Selasa, 12 Februari 2008

DALAM KEADAAN KOMA AKU BERTEMU DEWI LANJAR

OLEH: ITONG R. HARIADI


Kisah mistis ini seperti dituturkan AF. Saat menjalani operasi ginjal, persisnya di saat tak sadarkan diri akibat pengaruh obat bias, ruhnya melanglang ke alam gaib. Dia bertemu dengan sosok putri yang cantik jelita, yang mengaku sebagai Dewi Lanjar. Apa yang terjadi kemudian...?

Aku seorang lelaki berusia 42 tahun. Sebut saja namaku Heru. Sejak aku menikah dengan Sarah (bukan nama sebenarnya) dua puluh tahun silam, hanya satu orang anak yang lahir dari rahimnya. Sarah adalah seorang istri yang sangat pengertian, setia, dan penuh kasih sayang. Apalagi dengan Andika (bukan nama sebenarnya), anak semata wayang kami. Tentu saja, kami sangat mengharapkan suatu hari nanti Andika menjadi anak yang bisa berbakti dan menghargai orang tuanya, dan berguna bagi orang lain.

Pada pertengahan Maret tahun 2003, aku terpaksa terbaring di rumah sakit. Menurut diagnosis dokter, ginjal kananku tak lagi berfungsi sebagaimana layaknya ginjal manusia normal. Istriku dengan setia sekali mendampingiku setiap saat. Kulihat wajahnya penuh dengan keharuan mendalam karena tak kuasa melihat keadaanku. Apa daya, setiap penyakit akan datang tanpa pernah terduga. Kehadirannya begitu cepat dan tiba-tiba.

Selama menjalani opname, untuk sementara waktu aku harus meninggalkan pekerjaanku pada sebuah kantor Dinas Catatan Sipil. Seminggu sebelum aku menjalani operasi, dokter sempat memeriksa ginjal milik Andika, putraku. Dan alhamdulilah dinyatakan sehat oleh dokter. Dengan keteguhan hati yang sangat kuat, Andika rela memberikan salah satu ginjalnya padaku, ayahnya tercinta.

Aku begitu terharu atas sikapnya yang tak terduga itu. Saat itu anakku sudah lebih dulu berada di ruang operasi. Aku teringat ketika detik-detik pertama memasuki ruang operasi. Sarah yang mengiringi kereta dorong tempatku berbaring lemah, terus melangkah sambil sesekali melelehkan air mata. Genggaman tangannya begitu erat. Aku bisa memahami apa yang dikhawatirkan istriku saat itu.

Belum lagi istriku memikirkan Andika yang ginjalnya harus ditukar denganku. Yang jelas saat itu istriku mengalami beban mental yang cukup berat. Tapi aku yakin, Sarah akan selalu tabah dan sabar menunggu dan banyak berdoa, memohon pada Yang Maha Kuasa agar suami dan anaknya diberi keselamatan dalam menghadapi cobaan.

"Kuat dan tabahkan dirimu, Pak!" Suara istriku sambil terisak. Aku yakin banyak hal yang ingin dia katakan padaku. Namun ketika dia menatapku dalam-dalam, semuanya menjadi kabur dan lama-kelamaan menghilang. Yang ada di dalam hatiku hanya perasaan khawatiran yang amat sangat.

"Jangan menangis, Sarah. Teruslah berdoa dan memohon pada Tuhan, agar aku diberi keselamatan dan panjang umur," kataku lirih tak berdaya.

Sarah mengangguk dan berdiri kaku di hadapanku. Kini aku sudah berada di ruang operasi. Kini, kuserahkan segala hidup dan matiku kepada Tuhan. Apa daya ternyata aku harus berjuang sekuat tenaga. Seandainya saja Andika tidak keras kepala, tidak menyerahkan salah satu ginjalnya untukku, mungkin saat itu aku sudah meninggal.

Ketika salah seorang dokter menyuntikkan cairan bius ke dalam tubuhku, tiba-tiba pandanganku menjadi gelap gulita. Dan tak lama setelah itu aku seperti terhempas, aku tak sadarkan diri. Namun yang kurasakan selanjutnya, jiwaku perlahan-lahan serasa melayang. Aku dapat melihat dengan jelas apa yang dilakukan tim dokter di ruang operasi itu. Perutku dibedah, sedangkan tubuhku saat itu lemah tak berdaya dengan mata terpejam.

Ternyata saat itu aku tidak sendirian, jauh di alam yang tidak kukenal sebelumnya, tampak seorang wanita tengah bersamaku. Dan secara bersamaan, menyaksikan tubuhku yang tak berdaya sedang dioperasi.

"Apa yang kau lakukan di tempat ini?" Tanyaku pada wanita yang cantik bagai seorang dewi itu. Sebelum dia menjawabnya, aku kian sadar akan siapa diriku yang sebenarnya. "Bukankah aku tak berdaya karena sakit dan kenapa aku berada disini?" Gumamku tanpa melihat wajah perempuan itu.

"Kamu sudah berada di alam lain, yang sebelumnya tidak pernah kamu lihat," cetus wanita itu dengan suara lembut.

"Apakah aku telah mati?"

"Ya, bisa juga dikatakan seperti itu."

"Lalu, siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa harus aku yang kau bawa kemari?” tanyaku semakin penasaran. Ketika itu aku telah merasa kalau diriku berada di sebuah ruangan besar yang afak temaram, tapi jelas bukan di ruang operasi seperti pada awalnya.

"Aku adalah Dewi Lanjar. Kamu tentu pernah mendengar namaku bukan? Dan untuk saat ini kamu beruntung, dapat bertemu langsung dengan pemilik nama itu. Kamu termasuk orang yang beruntung, Heru!" Katanya sambil melayang-layang. Aneh! Kenapa aku sendiri mudah sekali mengangkat tubuhku? Kemanapun Dewi Lanjar itu melayang, aku selalu mengikutinya.

"Lalu, mengapa harus aku yang kau bawa kemari, Dewi?" tanyaku lagi.

"Sebenarnya apa yang kamu cari selama bekerja siang dan malam di dunia?" Dia malah balik bertanya.

Sesaat aku terdiam.

“Uang! Ya, uang untuk memenuhi segala kebutuhan hidupku juga istri dan anakku. Memangnya kenapa, Dewi?"

"Heru...!" Dia menatapku dengan teduh. "Kalau kamu menginginkan uang, kamu akan mendapatkan semua itu dengan mudah disini. Harta kekayaan macam apa lagi yang kamu inginkan, kamu tinggal menyebutnya asalkan kamu patuh dan menuruti apa yang aku katakan. Jangan lupa, bulatkan hatimu untuk memilih kekayaan itu."

"Semudah itukah, Dewi?" Aku ragu.

"Ya...!" Dewi Lanjar menggengam tanganku, dia menarik dan membawaku entah ke mana. Aku bahkan tak peduli lagi dengan tubuhku yang masih dibedah. Yang kurasakan saat itu, aku tengah mengembara jauh meninggalkan bumi pertiwi. Hingga akhirnya aku seperti berada di sebuah bangunan istana yang begitu megah. Istana itu sepertinya berdiri kokoh di atas gugusan awan.

Aku terpana dengan pemandangan yang kusaksikan saat itu. Semua yang kualami tak pernah kulihat sebelumnya di muka bumi ini. Pintu gerbang istana itu terbuka dengan sendirinya. Aku tertegun akan bentuk bangunan yang luar bisa megah dan luas. Persis sebuah istana para rtaja dalam dongeng. Tetapi menurutku perkiraanku masih kalah megahnya dengan istana yang kumasuki saat ini.

Layaknya seorang tamu kebesaran, aku disambut dengan baik oleh Dewi Lanjar. Bahkan setiap jengkal sudut ruangan istana diterangkannya padaku. Memang ada segelintir orang yang lalu lalang. Entah siapa mereka. Aku tak tahu, yang jelas wujud mereka sama sepertiku, manusia.

Tak lama kemudian, tibalah aku di sebuah kamar yang amat luas. Bentuk ranjangnya yang teramat mewah, tirai putih yang menyelimuti ranjang itu juga sangat bagus. Seakan menambah suatu kenyamanan jika aku merebahkan tubuhku di atasnya.

Sejenak aku menatap wajah rupawan Dewi Lanjar. Kecantikan yang dimilikinya memang luar biasa. Sangat tepat seperti putri atau bidadari.

"Silahkan kalau kamu mau beristirahat,' katanya singkat dan tangannya menunjuk ke arah tempat tidur mewah itu.

"Inikah tempat tinggalmu, Dewi?"

"Ya, tinggallah disini untuk beberapa hari lamanya. Apa saja yang kamu inginkan, semuanya sudah tersedia di sini," kata wanita cantik yang mengaku Dewi Lanjar itu.

Aku mengerjapkan mataku dan mendekati ranjang itu. Kurebahkan tubuhku di atas kasur empuk. Aku merasakan kenyamanan yang luar biasa. Seumur hidup aku tak pernah merebahkan tubuhku di tempat sebagus itu. Sejenak kulihat Dewi Lanjar tersenyum saat menatapku, dan tak lama kemudian dia melangkah keluar. Aneh! Tiba-tiba saja pintu kamar itu pun menutup dengan sendirinya. Seperti ada remot kontrolnya.

Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu. Ketika aku baru saja memejamkan mata, tiba-tiba Dewi Lanjar sudah berada di ruangan yang sama. Tapi saat itu sosok tubuh Dewi Lanjar dalam keadaan bugil, tanpa secuil pun kain yang melekat di tubuhnya. Dengan tatapan matanya yang sayu dan rambut yang dibiarkan tergerai, dia mulai mendekatiku.

Pandangan mataku menangkap apa yang dia lakukan. Sepasang bukit kembarnya yang membusung indah, kontan menggetarkan seluruh jiwa ragaku. Bahkan tanpa segan, Dewi Lanjar melucuti pakaianku.

Dalam beberapa saat, tak terasa aku telah tampil dalam keadaan bugil, tanpa sehelai benang pun yang menempel di tubuhku. Wanita cantik berambut hitam panjang itu pun merangkak dan naik di atas tubuhku.

Dengan gelora yang terus membumbung tinggi, aku menciumi aroma wangi tubuhnya yang terus menggelora dan membakar gairahku. Dia mencium bibirku, melumat dan memilinnya perlahan-lahan. Sebagai laki-laki normal, kontan saja membuatku terangsang hebat akibat mendapat serangan Dewi Lanjar. Sejuta gairah menyelubungi jiwaku. Apalagi saat bukit kembarnya yang putih dan mengkal itu menempel ketat di dadaku.

Saat itu aku benar-benar dibuat tak berdaya. Aku hanya diam dan merasakan sentuhan lembut yang terus dilancarkan Dewi Lanjar. Wanita cantik itu tak ubahnya kuda binal yang luar biasa garang, apalagi ketika sudah melakukan persetubuhan dengan lawan jenisnya. Desahan dan rintihan keluar dari mulutnya, seiring dengan kenikmatan yang dirasakannya.

Ketika senjata andalanku, yang sejak tadi telah menegang dahsyat, kini mulai menunjukkan kehebatannya, seketika wajah Dewi Lanjar mendongak ke atas langit-langit. Matanya terpejam-pejam seiring gerakan tubuhnya ke atas dan ke bawah. Saat itu aku hanya bisa menerima dan pasrah dengan semua yang terjadi.

Setelah saatnya tiba, Dewi Lanjar merasa puas setelah beberapa kali berhubungan denganku. Peristiwa demi peristiwa berlangsung begitu cepat. Lalu, Dewi Lanjar membawaku ke sebuah ruangan yang lagi-lagi tak kalah megahnya. Dia berdiri di sebuah singgasana kebesaran seorang putri raja. Aku berdiri dua meter dari jaraknya berdiri dengan posisi lebih tinggi. Di samping kanan kirinya tampak dua orang dayang-dayang cantik sedang memegang kipas di tangannya.

"Katakan saja, apakah kau menginginkan harta kekayaan. Kesenangan dunia, seperti yang telah aku katakan kemarin," kata Dewi Lanjar yang terkesan lembut namun tegas.

"Kekayaan apa yang dapat kuperoleh, Dewi?" Tanyaku.

"Semua itu tergantung dengan permintaanmu. Tapi dengan satu syarat," katanya dengan mengangkat satu jari telunjuk.

“Katakanlah, Dewi! Syarat apa yang harus aku penuhi?” Sahutku.

"Kau harus rela menyerahkan nyawa orang yang paling kau kasihi, jika perlu anakmu sendiri. Dengan syarat itu kau akan menjadi orang terkaya, yang memiliki banyak harta. Bahkan, segala macam usaha yang kau jalankan nanti akan mengalami kemjuan yang begitu pesat."

Ketika mendengar ucapan ini, aku terkejut setengah mati. Sungguh, aku tak pernah membayangkan sedikit pun dengan syarat yang akan diajukan Dewi Lanjar. Saat itu juga, aku langsung menolak syarat gila yang diinginkannya. Harta kekayaan yang dia tawarkan padaku adalah dengan menjual nyawa orang yang kucintai, rasanya itu tidak akan terjadi. Aku tidak mungkin menyetujuinya. Tidak!

Karena aku tidak mau memenuhi persyaratan yang diinginkan Dewi Lanjar, akhirnya aku diusir keluar dari istananya yang megah. Aku masih ingat sekali, bagaimana wanita itu mengeluarkanku dengan sangat marah. Dan saat itu pula pandanganku kembali gelap gulita. Tidak lama kemudian, mataku mulai terbuka. Samar-samar aku mendengar banyak orang berkerumun di sekelilingku, yang menungguiku di dalam kamar perawatan rumah sakit.

Ketika pandangan mataku menangkap sosok wajah istriku, saat itu matanya nampak membengkak. Dia segera memeluk tubuhku yang masih terbaring lemah.

“Pak, Alhamdulillah akhirnya kau selamat. Aku takut sekali kehilanganmu, Pak....” suara Sarah sambil terisak.

"Ada apa ini?" Tanyaku heran. Di sekelilingku, kulihat wajah-wajah kerabat dekatku tengah berkumpul.

"Dokter bilang Bapak sudah meninggal. Kondisimu terlalu lemah sekali, sehingga tidak kuat menjalani operasi."

Aku tercengang sambil menarik nafas panjang. "Bagaimana dengan anak kita, Bu? Apakah dia baik-baik saja?"

"Ya, Andika baik-baik saja, Pak. Dia akan senang sekali melihatmu sudah sehat kembali."

Tak lama kemudian, seorang pemuda berkulit putih memasuki kamar dan mendekatiku. Tangis bahagia menghiasi suasana saat itu. Bahkan istriku, Sarah, nyaris tak bisa membendung lagi air matanya. Seminggu setelah operasi berjalan, dokter yang menanganiku menginjinkan aku di rawat jalan. Aku tak mungkin lama-lama tinggal di rumah sakit. Hal itu disebabkan biaya yang kami keluarkan sangat besar sekali.

Setelah kesehatanku dan Andika mulai berangsur-angsur membaik, akhirnya aku mulai menceritakan apa yang telah terjadi pada diriku, tatkala aku berada di alam yang tak pernah kutahu sebelumnya. Memang, di daerahku, tepatnya di Pekalongan bagian Utara sering terdengar misteri seputar Dewi Lanjar yang konon dapat memberikan kekayaan dengan syarat mau menumbulkan nyawa anak kesayangan.

Aku sempat menemui orang pintar yang mengerti tentang alam gaib Dewi Lanjar. Orang pintar tersebut justru membenarkan sikapku yang telah berhasil menolak ajakan sesatnya, yaitu meminta syarat manusia sebagai tumbal. Dan mengenai hubungan intim yang aku lakukan bersama Dewi Lanjar, menurutnya itu tak akan berakibat apa-apa.

Dalam kehidupan yang semakin gila ini aku sering berpikir, lebih baik hidup miskin, tapi hati selalu tentram dan bahagia. Daripada kenikmatan duniawi yang bersifat semu. Harta benda memang diperlukan untuk kehidupan di dunia, tapi tidak harus mengorbankan Andika, darah dagingku sendiri. Sekali lagi tidak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar