Anu, Mbah, Jum’at Pahing, ya-ya, Jum’at Pahing, Mbah!” kataku dengan wajah berbinar.
“Jum’at 6, Pahing 9, jadi 15! Wah, ini matinya lima belas hari lagi, Nak!” ujarnya yang membuat bulu kudukku merinding seketika. Di antara ketakutan, aku berusaha mempercayai ramalan itu.
Hari menjelang malam ketika pak tua itu mengajakku ke suatu tempat. Tempat itu puncak sebuah bukit kecil. Di situ ia mengambil sebuah uborampe untuk menyantet, yaitu paku usuk tujuh buah yang sama-sama sudah karatan, tengkorak manusia, bumbung, dan keris kecil sepanjang satu jengkal. Kemudian balik lagi ke rumahnya, membuat sesaji lengkap; ada bunga telon, kafan, telur ayam kam-pung, minyak wangi dan entah apalagi yang aku tidak mengenalinya.
Pak tua itu lalu membuat boneka dari tepung terigu, mirip adonan roti. Boneka itu diisi mantra-mantra kemudian digeletakkan di atas nampan bersama ubo-rampe tadi. Kemudian dia membakar kemenyan di sebuah anglo pedupaan. Asap dupa mengepul memenuhi ruangan pribadinya yang sempit. Saya disuruh mengamati tujuh butir telur ayam kampung itu. Sekejap kemudian aku terpekik, karena melihat salah satu dari telur itu ada wajah si Jo, saudara sepupuku.
“Mbah! I...itu, di telur itu ada wajah si Jo, Mbah!” seruku.
Laki-laki itu membuka matanya dan mencomot telur bergambar Jo itu. Aneh, mirip komputer saja, pikirku benar-benar penasaran. Telur yang baru dicomot itu dimasukkan ke perut boneka tepung tadi, hingga tampak membuncit (membusung). Boneka itu sebesar paha, yang dilengkapi dengan anggota tubuh, pusar, mata, mulut, dan alat kelamin.
“Ayo sekarang kita keluar rumah!” ajak pak tua.
Aku mengikuti langkahnya, ternyata hanya di tengah halaman. Ia menghadap lurus ke barat dimana kampungku berada.
“Pegang boneka ini kuat-kuat jangan sampai lepas, ya!” perintahnya. Dengan wajah tegang diambilnya tujuh paku berkarat itu dan dengan kejam ditusuknya perut buncit boneka itu. Aneh, boneka itu bergetar. Aku kaget. Bahkan boneka itu mengaduh dan meronta.
Pak tua itu tak peduli. Diambil lagi paku-paku berkarat itu sampai habis, lalu ganti keris kecil dan semua ditusukkan ke perut boneka. Gila, cairan hangat kental muncrat ke wajahku. Baunya anyir, dan kuingat-ingat itu bau darah segar. Aku mual dan bergidik, karena boneka itu mengejang dan berkelenjotan di tanganku.
“Nah, sudah selesai! Kita tunggu lima belas hari lagi dia pasti mati, Nak!” katanya dengan suara dingin. “Terus terang, Mbah paling benci dengan lelaki yang mengganggu isteri orang,” tegasnya.
“I...iya, Mbah!” suaraku serak karena tercekam takut.
Entah mengapa, diam-diam aku merasa ketakutan. Merasa ngeri sendiri jika mengingat-ingat proses gaib tadi. Tapi sudah terlanjur, apa yang akan terjadi, terjadilah.
“Berapa maharnya, Mbah?”
“Tiga juta rupiah saja! Biasanya lima juta, tapi karena saya kasihan padamu, ya cukup itulah, Nak!” kata pak tua itu.
Akhirnya kurogoh lipatan uang di dompetku dan setelah kuhitung sejumlah tiga juta kuserahkan kepadanya. Kontan wajah pak tua itu tampak sumringah yang serta merta memasukkan duit itu ke lipatan sabuknya.
Setelah itu aku pulang ke rumah. Rencanaku aku akan menuntut Jo ke depan yang berwajib, tapi keburu polisi menangkapku. Aku dituduh menganiaya Jo dan isteriku sampai Jo dibawa ke rumah sakit! Aneh, saat kulihat perut Jo buncit. Dia hanya mampu mengerang-erang di ranjang rumah sakit. Kata dokter, membengkaknya perut itu akibat tendangan maut di bawah pusar yang mengakibatkan luka dalam pada usus halus dan usus besarnya.
“Dia harus dioperasi secepatnya kalau ingin nyawanya tertolong,” demikian kata dokter.
Aku hanya mencibir sinis. Dua hari kemudian aku dijebloskan ke sel tahanan. Dalam proses peradilan pihak penegak hukum mengalami kesulitan, karena Jo meninggal setelah lima belas hari dirawat di rumah sakit. Tapi atas kesaksian isteriku, aku dijebloskan ke bui selama 7 tahun. Cuma satu yang meringankanku, tak pernah dihukum dan menyesal telah menganiaya saudara sepupuku itu. Belum lengkap penderitaanku, karena setelah keluar dari penjara aku harus melakukan proses perceraian di Pengadilan Agama.
Ya Tuhanku, masih adakah pintu taubat terbuka untukku? Hanya itu yang bisa kuucapkan setiap kali aku sholat. Thole anakku pun rupanya juga membenciku, dan itu mungkin karena provokasi dari orang-orang luar, termasuk mertuaku.
Bagaimana dengan Melati? Dia pernah menemuiku dan mengatakan sebenarnya dia masih mencintaiku. Dia ingin kembali padaku. Mungkinkah? Hatiku yang paling dalam mengatakan, “Maaf, hal itu tidak mungkin lagi, Melati. Maafkan aku, cintaku telah terkubur bersama dendamku....”
Kini, kupasrahkan hidup dan matiku hanya kepada Tuhan...!
Kisah mistis ini dituturkan oleh Yan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar